Anda di halaman 1dari 4

NABI MUHAMMAD DALAM BARZANJI

Kolom Edi Hudiata

TIDAK SEKEDAR SEREMONIAL


Seperti telah menjadi tradisi yang tidak bisa dikompromikan, umat Muslim di Indonesia dan
beberapa negara lain, ramai memperingati hari lahir Nabi Muhammad pada 12 Rabî’ul Awwal
setiap tahunnya. Bahkan, ada yang menganggap ritual keagamaan ini bagian dari keimanan
seseorang, jika tidak merayakannya maka ia tidak beriman.

Jika dihadapkan pada pertanyaan: mana yang lebih utama, merayakan maulid nabi dengan cara
seremonial, atau mengingat kembali perjuangan Nabi Muhammad dalam rangka menjadi
manusia yang bermakna? Tentu kita akan menjawab: lebih utama dua-duanya, merayakan
maulid juga mengingat perjuangannya untuk dijadikan barometer menuju hidup yang bermakna.

Baiklah, kita lepaskan kontroversi seputar boleh tidaknya memperingati maulid Nabi dan
kepastian tanggal kelahiran Nabi. Yang ingin diketengahkan saat ini adalah: apa yang bisa kita
petik dari peringatan maulid Nabi Muhammad saw?

Berbicara tentang Nabi Muhammad sudah pasti tidak lepas dari kisah teladan dan akhlak
mulianya. Siti Aisyah, ketika ditanya oleh orang Badui tentang akhlak Nabi, mengatakan:
“Khuluquhu al-Qur`ân/ akhlaqnya adalah al-Quran.” KH. Mustofa Bisri yang akrab dipanggil
Gus Mus dalam sebuah pengajian di Masjid Agung Jawa Tengah mengilustrasikan akhlak Nabi
dengan orang yang membeli TV yang tidak perlu membaca buku petunjuk tapi bisa
menyalakannya. Hal ini karena orang tersebut telah sering melihat orang lain menyalakan TV.
“Begitu pula akhlak Nabi, jika kita ingin tahu tentang al-Quran, maka lihatlah perilaku Nabi
Muhammad. Maka kita akan tahu isi al-Quran” tuturnya.

Nabi Muhammad dalam Barzanji


Banyak kitab yang menceritakan tentang keagungan Nabi Muhammad. Mulai dari zaman klasik
sampai modern. Mulai dari umat Muslim sendiri sampai non muslim. Salah satu kitab klasik
yang menceritakan tentang pribadi Nabi Muhammad adalah ‘Iqd al-Jawâhîr (Kalung Permata)
karya Syaikh Ja’far al-Barzanji bin Husin bin Abdul Karim yang wafat pada tahun 1766 M.
Kitab ini kemudian lebih dikenal dengan Kitab al-Barzanji, dinisbahkan kepada penulisnya.

Barzanji selalu dibaca di berbagai tempat dalam setiap perayaan maulid Nabi, sebagai upaya
mengingat kembali perjuangan kekasih Allah, mulai dari masa kandungan, remaja, pra-
kenabian, kenabian, hingga wafat Nabi Muhammad saw.

Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa
ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa
Nabi Muhammad adalah pilihan Allah.

Keagungan akhlak Nabi Muhammad tergambarkan dalam setiap prilaku sehari-hari. Sekitar
umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan
batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku
dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan
dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk
memegang setiap ujung sorban yang ia letakkan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan
kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian
mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Melihat kondisi kita saat ini, nampaknya sikap akomodatif terkesampingkan demi memenuhi
kepentingan pribadi dan golongan. Sikap akomodatif akan muncul di saat ada tujuan yang harus
dicapai dengan berkongsi.

Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang
terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat
yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah
kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di
sampingnya. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada
sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi
Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun
tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.

Bagaimana dengan kita? Agak sulit memang, dalam kondisi berada di posisi puncak kemudian
harus memanggil dan meminta orang duduk di samping kita yang “terhormat”. Bahkan, tak
jarang kita berfikiran hal itu justru akan menjatuhkan derajat kita sebagai orang penting.

Nabi Muhammad Idolaku


Akhlak Nabi Muhammad yang paripurna terhadap umatnya digambarkan oleh Allah dalam Surat
At-Taubah ayat 128, sebagai Rasul yang datang kepada umat dari golongannya sendiri, ia
merasakan beratnya penderitaan yang dialami oleh umat, ia sangat menginginkan kebaikan untuk
umat, dan ia amat tinggi belas kasih dan rasa sayangnya terhadap orang-orang mukmin.
Kecintaan dan perhatiannya terhadap umatnya amatlah besar, sehingga ketika menjelang ajalnya
kalimat yang sering ia ucapkan adalah: “Assholâh, assholâh, assholâh... ummatî, ummatî,
ummatî.../ Shalat, shalat, shalat... umatku, umatku, umatku...”.

Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara
peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya
Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika... / Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam
untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu.

Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat dan pujian kepada
Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh al-Sîrah al-Nabawiyyah/
Memahami Perjalanan Nabi: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan nabi
dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan
hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”

Dan tujuan itu dapat tercapai melalui langkah-langkah berikut: pertama, kita harus memahami
kepribadian Rasulullah saw melalui perjalanan hidupnya. Kedua, hendaknya kita memiliki satu
teladan untuk dijadikan barometer, dan teladan yang paling baik adalah Nabi Muhammad saw.
Ketiga, kita harus memahami Al-Quran, merasakan ruhnya, dan mengerti tujuannya. Keempat,
umat Muslim harus memiliki pengetahuan Islam yang benar dari tiga dimensi pengetahuan:
akidah, hukum dan akhlak. Kelima, para da’i dan pengajar harus mampu memberikan contoh
nyata (teladan) atas apa yang disampaikannya. (Al-Bûthî, 15-16).

Mengakhiri tulisan ini, saya teringat percakapan dengan seorang guru dari Rangkasbitung, H.
Muhammad Yusuf, beberapa waktu yang lalu. Beliau mengatakan: “Saat kita bershalawat dan
memuji Rasulullah, terbersitkah di hati kita untuk meneruskan perjuangan beliau? Atau jangan-
jangan shalawat dan pujian itu hanya tertahan di mulut tidak sampai ke hati?”. Ilâhi anta
maqsûdî wa ridlâka mathlûbî.

Anda mungkin juga menyukai