Anda di halaman 1dari 13

MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Pengertian
Maulid Nabi Muhammad SAW terkadang Maulid Nabi atau Maulud saja (bahasa Arab: ‫ مولد‬،‫مولد‬
‫النبي‬, mawlidun-nabī), adalah peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang di Indonesia
perayaannya jatuh pada setiap tanggal 12 Rabiul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata
maulid atau milad dalam bahasa Arab berarti hari lahir. Perayaan Maulid Nabi merupakan
tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad wafat. Secara
subtansi, peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi
Muhammad.Daftar isi [sembunyikan]

Sejarah
Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi,
seorang gubernur Irbil, di Irak pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-
1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri.
Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta
meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang
Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem dan
sekitarnya.

Perayaan di Indonesia
Masyarakat muslim di Indonesia umumnya menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan
perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barzanji
dan pengajian. Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acara
Muludan juga dirayakan dengan perayaan dan permainan gamelan Sekaten.

Perayaan di luar negeri


Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni
merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada
tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam,
yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.

Maulid dirayakan pada banyak negara dengan penduduk mayoritas Muslim di dunia, serta di
negara-negara lain di mana masyarakat Muslim banyak membentuk komunitas, contohnya
antara lain di India, Britania, dan Kanada Arab Saudi adalah satu-satunya negara dengan
penduduk mayoritas Muslim yang tidak menjadikan Maulid sebagai hari libur resmi. Partisipasi
dalam ritual perayaan hari besar Islam ini umumnya dipandang sebagai ekspresi dari rasa
keimanan dan kebangkitan keberagamaan bagi para penganutnya.
Perbedaan pendapat
Terdapat beberapa kaum ulama yang berpaham Salafi dan Wahhabi yang tidak merayakannya
karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah bid'ah, yaitu kegiatan yang
bukan merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim
yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatannya.
Namun demikian, terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi
bukanlah hal bid'ah, karena merupakan pengungkapan rasa cinta kepada Nabi

Makna
Dengan mengenang perjuangan Nabi Besar kita Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya,
umat muslim di dunia menjadikan hari kelahiran beliau sebagai hari mengingat, mempertebal
dan menauladani sifat, sikap seorang yang memang mempunyai hati mulia, betapa tidak nabi
kita dijuluki Al-Amin (terpercaya) oleh bangsa quraisy pada jaman itu. Bangsa quraisy
merupakan bangsa yang mayoritas dan menyembah berhala sebagai tuhannya dengan kata
lain nabi tidak juga membedakan harga ataupun timbangan kepada orang muslim ataupun
orang non muslim.

Ada pula riwayat yang menceritakan bahwa setiap Nabi Muhammad SAW selesai beribadah
dan lewat pada salah satu gang beliau diludahi, dilempar kotoran oleh salah seorang kafir
setiap hari , beliau hanya berdo’a agar orang kafir itu dibukakan pintunya hatinya seraya tanpa
marah dan dendam. Pada suatu ketika Nabi berjalan di gang yang sama, setelah beberapa hari
Nabi pun heran ” kemana orang yang sering melempari aku ketika aku selesai beribadah di
ujung gang ini” dan bertanyalah beliau kepada salah satu penduduk dan penduduk itu
menjawab ” ia sedang sakit ya rosul ” datanglah rosul ketempat rumah orang yang sering sekali
melampari beliau sambil membawa semangkok makanan, sang pemilik rumah pun tersentak
dan menangis tersedu sambil berkata “ya Muhammad aku sering sekali melempari engkau
dengan ludahan, kotoran dan sekarang engkau kerumahku hanya untuk menjenguk dan
membawa semangkok makanan seraya tidak ada dendam dan dengki dimatamu sedangkan
tetangga dan kerabatku belum menjengukku sama sekali, ya Muhammad sungguh mulia
hatimu…” Itu hanya sekelumit kecil perilaku Nabi Muhammad SAW yang amat baik untuk ditiru.

Sesungguhnya momentum Peringatan Maulid Nabi SAW hendaknya memberikan bekas dan
pengaruh yang nyata dalam memperbaiki masyarakat menuju umat terbaik, sebagaimana
firman Allah:

َ ‫هللا َو ْال َي ْو َم اآْل خ َِر َو َذ َك َر‬


...‫هللا َكثِيرً ا‬ َ ‫هللا أُسْ َوةٌ َح َس َن ٌة ِل َمنْ َك‬
َ ‫ان َيرْ جُو‬ ِ ‫ُول‬ِ ‫ان لَ ُك ْم فِي َرس‬
َ ‫لَ َق ْد َك‬

Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.

(QS al-Ahzab [33]: 21)....Hanya dengan itulah umat Islam dapat meraih kembali kemuliaannya
yang hakiki, yang hakikatnya memang hanya milik mereka. Maha Benar Allah Yang berfirman:

َ ‫هلل ْالع َِّزةُ َول َِرسُولِ ِه َول ِْلم ُْؤ ِمن‬


‫ِين‬ ِ ‫َ ِو‬
Kemuliaan itu hanyalah milik Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang Mukmin. (QS al-Munafiqun
[63]: 8).

Hikmah dibalik Memperingati Maulid Nabi Besar MUHAMMAD SAW


1
Setiap kali Rabi`ul Awwal menjelang, kita akan memperingati hari kelahiran Rasulullah s.a.w.
Bagi pendakwah, kedatangan bulan Maulid Nabi ini adalah satu ‘stop point’ untuk kita
memperbaharui keyakinan kita terhadap kesaksian bahawa Muhammad Rasulullah s.aw dan
meningkatkan komitmen untuk menunaikan tanggungjawab dari keyakinan itu.Berikut adalah
perkara-perkara yang perlu ditunaikan oleh setiap muslim khususnya para pendakwah yang
berkaitan dengan keimanannya terhadap nabi Muhammad s.a.w;

1. Mencontohi beliau dalam semua perkara dengan berusaha untuk melakukan sunnah-sunnah
beliau.

2. Menyebarkan sunnah Rasulullah s.a.w di kalangan manusia dan masyarakat. Ini dilakukan
secara sempurna dengan penglibatan yang aktif dalam usaha dakwah. Usaha mengajak
manusia untuk mengamalkan Islam berdasarkan ajaran Al-Quran dan Sunnah Rasulullah s.a.w.

3. Mempertahankan sunnah Rasulullah s.a.w dari penyelewengan dan serangan mereka yang
dengki terhadapnya. Ini juga tidak dapat dicapai kecuali dengan penglibatan dalam usaha
dakwah. Bahkan lebih penting lagi ialah usaha dakwah yang kolektif.

4. Berkaitan dengan segala di atas, hendaklah ada dalam kehidupan kita masa untuk kita
membaca dan mengkaji buku-buku hadits kerana tidak mungkin kita dapat melakukan sunnah
Rasulullah s.a.w menyebar dan mempertahankannya jika tidak mengetahuinya. Tidak mungkin
pula, kita dapat mengetahui sunnah Rasulullah s.a.w jika tidak mengkaji dan membacanya.
Begitu juga dengan mengkaji sirah Rasulullah s.a.w bagi mendapat panduan dan untuk
dijadikan bahan iktibar dalam usaha dakwah. Usaha ini seharusnya tidak terhenti dalam
kehidupan kita kerana luasnya ilmu berkaitan hadits dan sirah Rasulullah s.a.w dan banyaknya
buku yang ada sebagai bahan kajian. Usaha ini juga penting kerana ia akan membantu
memperingatkan diri kita yang pelupa, memperbaharui kasih kita kepada Rasulullah s.a.w dan
mempertingkatkan komitmen dalam usaha dakwah.

5. Hendaklah kita sentiasa berselawat ke atas Rasulullah s.a.w sebagai tanda kasih kita kepada
beliau dan sebagai sebahagian dari zikir harian kita yang akan menyucikan dan menguatkan
rohani kita. Bagi pendakwah, berselawat ke atas Rasulullah s.a.w setiap hari adalah sesuatu
yang mesti. Bagi pendakwah, selawat adalah sesuatu yang seharusnya membasahi bibir dan
mulut kita. Adalah malang jika dalam sehari selawat kita kepada Rasulullah s.a.w tidak melebihi
dari jari yang kita miliki. Sedangkan ia adalah satu amal yang mudah. Ia boleh dilakukan hampir
di mana sahaja dan pada bila-bila masa. Samada ketika memandu, dalam MRT, berehat
sebentar dari tugas di pejabat dan sebagainya.
Hasil dari apa yang dinyatakan di atas, ialah rasa kerinduan yang amat sangat terhadap
Rasulullah s.a.w dalam diri kita. Rindu untuk bertemu beliau, rindu untuk bersalam dan
mengucup tangan beliau dan rindu untuk mendakap beliau.

Ibarat seorang yang merindui kekasihnya atau isterinya yang lama telah ditinggalkannya kerana
bermusafir.

Bersedihlah kita hari ini, apabila hari-hari sebelum ini kita tidak pernah merasai kerinduan
kepada Rasulullah s.a.w sedangkan kita sering merindui isteri, anak-anak atau kekasih.

Kerinduan inilah yang akan membentuk dorongan yang kuat untuk terus menjayakan
perjuangan ini kerana kita memahami bahawa kerinduan ini tidak akan terubat kecuali dengan
bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Untuk bertemu dengan Rasulullah s.a.w, kita haruslah layak
untuk memasuki syurga dan tidak mungkin, kita dapat memasuki syurga jika amal kita sedikit
dan komitmen kita kepada perjuangan ini lemah.

Umat dahulu, kerana kerinduannya yang sangat kepada Rasulullah s.a.w telah mendorong
mereka untuk terjun dalam medan jihad pertempuran kerana ingin cepat menjadi syuhada agar
cepat pula bertemu dengan Rasulullah s.a.w.

“Ya Allah! Sampaikan selawat dan salam kepada RasulMu, kekasih Kau dan kekasih kami.
Sampaikanlah rasa kerinduan kami kepada beliau. Ubatilah kerinduan ini dengan satu
pertemuan yang segera antara kami dan beliau dalam keadaan berdakapan.”

Setelah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam wafat, seketika itu pula kota Madinah bising dengan
tangisan ummat Islam; antara percaya - tidak percaya, Rasul Yang Mulia telah meninggalkan
para sahabat. Beberapa waktu kemudian, seorang arab badui menemui Umar dan dia meminta,
“Ceritakan padaku akhlak Muhammad!”. Umar menangis mendengar permintaan itu. Ia tak
sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan
diajukan permintaan yg sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal
hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.

Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu
pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi.

Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Orang Badui ini mulai heran.
Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia
merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak
Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali.
Ali dengan linangan air mata berkata, “Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini
menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini….” Ali
menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman
bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat
melukiskan akhlak Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, sedangkan Allah telah berfirman
bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. Isteri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam yang sering disapa
“Khumairah” oleh Nabi ini hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-
Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu
bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak
Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui
ini untuk membaca dan menyimak QS Al-Mu’minun [23]: 1-11.

Bagi para sahabat, masing-masing memiliki kesan tersendiri dari pergaulannya dengan Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam. Kalau mereka diminta menjelaskan seluruh akhlak Nabi, linangan
air mata-lah jawabannya, karena mereka terkenang akan junjungan mereka. Paling-paling
mereka hanya mampu menceritakan satu fragmen yang paling indah dan berkesan dalam
interaksi mereka dengan Nabi terakhir ini.

Mari kita kembali ke Aisyah. Ketika ditanya, bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam, Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah
baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di
tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku
berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang
dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul
kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang
utusan Allah.

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika
menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka
pintu rumah. terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata,
“Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad menjawab, “Aku pulang sudah larut malam,
aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku
tidur di depan pintu.” Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap
isteri kita? Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap
isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada
masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan
mengecam mereka.

Buat sahabat yang lain, fragmen yang paling indah ketika sahabat tersebut terlambat datang ke
Majelis Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk
mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak ada yang mau memberinya tempat. Di tengah
kebingungannya, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam memanggilnya. Rasul sallAllahu ‘alayhi
wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul sallAllahu ‘alayhi
wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas
tempat duduk. Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut
namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi sallAllahu
‘alayhi wasallam tersebut.

Senangkah kita kalau orang yang kita hormati, pemimpin yang kita junjung tiba-tiba melayani
kita bahkan memberikan sorbannya untuk tempat alas duduk kita. Bukankah kalau mendapat
kartu lebaran dari seorang pejabat saja kita sangat bersuka cita. Begitulah akhlak Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam, sebagai pemimpin ia ingin menyenangkan dan melayani
bawahannya. Dan tengoklah diri kita. Kita adalah pemimpin, bahkan untuk lingkup paling kecil
sekalipun, sudahkah kita meniru akhlak Rasul Yang Mulia.

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam juga terkenal suka memuji sahabatnya. Kalau kita
baca kitab-kitab hadis, kita akan kebingungan menentukan siapa sahabat yang paling utama.
Terhadap Abu Bakar, Rasul SAW selalu memujinya. Abu Bakar- lah yang menemani Rasul
SAW ketika hijrah. Abu Bakarlah yang diminta menjadi Imam ketika Rasul SAW sakit. Tentang
Umar, Rasul SAW pernah berkata, “Syetan saja takut dengan Umar, bila Umar lewat jalan yang
satu, maka Syetan lewat jalan yang lain.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam bermimpi meminum susu. Belum habis satu gelas, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
memberikannya pada Umar yang meminumnya sampai habis. Para sahabat bertanya, Ya Rasul
apa maksud (ta’wil) mimpimu itu? Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab “ilmu
pengetahuan.”

Tentang Utsman, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam sangat menghargai Utsman karena itu
Utsman menikahi dua putri Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, hingga Utsman dijuluki Dzu an-
Nurain (pemilik dua cahaya). Mengenai Ali, Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam bukan saja
menjadikannya ia menantu, tetapi banyak sekali riwayat yang menyebutkan keutamaan Ali.
“Aku ini kota ilmu, dan Ali adalah pintunya.” “Barang siapa membenci Ali, maka ia merupakan
orang munafik.”

Lihatlah diri kita sekarang. Bukankah jika ada seorang rekan yang punya sembilan kelebihan
dan satu kekurangan, maka kita jauh lebih tertarik berjam-jam untuk membicarakan yang satu
itu dan melupakan yang sembilan. Ah…ternyata kita belum suka memuji; kita masih suka
mencela. Ternyata kita belum mengikuti sunnah Nabi.

Saya pernah mendengar ada seorang ulama yang mengatakan bahwa Allah pun sangat
menghormati Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Buktinya, dalam Al-Qur’an Allah
memanggil para Nabi dengan sebutan nama: Musa, Ayyub, Zakaria, dll. tetapi ketika
memanggil Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam, Allah menyapanya dengan “Wahai
Nabi”. Ternyata Allah saja sangat menghormati beliau.

Para sahabat pun ditegur oleh Allah ketika mereka berlaku tak sopan pada Nabi sallAllahu
‘alayhi wasallam. Alkisah, rombongan Bani Tamim menghadap Rasul sallAllahu ‘alayhi
wasallam. Mereka ingin Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam menunjuk pemimpin buat mereka.
Sebelum Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam memutuskan siapa, Abu Bakar berkata: “Angkat Al-
Qa’qa bin Ma’bad sebagai pemimpin.” Kata Umar, “Tidak, angkatlah Al-Aqra’ bin Habis.” Abu
Bakar berkata ke Umar, “Kamu hanya ingin membantah aku saja,” Umar menjawab, “Aku tidak
bermaksud membantahmu.” Keduanya berbantahan sehingga suara mereka terdengar makin
keras. Waktu itu turunlah ayat: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya. Takutlah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengar dan
maha Mengetahui. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menaikkan suaramu di atas
suara Nabi. janganlah kamu mengeraskan suara kamu dalam percakapan dengan dia seperti
mengeraskan suara kamu ketika bercakap sesama kamu. Nanti hapus amal- amal kamu dan
kamu tidak menyadarinya” (QS. Al-Hujurat 1-2)
Setelah mendengar teguran itu Abu Bakar berkata, “Ya Rasul Allah, demi Allah, sejak sekarang
aku tidak akan berbicara denganmu kecuali seperti seorang saudara yang membisikkan
rahasia.” Umar juga berbicara kepada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan suara yang
lembut. Bahkan konon kabarnya setelah peristiwa itu Umar banyak sekali bersedekah, karena
takut amal yang lalu telah terhapus. Para sahabat Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam takut akan
terhapus amal mereka karena melanggar etiket berhadapan dengan Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam.

Dalam satu kesempatan lain, ketika di Mekkah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam didatangi
utusan pembesar Quraisy, Utbah bin Rabi’ah. Ia berkata pada Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam,
“Wahai kemenakanku, kau datang membawa agama baru, apa yang sebetulnya kau kehendaki.
Jika kau kehendaki harta, akan kami kumpulkan kekayaan kami, Jika Kau inginkan kemuliaan
akan kami muliakan engkau. Jika ada sesuatu penyakit yang dideritamu, akan kami carikan
obat. Jika kau inginkan kekuasaan, biar kami jadikan engkau penguasa kami”

Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam mendengar dengan sabar uraian tokoh musyrik ini. Tidak
sekalipun beliau membantah atau memotong pembicaraannya. Ketika Utbah berhenti, Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam bertanya, “Sudah selesaikah, Ya Abal Walid?” “Sudah.” kata Utbah.
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam membalas ucapan utbah dengan membaca surat Fushilat.
Ketika sampai pada ayat sajdah, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun bersujud. Sementara itu
Utbah duduk mendengarkan Nabi sampai menyelesaikan bacaannya.

Peristiwa ini sudah lewat ratusan tahun lalu. Kita tidak heran bagaimana Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam dengan sabar mendengarkan pendapat dan usul Utbah, tokoh musyrik. Kita
mengenal akhlak nabi dalam menghormati pendapat orang lain. Inilah akhlak Nabi dalam
majelis ilmu. Yang menakjubkan sebenarnya adalah perilaku kita sekarang. Bahkan oleh si
Utbbah, si musyrik, kita kalah. Utbah mau mendengarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan
menyuruh kaumnya membiarkan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berbicara. Jangankan
mendengarkan pendapat orang kafir, kita bahkan tidak mau mendengarkan pendapat saudara
kita sesama muslim. Dalam pengajian, suara pembicara kadang-kadang tertutup suara obrolan
kita. Masya Allah!

Ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam tiba di Madinah dalam episode hijrah, ada utusan kafir
Mekkah yang meminta janji Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam bahwa Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam akan mengembalikan siapapun yang pergi ke Madinah setelah perginya Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam. Selang beberapa waktu kemudian. Seorang sahabat rupanya
tertinggal di belakang Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Sahabat ini meninggalkan isterinya,
anaknya dan hartanya. Dengan terengah-engah menembus padang pasir, akhirnya ia sampai di
Madinah. Dengan perasaan haru ia segera menemui Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan
melaporkan kedatangannya. Apa jawab Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam? “Kembalilah engkau
ke Mekkah. Sungguh aku telah terikat perjanjian. Semoga Allah melindungimu.” Sahabat ini
menangis keras. Bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah suatu yang sangat agung.
Meskipun Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam merasakan bagaimana besarnya pengorbanan
sahabat ini untuk berhijrah, bagi Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam janji adalah janji; bahkan
meskipun janji itu diucapkan kepada orang kafir. Bagaimana kita memandang harga suatu janji,
merupakan salah satu bentuk jawaban bagaimana perilaku Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
telah menyerap di sanubari kita atau tidak.

Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata
pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang
mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian.
Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, ucapkanlah!” Sahabat yang lain
terdiam, namun ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau
memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu.
Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.” Para
sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar
langsung berdiri dan siap “membereskan” orang itu. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun
melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun menyuruh Bilal mengambil tongkat ke rumah
beliau. Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang
terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu
setelah semua yang Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada mereka.

Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga
terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata,
“Lakukanlah!”

Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat
tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan memeluk Nabi seraya
menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku
bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah”. Seketika
itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali. Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi sallAllahu ‘alayhi
wasallam tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan
semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah memanggil
Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.

Suatu pelajaran lagi buat kita. Menyakiti orang lain baik hati maupun badannya merupakan
perbuatan yang amat tercela. Allah tidak akan memaafkan sebelum yang kita sakiti memaafkan
kita. Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun sangat hati-hati karena khawatir ada orang yang
beliau sakiti. Khawatirkah kita bila ada orang yang kita sakiti menuntut balas nanti di padang
Mahsyar di depan Hakim Yang Maha Agung ditengah miliaran umat manusia? Jangan-jangan
kita menjadi orang yang muflis. Na’udzu billah…..

Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika saat haji Wada’, di padang Arafah yang
terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi
sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di
hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat
pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai
banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melanjutkan, “Bukankah
telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu
diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi
kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua
pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!”

Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam pun mendongakkan kepalanya ke atas, dan berkata, “Ya Allah
saksikanlah…Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah!”. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam
meminta kesaksian Allah bahwa Nabi telah menjalankan tugasnya. Di pengajian ini saya pun
meminta Allah menyaksikan bahwa kita mencintai Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam. “Ya
Allah saksikanlah betapa kami mencintai Rasul-Mu, betapa kami sangat ingin bertemu dengan
kekasih-Mu, betapa kami sangat ingin meniru semua perilakunya yang indah; semua budi
pekertinya yang agung, betapa kami sangat ingin dibangkitkan nanti di padang Mahsyar
bersama Nabiyullah Muhammad, betapa kami sangat ingin ditempatkan di dalam surga yang
sama dengan surganya Nabi kami. Ya Allah saksikanlah…Ya Allah saksikanlah Ya Allah
saksikanlah”

Hikmah dibalik Memperingati Maulid Nabi Besar MUHAMMAD SAW


2
Seperti tahun-tahun sebelumnya Perayaan Maulid berlangsung di bebarapa tempat, ada yang
berlangsung sangat meriah namun ada pula yang berlangsung sederhana.

Perayaan Maulid dibeberapa daerah sudah menjadi tradisi, bahkan ada yang mengarah ke
praktik syirik dengan mengadakan sesajian, berkurban untuk alam, laut misalkan,
pemubadziran makanan atau harta, ikhtilath atau campur baur laki-laki dan perempuan, praktek
yang mengancam jiwa dengan berdesak-desakan atau rebutan makanan, dan lainnya yang
bertentangan dengan syari’at.

Dibalik semua perayaan yang berlangsung tersebut ada hal yang paling penting kita maknai,
agar perayaan itu bukan sekedar seremonial belaka.

Peringatan maulid itu dalam rangka mengingat kembali sejarah kehidupan Rasulullah saw.,
mengingat kepribadian beliau yang agung, mengingat misinya yang universal dan abadi, misi
yang Allah swt. tegaskan sebagai rahmatan lil’alamin.

Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawi, Ketua Persatuan Ulama Internasional, mengungkapkan dalam
situs beliau:“Ketika kita berbicara tentang peristiwa maulid ini, kita sedang mengingatkan umat
akan nikmat pemberian yang sangat besar, nikmat keberlangsungan risalah, nikmat kelanjutan
kenabian. Dan berbicara atau membicarakan nikmat sangatlah dianjurkan oleh syariat dan
sangat dibutuhkan.”

Kenyataan saat ini telah membuktikan, bahwa disebabkan belum bersungguh-sungguhnya kita
dalam meneladani Rasulullah SAW dalam mengarungi perjuangan hidup, maka kehidupan
kaum muslimin saat ini cenderung terperosok menjadi ummat terbelakang, dibandingkan
dengan ummat-ummat lain di hampir semua bidang kehidupan.Oleh karena itu, jika kondisi
kehidupan kita ingin berubah, maka yang harus kita lakukan adalah mau dan berani merubah
kebiasaan hidup kita ini.
Allah SWT berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah segala sesuatu yang ada pada diri mereka sendiri” (QS.23. Ar-Ra’du : 11).

Imam Ibnu ‘Atho’illah dalam kitab Al-Hikam menyatakan :“Bagaimana mungkin keadaanmu
akan berubah menjadi luar biasa, sedangkan kamu belum mau merubah kebiasaan-kebiasaaan
hidupmu”.

Kebiasaan mengabaikan teladan Rasulullah SAW dalam kehidupan kita sehari-hari ternyata
membawa kita kepada kemunduran derajat hidup, maka jika ingin berubah menjadi ummat
yang maju dan bermartabat, kita harus merubah kebiasaan kita.

Kita harus tinggalkan sikap menyepelekan dan mengabaikan uswahtul hasanah Rasulullah
SAW. Kita harus bersungguh-sungguh dan lebih bersungguh-sungguh lagi dalam mengenal
dan mengikuti teladan Rosulullah SAW dalam hidup ini.

Kesungguhan kita dalam mengikuti teladan Rasulullah SAW secara utuh dalam mengarungi
perjuangan hidup ini adalah kunci menuju kehidupan ummat yang lebih maju dan bertartabat di
masa yang akan datang.

Imam Ibnu Atho’illah menyatakan : “Janganlah kamu membanggakan warid yang belum kamu
ketahui buahnya. Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan adanya awan itu bukanlah hujan.
Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan adanya awan adalah wujudnya buah-buah
pepohonan”.

Al-Hamdulillah jika kita dapat menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW
dengan meriah. Namun hendaknya jangan terlalu bangga dahulu. Sebab terselenggaranya
acara itu baru ibarat awan. Meriahnya suasana baru laksana hujan. Bagaimana dengan
buahnya ?. Sudah wujudkah ?.

Buahnya adalah “Mutiara hikmah dan perubahan”. Perubahan menjadi lebih baik. Lebih utuh
dan lebih bersungguh-sungguh dalam meneladani Rosulullah SAW dalam seluruh sisi
kehidupan kita. Kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara dan dunia.

Rasullah SAW adalah rahmat bagi semesta alam, kebaikan dan keberkahannya tidak hanya
didapatkan oleh orang-orang yang semasanya dan tidak pula berakhir dengan wafatnya.

Kepada Nabi Muhammad SAW, Allah SWT berfirman, " dan berdoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) kententraman jiwa bagi mereka. Allah Maha
mendengar, maha mengetahui." (Qs. At-Taubah: 103).

Allahumma inni atawajjahu ilaika binabiyyika nabiyyirrahmati Muhammadin shallallahu `alaihi


wa alihi. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu
dengan (perantaraan) Nabi-Mu, nabi pembawa rahmat, Nabi Muhammad, shalawat atasnya
dan atas keluarganya.
Tanya jawab Peringatan Maulid Nabi s.a.w. dan Bid'ah
Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab Saudi bahwa Peringatan
Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi Muhammad SAW
maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. "Bagaimana dengan perayaan
Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist yang membenarkannya dan
bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang dikatagorikan bid'ah?"

Tanya :

Assalaamu'alaikum Wr.Wb.

Ustadz yang saya hormati: Saya pernah membaca dari buku terbitan kementrian agama Arab
Saudi bahwa Peringatan Maulid Nabi tidak pernah dilakukan dan dicontohkan pada masa Nabi
Muhammad SAW maupun pada masa sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. Dalam buku
tersebut diperkuat pula dengan hadist-hadist shahih. Yang ingin saya tanyakan adalah:
"Bagaimana dengan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW di Indonesia apakah ada hadist
yang membenarkannya dan bagaimana sikap kita untuk menghadapi sesuatu yang
dikatagorikan bid'ah?"

Wassalaamu'alaikum

Jawab :

Assalamua'alikum war. wab.

Ada tradisi umat Islam di banyak negara, seperti Indonesia, Malaysia, Brunai, Mesir, Yaman,
Aljazair, Maroko, dan lain sebagainya, untuk senantiasa melaksanakan kegiatan-kegiatan
seperti Peringatan Maulid Nabi SAW, peringatan Isra' Mi'raj, peringatan Muharram, dan lain-
lain. Bagaimana sebenarnya aktifitas-aktifitas itu? Secara khusus, Nabi Muhammad SAW
memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara
spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan "masyru'" [disyariatkan], tetapi juga tidak bisa dikatakan
berlawanan dengan teologi agama. Yang perlu kita tekankan dalam memaknai aktifitas-aktifitas
itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya--
dalam rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya,
hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Itu bisa kita jadikan sebagai bentuk "mengingat kembali
diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul. Jika dengan mengingat saja kita bisa
mendapatkan semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan
pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita
kepada Nabi Muhammad SAW".

Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah.
Tsuwaibah adalah budak [perempuan] Abu Lahab [paman Nabi Muhammad [SAW]. Tsuwaibah
memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad [keponakannya], tepatnya
hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan
kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam
riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi
karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita.
Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang
urusan akhirat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial sebagaimana
yang kita lihat sekarang ini, dimulai oleh Imam Shalahuddin Al-Ayyubi, komandan Perang Salib
yang berhasil merebut Jerusalem dari orang-orang Kristen. Akhirnya, setelah terbukti bahwa
kegiatan ini mampu membawa umat Islam untuk selalu ingat kepada Nabi Muhammad SAW,
menambah ketaqwaan dan keimanan, kegiatan ini pun berkembang ke seluruh wilayah-wilayah
Islam, termasuk Indonesia. Kita tidak perlu merisaukan aktifitas itu. Aktifitas apapun, jika akan
menambah ketaqwaan kita, perlu kita lakukan.

Tentang pendapat Ulama dan Pemerintah Arab Saudi itu, memang benar, sebagaimana yang
kami tulis di atas. Tetapi, jika kita ingin 100% seperti zaman Nabi Muhammad SAW, apapun
yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah
esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW
bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan
[juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas yang
baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada
Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya.

Masalah Bid'ah:

Ibnu Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah dan pada
pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah
adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang
bertentangan dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang
sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri
disebut bid'ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis
jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang
menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa
orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada teladan yang diberikan
oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar". Dalam kesempatan lain Rasulullah juga
menyatakan "Setiap yang baru dalam agama adala Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist
tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan
ajaran agama disebut "bid'ah".

Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan
dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk
menjaga dan melestarikan ajaran agama.Seperto kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang
sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan
membaca al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga
merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar 5)
Bid'ah yang halal, seperti bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain
sebagainya. Syatibi dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim
mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah. Amalan-amalan yang tidak
ada nash dalam syariah, seperti sujud syukur menurut Imam Malik, berdoa bersama-sama
setelah shalat fardlu, atau seperti puasa disertai dengan tanpa bicara seharian, atau
meninggalkan makanan tertentu, maka ini harus dikaji dengan pertimbangan maslahat dan
mafsadah menurut agama. Manakala ia mendatangkan maslahat dan terpuji secara agama, ia
pun terpuji dan boleh dilaksanakan. Sebaliknya bila ia menimbulkan mafsadah, tidak boleh
dilaksanakan.(2/585)

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah
ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam
kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah
yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat
Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti
ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah).
Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah
ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama).

Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan
pendapatnya yang paling benar.

Anda mungkin juga menyukai