1. Larangan Makan dan Minum pada bejana yang terbuat dari emas dan
perak.
Ada beberapa hadits yang berisikan ancaman yang amat keras bagi
seseorang yang makan di Bejana emas dan perak, ataukah makan dari
piring yang terbuat dari emas dan perak. Dari Hudzaifah radhiallahu
„anhu , beliau berkata :Saya telah mendengar Nabi Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :
“ Janganlah kalian mengenakan pakaian dari sutra, dan juga pakaian
yang bercampur dengan sutra, dan janganlah kalian minum dari bejana
yang terbuat dari emas dan perak, dan janganlah kalian makan dari piring
yang terbuat dari emas dan perak. Karena sesungguhnya bejana dan
piring seperti itu bagi mereka – ahli kitab – didunia dan bagi kita di surga
“2
1 HR. Al-Bukhari ( 5376 ) dan ini merupakan lafazh Al-Bukhari, dan Muslim ( 2022 ), Ahmad ( 1589 ),
Abu Daud ( 3777 ), Ibnu Majah ( 3276 ), Malik ( 1738 ) dan Ad-Darimi ( 2045 )
2 HR. Al-Bukhari ( 5426 ), Muslim ( 2067 ), Ahmad ( 22927 ), At-Tirmidzi ( 1878 ), An-Nasa`I ( 5301 ),
Mundzir, lihat didalam Fathul Bari ( 10 / 97 ). Dan tidak disangsikan bahwa makan serupa hukumnya
dengan minum.
6 At-Tamhid ( 16 / 105 ) dan lihat pula Fathul Bari (10 / 97 )
7 Fathul Bari ( 10 / 98 )
2. Larangan makan sambil bertelekan atau menelungkupkan wajahnya.
Abu Juhaifah meriwayatkan , bahwa beliau berkata : “ Saya pernah berada
disisi Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , maka beliau bersabda
kepada seseorang yang berada disampingnya : Tidaklah sekali-kali saya
makan sambil bertelekan “8
Ibnu Hajar mengatakan : “ Cara betelekan yang dilarang telah terjadi
perbedaan pendapat, ada yang mengatakan : Dengan bersandar sewaktu
makan dengan posisi apapun juga. Ada yang berpendapat : Duduk serong
kesalah satu sisi tubuhnya . Ada yang berpendapat : Duduk dengan
menopang kepada tangan karirnya diatas tanah …
Beliau berkata : Ibnu Adiy meriwayatkan dengan sanad yang dha‟if : “
Bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam melarang seseorang
bersandarkan dengan tangan kirinya ketika makan “
Malik berkata : “ Ini adalah salah satu bentuk bertelekan “
Saya – Ibnu Hajar – berkata : “ Dan ini adalah isyarat dari Malik bahwa
makruh setiap yang termasuk dalam bertelekan sewaktu makan, dan
tidak mengkhususkannya dengan posisi tertentu …
Ibnu Hajar mengatakan : “ Dan apabila hal ini suatu ketetapan bahwa
makruh atau termasuk khilaf aula – menyalahi amalan yang utama - , maka
posisi duduk yang sunnah disaat makan adalah dengan duduk berjingkat
pada lutut dan menegakkan tumit, dengan melipat kaki kanan dan duduk
diatas kaki kiri “9
Dan tinjauan makruhnya posisi duduk ini dikarenakan merupakan posisi
duduk para penguasa yang angkuh dan raja-raja negeri asing. Dan
8 HR. Al-Bukhari ( 5399 ), dan lafazh diatas adalh lafazh hadits Al-Bukhari, Ahmad ( 18279 ) , At-
Tirmidzi ( 1830 ), Abu Daud ( 3769 ), Ibnu Majah ( 3262 ) dan Ad-Darimi ( 2071 ).
9 Fathul Bari ( 9 / 452 ), Saya berkata : Posisi ini yaitu dengan menegakkan kaki kanan dan duduk
diatas kaki kiri, diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Muqriy didalam Asy-Syamail dari hadits beliau – Abu
Juhaifah - :” Apabila beliau duduk, maka beliau melipat lututnya yang kiri dan menegakkan kaki
kanannya … “ Sanadnya dha‟if. Al-„Iraqi mengatakannya didalam Takrij Ihya‟ „Ulumuddin 2 / 6, cet.
Daar Al-Hadith, cet. I 1412.
merupakan posisi duduk orang-orang yang berkeinginan memperbanyak
makannya.10
Dan posisiyang kedua dari cara makan seseorang yang terlarang adalah
makan sambil duduk bersandar/ bertelungkup diatas perutnya.
Dari hadits Ibnu Umar radhiallahu „anhu , beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang orang-orang berbuat tamak,
dan melarang duduk diatas meja yang terhidang khamar, dan melarang
seseorang duduk bertelungkup diatas perutnya “11
Faedah : Cara duduk ketika makan : Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam
makan dengan posisi muq’in dan disebutkan dari beliau, bahwa beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam duduk ketika makan dengan duduk
tawarruk, yaitu duduk diatas kedua lutut dan meletakkan telapak kaki
kiri beliau atas punggung kaki kanan beliau, sebagai bentuk sikap
tawadhu‟ – rendah diri – kepada Rabb-nya „azza wajalla. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim 12.
Adapun posisi duduk ketika makan yang pertama adalah sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, belaiu berkata : “ Saya telah
melihat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam duduk dengan posisi muq’in13,
sedang memakan kurma “14
Adapun posisi duduk yang kedua : Diriwayatkan dari Abdullah bin Busr
radhiallahu „anhu, beliau berkata : “ Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
diberi hadiah seekor kambing, maka Rasulullah Shallallahu „alaihi wa
sallam bertopang dengan kedua lututnya menyantap kambing tersebut.
Maka seorang Arab Badui berkata kepada beliau : Posisi duduk apakah ini
?. Beliau bersabda : Sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai seorang
15 HR. Ibnu Majah ( 3263 ) dan lafazh hadits tersebut lafazh riwayat Ibnu Majah. Ibnu Hajar didalam Al-
Fath ( 9 / 452 ) menghasankan sanadnya. Al-Albani berkata : Shahih ( 5464 ). Riwayat diatas juga
diriwayatkan oleh Abu Daud ( 3773 ) tanpa menyebutkan kedua lutut.
16 HR. Al-Bukhari ( 5464 ), Muslim ( 557 ), Ahmad ( 12234 ), At-Tirmidzi ( 353 ), An-Nasa`I ( 853 ) dan
Ad-Darimi ( 1281 )
17 HR. Al-Bukhari ( 673 ), Muslim ( 559 ), ahmad ( 5772 ), At-Tirmidzi ( 354 ), Abu Daud (
“ Janganlah kalian tergesa-gesa menyantap makan malam kalian apabila
telah dihidangkan bagi kalian “18
Dan sebab dari hal tersebut, agar jangan sampai seseorang mengerjakan
shalat namun hatinya teringat akan makanannya yang mana akan
menyebabkan kerisauan yang menghilangkan rasa khusyu‟nya.
Ibnu Hajar mengatakan : Sa‟id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah
meriwayatkan dengan sanad yang hasan dari hadist Abu Hurairah dan
Ibnu Abbas : “ Bahwa mereka berdua tengah menyantap makanan
dipemanggangan. Lalu muadzdzin hendak meng-iqamahi shalat, maka
Ibnu Abbas berkata kepadanya : Janganlah engkau tergesa-gesa agar
kami tidak berdiri mengerjakan shalat sementara pada hati kami ada
ganjalan “Dan pada riwayat Ibnu Abi Syaibah : “ Agar tidak memalingkan
kami disaat mengerjakan shalat “19
Dan perintah semacam ini tidaklah khusus sebatas pada makan malam
saja, melainkan pada setiap makanan yang mana hati tertarik untuk
menyantapnya. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah larangan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam mengerjakan shalat disaat makan telah
dihidangkan, dan disaat menahan air kencing dan buang air besar. Dan
sebabnya sangatlah jelas.
Dari Aisyah – ummul mukminin - radiallahu „anha, beliau berkata : Saya
telah mendengar dari Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam , beliau
bersabda :
“ Tidak sempurna shalat disaat makanan telah dihidangkan dan tidak
sempurna jikalah seseorang dalam keadaan menahan kencing dan hajat
besar “20
Faedah : Sebagian ulama mengatakan : Bagi siapa yang makanannya telah
dihidangkan kemudian shalat di-iqamahi, maka sepatutnya dia memakan
beberapa suap untuk mengatasi rasa laparnya. An-Nawawi membantah
hal tersebut , dan beliau mengatakan : “ Sabda Nabi Shallallahu „alaihi wa
18 Al-Musnad ( 6323 )
19 Fathul Bari ( 2 / 189 )
20 HR. Muslim ( 560 ), Ahmad ( 23646 ) dan Abu Daud ( 89 )
sallam ; Da janganlah seseorang tergesa-gesa hingga menyelesaikan
makannya, adalah dalil yang menunjukkan bahwa dia makan
menyelesaikan kebutuhannya dengan menyempurnakan makannya. Dan
inilah pendapat yang shahih. Adapun penafsiran sebagian dari ulama
Asy-Syafi‟iyah bahwa dia cukup makan sesuap untuk mengatasi rasa
laparnya yang amat sangat, bukanlah pendapat yang shahih. Dan hadits
ini sangat jelas menolaknya.”21
Masalah : Apabila makanan telah dihidangkan sementara shalat telah di-
iqamahi, apakah wajib untuk makan terlebih dahulu berdasarkan zhahir
hadits ataukah perintah pada hadits sebatas menunjukkan suatu yang
Sunnah ?
Jawab : Amalan Ibnu Umar radhiallahu „anhuma, pada riwayat Ahmad
dan selainnya menunjukkan pendahuluan makan secara mutlak. Dan
sebagian ulama mengkhususkan hal itu apabila hati tertarik dan
terbayang dengan makanan tersebut. Apabila hatinya terbayangkan akan
makanan tersebut maka yang lebih utama baginya adalah mengambil
makanan tersebut hingga dia mengerjakan shalat dalam keadaan
khusyu‟. Dan juga diriwayatkan dari hadits Abu Ad-Darda`a radhiallahu
„anhu beliau berkata : “ Diantara bentuk pemahaman seseorang adalah
dengan menyelesaikan hajatnya hingga dia menuju shalat dengan hati
yang tenang “22
Pendapat yang tepat berkaitan dengan masalah itu adalah yang
disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Haja - dimana setelah beliau mengutip
atsar Ibnu Abbas dan Atsar Al-Hasan bin Ali : “ Makan malam sebelum
mengerjakan shalat akan menghilangkan hati yang tercela“, beliau
mengatakan : Pada atsar ini semuanya mengisyaratkan bahwa sebab
pengutamaan makan dari pada shalat itu adalah karena bayangan maka
27 HR. Ahmad ( 7515 ),Abu Daud ( 3852 ), Al-Albani menshahihkannya. Dan juga diriwayatkan oleh At-
Tirmidzi ( 1860 ), Ibnu Majah ( 3297 ) dan Ad-Darimi ( 2063 )
28 HR. Ahmad ( 27487 ), Ibnu Majah ( 493 ) dan Al-Albani menshahihkannya ( 498 )
29 HR. Malik ( 53 )
30 HR. Al-Bukhari ( 286 ), Muslim ( 305 ), dan lafazh hadits ini adalah lafazh riwayat Muslim, Ahmad (
24193 ), An-Nasa`I ( 255 ), Abu Daud ( 224 ), Ibnu Majah ( 584 ) danAd-Darimi ( 757 )
31 HR. Malik ( 111 )
32 Al-Adab Asy-Syar‟iyah ( 3 / 214 )
junub maka beliau berwudhu‟ dan apabila hendak makan maka beliau
membasuh kedua tangannya “33
Bahwa disyariatkan untuk membasuh kedua tangan sebelum makan secaa
mutlak berdasarkan hadits ini34.
Akan tetapi hukum secara mutlak ini perlu diteliti lagi, dikarenakan
beberapa hal :
Pertama : Hadits tersebut menerangkan tentang amalan Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam disaat beliau junub ketika tidur, makan dan minum.
Kedua : Sebagian riwayat-riwayat hadits tersebut datang dengan lafazh
wudhu‟ dan sebagian lainnya dengan penyebutan membasuh kedua
tangan yang menerangkan boleh kedua amalan itu. As-Sindi didalam
Hasyiyah-nya mengatakan : “ Sabda beliau : (( membasuh kedua tangan ))
yaitu terkadang beliau mencukupkannya dengan hal itu untuk
menerangkan pembolehan, dan terkadang beliau berwudhu‟ sebagai
keadaan yang lebih sempurna “35
Ketiga : Bahwa para Imam Ahlul Hadist, seperti Malik, Ahmad, Ibnu
Taimiyah, An-Nasa`I rahimahumullah 36 dan juga selain mereka – dan
kami telah mengutip perkataan mereka – tidaklah berpendapat bahwa
hadits Aisyah diatas berlaku secara mutlak sebagaimana pendapat Al-
„Allamah Al-Albani – rahimahullah - yang menganggap berlaku secara
mutlak, sedangkan mereka meriwayatkan hadits ini, yang menguatkan
bahwa permasalahan ini menurut mereka hanya berlaku pada saat junub,
sehingga wudhu‟ dan membasuh tangan sebelum makan pada hadits ini
berlaku hanya pada saat junub. Wallahu a‟lam.
139 )
36 Yang mencantumkan hadits ini pada tiga judul bab, yaitu : Pertama : Wudhu‟ seorang yang junub
apabila hendak makan. Kedua : Seorang yang junub mencukupkan dengan membasuh kedua tangan
apabila hendak makan. Ketiga : Seorang yang junub mencukupkan mencuci kedua tangan apabila
hendak makan atau minum. Lhat : Kitab Ath-Thaharah pada Sunan An-Nasa‟i
5. Membaca Basmalah diawal memulai makan dan minum, dan
membaca Alhamdulillah setelah selesai.
Diantara Sunnah, seseorang yang ehndak makan dan minum sebelum
makan dan minum hendaknya membaca basmalah dan membaca
Alhamdulillah ta‟ala setelah selesai makan dan minum.
Ibnul Qayim rahimahullah mengatakan : “ Membaca basmalah diawal
makan dan minum dan membaca Alhamdulillah setelah selesai,
mempunyai pengaruh yang sangat mengagumkan baik pada manfaatnya,
kebaikan dan dalam mencegah kemudharatan. Imam Ahmad mengatakan
: Apabila dalam makanan telah terkumpul empat hal, maka telah
sempurna : Apabila menyebut nama Allah diawal makan, Alhamdulillah
setelah makan, makan berjama‟ah dan dari makanan yang halal37.
Faedah membaca Basmalah : sebelum makan yaitu bahwa syaithan
diharamkan bergabung dalam makanan dan dalam meraih makanannya.
Dari Hudzaifah radhiallhu „anhu, beliau berkata : “ apabila kami hadir
bersama dengan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tidaklah kami
meletakkan tangan kami hingga Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
memulai, maka barulah kami meletakkan tangan kami. Dan suatu saat
kami menghadiri makan bersama dengan beliau , lalu seorang anak
wanita, sepertinya dia dipanggil dan kemudian datang dan meletakkan
tangannya, lalu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam meraih
tangannya. Kemudian datang seorang arab badui, sepertinya dia
dipanggil namun tangannya diraih oleh beliau. Kemudian Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Sesungguhnya syaithan
memasuki makanan yang tidak disebut nama allah. Dan syaithan datang
dengan anak wanita ini untuk bergabung , maka saya menari tangannya.
Dan datang dengan arab badui ini juga untuk bergabung dengannya,
maka saya juga menarik tangannya. Dan demi dzat yang jiwaku berada
Shahihah, dan beliau ebrkata : Sanad ini shahih sesuai dengan kriteria hadits Asy-Syaikhain ( 1 / 611 )
no. ( 344 ).
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : “ Apabila salah seorang diantara
kalian makan hendaknya dia menyebut : Bismillah ta‟ala. Dan apabila dia
lupa menyebut Bismillah ta‟ala diawal makan, maka hendaknya dia
mengucapkan : Bismillah Awwalahu wa Akhirahu “42
Adapun ucapan Alhamdulillah ta‟ala, setelah menyelesaikan makan
atau minum, maka pada ucapan ini mempunyai keutamaan yang sangat
agung, yang Allah anugrahkan kepada segenap hamba-Nya. Anas bin
Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
bersabda :
“ Sesungguhnya Allah meridhai seorang hamba yang ketka makan suatu
makanan lalu dia mengucapkan Alhamdulillah. Dan apabila dia minum
suatu minuman maka diapun mengucapkan : Alhamdulillah. “ 43
Ada banyak lafazh Alhamdulillah setelah selesai dari makan dan minum,
diantaranya :
a. “ Alhamdulillah katsiran mubarakan fihi ghairi makfiyyiin wa laa
muwadda‟in wa laa mustaghnan „anhu Rabbana “
b. “ Alhamdulillah Alladzi kafaanaa wa arwaanaa ghaira makfiyyin wa
laa makfuurin “
Abu Umamah radhiallahu „anhu meriwayakan , beliau berkata : bhwa
Apabila Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah selesai dari
menyantap makanannya, beliau sekali waktu mengucapkan :
“ Alhamdulillah katsiran mubarakan fihi ghairi makfiyyiin wa laa
muwadda‟in wa laa mustaghnan „anhu Rabbana “ 44
c. “ Alhamdulillah alladzi ath‟amaniy hadza wa razaqniihi min ghairi
haulin minni walaa quwwatin.
42 HR. Abu Daud ( 3767 ), dan lafazh diatas adalah lafazh Abu Daud, Al-Albani menshahihkannya.
Juga diriwayatkan oleh Ahmad ( 25558 ), At-Tirmidzi ( 1858 ), Ibnu Majah ( 3264 ) dan Ad-Darimi ( 2020
).
43 HR. Muslim ( 2734 ), Ahmad ( 11562 ) dan At-Tirmidzi ( 1816 )
44 HR. Al-Bukhari ( 5459 ) dan lafazh diatas adalah lafazh Al-Bukhari, Ahmad ( 21664 ), At-Tirmidzi (
3456 ), Abu Daud ( 3849 ), Ibnu Majah ( 3284 ), Ad-Darimi ( 2023 ) dan Al-Baghawi didalam Syarh As-
Sunnah ( 2828 )
Dari Mu‟adz bin Anas dari bapak beliau, beliau berkata : Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang makan suatu makanan, kemudian dia mengucakan :
Alhamdulillah alladzi ath‟amaniy hadza wa razaqniihi min ghairi haulin
minni walaa quwwatin , segala dosanya yang telah lampau akan
diampuni “45
d. “ Alhamdulilah alladzi ath‟ama wa saqaa wa sawwaghahu wa ja‟ala
lahu makhrajan “
Abu Ayyub al-Anshari meriwayatkan, beliau berkata : “ Apabila
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam makan atau minum, beliau
mengucapkan : Alhamdulillah alladzi ath‟ama wa saqaa wa sawwaghahu
wa ja‟ala lahu makhrajan “46
e. “ Allahumma ath‟amtu wa asqaitu wa aqnaitu wa hadaitu wa ahbabtu,
falillailhamdu „ala maa a‟thaitu “
Dari Abdurrahman bin Jubair, bahwa seseorang yang telah melayani
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam selama delapan tahun
menceritakan kepadanya, bahwa dia telah mendengar Rasulullah
Shallallahu „alaihi wa sallam apabila beliau disodorkan makanan, beliau
mengucapkan :
“ Bismillah “ , dan apabila beliau selesai beliau mengucapkan :
“ Allahummah ath‟amtu wa asqaituwa aqnaitu wa hadaitu wa ahyaitu
falillahilhamdu „ala maa a‟thaitu “47
Faedah : Disenangi untuk mempergunakan lafazh-lafazh Alhamdulillah
yang ada didalam As-Sunnah setelah selesai makan. Dengan sesekali
mengucapkan lafazh yang ini dan sesekali dengan lafazh lainnya,
sehingga denga demikian dia telah menjaga As-Sunnah dari segala
45 HR. At-Tirmidzi ( 3458 ), dan beliau berkata : Hadits ini hasan gharib “. Dan Ibnu Majah ( 3285 ) dan
Al-Albani menghasankannya ( 3348 )
46 HR. Abu Daud ( 3851 ), al-Albani mengatakan : Shahih.
47 Al-Albani mengatakan didalam As-Silsilah Ash-Shahihah ( 1 / 111 ) : HR. Ahmad ( 4 / 62 , 5 / 375 )
dan Abu Asy-Syaikh didalam Akhlaq An-Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam , kemudian beliau
menyebutkan sanadnya dan mengatakan : Sanad ini shahih kesemua perawinya tsiqat dan merupakan
para perawi yang dipergunakan oleh Muslim .
sisiknya. Dan dia akan mendapatkan berkah dari doa-doa ini. Bersamaan
dengan itu seseorang akan merasakan didalam hatinya penghadiran
makna-makna dari doa-doa ini ketika dia mengucapkan lafazh ini
tsesekali waktu dan lafazh lainnya diwaktu yang lain. Dikarenakanhati
seseorang apabila telah terbiasa dengan perkara tertentu – seperti
berulang-ulang menyebutkan dzikir tertentu – maka dengan banyaknya
pengulangan , biasanya penghadiran makna-makna dari doa tersebut
akan semakin berkurang karena seringnya diulangi.
Faedah lainnya : Ibnu Abbas – radhiallahu‟anhuma - meriwayatkan ,
bahwa Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Barang siapa yang Allah telah memberikan makanan baginya,
hendaknya dia mengucapkan : Allahumma barik lana war-zuqnaa khairan
minhu. Dan barang siapa yang Allah telah memberinya minum,
hendaknya dia mengucapkan : Allahumma baarik lanaa fiihi wa zidnaa
fiihi. Karena sesungguhnya saya tidak mengetahui ada makanan dan
minuman yang akan memuaskan selain susu “48
48 HR. At-Tirmidzi ( 3455 ), dan beliau berkata : Hadits ini Hasan Shahih, dan juga diriwayakan oleh
Ibnu Majah ( 3322 ) dan Al-Albani menghasankannya ( 3385 ).
49 HR. Al-Bukhari ( 5376 ) danlafazh diatas adalah lafazh riwayat Al-Bukhari, Muslim ( 2022 ), Ahmad (
15895 ), Abu Daud ( 3777 ), Ibnu Maja ( 3267 ), Malik ( 1738 ) dan Ad-Darimi ( 2045 ).
“ Janganlah kalian makan dengan mempergunakan tangan kirimu
karena sesungguhnya syaithan makan dengan mempergunakan
tangan kirinya “50
Dan pada hadits Umar radhiallahu „anhu, beliau berkata : Bahwa
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian makan, hendaknya dia makan
dengan mempergunakan tangan kanannya dan apabila minum
hendaknya dengan mempergunakan tangan kanannya. Karena
sesungguhnya syaithan makan dengan tangan kirinya dan minum
dengan tangan kirinya “51
Ibnul Jauzi mengatakan : “ Ketika tangan kiri dijadikan untuk ber-
istinja‟ dan menyentuh hal-hal yang najis, sementara tangan kanan
untuk mengambil makanan, maka tidaklah shahih salah satu dari
keduanya dipergunakan pada pekerjaan tangan yang lainnya,
dikarenakan ini merupakan perendahan suatu yang memiliki
kedudukan serta meninggikan suatu yang direndahkan
kedudukannya. Barang siapa yang menyalahi tuntunan hikmah syaa‟
berarti telah menyepakati syaithan “52
Sedangkan hadits-hadits tersebut dalam permasalahan ini adalah
hadits-hadits yangmasyhur yang tidak lagi tersembunyi oleh khalayak
awam, hanya saja sebagian kaum muslimin – semoga Allah memberi
mereka hidayah – masih saja bersikeras dengan sifat yang tercela ini,
yaitu makan dan minum dengan mempergunakan tangan kiri. Dan
apabila dikatakan kepada mereka tentang hal itu, mereka menjawab :
Hal ini telah menjadi kebiasaan kami dan sangat sulit untuk
merubahnya. Demi Allah sesungguhnya jawaban ini merupakan
kemilau rayuan syaithan bagi mereka, dan penghalang bagi mereka
untuk mengikuti syara‟. Dan secara umum, ini merupakan bukti akan
50 HR. Muslim ( 2020 ) danlafazhnya adalah lafazh riwayat Muslim , Ahmad ( 14177 ), Ibnu Majah (
3268 ) dan Malik ( 1711 ).
51 HR. Muslim ( 2020 ), Ahmad ( 4523 ), At-Tirmidzi ( 1800 ), Abu Daud ( 3776 ), Malik ( 1712 ) dan Ad-
Darimi ( 2020 )
52 Kasyful Musykil 2 / 594 ) ( 1227 )
kurangnya iman ddidalam hati mereka. Jika tidak maka apa makna
dari penyelisihan perintah Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
dan larangan beliau !
Dan lebih buruk dan lebih keji dari itu, adalah mereka yangmelakukan
hal itu dengan kesombongan dan keangkuhan.
Salamah bin al-Akwa‟ radhiallahu „anhumeriwayatkan : “ Bahwa
seseorang makan disisi Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
dengan mempergunakan tangan kirinya. Maka beliau bersabda : “
Makanlah dengan tangan kananmu “ Orang itu berkata : Saya tidak
sanggup. Beliau bersabda : Engkau tidak sanggup ? Tidak ada yang
menghalangimu kecuali rasa sombong. Maka diapun tidak sanggup
mengangkat tangannya kemulutnya “ Pada riwayat Ahmad : “ Maka
tangan kanannya tidak sanggup lagi dia angkat kemulutnya
selamanya “53
An-Nawawi mengatakan : “ Pada hadits ini menunjukkan bolehnya
seseorang mendoakan siapa saja yangmenyalahi hukum syara‟ tanpa
adanya udzur. Dan pada hadits ini juga menunjukkan perintah untuk
menjalankan Amar Makruf dan Nahi Munkar disetiap keadaan hingga
disaat makan sekalipun. Dan disenangi unum mengajarkan seseorang
yang makan dengan adaz-dab makan apabila dia menyalahinya54.
Peringatan : Apabila ada udzu mempergunakan tangan kanan untuk
makan, seperti karena sakit atau luka dan selainnya, maka tidaklah
mengapa makan denganmempergunakan tangan kiri. Dan Allah tidak
membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya.
57 At-Tamhid ( 1 / 277 )
58 HR. Abu Daud ( 3772 ) lafaadz hadits diatas adalah lafazh pada riwayat Abu Daud, Ahmad ( 2435 ),
At-Tirmidzi ( 1805 ), dan beliau berkata : Hadits ini hadits hasan shahih , Ibnu Majah ( 3277 ) dan Ad-
Darimi ( 2046 )
59 Lihat : „Aun Al-Ma‟ud jilid 5( 10 / 177 )
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam ketika makan beliau
mempergunakan tiga jari dan menjilati jarinya sebelum mengelapnya “ 60
Ibnul Qayyim mengatakan : “ Dikarenakan makan dengan satu atau dau
jari tidaklah menjadikan seorang yang makan menikmatinya dan tidak
juga memuaskannya dan tidak mengenyangkannya kecuali setelah lama
berselang dan juga tidak mengenakkan organ mulut dan pencernaan
dengan yang masuk kedalamnya dari setiap makanan … Sedangkan
makan dengan lima jari dan telapak tangan akan menyebabkan makan
memenuhi organ mulut dan juga pencernaan. Dan terkadang akan
menyumbat saluran makan dan memaksakan organ-organ makan untuk
mendorongnya dan juga pencernaan akan terbebani. Dan dia tidak akan
mendapatkan kelezatan dan juga kepuasan. Dengan begitu maka cara
makan yang paling bermanfaat adalah cara makan Rasulullah Shallallahu
„alaihi wa sallam dan cara makan yang meneladani beliau Shallallahu
„alaihi wa sallam yaitu dengan mempergunakan tiga jari “61
Dari Ibnu Abbas radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Bahwa Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ Apabila salah seorang diantara kalian makan, maka janganlah dia
membasuh tangannya hingga dia menjilatnya atau dijilatkan kepada
orang lain “. Dan pada riwayat Ahmad dan Abu Daud :
“ Janganlah dia mengelap tangannya dengan kain lap, hingga dia
menjilatnya atau dijilatkan kepada orang lain “ 62
Dan sebab hal itu diperintahkan dfiterangkan pada hadits Jabir bin
Abdullah radhiallahu „anhuma, beliau berkata : Bahwa Nabi Shallallahu
„alaihi wa sallam memerintahkan untuk menjilat jari dan piring makanan,
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Sesungguhnya kalian tidak
mengetahui dimanakah turunnya berkah “63
60 HR. Muslim ( 20232 ), Ahmad ( 26626 ), Abu Daud ( 3848 ) dan Ad-Darimi ( 2033 )
61 Zaad Al-Ma‟ad ( 4 / 222 ), dengan sedikit perubahan.
62 HR. Al-Bukhari ( 5456 ), Muslim ( 2031 ), Ahmad ( 3224 ), Abu Daud ( 3847 ), Ibnu Majah ( 3269 _
3270 ).
Dan pada sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam :
“ Kalian tidak mengetahui dimanakah turunnya “ , maknanya – wallahu
a‟lam – bahwa makanan yang berada dihadapan seseorang mengandung
berkah, dan dia tidaklah mengetahui apakah berkar itu yang dimakannya
ataukah yang tersisa dijari-jarinya atau yang tersisa dibagian bawah piring
ataukah pada butiran makanan yang terjatuh. Maka sepatutnyalah
seseorang menjaga hal ini semuanya agar dia mendapatkan berkah. Dan
asal suatu berkah adalah tambahan dan kebaikan yang selalu ada serta
senantiasa dirasakannya. Dan yang dimaksud disini –wallahu a‟lam –
adalah yang dapat mengenyangkan dan akhirnya memberi keselamatan
dari segala gangguan dan memperkuat ketaatan kepada Allah dan lain
sebagainya, sebagaimana yang dikatakan oleh An-Nawawi64.
66 HR. Al-Bukhari ( 2455 ), Muslim ( 2045 ), Ahmad ( 5017 ), At-Tirmidzi ( 1814 ), Abu Daud ( 3834 ),
Ibnu Majah ( 3331 ). Sabda beliau : “ Kecuali seseorang diantara kalian meminta izin kepada
saudaranya “ Syu‟bah berkata : Saya tidak mengetahui kecuali kalimat ini berasal dari perkataan Ibnu
Umar, yaitu perkataan “ meminta izin “. Lihat riwayat Muslim dan Ahmad tentang hadits ini.
seseorang mengambil bersamaan maka akan menjadikan jatah mereka
berkurang dan akan mempengaruhi mereka, olehnya itu dibutuhkan izin
dari mereka. “67
Larangan pada hadits ini dapat menunjukkan pengharaman dan juga
dapat berarti suatu yang makruh, dan masing-masingnya telah
dinyatakan oleh ulama. An-Nawawi berpendapat bahwa perlu ada detail
pada masalah ini, beliau mengatakan : “ Yang benar perlu diperinci,
apabila makan tersebut mereka diantara mereka bersamaan, maka
mengambil lebih dari satu bersamaan hukumnya haram, kecuali jikalau
mereka meridhainya, dan ini dengan dapat dengan pernyataan mereka
yang jelas, atau yang sederajat dengan pernyataan tersebut baik berupa
indikasi keadaan atau isyarat dari mereka semuanya, dimana dapat
diketahui dengan pasti atau dengan persangkaan yang kuat bahwa meeka
meridhainya. Kapan dia ragu atas keridhaan mereka, maka hukumnya
haram. Dan apabila makanan tersebut untuk selain mereka atau untuk
salah seorang diantara mereka mesti disyaratkan keridhaannya sendiri,
apabila dia mengambilnya tanpa keridhaannya maka hukumnya haram.
Dan disenangi untuk meminta izin kepada orang-orang yang
menyertainya makan namun tidaklah wajib. Dan apabila makanan
tersebut untuk dirinya sendiri dan dia menjamu mereka sebagai tamu
maka tidaklah diharamkan mengambil lebih dari satu bersamaan.
Kemudian apabila makanan tersebut jumlahnya sedikit maka disukai
untuk tidak mengambil lebih dari satu bersamaan, karena hanya
mencukupi mereka. Dan apabila jumlahnya banyak, dimana melebihi
jumlah mereka maka tidak mengapa mengambil lebih dari satu sekaligus.
Akan tetapi adab yang berlaku secara mutlak dan kesopanan dalam
makan dan meninggalkan sikap rakus kecuali jikalau dalam keadaan
tergesa-gesa dan semakin terburu-buru lagi jika ada pekerjaan yang lain68.
2580 )
72 Zaad Al-Ma‟ad ( 4 / 233 ).
73 Syarh Muslim jilid 7 ( 13 / 172 )
maka beliau akan memakannya dan apabila beliau tidak menyukainya
maka beliau meninggalkannya “74
Mencela makanan seperti dengan mengatakan : Terlalu asin, atau kurang
asin, kecut, tipis, keras, kurang matang, dan lain sebagainya, sebagaimana
diaktakan oleh An-Nawawi75
Dansebab larangan itu, dikarenakan makanan adalah ciptaan Allah yang
tidak boleh dicela. Dan ada alasan lainnya yaitu bahwa mencela makanan
akan menyakiti perasaan pembuat makanan hingga dia bersedih dan
tersinggung, dikarenakan dialah yang mempersiapkan dan
menyajikannya. Maka Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menutup pintu
ini agar jangan rasa sedih mendapati pintu untuk masuk kedalam hati
seorang muslim Dan Syariat Islam selalu datang dengan hal serupa ini.
Masalah : Apakah hadits ini bertentangan dengan keengganan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam makan dhabb – kadal gurun -76. Dan apakah
sabda beliau Shallallahu „alaihi wa sallam tentang dhabb yakni : “ Saya
merasa kasihan kepadanya „ dan dalam riwayat lainnya : “ Daging serupa
ini saya tidak makan sama sekali “, tergolong mencela makanan ?
Jawab : Bahwa tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Dan
perkataan Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam tentang dhabb tidak
tergolong mencela makanan. Melainkan pemberitahuan sebab mengapa
beliau tidak memakannya. Yaitu bahwa beliau tidak menyukai makan
jenis ini dan bukan kebiasaan beliau memakannya. An-Nawawi
mengatakan : “ Adapun hadits bahwa Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
meninggalkan memakan dhabb bukan termasuk dalam kategori mencela
makanan, melainkan merupakan pemberitahuan bahwa ini adalah makan
yang spesifik yang beliau tidak menyukainya 77
74 HR. Al-Bukhari ( 5409 ) , Muslim ( 2064 ), ahmad ( 9882 ), At-Tirmidzi ( 2031 ), Abu Daud ( 3763 ),
Ibnu Majah ( 3259 ) dan Al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah ( 2843 ).
75 Syarh Muslim jilid 7 ( 13 / 22 )
76 HR. Al-Bukhari ( 5537 ), Muslim ( 1946 ), Ahmad ( 6678 ), An-Nasa`I ( 4316 ), Abu Daud ( 3794 ),
78 HR. Muslim ( 2024 ), Ahmad ( 11770 ), At-Tirmidzi ( 1879 ), Abu Daud ( 3717 ), Ibnu Majah ( 3424)
dan Ad-Darimi ( 2127 ).
79 HR. Muslim ( 2025 ),ahmad ( 10885 ) dan Al-Baghawi didalam Syarh As-Sunnah ( 3045 )
80 HR. Muslim ( 2026 ), Ahmad ( 8135 ), tanpa sabda beliau : “ hendaknya dia memuntahkannya “.
81 HR. Al-bukhari ( 1637 ), Muslim ( 2027 ), Ahmad ( 1841 ), At-Tirmidzi ( 1882 ), An-Nasa`I ( 2964 )
82
HR. Al-Bukhari ( 5615 ), Ahmad ( 797 (, An-Nasa`i ( 130 ) dan Abu Daud ( 3718 )
83
HR. Ahmad ( 4587 ), Ibnu Majah ( 3301 ), Al-Albani menshahihkannya ( 3364 ), Ad-Darimi ( 2125
)
84
Al-Muwaththa’ ( 1720, 1721, 1722 )
sambil berdiri, dan Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallammelukukan
seperti apa yang aku lakukan. Dan hadits Ali ini telah diriwayatkan padanya
ada atsar bahwasanya Rasulullah melakukan hal itu saat minum air zam-
zam, sebagaimana datang pada hadits Ibnu „Abbas, hal ini adalah ketika
berhaji, dan orang-orang disana melaksanakan thawaf dan minum dari air
zam-zam, mereka mengambil air serta meminta minum darinya, dan tidak
ada tempat untuk duduk , bersamaan dengan ini beliau lakukan selang
waktu sedikit sebelum beliau meninggal, jadilah hal ini dan yang semisalnya
dikecualikan dari hal tersebut sebagai larangan. Dan hal ini datang dari
perkara syariat : Bahwa larangan dari sesuatu diperbolehkan ketika ada hajat,
bahkan dia lebih ditekankan hukum pembolehannya dari sekedar dibolehkan
ketika ada hajat, bahkan pula perkara haram yang diharamkan dia dimakan
dan diminum, seperti bangkai dan darah yang diperbolehkan dalam keadaan
darurat.85
15. Tidak disenangi bernafas dalam bejana dan meniup padanya.
Termasuk adab-adab ketika minum adalah seorang yang minum
sebaiknya tidak bernafas dalam bejana dan tidak pula meniupnya,
padanya ada hadits-hadits yang shahih, diantaranya sabda Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam dari hadits Abu Qatadah radhiallahu „anhu,
beliau Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda : Apabila salah seorag
diantara kalian minum maka janganlah dia bernafas dalam bejana …Al-
Hadist.86Dan diantaranya pula hadits Ibnu „Abbas : Bahwasanya Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam melarang seseorang bernafas dalam bejana
dan meniupnya.87Larangan bernafas dalam bejana ini adalah salah satu
adab yang mana ditakuti akan mengotorinya dan menjadikan bau busuk
serta terjatuhnya sesuatu dari mulut dan hidung padabejana dan
sejenisnya, Hal ini adalah pendapat Imam An-Nawawi.88
85 Al-Fatawa ( 32/209-210)
86 HR. Al-Bukhari ( 5630 ), Muslim ( 267 ), Ahmad ( 22059 ), At-Tirmidzi ( 1889 ), An-Nasa`i (47), dan
Abu Daud ( 31 ).
87 HR. At-Tirmidzi ( 1888 ), dan beliau berkata : Hadits hasan shahih,Dan HR. Abu Daud ( 3728 ), dan
syaikh Al-Albani menshahihkannya, HR. Ibnu Majah ( 3429 ) tanpa penyebutan at-tanaffus.
88 Syarh Shahih Muslim jilid kedua ( 3/130)
Adapun meniup minuman, maka padanya akan diperoleh dari mulut
yang meniup bau yang tidak sedap yang memuakkan karenanya. Terlebih
lagi jika yang minum bergantian dan berbilang, maka nafas-nafas yang
meminum akan mencampur-adukkannya, oleh karena itu Rasulullah
menggabungkan antara larangan dari bernafas dalam bejana dan
meniupnya, demikianlah pendapat Ibnu Al-Qayyim.89
16. Disenangi mengambil nafas sebanyak tiga kali ketika minum, dan
bolehnya minum dengan sekali tegukan
Disebutkan didalam hadits Anas bin Malik radhiallahu „anhu, beliau
berkata : Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam biasanya mengambil
nafas sebanyak tiga kali sewaktu minum, dan beliau bersabda :
“ Sesungguhnya hal ini akan lebih menghilangkan rasa dahaga, lebih
menjaga dan lebih bermanfaat “ Anas berkata : Maka saya mengambil
nafas tiga kali ketika minum “90
Yang dimaksud dengan mengambil nafas ketika minum sebanyak tiga
kali adalah dengan menjauhkan bejana air dari mulut sipeminum, lalu dia
mengambil nafas tiga kali, karena mengambil nafas dibejana suatu yang
dilarang.
Dan diperbolehkan meminum dengan sekali tegukan dan bukan suatu
yang makruh. Dan ini ditunjukkan pada hadits Abu Sa‟id Al-Khudri
radhiallahu „anhu, bahwa beliau mengunjungi Marwan bin Al-Hakam,
dan dia berkata kepadanya : “ Apakah anda telah mendengar jikalau
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam telah melarang menghembuskan
nafas didalam bejana air ? Abu Sa‟id berkata : Benar. Maka seseorang
berkata : Wahai Rasulullah sesungguhnya dahafa saya tidak hilang hanya
dengan sekali tegukan. Lalu Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam
besabda : “ Jauhkanlah cerek air dari mulutmu kemudian ambillah nafas
91 HR. At-Tirmidzi ( 1887 ), danbeliau berkata : hadits ini hadits hasan shahih , ahmad ( 10819 ), Malik (
1718 ) dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat Malik, dan Ad-Darimi ( 2121 ).
92 At-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr ( 1 / 392 )
93 Al-Fatawa ( 32 / 209 )
94 HR. Al-Bukhari ( 5627 ), Ahmad ( 7113 ) tanpa penggalan kedua hadits diatas. Dan Ahmad
meriwayatkan penggalan kedua hadits diatas pada riwayat lainnya. Juga diriwayatkan oleh Muslim (
1609 ), At-Tirmidzi ( 1353 ), Abu Daud ( 3634 ), Ibnu Majah ( 2335 ), Malik ( 1462 ) dan kesemuanya
menyebutkan penggalan kedua dari hadits diatas selain pengglan yang pertama.
95 HR. Al-Bukhari ( 5629 ), ahmad ( 1990 ), At-Tirmidzi ( 1825 ), An-Nasa`I ( 4448 ), abu Daud ( 3719 ),
98Fathul Bari ( 10 / 94 )
99HR. Muslim ( 681 ), Ahmad ( 22040 ), At-Tirmidzi ( 1894 ), Ibnu Majah ( 3434 ), Ad-Darimi ( 2135 ),
sebagianya meriwayatkan secara panjang dan sebagian hanya meringkas pada lafazh syahid saja. Dan
sebagian lagi meriwayatkannya dengan kedua lafazh tersebut
Penunjukan pada hadits ini sangatlah jelas, bahwa yang bertanggung
jawab menuangkan minum kepada suatu kaum , maka dia mendahulukan
mereka dari dirinya sendiri, dan dia adalah orang yang paling akhir
minum, untuk meneladani Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam.
100 Lihat : Ihya‟ Ulumuddin karya Al-Ghazali ( 2 / 11 ), Daar Al-Hadist cet. 1 1412 H
101 Al-Adab Asy-Syar‟iyah ( 3 / 163 )
“ Makanan untuk seorang cukup untuk dua orang, makanan dua orang
cukup untuk empat orang dan makanan empat orang cukup untuk
delapan orang “102
Ibnu Hajar mengatakan : “ Pad riwayat Ath-Thabrani dari hadits Ibnu
Umar, berisi tuntunan akan sebab dari hal itu, dimana pertamanya :
“ Makanlah kalian semua berjam‟ah dan janganlah kalian bercerai berai,
karena sesungguhnya makanan untuk seseorang akan mencukupi dua
orang “ al-hadits.
Dapat diambil faedah dari hadist ini bahwa kecukupan adalah hasil yang
muncul sebagai akibat makan berjama‟ah. Dan jumlah yang makan ketika
semakin banyak akan berkahnya semakin bertambah “103
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, beliau berkata : Para
sahabat Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan : Wahai
rAsululah, sesungguhnya kami makan dan tidak merasa kenyang. Beliau
Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab : Mungkin kalian makan sambil
tercerai berai. Mereka mengatakan : Benar. Beliau Shallallahu „alaihi wa
sallam bersabda :
“ Berkumpullah kalian pada makanan kalian dan sebutlah nama Allah
niscaya makan kalian akan diberkahi”104
21. Dibenci rakus dalam makan dan juga sedkit karena akan
melemahkan tubuh
Rakus dalam mengambil makanan akan menyebabkan tubuh menjadi
sakit, dan akan menyebabkannya tersebrang banyak penyakit, dan juga
akan menyebabkan tubuh terasa penat dan malas, sehingga terasa berat
untuk mengerjakan amal-amal ketaatan. Dan juga akan mewariskan hati
yang kera – semoga Allah melindungi kita dari hal itu -.
102 HR. Msulim ) 2059 ), Ahmad ( 13810 )At-Tirmidzi ( 1820 ), Ibnu Majah ( 3254 ) dan Ad-Darimi ( 2044
).
103 Fathul Bari ( 9 / 446 )
104 Hr. Abu Daud ( 3764 ) Al-Albani menshahihkannya, ( Ahmad ( 15648 ) dan Ibnu Majah ( 3286 )
Dan sebaliknya, sedikit makan juga akan melemahkan tubuh dan akan
melemahkannya dari ketaatan kepada Allah. Dan kami tidak menjumpai
ada obat yang majur sebagaimana obat Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
, seandainya kita meneladani beliau, tentula kita tidap perlu beroba
tkedokter pada sebagian besar keberadaan kita.
Dari Miqdam bin Ma‟diy karib, beliau merkata : Saya telah mendengar
Rasulullah Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda :
“ tidaklah seorang anak Adam memenuhi penampang kejelekan selain
perutnya. Cukuplah makanan bani Adam itu untuk menegakkan tulang
belakangnya, jikalau memang harus, maka sepertiga untuk makananya,
sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya “ 105
Dan para Ulama As-Salaf pada persoalan ini ada beberapa anggapan,
yang bagus untuk kita ketahui. Ibnu Muflih mengatkan : ibnu Abdil Barr
dan yang lainnya menyebutkan bahwa Umar bin Al-Khaththab suatu hari
khutbah, dan mengatakan: “ Hati-hatilah kalian dengan – pemenuhan –
perut kalian, karena akan menjadikan malas menuju shalat, dan menjadi
penyakit bagi tubuh. Dan wajib bagi kalian untuk berlaku pertengahan
dalam makanan kalian, karena sesungguhnya hal tersebut akan
menjauhkan kalian dari kufur nikmat dan akan enyehatkan bagi badan
dan akan menguatkan kalian untuk beribadah. Dan sesungguhnya
seseorang tidak akan celaka hingga syahwatnya mempengaruhi
agamanya “.
Ali radhiallahu „anhu mengatakan : “ lambung adalah telag abagi tubuh,
dan setiap usus bermuara kepadanya dan darinya. Apabila lambung itu
sehat, maka usus yang bermuara darinya akan sehat. Dan apabila
lambung sakit maka usus yang bermuara darinya akan sakit “.
Al-Fadhl bin „Iyadh mengatakan : “ Ada dua hal yang akan mengeraskan
hati : Banyak berbicara dan banyak makan “.
105HR. At-Tirmidzi ( 2380 ), dan beliau mengatakan : Hadits ini hasan shahih, Ahmad ( 16735 ), Ibnu
Majah ( 3349 ) dan Al-Albani menshahihkannya ( 2720 ).
Al-Khallal meriwayatkan didalam Jami‟ beliau dari Ahmad, bahwa beliau
berkata : “Ada yang bertanya kepada beliau : Mereka inilah orang-orang
yang makan sedikit dan sedikit menghidangkan makanan ? Beliau
mengatakan : Tidaklah mengherankan aku ! Saya telah mendengar
Abdurrahman bin Mahdi mengatakan : Suatu kaum melakukan hal
demikian, maka menjadikan mereka terputus dari ibadah yang wajib “ 106
106 Al-Adab Asy-Syar‟iyah ( 3 / 183, 184 dan 185 ) dengan beberapa pendahuluan dan pengakhiran.
107 HR. Abu Daud ( 3774 ) dan Al-Albani menshahihkannya, Ibnu Majah ( 3370 ) tanpa menyebutkan
penggalan yang pertama dari hadits diatas.
108 Dari jalan yang lainnya ( 14241 ), dan riwayat ini juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi ( 2801 ) dan Ad-
Darimi ( 2092 )
109 Lihat : „Aun Al-Ma‟bud jilid 5 ( 10 / 178 )