Anda di halaman 1dari 4

1.

Bangkit dari sujud

Semua mazhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) sepakat


bahwa posisi kedua tangan saat bangkit dari sujud tidak mengepalkan
tangan. Keempat mazhab ini berpendapat bahwa mengepalkan tangan
adalah hadis palsu. Adapun gerakan yang diajarkan Nabi SAW adalah
menjadikan telapak tangan dan jarinya untuk bertumpu di atas bumi.
Dalam masalah ini, Mazhab Hanbali menggunakan dalil shahih yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari:
‫ عن النبي صلي هللا عليه وسلم وإذا اعتمد بيديه جعل بطن راحتيه وبطون‬: ‫عن مالك بن الحويرث‬
‫أصابعه على األرض‬.
Dari Malik bin al-Huwairits, dari Nabi shallalahu 'alaihi wasallam ketika
beliau bertumpu dengan kedua tangannya, beliau menjadikan telapak
tangan dan jarinya untuk bertumpu di atas bumi. (HR. Bukhari)

l. Sebagian ulama berpendapat pada rakaat ganjil, alangkah baiknya


jika orang yang melaksanakan shalat melakukan duduk sebentar
sebelum bangkit.

2. Sedangkan menurut fuqaha lainnya, hendaknya seseorang langsung


bangkit dari sujud.

Sebab perbedaan perbedaan: Adanya kontradiksi antara dua hadits,


yaitu dalam hadits Ibnu Hujr, dia berkata:

"Aku melihat Rasulullah SAW (sedang shalat), ketika beliau sujud


kedua lututnya diletakkan di landasan sebelum kedua tangannya, dan
apabila bangkit kedua tangannya diangkat sebelum dua lututnya.

Lalu dalam hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda,

"Apabila salah seorang dari kalian sujud, maka janganlah turun seperti
unta yang hendak duduk, dan hendaklah ia meletakkan kedua tangan
sebelum dua lututnya. " Dalam hal ini, Ibnu Umar meletakkan kedua
tangan sebelum kedua lututnya. Menurut pengamatan para ahli hadits,
hadits dari wail bin Hujr lebih kuat dibanding hadits Abu Hurairah.
2.Sujud
Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali
pada setipa rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan
yang lain-lainnya adalah sunnah.
Hambali : yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak
tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna.
Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.
Seperti dalam hadits Ibnu Abbas dari Nabi SAW: "Aku diperintahkan untuk
bersujud dengan tujuh anggota (badan) “

Sebab perbedaan pendapat: Apakah yang wajib adalah merealisasikan


sebagian yang dikandung oleh sebuah nama atau seluruhnya?
Bagi ulama yang mewajibkan sebagian saja berkesimpulan bahwa sujud
dengan menempelkan dahi atau hidung saja sudah dianggap cukup (sah ).
Sedangkan bagi ulama yang berpendapat bahwa sujud itu cukup dengan
menggunakan dahi, mereka membolehkan sujud dengan dahi, tetapi tidak
membolehkan dengan hidung.
Tampaknya,pendapat ini merupakan batasan pengertian ba'dhu (sebagian),
yang pelaksanaannya diwajibkan, masalah di atas didasarkan pula atas
pendapat yang membedakan antara bagian tertentu dari yang lainnya, artinya
dengan melaksanakan beberapa bagian saja sudah dianggap memadai
sebagai pelaksanaan kewajiban, dan bagian lainnya tidak bisa menduduki
bagian pertama secara hukum, jika tidak demikian maka bisa saja seseorang
berkata, "Barangsiapa menempelkan bagian hidungnya sedikit saja maka
sujudnya telah sempuma.
Adapun ulama yang berpendapat bahwa wajibnya adalah menunaikan semua
elemen yang ada dalam sesuatu' sudah tentu wajibnya adalah sujud dengan
dahi dan hidung, imam Syaf i berkata, "Kemungkinan pengertian yang muncul
dari lafazh hadits dapat dihilangkan oleh perbuatan Nabi dan penjelasannya,
karena beliau sujud dengan dahi dan hidung sesuai riwayat yang menyatakan
bahwa beliau selesai shalat, sementara di dahi dan hidungnya ada bekas
tanah dan air.
3. Duduk yang dilarang dalam shalat
Duduk iq’a seperti duduknya anjing
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
َ ‫َن َهانِي َخلِيلِي َعنْ أَنْ أُ ْقع‬
‫ِي إِ ْق َعا َء ال َّسب ُِع‬

Kekasihku (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) melarangku untuk duduk


iq’a sebagaimana cara duduk iq’a binatang buas. (HR. Abu Ya’la dalam Al-
Musnad).

Abu Ubaidah dan ulama lainnya mengatakan, posisi duduk iq’a seperti
binatang adalah duduk jongkok, sementara pantat diletakkan di tanah dan
kedua tangan diletakkan di samping. (Syarh Shahih Muslim An-Nawawi,
5/19).

Duduk seperti cara duduknya setan


A’isyah radhiyallahu ‘anha menceritakan cara shalat Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam,
‫ان‬
ِ ‫ْط‬ َ ‫ َو َك‬،‫ان َي ْف ِرشُ ِرجْ لَ ُه ْاليُسْ َرى َو َي ْنصِ بُ ِرجْ لَ ُه ْاليُمْ َنى‬
َ ‫ان َي ْن َهى َعنْ ُع ْق َب ِة ال َّشي‬ َ ‫َك‬

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan duduk iftirasy, dan beliau


melarang duduk seperti cara duduk setan. (HR. Bukhari dan Muslim)
Sebagian ulama menafsirkan cara duduk setan ini sebagaimana posisi duduk
jongkok, dan kedua tangan diletakkan di tanah sebagai sandaran.
Sebagaimana keterangan Imam Ibnu Baz dalam fatwanya.

Duduk iftirasy dengan bersandar pada tangan kiri


Berdasarkan keterangan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
ُ‫صاَل ة‬
َ ‫ «إِ َّن َها‬:‫ َف َقا َل‬،ِ‫صاَل ة‬ َ َّ‫أَنَّ ال َّن ِبي‬
َّ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َن َهى َر ُجاًل َوه َُو َجالِسٌ مُعْ َت ِم ٌد َعلَى َي ِد ِه ْاليُسْ َرى فِي ال‬
ْ
‫»ال َيهُو ِد‬

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk duduk


dengan bersandar pada tangan kiri ketika shalat. Beliau mengatakan, ‘Seperti
itu adalah bentuk shalatnya orang yahudi.’ (HR. Baihaqi, Hakim, dan
dishahihkan Al-Albani).
Dalam riwayat lain, dari sahabat As-Syarid bin Suwaid radhiyallahu ‘anhu,
beliau menceritakan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melihat
aku sedang duduk seperti ini: Meletakkan tangan kiriku di belakang
punggungku dan bersandar dengan telapak tanganku. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Mengapa kamu duduk seperti cara duduk orang
yang dimurkai?’

Sebab perbedaan pendapat:Perbedaan kategori makna duduk yang


dilarang, antara pengertian secara bahasa dan syara'?' Ulama yang
berpendapat pengertian secara bahasa' mereka berkata' "Maksudnya adalah
duduknya anjing'
Sedangkan fuqaha yang berpendapat bahwa maksudnya adalah pengertian
secara syara' berkesimpulan bahwa yang dimaksud adalah salah satu cara
shalat yang tidak dibolehkan. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Abdullah bin
Umar, "Bahwa seseorang yang duduk di atas bagian telapak kaki tidak bisa
dikatakan sebagai sunah shalat. Karenanya, mereka berpendapat bahwa cara
inilah yang dimaksud dengan iq’a (duduk) yang dilarang.
Tetapi pendapat itu lemah, karena satu kata yang belum dijelaskan
maknanya secara syara', harus dikembalikan kepada arti secara bahasa.
Berbeda dengan kata yang maknanya telah tetap dalam syara' sejak awal,
maka kata tersebut harus diartikan menurut arti syara', terkecuali jika terdapat
dalil yang menunjukkan arti secara bahasa. Lebih-lebih hadits Ibnu Umar
sangat bertentangan dengan hadits Ibnu Abbas.

Anda mungkin juga menyukai