Anda di halaman 1dari 17

KAJIAN ZIKIR BOLEH BERSUARA / DIKERASKAN (JAHR)

U’lama Ahlusunnah Wal-Jama’ah


DARI KITAB

KITAB AL-HAWI LI AL-FATAWI


(SCAN KITAB ASLINYA)

Abd Al-Rahmaan Ibn Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Saabiq Al-Khudairee Al-Suyuti

(Al-Imam As-Suyuti)

1
TERJEMAH KITAB AL-HAWI LI AL-FATAWI (BAB ZIKIR JAHR)

2
(Dzikir dengan Mengeraskan Suara)

Dengan asma’ Alloh yang Maha Pengasih lagi maha Penyayang, segala puji bagi Alloh yang memberikan kecukupan
bagiku, dan keselamatan kesejahteraan bagi hamba-Nya yang terpilih.

Aku bertanya kepadamu (wahai Syaich As-Suyuthi) semoga Allah Ta’aala memuliakanmu, mengenai suatu hal yang
umum dilakukan para pemuka shufiyyah yang menyelenggarakan halaqah dzikr dan men-jahr-kannya di dalam masjid
dan mengeraskan suaranya dengan bacaan tahlil, apakah hal yang demikian ini makruh atau tidak?

Jawabannya adalah:

Sesungguhnya hal yang demikian ini tidak dihukumi makruh sama sekali, dan sungguh terdapat banyak riwayat
hadits-hadits yang menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara jahr, selain itu terdapat pula hadits-hadits yang
menunjukkan disunnahkannya berdzikir secara sirr (pelan) sehingga perlu dikompromikan kedua cara berdzikir
tersebut, yang mana hal tersebut dilaksanakan berbeda-beda menurut keadaan dan masing-masing pribadi.
Sebagaimana al-Imaam an-Nawawi mengkompromikan hadits-hadits tentang disunnahkannya membaca Al-Quran
secara jahr, dan (hadits-hadits) yang menyebutkan tentang diperbolehkannya membacanya secara sirr, berikut ini akan
saya jelaskan secara fasal demi fasal.

Selanjutnya beliau (al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah) menyebut hadits-hadits yang menunjukkan


disunnahkannya mengeraskan suara pada saat dzikir, baik secara shorih (terang) maupun iltizam (tersirat).

1. Hadits Pertama:

Telah diriwayatkan oleh al-Imaam al-Bukhari rahimahullah, bahwasanya Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhu berkata:
Bersabda Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam: Alloh Ta’aala berfirman:

“Aku mengikuti prasangka hamba-Ku terhadap-Ku, dan Aku selalu bersamanya apabila dia mengingat-Ku.
Apabila dia mengingat-Ku di dalam dirinya (Sirr), maka Aku akan mengingat dia pada diri-Ku (Sirr), apabila dia
mengingat-Ku dalam jumlah kelompok yang besar, maka Aku akan menyebut nama mereka dalam kelompok
yang jauh lebih baik dari kelompok mereka.”

Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: “Dan berdzikir dalam kelompok yang besar tidak lain
dilaksanakan secara jahr (keras/bersuara).”

2. Hadits Kedua:

Diriwayatkan oleh al-Bazzaar dan al-Hakiim di dalam al-Mustadrak dan menyatakan keshahihannya, bahwasanya Jabir
radhiyallaah ‘anhu berkata:

Telah keluar Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam kepada kami, dan bersabda: Wahai manusia, sesungguhnya Alloh
Ta’aala menebarkan para malaikat untuk mendatangi majlis dzikr di bumi, maka masuklah ke dalam taman-taman
surga itu. Mereka berkata: Dimanakah taman-taman surga itu? Beliau bersabda: Majlis-majlis dzikr, sebaiknya
kalian berdzikir kepada Allah tiap pagi dan petang.

3. Hadits Ketiga:

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan al-Hakim dengan lafadz dari abu Hurairah: telah bersabda Rasulullah Shollallaah
‘alaih wa sallam:

“Sesungguhnya Allah memiliki malaikat-malaikat Sayyarah yang mencari majlis dzikir di bumi, maka apabila
mereka menemukan majlis dzikir, mereka saling mengelilingi dengan sayap-sayap mereka hingga mencapai
langit, maka Allah berfirman: Dari mana kalian? Mereka menjawab: Kami telah mendatangi hamba-Mu yang
bertasbih, bertakbir, bertahmid, bertahlil, memohon kepada Engkau, meminta perlindungan-Mu. Maka Allah
berfirman: Apa yang kalian pinta? (dan Allah-lah yang lebih mengetahui apa-apa tentang mereka), mereka
menjawab: Kami memohon Surga kepada Engkau. Allah berfirman: Apakah kalian sudah pernah melihat Surga?.
Mereka menjawab: Tidak, Wahai Rabb. Allah berfirman: Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?,
kemudian Allah berfirman: Terhadap apa kalian meminta perlindungan-Ku? Sedangkan Allah Maha Mengetahui
perihal mereka. Mereka menjawab: (Kami memohon perlindungan-Mu) dari api neraka. Kemudian Allah
berfirman: Apakah kalian pernah melihatnya?. Mereka menjawab: Tidak. Selanjutnya Allah berfirman: Bagaimana
seandainya kalau mereka pernah melihatnya?. Kemudian Allah berfirman: Saksikanlah, sesungguhnya Aku telah
mengampuni mereka, dan Aku perkenankan permintaan mereka, dan Aku beri perlindungan terhadap mereka
atas apa-apa yang mereka minta perlindungan-Ku. Mereka berkata: Wahai Rabb kami, sesungguhnya didalamnya
3
(majlis dzikir) terdapat seorang hamba penuh dosa yang duduk didalamnya dan dia bukanlah bagian dari mereka
(yang berdzikir), maka Allah berfirman: Dan dia termasuk ke dalam orang-orang yang Aku ampuni, karena kaum
itu adalah kaum yang tidak mencelakakan orang-orang yang duduk bersama mereka.

4. Hadits Keempat

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Tirmidzi, dari abu-Hurairah dan abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhumaa,
bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda:

“Tidaklah suatu kaum yang berdzikir kepada Allah melainkan para malaikat akan mengelilinginya dan
melimpahkan rahmat, dan diturunkan atas mereka sakinah (ketenangan) dan Allah Ta’aala menyebut mereka
kepada siapa saja yang berada di sisi-Nya”.

5. Hadits Kelima

Diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Tirmidzi, dari Mu’awiyyah, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam keluar
menuju kepada halaqah daripada sahabatnya, kemudian beliau bersabda: “Kenapa kalian duduk-duduk?” Mereka
menjawab: “Kami duduk untuk berdzikir dan memuji Allah Ta’aala.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril
mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwasanya Allah Ta’aala membanggakan kalian kepada malaikat.”

6. Hadits Keenam

Diriwayatkan oleh al-Hakim sekaligus beliau menshohihkannya dan Baihaqi di dalam Sya’b al-Imaan dari Abu Sa’id al-
Khudriy radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah olehmu di
dalam berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga mereka (kaum munafiquun) mengatakan bahwa kalian adalah
‘orang gila’.“

7. Hadits Ketujuh

Berkata al-Baihaqi di dalam Syu’b al-Imaan dari abu al-Jauza’ radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullah
Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Perbanyaklah berdzikir kepada Allah Ta’aala, sehingga kaum munafiquun berkata,
‘Kalian gila’.”

Beliau al-Imaam as-Suyuthi rahimahullaah berkomentar: Ini hadits mursal, adapun tujuan pendalilan menggunakan hadits
ini dan yang sebelumnya lebih ditujukan untuk dzikir jahr, bukan dzikir sirr.

4
8. Hadits Kedelapan

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Sahabat Anas radhiyallaah ‘anhu berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah
‘alaih wa sallam: “Apabila kalian menemukan taman-taman surga, maka ramaikanlah ia.” Para sahabat bertanya:
“Wahai Rasulullaah, apakah yang disebut taman surga itu?” Beliau bersabda: “Halaqah (perkumpulan) dzikir.”

9. Hadits Kesembilan

Diriwayatkan oleh Baqi bin Makhlad, dari ‘Abdullah ibn Umar radhiyallaah ‘anhu,

“Bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam melewati dua majelis, salah satu dari majelis menyeru dan
mengagungkan Allah Ta’aala. Dan majelis yang satunya mengajarkan ilmu. Kemudian beliau bersabda: “Kedua-
duanya baik, akan tetapi salah satunya lebih utama (daripada majelis yang satunya).”

10. Hadits Kesepuluh

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari ‘Abdullaah ibn Mughaffal berkata: Telah bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa
sallam: “Tiada suatu kaum yang berkumpul untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala kecuali mereka akan dipanggil
oleh para pemanggil dari langit: ‘Bangunlah kalian, sesungguhnya kalian sudah diampuni, sungguh keburukan-
keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan-kebaikan’.”

11. Hadits Kesebelas

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallaah ‘anhu, bahwasanya Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam
bersabda: “Berfirman Allah Ta’aala pada hari Qiyamah: ‘Orang-orang yang dikumpulkan pada hari ini akan
mengetahui siapa saja yang termasuk orang-orang mulia’. Para sahabat bertanya: ’Siapakah yang termasuk
orang-orang mulia tersebut Wahai Rasulullaah?’. Beliau bersabda: ‘Majelis-majelis dzikir di masjid’. ”

12. Hadits Keduabelas

5
Diriwiyatkan oleh al-Baihaqi dari ibnu Mas’ud radhiyallaah ‘anhu berkata: “Sesungguhnya gunung memanggil
gunung lainnya dengan namanya dan bertanya: ‘Wahai fulan, apakah kamu hari ini sudah dilewati orang yang
berzikir kepada Allah?’ Yang apabila dijawab: ‘Ya’ mereka akan merasa sangat gembira. Kemudian Abdullah
membaca ayat: ‘(Perkataan gunung) Sungguh-sungguh kalian telah mendatangkan ‘idda (kemunkaran yang
sangat besar), sehingga hampir-hampir langit pecah berkeping-keping.’ Beliau berkomentar: ‘Apakah mereka
(gunung-gunung) hanya mendengar kemunkaran, dan tidak mendengar kebaikan?’”

13. Hadits Ketigabelas

Diriwayatkan oleh ibn Jarir di dalam kitab tafsirnya, dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu mengenai firman Allah Ta’aala:
“Maka tidaklah langit dan bumi menangis atas mereka”. Bersabda Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Bahwasanya
apabila seorang mukmin wafat, menangislah bumi tempat dia sholat dan berdzikir kepada Allah.” Diriwayatkan
pula oleh ibn Abi ad-Dunya dari Abu Ubaid berkata: “Sesungguhnya apabila seorang mukmin wafat, maka
berserulah bongkahan bumi: ‘Hamba Allah ‘ta’aala yang mukmin telah wafat!’, maka menangislah atasnya bumi
dan langit, kemudian ar-Rahmaan berfirman: ‘Mengapa kalian menangisi hamba-Ku?’. Mereka berkata: ‘Wahai
Rabb kami, tidaklah dia berjalan di suatu daerah kami melainkan ia berdzikir kepada-Mu ’ ”

Tujuan pendalilan menggunakan hadits ini adalah: “Dengarnya gunung dan bumi akan dzikir tidak lain dikarenakan dzikir
tersebut di-jahr- (dikeraskan) kan”

6
14. Hadits Keempatbelas

Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan al-Baihaqi dengan sanad Shohih dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata: “Telah
bersabda Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam: Allah Ta’aala berfirman: “Wahai hamba-Ku apabila engkau
berdzikir kepada-Ku di dalam kesunyian, maka Aku akan mengingatmu di dalam kesunyian pula, dan apabila
engkau berdzikir kepada-Ku dalam kelompok yang banyak, maka Akupun akan mengingatmu di dalam kelompok
yang jauh lebih baik dan lebih besar”

7
15. Hadits Kelimabelas

Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dari Zaid ibn Aslam berkata: Berkata ibn Adra’:

“Pada suatu malam aku pergi bersama Rasulullaah shollallaah ‘alaih wa sallam, kemudian beliau melewati
seorang lelaki di dalam masjid sedang mengangkat suaranya tinggi-tinggi. Aku (ibn Adra’) berkata: ‘Wahai
Rasulullaah, barangkali lelaki ini sedang Riya’ (memamerkan ibadahnya)?’ Beliau bersabda: ‘Bukan, dia sedang
berdo’a dan mengadu’”. Al-Baihaqi meriwayatkan pula dari ‘Uqbah ibn ‘Amir: Bahwasanya Rasulullaah
shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda kepada seorang lelaki bernama Dzul Bajadain: “Sesungguhnya dia banyak
berdo’a dan mengadu, itu semua karena dia selalu berdzikir kepada Allah Ta’aala”. Al-Baihaqi juga meriwayatkan
dari Jabir ibn ‘Abdullah bahwasanya ada seorang lelaki yang meninggikan suaranya ketika berdzikir sehingga
lelaki yang lainnya berkata, “Seandainya saja orang ini merendahkan suaranya.” Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa
sallam bersabda: “Biarkanlah dia, sesungguhnya dia sedang berdoa dan mengadu.”

16. Hadits Keenambelas

Diriwayatkan oleh al-Hakim dari Syaddad ibn Aus berkata:

“Sesungguhnya kami sedang bersama Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam pada saat beliau bersabda: ‘Angkatlah
tangan kalian dan ucapkanlah Laa Ilaaha illa Allah ’, maka kami melaksanakan perintah beliau”. Kemudian beliau
bersabda: “Ya Allah, sesungguhnya Engkau utus aku karena kalimah ini, Engkau perintahkan aku juga
karenanya, Engkau janjikan aku surga juga karenanya, sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.” Kemudian
beliau bersabda kepada para sahabat: “Bergembiralah kalian, karena Allah sudah mengampuni kalian semua.”

17. Hadits Ketujuhbelas

Diriwayatkan oleh al-Bazzar dari Anas radhiyallaah ‘anhu dari Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam:

“Sesungguhnya Allah Ta’aala memiliki Malaikat Sayyarah yang mencari halaqah-halaqah (perkumpulan) dzikir.
Dan apabila mereka menemukannya maka mereka mengelilingi tempat-tempat tersebut. Kemudian Allah Ta’aala
berfirman: “Naungi mereka dengan rahmat-Ku, mereka adalah orang-orang yang duduk yang tidak
mencelakakan pendatang yang ikut duduk bersama mereka.”

18. Hadits Kedelapanbelas

Diriwayatkan oleh at-Thabrani dan ibn Jarir, dari Abdurrahman ibn Sahl ibn Hanif berkata:

“Saat Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam berada di salah satu rumahnya, diturunkanlah ayat: “Sabarkanlah
dirimu bersama orang-orang yang menyeru Rabb mereka di pagi hari dan petang hari.” (Ayat). Kemudian beliau
keluar kepada sahabat dan mendapati mereka sedang berdzikir, diantara mereka ada yang sudah beruban,
kusam kulit dan hanya memiliki satu pakaian. Melihat mereka, Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam duduk bersama
mereka dan bersabda: “Segala puji bagi Allah Ta’aala yang telah menjadikan diantara kalangan ummatku orang-
orang yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”

19. Hadits Kesembilanbelas

Diriwayatkan oleh al-Imaam Ahmad di dalam az-Zuhd dari Tsabit berkata:

“Salman berada di dalam sebuah kelompok yang berdzikir kepada Allah Ta’aala, kemudian Nabi Shollallaah
‘alaih wa sallam melewati mereka sehingga menyebabkan mereka berhenti, kemudian beliau bersabda: “Apa
yang kalian ucapkan?”. Jawab kami: “Kami berdzikir kepada Allah Ta’aala.” Selanjutnya beliau bersabda:
“Sesungguhnya aku melihat rahmat turun atas kalian, aku menginginkan bersama-sama kalian di dalam rahmat
tadi.” Selanjutnya beliau bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan diantara ummatku orang-orang
yang diperintahkan aku untuk bersabar bersama mereka.”

20. Hadits Keduapuluh

Diriwayatkan oleh al-Ishbahani di dalam at-Targhiib, dari Abu Razin al-Aqili, bahwasanya Rasulullah Shollallaah ‘alaih
wa sallam bersabda kepadanya:

“Maukah engkau aku tunjukkan rajanya perkara yang dengannya engkau dapat meraih kebaikan dunia dan
akhirat?”, dia menjawab: “Mau, wahai Rasulullaah.” Rasulullah bersabda: “Hendaklah engkau sering-sering

8
mendatangi majelis-majelis dzikir, dan apabila engkau sedang dalam keadaan sendirian, maka gerakkanlah
lisanmu untuk berdzikir kepada Allah Ta’aala.”

21. Hadits Keduapuluh satu

Diriwayatkan oleh ibn Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, dan al-Ishbahani dari Anas radhiyallaah ‘anhu berkata:

“Telah bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir
setelah sholat shubuh hingga terbit matahari, lebih aku sukai daripada segala sesuatu yang disinari matahari.
Dan sesungguhnya duduk bersama kaum yang berdzikir setelah sholat ‘ashar hingga terbenamnya matahari,
lebih aku sukai daripada dunia dan seisinya.”

22. Hadits Keduapuluh Dua

Diriwayatkan oleh asy-Syaikhani (Imam Bukhari dan Imam Muslim) dari ibn ‘Abbas radhiyallaah ‘anhu berkata:

“Sesungguhnya mengeraskan suara dzikir setelah orang-orang menyelesaikan sholat wajib sudah ada pada
masa Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam”. Berkata pula ibn ‘Abbas: “Sesungguhnya aku (Ibnu Abas) selalu
mengetahui apabila mereka telah menyelesaikan sholat, kemudian terdengar mereka berdzikir.”

9
23. Hadits Keduapuluh Tiga

Diriwayatkan oleh al-Hakim dari ‘Umar ibn al-Khaththab radhiyallaah ‘anhu bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih
wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang masuk ke dalam pasar kemudian mengucap: “ Laa ilaaha illahu wahdahu
laa syariikalahu, lahuul mulku walahaulkhamdu yuhyii wa yumiitu wa huwa alaa kulli syaiin qodiir”

Maka Allah Ta’aala akan menetapkan baginya sejuta kebaikan dan menghapus sejuta keburukan, dan menaikkan
derajatnya dengan sejuta derajat dan dibuatkan rumah di Surga.”

Di dalam beberapa thuruq (jalur mata rantai periwayatan) di hadits ini tertulis “ ‫دى‬ABBBBBBCD ”

Artinya: “Menyeru.”

24. Hadits Keduapuluh Empat

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dan beliau menyatakan shohih, dan an-Nasa’i serta ibn
Majah, dari Sa’ib bahwasanya Rasulullaah Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda:

“Jibril ‘alahissalaam mendatangiku dan berkata: ‘Perintahkan para sahabatmu untuk mengeraskan suara
mereka di dalam bertakbir.’”

25. Hadits Keduapuluh Lima

Diriwayatkan oleh al-Maruwzi di dalam kitab al-‘Iidain dari Mujahid,

Bahwasanya ‘Abdullah ibn ‘Umar dan Abu Hurairah radhiyallaah ‘anhuma mendatangi pasar pada hari-hari
sepuluh (dzulhijjah) maka keduanya bertakbir. Tidaklah mereka mendatangi pasar kecuali untuk bertakbir. Dan
diriwayatkan pula oleh ‘Ubaid ibn ‘Umair berkata: Sesungguhnya ‘Umar selalu bertakbir di dalam qubbahnya,
sehingga seisi masjid juga bertakbir, dan juga seisi pasar juga bertakbir, sehingga seluruh Mina bergemuruh
suara takbir. Dan diriwayatkan pula dari Maimun ibn Mahran berkata: Aku dapati manusia mengumandangkan
takbir di hari ke sepuluh (dzulhijjah) sehingga aku memisalkannya seperti gelombang lautan dikarenakan begitu
banyaknya.

10
11
[Fasal]

Kalau engkau mau memikirkan secara mendalam atas hadits-hadits yang telah kami kemukakan di atas, nyatalah
bahwasanya seluruhnya tidak memakruhkan mengeraskan suara di dalam berdzikir, sama sekali tidak, akan tetapi
semuanya menunjukkannya sebagai kesunnahan, baik secara langsung maupun secara tersirat seperti halnya yang
sudah kami paparkan diatas.

Adapun apabila hadits-hadits di atas secara lahiriyahnya bertentangan dengan hadits: “Sebaik-baik dzikr adalah yang
tersembunyi (sirr)”, maka dapat dibandingkan secara mu’aradhah antara hadits-hadits jahr dan sirr di dalam membaca Al-
Quran, seperti juga dengan bersedekah secara sirr. Dalam hal ini al-Imaam an-Nawawi rahimahullaah
mengkompromikan hadits-hadits tersebut dengan kesimpulan: “Menyembunyikan (sirr) lebih baik kalau khawatir akan
menimbulkan riya’, mengganggu orang yang sedang sholat, atau orang yang sedang tidur. Sedangkan jahr lebih baik
dilakukan apabila diluar kondisi-kondisi di atas. Karena pada dzikir secara jahr mengandung banyak amalan, faedahnya
dapat mengalir kepada para pendengarnya, disamping agar hati para pedzikir terjaga dan mengkonsentrasikan niatnya
kedalam fikirannya serta pendengaran menyimak alunan dzikir sehingga dapat mengusir rasa kantuk dan semakin
menambah semangat di dalam berdzikir.”

Beberapa ulama’ berpendapat Sunnah men-jahr-kan sebagian bacaan Al-Quran dan men-sirr-kan sebagiannya. Karena
boleh jadi orang yang men-sirr-kan bacaannya merasa bosan dan menyukai kembali apabila membacanya secara jahr.
Dan terkadang orang yang men-jahr-kan merasa lelah, sehingga ia dapat beristirahat dengan men-sirr-kan bacaannya.
Selesai.

12
Demikian pula pendapat kami (as-Suyuthi) tentang dzikir, dipilah-pilah seperti ini. Dengan demikian, berhasillah
dikompromikan antara hadits-hadits yang mu’aradhah (bertentangan).

Bila kamu bertanya: (Bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: “Dan sebutlah nama Rabb-mu dalam hatimu dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak dengan mengeraskan suara.”

Aku (as-Suyuthi) mencoba menjawab dengan tiga jawaban:

Pertama: “Ayat tersebut termasuk kategori Makkiyah seperti halnya ayat Al-Isra’: “Dan janganlah kamu mengeraskan
suaramu di dalam sholatmu dan janganlah pula merendahkannya”. Sesungguhnya ayat ini diturunkan ketika
Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam mengeraskan bacaan Al-Quran dan terdengar oleh orang-orang
musyrikin, sehingga mereka musyrikin mencaci-maki ayat-ayat Al-Quran dan yang menurunkannya (Allah Ta’aala). Lalu
Allah Ta’aala memerintahkan untuk meninggalkan jahr untuk menutup wasilah (cercaan mereka). Sama halnya dengan
pelarangan memaki-maki patung-patung mereka pada firman: ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”

Dan alasan pelarangan tersebut sekarang telah sirna. Ini pula yang ditunjukkan Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.

Kedua: “Sebagian mufassir, diantaranya: Abdurrahman bin Zaid bin Aslam (guru Imam Malik), dan Ibnu Jarir,
mendorong ayat ini kepada keadaan pedzikir saat ada pembacaan Al-Quran, bahwa dianjurkan demikian untuk
menghormati Al-Quran, agar suara dzikir tidak dikeraskan disisinya. Hal ini diperkuat oleh firman sebelumnya: ”Dan
apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah”. Menurut hematku: ‘Saat diperintahkan
‘inshat’ (diam dan memperhatikan) seolah-olah ada kekhawatiran akan kecenderungan kepada menganggur (dari dzikir),
maka Allah menegaskan pada ayat selanjutnya, sekalipun ada perintah berhenti dzikir dengan lisan, perintah dzikir
dengan hati tetaplah abadi sehingga jangan sampai lalai dari menyebut (nama) Allah Ta’aala. Karena itu, ayat ini diakhiri
dengan: ”Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai (dari menyebut nama Allah Ta’aala).”

Ketiga: Para ulama sufi menyebutkan, bahwa ayat di atas dikhususkan buat Nabi Shollallaah ‘alaih wa sallam yang
memang telah begitu sempurna. Sedangkan orang-orang selain beliau, yang merupakan tempat was-was dan
gudangnya pikiran-pikiran yang jelek, dianjurkanlah mengeraskan suara zikir, karena lebih memberi efek pada menolak
kekurangan-kekurangan tersebut. Menurutku, pendapat ulama sufi di atas didukung oleh hadits yang dikeluarkan Al-
Bazzar dari Mu’adz bin Jabal berkata: bersabda Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam: “Siapa saja yang shalat pada
malam hari hendaklah mengeraskan bacaannya, karena sesungguhnya para Malaikat ikut shalat bersamanya dan
mendengar bacaan dia, dan sesungguhnya seluruh jin mukmin yang terbang di udara serta tetangga yang berada dalam
rumahnya ikut pula shalat dan mendengar bacaannya, dan sesungguhnya pengerasan bacaan juga dapat mengusir jin-
jin fasiq dan setan-setan jahat dari rumah dan sekitarnya”.

Kalau engkau bertanya: (bukankah) Allah Ta’aala telah berfirman: ”Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri
dan suara yang lembut, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Dan kata ‘melampaui
batas’ ditafsirkan dengan ‘mengeraskan suara doa’, maka aku akan menjawab dengan dua jawaban sebagai berikut:

Pertama: Tafsir yang rajih mengenai ayat ini, bahwa ‘melampaui batas’ ditafsirkan dengan ‘melampaui yang
diperintahkan’ atau ‘mengada-ngadakan doa yang tidak ada dasarnya dalam agama’. Penafsiran ini diperkuat oleh hadits
yang dikeluarkan Ibnu Majah dan Hakim dalam kitab Mustadraknya, sekaligus men-shohihkannya, dari Abu Nu’amah
radhiyallaah ‘anh, bahwa Abdullah bin Mughaffal mendengar anaknya berdoa: ”Ya Allah, sesungguhnya aku memohon
kepadaMu sebuah istana putih di sebelah kanan surga.” Abdullah menegur anaknya: “Aku mendengar Rasulullah
Shollallaah ‘alaih wa sallam bersabda: ‘Akan muncul dalam kalangan umatku nanti suatu kaum yang melampaui batas
dalam doa-doa mereka’”. Beginilah penafsiran seorang sahabat yang mulia, yang beliau lebih tahu apa yang
dimaksudkan oleh sebuah nash.

Kedua: Anggaplah kita menerima (bahwa ayat di di atas memang melarang mengeraskan suara), tapi hanya
mengeraskan suara pada doa, bukan dalam berzikir. Secara khusus doa memang lebih afdhal di-sirr-kan, karena lebih
dekat kepada ijabah. Inilah alasannya mengapa Allah Ta’aala berfirman: ”Yaitu tatkala ia (Nabi Zakaria) berdoa kepada
Tuhannya dengan suara yang lemah-lembut”. Dan karena itulah disunatkan men-sirr-kan bacaan “ta’awwudz” dalam
shalat secara ittifaq, karena ia adalah doa.

Kalau engkau bertanya: Telah dinukilkan dari ibn Mas’ud, bahwa beliau menyaksikan suatu kelompok orang yang
menyaringkan suara tahlil dalam mesjid, lalu berkata: ”Aku tidak melihat kepada kalian kecuali hanya orang-orang
pembuat bid’ah semata”. Kemudian beliau mengusir mereka dari masjid.

Aku (as-Suyuthi) menjawab: Atsar Ibnu Mas’ud ini butuh kepada menjelaskan sanad-sanadnya dan siapa saja yang
ada mengeluarkannya dalam kitabnya diantara para Imam Hafidh hadits. Dan, katakanlah memang Atsar itu ‘tsabit’,
tetapi kemudian bertentangan dengan banyak hadits yang telah ‘tsabit’ pula di atas. Dan hadits lebih diutamakan kalau
terjadi ‘ta’arrudh’. Kemudian, aku melihat secara tidak langsung ada keingkaran dari Abdullah bin Mas’ud terhadap
13
atsarnya sendiri. Diantaranya, berkata Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Az-Zuhd: ‘Husen bin Muhammad
menceritakan kepada kami, Mas’udy menceritakan kepada kami dari ‘Amir bin Syaqiq dari Abu Wa-il berkata: ”Banyak
orang yang menduga bahwa Abdullah bin Mas’ud selalu melararang berzikir (secara jahr), tetapi tidaklah aku duduk
bersamanya di suatu tempat kecuali beliau selalu berdzikir”. Imam Ahmad mengeluarkan dalam ‘Az-Zuhd’ dari Tsabit Al-
Banany berkata: ”Sesungguhnya ahli dzikir ketika duduk hendak berdzikir dengan beban dosa yang semisal gunung
sekalipun, maka sesungguhnya tatkala mereka bangun dari ‘dzikrullah’ ia tidak lagi mempunyai dosa sedikitpun.

SELESAI

******************************************************************************************************************************************

14
BIOGRAFI Al-IMAM SUYUTI

Namanya adalah Abd Al-Rahmaan Ibn Abu Bakr Ibn Muhammad Ibn Saabiq Al-Khudairee Al-Suyuti dan gelarannya
adalah Imam Suyuti. As Suyoot adalah satu tempat di Mesir di mana ayahnya dilahirkan dan salah seorang datuknya
membuka sekolah atau madrasah di sana. Imam Suyuti lahir pada tahun 849H bersamaan dengan 1445 M di Cairo Mesir
dan meninggal pada 911H pada umur 52 tahun. Beliau dibesarkan sebagai anak yatim, karena ayahnya meninggal ketika
umurnya 5 tahun. Dia sudah menghapal Al Qur’an pada umur 8 tahun. Dia belajar ilmu lebih dari 150 orang syeikh yang
memberi dia ijazah atau autorisasi untuk mensyarahkan dan mengajar ilmu-ilmu guru-gurunya. Umurnya juga pendek
hanya 52 tahun. Kitab pertama yang ditulisnya adalah Sharh Al-Isti’aadha wal-Basamallah yang ditulisnya sewaktu
berumur 17 tahun. Tetapi keaktifan menulis selepas umur 40 tahun dan ia dapat menghasilkan 600 buah kitab. Dalam
masa hanya 12 tahun, dia dapat menghasilkan sebegitu banyak kitab. Artinya dia dapat menyiapkan sebuah kitab setiap
minggu. Padahal kitab-kitabnya itu pula tebal-tebal dan perbahasannya dalam bermacam-macam jenis ilmu. Diantara
kitabnya yang terkenal Al Itqan fi Ulumil Qur’an, Al Hawi lil Fatawa (dua jilid), Al Jamius Soghir (mengandungi matan-
matan Hadith), Al-Jaami’-ul-Kabeer, tafsir Jalalain, Al Iklil, Dur Al Manthur, Sharh Al Alfiyyah, Tarilkh Al Khulafa, Al-
Khulafah Ar Rashidun dan lain-lain lagi.

Kalaulah beliau menulis atas dasar membaca atau otak semata-mata, tentulah tidak mungkin. Dalam masa 12 tahun
dapat menulis hampir 600 kitab atau dalam masa hanya 1 minggu dapat tulis sebuah kitab. Inilah ilmu laduni yang Allah
anugerahkan kepada hambanya yang bertaqwa. Tidak heranlah hal ini boleh berlaku karena dalam kitab Al Tabaqatul
Kubra karangan Imam Syakrani ada menceritakan yang ia dapat yakazah dengan Rasulullah SAW sebanyak 75 kali.
Sempat bertanya tentang ilmu dengan Rasulullah SAW. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Imam Suyuti bukan
hanya pakar tauhid, fikih atau tasawuf, tapi ia juga pakar dalam berbagai bidang ilmu lainnya seperti astronomi, botani,
zoologi, matematika dan sebagainya. Sayang kitab-kitab tulisan beliau tentang sains tidak sampai kepada kita di zaman
ini, kecuali beberapa saja diantaranya sebuah kitab tebal tentang botani yang menceritakan tentang berbagai jenis
tumbuhan obat dan khasiatnya dalam menyembuhkan berbagai penyakit. Kitab itu sudah diterjemah ke dalam Bahasa
Inggris dan diterbitkan di London dengan judul As Suyuti’s Medicine of The Prophet. Tidak ada ulama atau saintis di
zaman ini macam Imam Suyuti yang selain pakar dalam bidang ilmu-ilmu agama tapi pada saat yang bersamaan pakar
dalam berbagai bidang sains dan teknologi. Begitulah kehebatan ulama sekaligus saintis Islam yang bertaqwa.

Imam as-Suyuthi dalam kitabnya Husn al-Muhadharah menyebutkan perihal biografinya,. Beliau berkata :
“Sesungguhnya saya mencantumkan dalam kitab saya ini perihal biografi pribadi sebagaimana yang telah dilakukan oleh
para penulis sebelum saya.Tidak sedikit yang menulis sebuah buku kecuali dituliskan di dalam buku tersebut tentang
biodata pribadi sang penulis, sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Abdul Ghaffar al-Farisi dalam kitabnya Tarikh
Naisabur, Yaqut al-Hamawi dalam kitabnya Mujam al-Buldan dan Lisan ad-Din Ibnu al-Khathib dalam kitabnya Tarikh
Gharnathah, dan al-Hafizh Taqiyuddin al-Farisi dalam kitab Tarikh Makkah, al-Hafizh Abu Al-Fadhl Ibnu Hajar dalam
Qadha Misr, Abu Syammah dalam kitabnya ar-Rawdhataini dia adalah orang yang paling wara dan zuhud.

Masa Kelahiran Imam as-Suyuthi dan pertumbuhannya


Imam as-Suyuthi berkata : “Saya dilahirkan pada waktu Maghrib malam Ahad awal bulan Rajab pada tahun 849 H.
Kemudian pada saat bapakku masih hidup saya dibawa kepada syaikh Muhammad al-Majdzub seorang pembesar para
wali di samping Masyhad an-Nafisi, kemudian beliau mendo’akan saya.”
Dia menambahkan : “Saya tumbuh dalam keadaan yatim dan saya telah hafal al-Qur’an ketika berusia belum
genap delapan tahun, juga saya telah hafal kitab al-‘Umdah, dan kitab Minhaj al-Fiqh, dan kitab al-Ushul serta kitab
Alfiyah Ibnu Malik.”
Dalam kitabnya an-Nur as-Safir halaman 51 al-Idrusi berkata : “Ayahnya meninggal pada malam senin tanggal 5
bulan Shafar tahun 855 H, kemudian dia mewasiatkannnya kepada Syaikh Kamal ad-Din bin al-Hammam, maka beliau
pun menjaga, mengurus serta mendidiknya.”
Imam as-Suyuthi berkata : “Saya telah berkecimpung dalam dunia pendidikan pada awal tahun 864 H.Kemudian
saya belajar Fikih, Nahwu dari beberapa ulama besar, saya belajar ilmu Faraidh kepada syeikh al-‘Allamah Syihabuddin
asy-Syarmasahi yang dikatakan padanya : bahwasannya dia telah mencapai usia sepuh lebih dari seratus tahun.Allah
Maha Mengetahui.Saya telah membaca dalam syarahnya dalam kitab al-Majmu’.”
Kemudian saya melanjutkan dengan mengajar bahasa Arab pada awal tahun 866 H.Pada tahun ini saya mulai
menulis sebuah buku, adapun buka yang pertama saya tulis adalah buku : “Syarh al-‘Isti’adzah wa al-
Basmalah”.Kemudian saya mewakafkannya kepada Syeikh al-Islam ‘Ilm ad-Din al-Bulqaini kemudian dia menulis kalimat
pujian, dan senantiasa menyertakannya dalam fikihnya sampai dia meninggal kemudian dilanjutkan oleh anaknya.
Perjalanan Karir Intelektualnya
Imam as-Suyuthi telah mengabarkan kepada kami tentang perjalanan karir pendidikannya, beliau berkata : “Saya
memulai perjalanan menuju Syam, kemudian Hijaz, Yaman, India, Maghrib dan at-Takrur.”
Kemudian dia mengabarkan juga tentang perjalanan Hajinya, beliau berkata : “Ketika saya menunaikan ibadah Haji
saya meminum air Zam zam karena beberapa alasan, diantaranya : Karena saya ingin mencapai dalam ilmu fikih sampai
layaknya derajat Syaikh Siraj ad-Din al-Balqaini, dan dalam bidang hadits laksana tingkatan Syeikh al-Hafizh Ibnu Hajar.”

Keilmuan dan Perannya dalam Bidang Ilmu Pengetahuan

15
Imam as-Suyuthi adalah seorang yang luar biasa di masanya, beliau adalah sumber dan gudangnya ilmu
pengetahuan serta yang ahli dalam bidang sejarah Islam, Dia telah berusaha untuk mengumpulkan dan merumuskan
berbagai macam ilmu di masanya.Karya-karyanya banyak hingga mencapai enam ratus karya tulis.
Dia berkata : “Saya telah dianugrahi untuk bergelut dalam tujuh disiplin ilmu : Tafsir, HAdits, Fikih, Nahwu, ilmu
Ma’ani dan Bayan saya mendapatkannya melalui orang-orang Arab dan para ahli Balaghah bukan berdasarkan pada
metode orang asing dan para Ahli Filsafat.”
Dia menambahkan : “Pada permulaan saya menuntut ilmu, saya belajar ilmu mantiq (ilmu logika) kemudian Allah
menaruhkan rasa benci dalam hatiku akan ilmu tersebut.Bahkan saya mendengar bahwa Ibnu Shollah telah
mengeluarkan fatwa keharamannya dan keharusan meninggalkan ilmu tersebut.Kemudian Allah menggantikannya
dengan ilmu hadits yang merupakan ilmu paling mulia.”

Moralitas (Akhlak) Imam as-Suyuthi dan Pujian Ulama kepadanya


Najmuddin al-Qurra dalam kitabnya “al-Kawakib as-Sairah Bi ’Ayani al-Mi’ah al-’Asyirah” berkata : “Tatkala dia
berusia empat puluh tahun dia memfokuskan dan menyibukkan dirinya untuk beribadah kepada Allah, dan menjauhkan
diri dari kehidupan dunia dan penduduknya seakan-akan dia tidak mengenal seorang pun, kemudian dia mulai menulis
karya-karyanya, lalu dia meninggalkan fatwa dan mengajar, dia meminta udzur akan hal tersebut yang dia paparkan
dalam karyanya “at-Tanfis”.Kemudian dia melanjutkan hal tersebut sampai dia meninggal, dia tidak membukakan pintu
rumahnya di pesisir sungai an-Nil dari ketukan penduduk.Kemudian orang-orang terpandang para wali dan ulama
berdatangan untuk menjenguknya, lalu mereka menyodorkan harta kepadanya, namun dia menolaknya.Begitu juga an-
Nuri memberikan seorang budak dan uang sebanyak seribu dinar, kemudian dia mengembalikan uang tersebut dan
mengambil budak lalu dia memerdekakannya dan menjadikannnya pelayan di ruangan an-Nabawiyyah, kemudian dia
berkata kepada sang Sultan : “Janganlah kamu datang kepada kami dengan hadiyah, karena sesungguhnya Allah telah
menganugrahkan kepada kami dari hadiah-hadiah tersebut.Dia tidak memihak dan membeda-bedakan antara sultan dan
yang lainnya.Dia memintanya untuk hadir ketempatnya berulang-ulang namun dia tidak datang.
Al-’Idrusi dalam kitabnya an-Nur as-Safir ’an Akhbar al-Qarn al-’Isyrin mengatakan : “Dikisahkan bahwasannya dia
pernah berkata : “Suatu saat saya bermimpi seolah-olah saya bersama Rasulullah, lalu saya memperlihatkan kepadanya
sebuah kitab yang saya tulis dalam bidang hadits yaitu kitab “Jam’u al-Jawami’”Kemudian saya berkata : “Bacalah oleh
kalian sedikit saja dari kitab ini.”Lalu beliau bersabda : “Bawalah kemari wahai ulama hadits, kemudian dia berkata lagi :
“Ini adalah kabar gembira buatku yang paling agung dan mulia daripada dunia dan segala isinya.”

Karya-karyanya
Imam as-Suyuthi telah meninggalkan karya-karyanya begitu banyak dalam berbagai disiplin ilmu, dikarenakan
beliau rajin menulis buku pada usia mudanya.
Dia berkata : “Saya mulai menulis buku pada tahun 866 H.Dan sampai sekarang-ketika dia menulis buku Husn al-
Muhadhara- telah mencapai tiga ratus buku selain yang telah saya hapus dan saya perbaiki.”
Akan tetapi jumlah tersebut semakin bertambah pada masa-masa terakhir dalam hidupnya setelah ditulisnya kitab
“Husn al-Muhadharah”.Al-’Idrusi dalam kitabnya An-Nur as-Safir halaman 52 mengatakan : “Karya-karyanya telah
mencapai jumlah hingga enam ratus karya selain yang dia perbaiki dan yang tercuci.”
Diantara karya-karyanya yang terkenal, antara lain :
· Al-Itqan Fi ’Ulum al-Quran.
· Ad-Dur al-Mantsur fi at-Tafsir bi al-Ma’tsur.
· Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul.
· Mufahhamat al-Aqran fi Mubhamat al-Qur’an.
· Al-Iklil fi Istinbath at-Tanzil.
· Takammulah Tafsir Syaikh Jalaluddin al-Mahalli.
· Hasyiyah ’Ala Tafsir al-Baidhawi.
· Tanasuq ad-Durar fi Tanasub as-Suar.
· Syarh asy-Syathibiyyah.
· Al-Alfiyyah fi al-Qiraat al-Asyr.
· Syarh Ibnu Majah.
· Tadrib ar-Rawi.
· Is’af al-Mubaththa birijal al-Muwaththa.
· Al-Alai’ al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah.
· An-Naktu al-BAdi’at ‘Ala al-Maudhu’at.
· Syarh as-Shudur Bi Syarh Hal al-Mauta wa al-Qubur.
· Al-Budur as-Safirah ‘An Umur al-Akhirah.
· Ath-Thib an-Nabawi.
· Ar-Riyadh al-Aniqah fi Syarh Asma’ Khair al-Khalifah.
· Al-Asybah wa An-Nadhair
· Jam’u al-Jawami’
· Tarjumah an-Nawawi.
· Diwan Syi’r
· Tuhfah azh-zharfa’ Bi Asma’ Al-Khulafa’
· Tarikh Asyuth
· Tarikh al-Khulafa’.

16
Meninggalnya Imam As-Suyuthi

Al-‘Idrusi berkata : “ Imam As-Suyuthi meninggal Pada waktu Ashar tanggal sembilan belas Jumadil Ula tahun 911 H.Dia
dishalatkan di MAsjid Jami’ al-Afariqi di ruangan bawah.Kemudian dia dimakamkan di sebelah timur pintu al-
Qarafah.Sebelum meninggalnya dia mengalami sakit selama tiga hari.”
Kitab al-Umdah al-Ahkan karya Ibnu Daqiq al-’Id.
Kitab Minhaj ath-Thalibin karya an-Nawawi.
Kitab Minhaj al-Wushul Ila ’Ilm al-Ushul karya al-Baidhawi.
At-Takrur adalah sebuah wilayah yang dinisbatkan kepada sebuah kabilah dari Sudan pada bagian selatan Maghrib.

- Di olah dari buku Membangun Sains, Teknologi Menurut Kehendak Tuhan


Karya Dr. Ing. Abdurrahman R. Effendi dan Dr. Ing. Gina Puspita
- Dari berbagai sumber

Ramadhan 1432H @ Blok I Banowati

Al_faqir

17

Anda mungkin juga menyukai