Anda di halaman 1dari 3

Rukun dan Tata Cara Shalat Jum’at yang Benar

Shalat jum’at tidak berbeda dengan rukun-rukun shalat maktubah yang lain. Para
ulama pun beragam dalam memformulasikan rukun-rukun shalat jum’at tersebut.
Rukun tersebut adalah sebagai berikut :

1) Niat

Para ulama bermufakat bahwa eksistensi niat berimplikasi terhadap sahnya suatu
shalat, karena niat sebagai kepalanya ibadah (ra’si al Ibadah). Perbedaan pendapat
para ulama terletak pada kedudukan niat. Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin
Hambal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedangkan Imam Syafi’i
mendudukkannya sebagai rukun perbuatan.

Akibat dari perselisihan ini, membawa dampak hukum seperti dalam hal
melafadzkan niat atau talafudin niat (membaca ushalli dalam shalat). Bagi Abu
Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan bid’ah ketika membaca Ushalli,
karena Nabi tidak pernah membacanya. Lain halnya dengan Imam Syaf’i yang
menyatakan sunnah ketika membaca niat.

2) Berdiri bagi yang kuasa ketika shalat

Maksudnya adalah shalat fardhu itu diharuskan berdiri, akan tetapi bila seseorang
dalam keadaan tertentu dikarenakan sakit ataupun cacat, maka dibolehkan dengan
duduk apabila tidak kuasa duduk, maka boleh shalat boleh dengan berbaring.

Jika tidak kuasa berbaring maka menggunakan isyarat kedipan mata. Bila dengan
yang terakhir ini tidak mampu berarti shalat itu tidak dengan gerakan fisik
melainkan dengan hati.

Hal tersebut memang menggambarkan bahwa dalam kondisi apapun shalat wajib
dilaksanakan. Lain dengan shalat fardhu, shalat sunah boleh dikerjakan dengan
posisi duduk walaupun mushalli mampu untuk berdiri.

3) Takbiratul Ikhram

Bagi Imam Malik lafadz takbiratul ihram tidak lain adalah allahu akbar bagi imam
syafi’i boleh membaca allahu akbar ataupun allahu al-akbar sedangkan abu hanifah
menyatakan bahwa ketika takbir boleh membaca lafadz apasaja yang bermakna
pengagungan, seperti allahi al-a’zom.
Bagi ulama syafiiyah takbiratul ihram ini dibaca bersamaan dengan niat serta semua
huruf dalam takbiratul ihram harus biasa didengar oleh dirinya sendiri.

4) Membaca surat al Fatihah

Dalam hal membaca surat al Fatihah ini, permasalahan muncul terutama terhaap
permulaan surat ini, yakni bacaan basmallah. Perdebatan ini bermula dari sebuah
pertanyaan tentang bacaan basmallah, apakah dia termasuk dari suarat bacaan al
Fatihah atau tidak.

Abu Hanifah, Al Tsaury dan Ahmad mengungkapkan basmallah dibaca bersamaan


dengan al Fatihah pada setiap rakaat shalat secara pelan-pelan. Bagi Syafi’i
basmallah harus dibaca sesuai dengan konteksnya, dalam artian ketika seorang
imam melaksankan berjamaah shalat maghrib, Isya dan subuh, maka basmallah
dibaca keras. Namun sebaliknya imam harus membaca pelan-pelan ketika
melaksanakan shalat dhuhur dan ashar. Karena basmallah menurut Syafi’i
merupakan bagian dari surat al Fatihah.

5) Ruku dengan tuma’ninah

Di dalam ruku’ ini harus ada diam sejenak dalam ruku’ (tuma’ninah). Ruku’
disepakati kefardhuannya oleh para ulama. Mengingat ayat al Qur’an : Artinya : “Hai
orang-orang yang beriman, ruku’ dan sujudlah kamu….” (QS. Al Haj:77)

6) I’tidal dengan tuma’ninah

Adalah berdiri tegak yang memisahkan antara perbuatan ruku’ dan sujud. I’tidal
dalam ruku’ menrutu syafi’i adalah wajib. Akan tetapi menurut Abu hanifah menjadi
tidak wajib.

Untuk sahnya perbuatan I’tidal ini ada beberapa syarat yang harus Dipenuhi,
pertama adalah mushalli benar-benar melakukannya tanpa ada maksud lain, kecuali
adalah ibadah. Maksud lain tersebut menghindari sesuatu yang jatuh. Kedua dalam
I’tidal harus tenang selama kira-kira bacaan tasbih. Ketiga tidak terlalu lama berdiri
dalam I’tidal, karena I’tidal merupakan rukun yang pendek.

7) Sujud dengan tuma’ninah

Anggota-anggota sujud adalah muka, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua
telapak kaki, kesemuanya anggota badan harus menempel pada tangan.

Persoalan mendasar pada sujud adalah tentang batasan kalimat Yang harus dibaca
pada saat sujud maupun ruku’. Syafi’i, Hanifah dan Ahmad mensyatkan bahwa
bacaan sujud adalah subhana rabbiaya a’la sebanyak tiga kali. Kemudian Abu
Hanifah menambahkan bahwasanya didalam shalat tidak boleh berdoa selain lafadz-
lafadz al Qur’an, namun Imam Malik dan Syafi’I membolehkannya.

8) Duduk diantara dua sujud dengan tuma’ninah

Duduk diantara dua sujud ini menurut Ibnu Rusyd mayoritas pendapat menyatakan
sebagai sunnah, bukan kefardhuan. Namun mayoritas ulama menyatakan fardhu.

9) Duduk pada takhyat akhir

Sama halnya dengan tersebut di atas, Ibnu Rusyd menyatakan bahwa duduk yang
akhir ini adalah sebuah kefardhuan diutarakan oleh mayoritas jumhur dan tidak
fardhu diutarakan oleh minoritas.

10) Membaca takhiyat

Tashyahut akhir ini merupakan salah satu rukun qauliyah (bila melihat pada
pengklasifikasian yang dilakukan Syafi’i kefi’liyah dan qauliyah) yang dibaca ketika
duduk yang terakhir sebelum salam. Jika Malik dan Abu Hanifah menyatakan
tasyahut itu tidak wajib, maka Syafi’i dan Ahmad mengutarakan tasyahut itu
sekelompok rukun yang wajib.

11) Membaca shalawat

Hasbi mengungkapakan bahwa sebagian ulama menetapkan shalawat kepada Nabi


dalam tasyahut akhir (kedua) adalah sunnah dan bukan wajib. Bagi Syafi’iyah
shalawat diharuskan dibaca ketika tasyahut akhir.

12) Membaca salam terakhir

Adalah ucapan mushalli dengan menengok ke kanan. Salam ini merupakan salah
satu rukun yang mengakhiri perbuatan shalat. Menurut jumhur ulama salam adalah
salah satu rukun yang wajib. Abu Hanifah dan beberapa sahabatnya menyatakan
salam itu tidak wajib.

Anda mungkin juga menyukai