Anda di halaman 1dari 17

Al-Ikhtilafu wa Adabuhu

(Perbedaan Pendapat dan Adab-adabnya)

Makna Ikhtilaf

Secara etimologis, ikhtilaf berarti tidak sama, tidak


sepakat.[1] Sedangkan dalam istilah para ulama, ikhtilaf atau khilaf memiliki dua
pengertian.

Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang pertama adalah,

“Perlawanan, perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan


kebencian.”

Dalam makna seperti ini Ibnu Mas’ud radhiyallahu „anhu berkata,

“Khilaf itu buruk.”

Pengertian ikhtilaf atau khilaf yang kedua adalah,

.
“Perbedaan pendapat dan sudut pandang yang disebabkan oleh perbedaan tingkat
kecerdasan dan informasi.”[2]

Jenis-jenis Ikhtilaf

Ada dua jenis perbedaan pendapat ang boleh dan ang tidak boleh
). Ikhtilaf yang boleh adalah ikhtilaf dalam perkara furu‟ ). Yang
dimaksud dengan perkara furu‟ adalah (hal-hal yang zhanni—
mengandung dugaan, multi interpretatif—tersembunyi, dan diperselisihkan oleh para
ulama.[3]

Sedangkan ikhtilaf yang tidak boleh adalah ikhtilaf dalam perkara ushul
). Yang dimaksud dengan perkara ushul adalah (hal-
hal ang qath’i jelas dan disepakati oleh para ulama).

Yang menjadi acuan penentu ushul dan furu‟ adalah Ilmu Ushul Fiqih dan kaidah bahasa
Arab.
Sebab-sebab Ikhtilaf dalam Perkara Furu’

Terjadinya ikhtilaf dalam perkara furu‟ adalah sebuah keniscayaan karena faktor-faktor
berikut,

Pertama, perbedaan kemampuan akal para ulama dalam men impulkan a at atau
hadits ang multi interpretatif ).

Kedua, perbedaan informasi dan ilmu ang dimiliki para ulama ).


Maka sangat mungkin ada suatu hadits atau ilmu tertentu yang sampai kepada
beberapa ulama tertentu dan belum sampai kepada ulama yang lain. Sehingga Imam
Malik berkata kepada Abu Ja’far “Sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah
mendatangi berbagai kota, dan setiap kaum itu memiliki ilmu tertentu. Maka jika
seseorang ingin menggiring mereka kepada satu pendapat, niscaya upaya ituhanya akan
menimbulkan kekacauan.”

Ketiga, perbedaan lingkungan situasi dan kondisi ). Itulah sebabnya


Imam S afi’i memberikan fatwa lama qaul qadim) di Irak, kemudian memunculkan fatwa
baru (qaul jadid) ketika beliau berada di Mesir.

Keempat, perbedaan ketentraman hati dalam menilai suatu riwa at hadits


). Maka terkadang kita melihat perawi tertentu
dianggap tsiqah oleh Imam Fulan sementara tidak demikian menurut Imam yang lain,
karena informasi tertentu yang mungkin tidak diketahui oleh yang pertama.

Kelima, perbedaan dalam menempatkan dalil ang harus didahulukan dari ang lain
. ). Maka mungkin ada ulama yang mendahulukan perbuatan
sahabat atas khabar ahad, sementara yang lain tidak melihatnya demikian.[4]

Point-point di atas akan lebih jelas jika kita cermati contoh-contoh perbedaan pendapat
di kalangan para sahabat Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam berikut ini.

Ikhtilaf di Kalangan Sahabat

Berikut ini contoh perbedaan pendapat yang terjadi di antara mereka:

Pertama, ikhtilaf dalam masalah pelaksanaan perintah shalat Ashar di benteng Bani
Quraidhah sebagaimana tergambar dalam hadits dari Ibnu Umar berikut ini,
“Nabi shallallahu „alaihi w sallam berpesan kepada kami ketika kami pulang dari perang
Ahzab, „Janganlah sekali-kali kalian shalat Ashar kecuali ketika sudah sampai di
kampung Bani Quraidhah,‟ kemudian sebagian di antara mereka mengetahui bahwa
sudah masuk waktu Ashar saat di perjalanan, sebagian yang lain berkata, „Kami tidak
akan shalat Ashar sebelum sampai di kampung Bani Quraidhah‟ sementara sebagian
yang lain berkata, „Kami akan shalat di perjalanan dan tidak akan mengulangi‟.
Kemudian kami ceritakan peristiwa tersebut kepada nabi shallallahu „alaihi wa sallam,
dan nabi tidak mencela salah satu di antara kami.” (Sahih Bukhari juz 3 hlm. 499)

Kedua, ikhtilaf tentang musafir yang shalat dengan tayammum kemudian menemukan
air, sebagaimana disebutkan hadits berikut ini,

“Ada dua orang lelaki yang bersafar. Kemudian tibalah waktu shalat, sementara tidak ada
air di sekitar mereka. Kemudian keduanya bertayammum dengan permukaan tanah yang
suci, lalu keduanya shalat. Setelah itu keduanya menemukan air, sementara waktu shalat
masih ada. Lalu salah satu dari keduanya berwudhu dan mengulangi shalatnya,
sedangkan satunya tidak mengulangi shalatnya. Keduanya lalu menemui Nabi
shallallahu „alaihi wa sallam dan menceritakan yang mereka alami. Maka beliau
shallallahu „alaihi wa sallam mengatakan kepada orang yang tidak mengulangi
shalatnya, “Apa yang kamu lakukan telah sesuai dengan sunnah dan shalatmu sah”.
Kemudian Beliau mengatakan kepada yang mengulangi shalatnya, “Untukmu dua
pahala” (Sunan Abu Dawud, no.338, Sunan Ad-Daromi, no.771, Sunan Baihaqi, no.1094,
Mustadrok Hakim, no.632, Sunan Ad-Daruquthni, no.727 dan Mushonnaf Ibnu Abi
Syaibah, no.10800)

Ketiga, ikhtilaf apakah melakukan raml (lari-lari kecil) ketika thawaf itu qurbah (ibadah)
ataukah ibahah (kebolehan). Jumhur (mayoritas ulama) berpendapat raml ketika thawaf
adalah sunnah. Tapi Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu berpendapat bahwa raml dilakukan
untuk menanggapi perkataan orang musyrikin yang mengatakan bahwa kaum muslimin
tubuhnya lemah karena terhinggapi penyakit panas Yatsrib (Madinah).

.
.
Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: “Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam dan para
sahabatnya mendatangi kota Makah (untuk menunaikan Umrah) dan penyakit demam
Madinah telah melemahkan mereka. Musyrikin Makah berkata: „ Besok akan datang
kepada kalian satu kaum yang telah dilemahkan oleh demam dan mereka banyak
menemukan kesulitan (di Madinah).‟ Mereka (musyrikin Makah) duduk di sekitar Hijir
Isma‟il, maka Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat
untuk raml (berlari-lari kecil) pada tiga putaran pertama dan berjalan biasa pada empat
putaran terakhir agar musyrikin Makah dapat melihat ketangguhan mereka. Musyrikin
Makah berkata: „Mereka itu orang-orang yang kalian sangka telah dilemahkan oleh
demam Madinah, ternyata mereka lebih tangguh. „ Ibnu Abbas ra berkata: „ Tidak ada
yang menghalangi Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam untuk memerintah mereka
agar berlari-lari kecil di seluruh tiga putaran melainkan rasa kasihan atas
mereka.‟” (Muslim, No: 3048)

Keempat, Abu Hurairah radhiyallahu „anhu pernah berpendapat bahwa orang yang
junub pada pagi hari di bulan Ramadhan tidak wajib berpuasa. Pendapat itu kemudian
diralatnya setelah Aisyah radhiyallahu „anha memberitahukan bahwa
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam menyatakan hal yang sebaliknya.

Kelima, Umar bin Khattab radhiyallahu „anhu berpendapat bahwa tayamum itu tidak
mencukupi bagi orang junub yang tidak menemukan air. Disampaikan oleh
Ammar radhiyallahu „anhu kepada beliau hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam yang
menyatakan bahwa tayamum sudah mencukupi. Tapi Umar tidak menerima hadits itu
sebagai hujjah sampai hadits itu menjadi masyhur dari beberapa jalur sanad, lalu orang
pun banyak menggunakannya.

Keenam, Ibnu Umar radhiyallahu „anhu pernah berkata bahwa Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam pernah mengerjakan ibadah umrah pada bulan Rajab.
Aisyah radhiyallahu „anha mendengar itu, lalu mengatakan bahwa Ibnu
Umar radhiyallahu „anhu lupa.

Ketujuh, Rasulullah memberi dispensasi kawin mut’ah pada Perang Khaibar kemudian
melarangnya, dan memperbolehkannya lagi pada Perang Authas, kemudian
melarangnya lagi. Ibnu Abbas berkata: “Dispensasi itu karena adanya darurat, dan
larangan itu karena hilangnya darurat. Sedangkan jumhur berpendapat bahwa
dispensasi itu adalah sebagai kebolehan dan larangan itu sebagai penghapusan.[5]

Prinsip-prinsip dalam Ikhtilaf

Pertama, ikhtilaf dalam masalah furu‟ pasti terjadi ).

Kemestian itu terjadi karena tabiat agama Islam sendiri memang memberi peluang
terjadinya perbedaan pendapat. Dalam kitab al-Arbain, Imam An-Nawawi meriwayatkan
hadits dari Daruquthni, “Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan,
janganlah kamu melanggarnya; telah mewajibkan sejumlah kebaikan, janganlah kamu
abaikan; telah mengharamkan banyak hal, janganlah kamu melanggarnya; telah
mendiamkan banyak masalah sebagai rahmat bagimu, bukan karena lupa, janganlah
kamu mencarinya.”

Meminjam istilah Syaikh Al-Qaradhawi ada ‘kawasan kosong s ariat’ ang sengaja
Allah Ta‟ala sediakan.

Kedua, ikhtilaf dalam masalah furu‟ tidak memecah belah )

Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu‟ tidak seharusnya menimbulkan


perpecahan, perdebatan dan benturan yang menimbulkan permusuhan dan
kebencian. Sikap dan ungkapan para ulama yang akan dikemukakan berikutnya nanti
menjadi bukti kuat tentang hal ini.

Ketiga, aib itu pada ta‟ashub bukan ikhtilaf )

Di lapangan dakwah Islam kita saksikan adanya orang-orang yang tidak punya perhatian
kecuali perbantahan dalam segala hal. Mereka tidak punya kesiapan untuk menarik
pendapatnya sedikitpun. Mereka hanya menginginkan agar orang lain mengikuti
pendapatnya. Mereka merasa selalu benar sedangkan orang lain senantiasa salah.

Diantara mereka ada yang mengecam fanatisme kepada madzhab tetapi mereka sendiri
membuat madzhab baru dan menyerang orang lain yang tidak sepaham dan tidak mau
mengikutinya. Mereka mengaharamkan taqlid tetapi mereka sendiri menuntut orang
lain agar mengikutinya. Atau melarang taqlid kepada ulama terdahulu, sementara
mereka sendiri bertaqlid kepada ulama sekarang. Mereka melakukan konfrontasi demi
masalah-masalah furu‟iyah (cabang) dan sektoral. Padahal para salaf sendiri pernah
memperselisihkannya, tetapi tidak sampai menimbulkan keruhnya hubungan sesama
saudaranya.

Melihat fenomena tersebut, jelaslah bagi kita bahwa yang menjadi aib
dan musykilah adalah sikap ta‟ashub dan bukan perkara-perkara ikhtilaf-nya itu sendiri.

Keempat, tidak ada paksaan dalam masalah ijtihad ).

Syaikhul Islam Ibnu Tayimiyah pernah ditanya tentang orang yang mengikuti sebagian
ulama dalam masalah ijtihadiyah, apakah ia harus dihindari atau diingkari? Beliau
menjawab, “Segala puji milik Allah. Orang yang dalam masalah-masalah ijtihadiyah
mengamalkan sebagian pendapat ulama, tidak boleh diingkari dan dihindari. Demikian
pula orang yang mengamalkan salah satu dari dua pendapat, tidak boleh dikecam. Jika
dalam suatu masalah terdapat dua pendapat, maka bagi orang yang telah nampak mana
yang lebih kuat boleh beramal sesuai dengannya. Tapi jika tidak, ia boleh mengikuti
sebagian ulama yang dapat dipercaya dalam menjelaskan mana yang lebih kuat (rajih) di
antara dua pendapat.”

Syaikh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhahullah mengatakan bahwa dalam masalah ijtihad


tidak ada kepastian tentang kebenaran salah satu dari kedua pendapat yang
diperselisihkan. Dalam hal ini yang bisa dilakukan adalah tarjih. Sedangkan tarjih itu
sendiri tidak berarti sebuah kepastian. Selanjutnya, tegas beliau, orang yang keliru
dalam masalah-masalah ijtihadiyah juga tidak boleh dicela sama sekali. Kesalahannya
harus dimaafkan bahkan mungkin saja dia memperoleh pahala dari Allah sebagaimana
ditegaskan dalam hadits Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin kita
mencela dan menyakiti orang yang melakukan ijtihad yang telah diberi pahala oleh
Allah, sekalipun hanya satu pahala?

Demikianlah manhaj para salaf dalam berbeda pendapat menyangkut masalah


ijtihadiyah. Mereka tidak saling mencela atau menyakiti, tetapi saling memuji, sekalipun
tetap berbeda pendapat.

Kelima, ikhtilaf itu rahmat atau keluasan bagi mukallaf


).

Ada hadits yang begitu masyhur namun dhaif dan bahkan palsu berkaitan dengan point
ini, yaitu,

“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” [6]

Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan pendapat umatku adalah


rahmat” tidak mutlak salah. Sebab, dalam tataran tertentu, perbedaan memang
membawa kebaikan, minimal masih bisa ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama yang
membela esensi ucapan ini seperti Imam Al Khathabi, Imam An-Nawawi, dan lain-lain.[7]

Imam Al Munawi mengatakan maksud ‘perbedaan ang membawa rahmat’ adalah


‘perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum’ sebagaimana ang dikutip oleh Ibnu
Shalah dari Imam Malik. (Faidhul Qadir, 1/271)

Imam As Suyuthi pun berkata: “Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam
menentukan hukum.”

Sebagian orang ada yang tetap menolak makna ucapan ini menurut mereka jika
perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab. Hal ini diisyaratkan oleh Imam
Al-Khathabi , “Hadits ini telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka
bersenda gurau, dan yang lain adalah seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al
Maushili dan Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat,
maka persatuan adalah azab.” [8]

Imam An Nawawi rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi,
ia berkata,

.
.
.

“Lalu, mereka mengira bahwa perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu
hanya khusus pada masa Nabi shallallahu „alaihi wa sallam. Jika para sahabat berbeda
pendapat, maka beliau memberikan penjelasan. Jawaban dari penolakan yang buruk ini
adalah tidak selalu dalam berbagai hal bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah
yang mengatakan hal itu melainkan orang bodoh atau belagak bodoh. Allah Ta‟ala telah
berfirman: “ .. dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya
kamu beristirahat pada malam itu ..” malam dinamakan rahmat, dan tidaklah patut
dikatakan lantas siang adalah azab, dan ini sangat jelas dan tak ada keraguan di
dalamnya. Al Khathabi berkata perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama,
menetapkan perbuatan dan keesaanNya, maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua,
perbedaan pendapat tentang sifat dan kehendakNya, mengingkarinya adalah bid‟ah.
Ketiga, tentang hukum-hukum cabang yang multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan
rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Inilah maksud “Perbedaan pendapat umatku adalah
rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi.” [9]

Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata,

“Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi shallallahu „alaihi wa sallam tidak berbeda
pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan terjadi rukhshah
(keringanan bagi umat- pen).”[10]
Keenam, penilaian itu terletak pada subtansi isin a buka pada sebuah nama
)

Penilaian dalam perkara-perkara ikhtilaf hendaknya tidak terjebak kepada penilaian


terhadap nama/sebutan, melainkan harus fokus pada esensi atau substansi perkaranya.

Adab Ikhtilaf

Pertama, ikhlas dalam mencapai dan mencari kebenaran ).

Diantara tanda ikhlas dalam kebenaran adalah sebagai berikut.

1. Mengaktualisasikan prinsip menjadikan ucapan sebagai


patokan bukan siapa ang mengucapkan). Artin a adalah
(menerima kebenaran baik dari orang yang dicintai maupun yang dibenci).

Sikap seperti ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah shallallahu „alaihi wa


sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih bahwa ada seorang laki-laki
Yahudi mendatangi Nabi shallallahu „alaihi wa sallam lalu berkata,

“Sesungguhnya kamu menjadikan tandingan (bagi Allah). Sesungguhnya kamu


menyekutukan (Allah). Kamu mengatakan „Apa yang Allah kehendaki dan apa yang
engkau kehendaki‟. Kamu juga mengatakan „Demi Ka‟bah‟.”

Maka Nabi shallallahu „alaihi wa sallam memerintahkan kaum Muslimin, jika hendak
bersumpah untuk mengatakan “Demi Rabb Ka‟bah”, dan agar mereka mengatakan “Apa
yang Allah kehendaki kemudian apa yang engkau kehendaki”. HR.Nasa’I no.3773).

Berkenaan dengan hadits ini Syaikh Muhammad bin Shalih al


‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pertama: Nabi shallallahu „alaihi wasallam tidak
mengingkari orang Yahudi tersebut, padahal yang nampak dari niat orang Yahudi itu
adalah mencela Nabi shallallahu „alaihi wasallam dan para shahabat beliau. Karena yang
dia katakan memang benar. Kedua: Disyari‟atkan kembali menuju kebenaran walaupun
yang mengingatkan hal itu adalah bukan pengikut kebenaran. Ketiga: Sepantasnya ketika
merubah sesuatu hendaknya merubahnya kepada sesuatu yang dekat dengannya. Karena
Nabi shallallahu „alaihi wasallam memerintahkan untuk mengatakan „Demi Rabb
Ka‟bah‟, dan beliau tidak mengatakan „Bersumpahlah dengan nama Allah azza wa jalla‟.
Dan beliau memerintahkan mereka agar mengatakan „Apa yang Allah azza wa jalla
kehendaki, kemudian apa yang engkau kehendaki.‟”[11]
Para salafu shalih berkata tentang sikap ikhlash terhadap kebenaran ini.

Muadz bin Jabal radhiallahu „anhu berkata,

– .
“Terimalah kebenaran dari siapa saja yang membawanya, walaupun dia adalah orang
kafir atau beliau berkata : Orang fasik.” (Riwayat Al-Baihaqi).

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata,

“Yaitu dengan engkau tunduk kepada kebenaran dan menerimanya dari siapa saja yang
engkau dengar, walaupun dia adalah manusia yang paling bodoh maka kebenaran itu
wajib engkau terima darinya.”[12]

Sementara itu, orang yang bersikap menolak kebenaran dikategorikan oleh


Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam sebagai orang yang sombong.

“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan
sebesar biji sawi”. Ada seseorang yang bertanya, “Bagaimana dengan seorang yang suka
memakai baju dan sandal yang bagus ?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu
indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan
orang lain”. (HR. Muslim no. 91).

2. Menginginkan kebenaran keluar dari mulut pihak lain ang berbeda pendapat
).

Sikap seperti ini diantaranya tercermin dari ucapan Hatim Al-Asham, “Aku punya tiga hal
untuk mengalahkan lawan bicaraku: aku senang jika ia benar, sedih jika ia salah, dan aku
jaga diriku agar tidak menzaliminya.”

Imam Ahmad berkomentar tentangnya: “Subhanallah, sungguh beliau laki-laki yang


amat berakal.”

3. Siap meninggalkan pendapat sendiri dan kembali kepada kebenaran


.).

Abu Yusuf (murid Imam Abu Hanifah) pernah berbeda pendapat dengan Imam Malik
tentang sebuah masalah fiqih. Ketika Imam Malik mengutarakan riwayat mutawatir dari
penduduk Madinah sebagai dalil pendapatnya, Abu Yusuf mengoreksi pendapatnya,
sambil berkata: “Jika guruku Abu Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi
pendapatnya juga.”

Kedua, keinginan kuat untuk bersatu berukhuwwah dan berjama’ah


)

Renungkanlah riwayat berikut ini.

703 / 1 )

!
. !‫؟‬
551 / 5 ) .‫ح‬

Diriwayatkan oleh Imam Abu Daud 1/307) bahwasan a Khalifah ‘Utsman bin
‘Affan radhiallahu „anhu shalat di Mina empat rakaat. Maka sahabat nabi, yaitu Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu „anhu mengingkarinya seraya berkata: “Aku dulu shalat bersama
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam, Abu Bakr, „Umar dan di awal pemerintahan „Utsman
sebanyak dua rakaat, dan setelah itu „Utsman shalat empat rakaat. Kemudian terjadilah
perbedaan diantara kalian, dan harapanku dari empat rakaat shalat itu yang diterima
adalah yang dua rakaat darinya.” Namun ketika di Mina, Abdullah bin Mas’ud justru
juga shalat empat rakaat. Maka ditanyakanlah kepada beliau: “Engkau dulu telah
mengingkari „Utsman atas shalatnya yang empat rakaat, kemudian engkau shalat empat
rakaat pula?” Abdullah bin Mas’ud menjawab “Perselisihan itu jelek.” (Sanadnya shahih.
Diriwayatkan pula oleh Al Imam Ahmad [5/155] seperti riwayat di atas dari shahabat
Abu Dzar radhiallahu ‘anhum Ajma’in).[13]

Imam Al Qasim bin Muhammad rahimahullah adalah salah satu tujuh fuqaha Madinah
di zaman tabi’in dan merupakan cucu dari Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu „anhu.
Seseorang bercerita tentang Al-Qasim, “Aku bertanya kepada Al Qasim bin Muhammad
tentang membaca (Al Fatihah) dibelakang imam yang dia tidak mengeraskan
bacaannya. Beliau menjawab: „Jika kamu membaca maka kamu memiliki contoh dari
para sahabat nabi, dan jika kamu tidak membaca maka kamu juga memiliki contoh dari
para sahabat Nabi shallallahu „alaihi wa sallam.‟”[14]

Imam Ahmad rahimahullah mengatakan wajib berwudhu setelah berbekam. Ketika


beliau ditanya: “Kalau seorang imam tidak berwudhu setelah berbekam, apakah kita
shalat di belakangnya?” Beliau menjawab beliau, “Subhanallah! Apakah kita tidak mau
menjadi ma‟mum Sa‟id bin Musayyib dan Imam Malik bin Anas?”

Sultan Muhammad bin Malik Al-Manshur Qalawun pernah meminta fatwa kepada
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah untuk menghukum mati beberapa qadhi.
Mereka telah berfatwa untuk menggulingkan Sultan dan membai’at Jas ankir serta
memprovokasi massa untuk memusuhi Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun Ibnu
Taimiyah rahimahullah menolak pembunuhan itu, dan meminta Sultan membebaskan
mereka, padahal mereka telah menzalimi Ibnu Taimiyah rahimahullah akibat perbedaan
pendapat sengit dalam masalah cabang aqidah. Bahkan beliau malah menghormati
mereka.

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Jika engkau bunuh mereka, tak akan engkau
dapatkan ulama seperti mereka lagi.”

Sultan berkata, “Mereka telah menyakitimu dan mencoba membunuhmu.”

Ibnu Taimiyah rahimahullah menjawab: “Siapa yang telah menyakitiku aku telah
memaafkannya, aku tidak ingin menang untuk diriku sendiri.”

Ibnu Makhluf, salah satu qadhi berkata: “Belum pernah kami menemui orang seperti Ibnu
Taimiyah, kami coba menyakitinya tapi kami tidak mampu. Sedang ia dapat membalas
kami, tapi ia memaafkan bahkan membela kami.”

Ketiga, bersikap objektif dan adil terhadap pihak ang berbeda


).

Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,

‫ح‬

.
“Berlakulah adil dan benar dalam menghukum dalam segala hal. Kemarahanmu (kepada
orang lain) jangan membuatmu melupakan kebaikannya, dan rasa sukamu kepada
seseorang jangan menutup matamu dari keburukannya. Permusuhan jangan
membawamu melupakan kebaikan. Katakan yang haq meskipun pahit atas dirimu atau
orang terdekat bagimu sekalipun” [15]

Abdur Razzaq bin Hammam rahimahullah, penyusun hadits Rasulullah shallallahu „alaihi
wa sallam, pernah berkomentar buruk terhadap Umar bin Khattab radhiyallahu
„anhu yang dianggapnya kurang sopan terhadap Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam.
Imam Dzahabi rahimahullah mengkritik Abd Razzaq, “Ini adalah suatu yang besar, jika
engkau (wahai Abd Razzaq) diam, tentu itu lebih baik. Umar lebih tahu adab terhadap
Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam…Meskipun demikian, kita mohon ampun kepada
Allah untuk kita dan Abd Razzaq, beliau orang yang terpercaya dan jujur dalam
meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam”

Keempat, berdiskusi di bawah naungan ukhuwwah )

Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,

.
“Dan khilaf fiqih dalam masalah cabang janganlah menjadi penyebab perpecahan dalam
agama, permusuhan dan kebencian. Setiap mujtahid mendapat pahala. Dan tidak
mengapa jika dilakukan kajian dan diskusi ilmiah dalam masalah khilaf dalam naungan
cinta karena Allah dan saling membantu untuk mencapai hakikat kebenaran tanpa
mengakibatkan perdebatan tercela dan fanatisme.” [16]

Hal ini sebagaimana firman Allah Ta‟ala,

“Dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang terbaik” (QS. An-Nahl, 16: 125)

Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam bersabda,

) ).
“Aku menjamin rumah di surga bagi siapa yang meninggalkan debat kusir meskipun ia
berada di pihak yang benar” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit tentang
‘apakah saudara mendapat warisan jika ada kakek?’ Ibnu Abbas berpendapat ‘ a’
sedangkan Zaid ‘tidak’. Ketika Ibnu Abbas radhiyallahu „anhu melihat Zaid radhiyallahu
„anhu menunggang kudanya, ia segera berjalan menuntun kuda Zaid radhiyallahu
„anhu sambil berkata: “Beginilah kita diperintahkan menghormati ulama.”

Zaid radhiyallahu „anhu berkata: “Kemarikan tanganmu!” Lalu diciumnya tangan Ibnu
Abbas radhiyallahu „anhu sambil berkata: “Beginilah kami diperintahkan terhadap ahli
bait Nabi kami.”
Kelima, menjauhi ta‟ashub ).

Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,

‫ح‬ ‫ـ‬ ‫ـ‬


.
“Setiap orang dapat diambil ucapannya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah shallallahu
„alaihi wa sallam yang ma‟shum. Kita menerima semua yang berasal dari
salaf ridhwanullah „alaihim dan sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah, jika tidak sesuai
maka Al-Quran dan Sunnah lah yang harus diikuti, tetapi kita tidak akan menodai
kehormatan seseorang diantara mereka dengan tuduhan atau celaan karena perbedaan
pendapat di antara mereka, kita serahkan mereka kepada niat mereka masing-masing,
dan mereka sudah mendapatkan balasan apa yang telah mereka lakukan.” [17]

Menjauhi sikap ta’ashub diantaran a terlihat dari ucapan Abu Yusuf ketika telah datang
padanya dalil yang kuat yang berbeda dengan pendapatnya, dia berkata: “Jika guruku
Abu Hanifah menyaksikan ini, pastilah ia mengoreksi pendapatnya juga.”

Syaikh Yusuf Qaradhawi hafizhahullah berkata, “Saya pribadi telah berijtihad dalam
berbagai hal tanpa mengikuti sepenuhnya pendapat Imam Al-Banna. Dan saya yakin
beliau akan rela dengan sikap saya itu, karena beliau amat senang melihat pengikutnya
berpikir merdeka dan sungguh-sungguh, tidak menjadi tawanan atau hamba yang selalu
terbelenggu taqlid.”[18]

Di dalam bukunya Fiqhul Ikhtilaf, Syaikh Al-Qaradhawi hafizhahullah juga menegaskan


bahwa seseorang bisa berlaku ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan berpihak hanya
kepada kebenaran jika ia dapat membebaskan dirinya dari fanatisme terhadap pendapat
orang, madzhab, dan golongan. Dengan kata lain, ia tidak mengikat dirinya kecuali
dengan dalil. Jika dilihatnya ada dalil yang menguatkan maka ia segera mengikutinya,
sekalipun bertentangan dengan madzhab yang dianutnya atau perkataan seorang Imam
yang dikaguminya atau golongan yang diikutinya. Sebab, kebenaran lebih berhak untuk
diikuti daripada pendapat si Zaid atau si Umar. Allah tidak memerintahkan kita
beribadah mengikuti perkataan seorang ulama atau Imam tertentu, tetapi Allah
memerintahkan kita agar beribadah sesuai dengan apa yang terdapat di dalam kitab-
Nya dan sunnah Nabi-Nya.

Keenam, tidak mengingkari ikhtilaf ang mu’tabar dan diperbolehkan


)
Imam Sufyan Ats Tsauri rahimahullah berkata,

.
“Jika engkau melihat seorang melakukan perbuatan yang masih diperselisihkan, padahal
engkau punya pendapat lain, maka janganlah kau mencegahnya.” [19]

Tentang merutinkan qunut shubuh, Imam At Tirmidzi berkata:

“Berkata Sufyan Ats Tsauri: „Jika berqunut pada shalat shubuh, maka itu bagus, dan jika
tidak berqunut itu juga bagus.‟” [20]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Sesungguhnya masalah ijtihadiyyah seperti ini tidak boleh diingkari dengan tangan,
siapapun tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapatnya. Yang bisa dilakukan
adalah berbicara dengan argumentasi ilmiah. Siapa yang telah jelas baginya kebenaran
suatu pendapat dia dapat mengikutinya, dan siapa yang mengikuti pendapat lain maka
ia tidak boleh diingkari.”

Ketujuh, meninggalkan ang mustahab demi men atukan hati


).

Imam As S afi’i juga Imam Malik) berpendapat sunnahn a qunut shubuh. Berbeda
dengan Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal yang memandang tidak ada
qunut shubuh.

Diceritakan dalam Al Mausu‟ah sebagai berikut:

‫ح‬
.
.
“Asy Syafi‟i radhiallahu „anhu meninggalkan qunut dalam subuh ketika beliau shalat
berjamaah bersama kalangan Hanafiyah (pengikut Abu Hanifah) di Masjid mereka,
pinggiran kota Baghdad. Berkata Hanafiyah: „Itu merupakan adab bersama imam.‟
Berkata Asy Syafi‟iyyah (pengikut Asy Syafi‟i): „Bahkan beliau telah merubah ijtihadnya
pada waktu itu.‟”[21]

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah mengomentari orang yang shalat dua rakaat
setelah Ashar:

“Kami tidak melakukannya tapi kami tidak juga menilai aib orang yang
melakukannya.” [22]

Tentang qunut shubuh, diceritakan sebagai berikut:

.
“Imam Ahmad rahimahullah berpendapat bahwa qunut dalam shalat fajar (subuh)
adalah bid‟ah. Akan tetapi dia mengatakan: „Jika aku shalat di belakang imam yang
berqunut, maka aku akan mengikuti qunutnya itu, dan aku aminkan doanya, semua ini
lantaran demi menyatukan kalimat, melekatkan hati, dan menghilangkan kebencian
antara satu dengan yang lainnya.‟” [23]

Guna menuju tercapainya saling pengertian dalam menyikapi ikhtilaf yang terjadi di
antara umat Islam, Syaikh Yusuf Al-Qaradawi hafizhahullah mengatakan bahwa penting
bagi kita untuk menelaah perbedaan pendapat para ulama. Dengan penelaahan yang
jernih akan nampak dalil-dalil yang melandasi perbedaan itu. Kemudian akan diketahui
bahwa lautan syariah itu amat dalam dan luas. Akan Nampak kebenaran
ungkapan, “Siapa yang tidak mengetahui ikhtilaf ulama, maka dia bukan ulama. Siapa
yang tidak mengetahui ikhtilaf para fuqaha, maka hidungnya belum mencium bau fiqh.”

Kedelapan, meninggalkan perkara ang tidak membuahkan amal


)

Syaikh Hasan Al-Banna rahimahullah berkata,

“Semua masalah yang tidak terbangun di atasnya amal, maka menggelutinya terlalu
dalam adalah perbuatan berlebihan yang dilarang oleh syariat…” [24]

Ketika Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam ditanya tentang kapan hari kiamat, beliau
berkata: “Apa yang telah engkau siapkan untuk menghadapinya?”
Umar radhiyallahu „anhu menginkari dan menghukum Shabigh karena banyak bertanya
tentang sesuatu yang tidak bermanfaat secara amaliah.

Ali radhiyallahu „anhu mengingkari Ibnul Kuwa yang banyak bertanya tentang hal yang
tidak bermanfaat.

Begitu juga Imam Malik rahimahullah membenci ucapan yang tidak membuahkan amal.

Wallahu A‟lam…

Catatan Kaki:
[1] Al-Mu’jam Al-Wasith: 1/251

[2] Ma‟an „ala Thariq ad-Da‟wah: 102

[3] Majmu’ Fatawa Ibnu Taimi ah 6/57

[4] Risalah Da’watuna Majmu’ah Rasail Hasan Al-Banna, hal. 23 – 24

[5] Contoh-contoh ikhtilaf ini sebagian besar diambil dari buku Lahirnya Mazhab-
mazhab Fiqh, Syah Waliyullah Al-Dahlawy

[6] As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al
Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal dari Al Qasim bin Muhammad
dan ini adalah ucapan beliau. (Lihat Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 1).

[7] Lihat: “Perbedaan di Antara Umatku adalah Rahmat.”, Farid Nu’man Hasan.

[8] Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15

[9] Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam

[10] Jazil al-Mawahib, 22

[11] Setelah penjelasan ini S aikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah
menyampaikan suatu masalah dan jawabannya. Yaitu ketika ditanya, “Kenapa tidak ada
yang mengingatkan (kesalahan) perbuatan ini kecuali seorang Yahudi?” Jawabannya
adalah, “Kemungkinan Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam tidak mendengarnya dan
tidak mengetahuinya.” Jika ditanya lagi, “Allah Maha mengetahui, kenapa mendiamkan
mereka?” maka dijawab, “Sesungguhnya itu adalah syirik asghar (kecil), bukan syirik
akbar (besar). Hikmahnya adalah ujian bagi orang-orang Yahudi. Mereka mengkritik
umat Islam atas kata tersebut, padahal mereka menyekutukan Allah azza wa jalla
dengan syirik yang besar, namun mereka tidak melihat aib mereka.” (Al-Qaulul
Mufid hal.522-523; Penerbit Abu Bakar ash Shiddiq, Mesir, Cet.1, Th.2007M/1428H;
Tahqiq Muhammad Sa id ‘Abdur Rabbir Rasul) dikutip dari Wajib Menerima
Kebenaran dari Siapapun Datangnya, Agus Santosa Somantri.

[12] Jaami‟ Bayaaninil „Ilmi wa Fadhlih, hal. 226


[13] As Silsilah Ash Shahihah, 1/389
[14] Imam Ibnu Abdil Bar, Jami‟ Bayanil „Ilmi wa Fadhlih, 2/161
[15] Imam Syahid Hasan Al-Banna dalam Wajibat al-akh – Risalah Ta’alim
[16] Prinsip ke-8 dari 20 prinsip Ikhwan (Rukun Al-Fahm – Risalah Ta’alim
[17] Prinsip ke-6 dari 20 prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah Ta’alim
[18] Yusuf Al-Qaradhawi: Al-Ikhwan Al-Muslimun: 246
[19] Imam Abu Nu’aim Al Asbahan Hilaytul Auliya, 3/133
[20] Lihat Sunan At Tirmidzi, keterangan hadits No. 401
[21] Al Mausu’ah Al Fiqhi ah Al Kuwaiti ah 2/302. Wizarah Al Awqaf As S u’un Al
Islamiyah
[22] Al Mughni, 2/87, Syarhul Kabir, 1/802
[23] S aikh Ibnu Al ‘Utsaimin Syarhul Mumti‟, 4/25. Mawqi‟ Ruh Al Islam
[24] Prinsip ke-9 dari 20 Prinsip Ikhwan – Rukun Al-Fahm Risalah ta’alim

Source : https://tarbawiyah.com/al-ikhtilafu-wa-adabuhu/

Anda mungkin juga menyukai