Anda di halaman 1dari 7

PENDAHULUAN

Belakangan ini penelitian tentang sejarah fiqih Islam mulai dirasakan penting. Paling
tidak, karena pertumbuhan dan perkembangan fiqih menunjukkan pada suatu dinamika
pemikiran keagamaan itu sendiri. Hal tersebut merupakan persoalan yang tidak pernah
usai di manapun dan kapanpun, terutama dalam masyarakat-masyarakat agama yang
sedang mengalami modernisasi. Perkembangan fiqih secara sungguh-sungguh telah
melahirkan pemikiran Islam bagi karakterisitik perkembangan Islam itu sendiri.[1]

 Kehadiran fiqih ternyata mengiringi pasang-surut Islam, dan bahkan secara amat
dominan abad pertengahan mewarnai dan memberi corak bagi perkembangan Islam
dari masa ke masa. Karena itulah, kajian-kajian mendalam tentang masalah
kesejahteraan fiqih tidak semata-mata bernilai historis, tetapi dengan sendirinya
menawarkan kemungkinan baru bagi perkembangan Islam berikutnya.[2]

  Pada makalah ini, akan dijelaskan tentang pengertian mazhab, latar belakang dan
sejarah awal kemunculan mazhab-mazhab dalam fiqih, dikhususkan pada empat
mazhab yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali serta
beberapa hal lain yang berhubungan dengan keempat mazhab tersebut. dan penjelasan
madzhab lain selain madzhab empat tersebut, serta contoh kasus-kasus masalah fikih
pada madzhab madzhab tersebut.

PEMBAHASAN

1.Pengertian Madzhab

Menurut bahasa Arab, “madzhab”  (‫)مذهب‬berasal dari shighah masdar mimy (kata sifat)


dan isim makan (kata yang menunjukkan keterangan tempat) dari akar kata fiil
madhy  “dzahaba” (‫ )ذهب‬yang bermakna pergi.[3] Jadi, mazhab itu secara bahasa artinya,
“tempat pergi”, yaitu jalan (ath-thariq).[4] Sedangkan menurut istilah ada beberapa
rumusan:

1. Menurut M. Husain Abdullah, madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa
hukum-hukum Islam, yang digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah
(qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu
sama lain sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.[5]
2. Menurut A. Hasan, mazhab adalah mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum
suatu masalah atau tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbathnya.
[6]

            Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan mazhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh Imam mujtahid
dalam memecahkan masalah; atau mengistinbathkan hukum Islam. Disini bisa
disimpulkan pula bahwa mazhab mencakup;(1) sekumpulan hukum-hukum Islam yang
digali seorang imam mujtahid; (2) ushul fiqh yang menjadi jalan (thariq) yang ditempuh
mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-dalilnya yang rinci.

           Dengan demikian, kendatipun mazhab itu manifestasinya berupa hukum-hukum


syariat (fiqh), yang ditempuh mujtahid itu untuk menggali hukum-hukum Islam dari dalil-
dalilnya yang rinci harus dipahami bahwa mazhab itu sesungguhnya juga mencakup
ushul fiqh yang menjadi metode penggalian (thariqah al-istinbath) untuk melahirkan
hukum-hukum tersebut. Artinya, jika kita mengatakan mazhab Syafi’i, itu artinya adalah,
fiqh dan ushul fiqh menurut Imam Syafi’i.[7]

A. Latar Belakang Munculnya Madzhab

            Lahirnya berbagai aliran atau madzhab dalam ilmu fiqih dilatarbelakangi oleh
beberapa faktor antara lain disebabkan oleh :

1. Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang Lafadz Nash


2. Perbedaan Dalam Masalah Hadits
3. Perbedaan dalam Pemahaman dan Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash
4. Perbedaan Dalam Mentarjihkan Dalil-dalil yang berlawanan ( ta’rudl al-adillah)
5. Perbedaan Tentang Qiyas
6. Perbedaan dalam Penggunaan Dalil-dalil Hukum
7. Perbedaan dalam Pemahaman Illat Hukum
8. Perbedaan dalam Masalah Nasakh[8]
3. Sejarah Perkembangan Madzhab
4. Periode Pertumbuhan(Abad ke 0-1 H)

1). Madzhab Pada Masa Rasulullah

          Bila diruntut ke belakang, mahzab fiqih itu sudah ada sejak zaman Rosulullah
SAW, Madzhab pada zaman Rosululah adalah sebatas Ijitihad (pendapat) para sahabat
dalam memahami agama, karena pada zaman itu sumber hukum islam adalah hanya al-
Quran dan Hadits, sehingga ketika para sahabat terjadi perselisihan dan berijtihad
masing-masing; maka mereka langsung melaporkan masalah tersebut kepada
Rosulullah.[9]

Pertama  :

َ ‫ت الصالةُ فتيمَّما‬
،‫صعي ًدا ط ِّيبًا‬ ِ ‫ فحضر‬،ٌ‫ ماء‬R‫ وليس معهما‬،‫رجالن في سفر‬
ِ ‫ خرج‬:‫عن أبي سعيد الخدري رضي هللا عنه قال‬
‫ ثم أتيا رسول هللا صلى هللا عليه وسلم فذكرا‬،‫ ولم ُي ِع د اآلخر‬،‫ فأعاد أح ُدهما الصالة والوضوء‬،‫ في الوقت‬R‫ ثم وجدا الماء‬،‫فصلَّيا‬
‫تين))؛ رواه أبو داود والنسائي‬ ِ َّ‫ ((لك األج ُر مر‬:‫ وقال لآلخر‬،))‫ وأجزَأ ْتك صالتك‬،‫ ((أصبت السُّنة‬:‫ فقال للذي لم ُيعِد‬،‫ذلك له‬

Dari Abu Sa’id Al Khudri berkata: “Ada 2 Sahabat dalam perjalanan, ketika waktu sholat tiba
dan tidak menemukan air, maka beliau berdua melakukan Tayammum. Keduanya pun shalat.
Setelah itu mereka menemukan air saat waktu shalat belum habis.” “Satu dari mereka
mengulang shalat dengan berwudhu’. Sahabat yang lain tidak mengulang shalatnya (cukup
dengan Tayammum tadi)” Setelah mereka datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam
dan bercerita kejadian itu maka Nabi bersabda kepada Sahabat yang shalat 1 kali saja: “Kamu
sudah sesuai Sunnah. Cukup shalatmu itu”. Dan kepada Sahabat yang shalat 2x (dengan
Tayammum dan Wudhu’) Nabi bersabda: “Kamu dapat 2 pahala”. [10]

Kedua  : Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

َ ‫ُصلِّيَنَّ َأ َح ٌد ْال َعصْ َر ِإاَّل فِي َبنِي قُ َري‬


) ‫ْظ َة ( رواه البخاري‬ َ ‫ال ي‬

“Janganlah ada satupun yang shalat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah” 
            Ketika mereka mendapati waktu shalat yang disebutkan oleh Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut di tengah jalan, sebagian dari mereka
mengatakan, “Kita tidak shalat sampai kita tiba di perkampungan Bani Quraizhah.”
Sementara yang lain bersikukuh tetap melakukan shalat ‘Ashar pada waktunya, karena
mereka memandang bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bermaksud
menyuruh para shahabat Radhiyallahu anhum menunda shalat ‘Ashar sampai lewat
waktunya. Kemudian dua sikap yang berbeda dalam menyikapi sabda Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dilaporkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mencela salah salah satunya.[11]

Pada periode ini, Madzhab hanyalah sebuah pendapat atau Ijtihad para sahabat dalam
memahami sebuah kasus, lalu sahabat melaporkan kepada Rosul akan kasus tersebut,
sehingga Rosulullah SAW langsung memutuskan kasus tersebut apakah salah satu
yang benar atau keduanya benar.[12]

Madzhab secara sistematis belum terbentuk, hanya berbentuk pendapat-pendapat para


sahabat dan ijtihad-ijtihadnya yang kemudian disampaikan kepada Rosulullah

2). Madzhab Pada Masa Shahabat

Mahzab fiqih itu pada sejak zaman sahabat mulai tumbuh seiring dengan meninggalnya
Rosulullah SAW; karena ketika di zaman Rosulullah para Sahabat menemukan sebuah
masalah, akan tetapi setelah wafatnya Rosulullah, Para sahabat masing-masing
memiliki pendapatnya. Misalnya pendapat Aisyah ra, pendapat Ibn Mas’ud ra, pendapat
Ibn Umar. Masing-masing memiliki kaidah tersendiri dalam memahami nash Al-Qur’an
Al-Karim dan sunnah, sehinga terkadang pendapat Ibn Umar tidak selalu sejalan
dengan pendapat Ibn Mas’ud atau Ibn Abbas. Tapi semua itu tetap tidak bisa disalahkan
karena masing-masing sudah melakukan ijtihad.[13]

Para sahabat melihat Rasulullah Saw mengerjakan suatu tindakan, sebagian sahabat
menafsirkannya sebagai tindakan qurbah (ibadah), sedangkan sebagian yang lain
menyimpulkannya sebagai tindakan mubah (biasa). Contohnya, para sahabat melihat
Nabi Shallalahu Alaihi wa Sallam melakukan lari-lari kecil saat thawaf. Oleh karena itu,
mayoritas mereka berpendapat hal tersebut adalah sunnah dalam tawaf. Sedangkan
Ibnu Abbas, mengintepretasikan tindakan beliau sebagai kebetulan karena ada motivasi
yang muncul.[14]

Rasulullah SAW mengerjakan ibadah haji dan orang-orang menyaksikannya. Sebagian


sahabat berpendapat bahwa beliau mengerjakan ibadah haji secara tamattu’, sementara
sebagian sahabat yang lain menganggapnya mengerjakan ibadah haji secara qiran.
Sebagian sahabat lain menyangka beliau mengerjakan ibadah haji secara ifrad.[15]

3). Madzhab Pada Masa Tabiin

Di masa tabi’in, kita juga mengenal istilah fuqaha al-Madinah yang tujuh orang yaitu;
Said ibn Musayyib, Urwah ibn Zubair, Al-Qasim ibn Muhammad, Kharijah ibn Zaid, Ibn
Hisyam, Sulaiman ibn Yasan dan Ubaidillah. Termasuk juga Nafi’ maula Abdullah ibn
Umar. Di kota Kufah kita mengenal ada Al-Qamah ibn Mas’ud, Ibrahim An-Nakha’i guru
al-Imam Abu Hanifah. Sedangkan di kota Bashrah ada al-Hasan Al-Bashri dan Imam
Sufyan as sauri.
Dari kalangan tabiin ada ahli fiqh yang juga cukup terkenal; Ikrimah Maula Ibn Abbas
dan Atha’ ibn Abu Rabbah, Thawus ibn Kiisan, Muhammad ibn Sirin, Al-Aswad ibn
Yazid, Masruq ibn al-A’raj, Alqamah an Nakha’i, Sya’by, Syuraih, Said ibn Jubair,
Makhul ad Dimasyqy, Abu Idris al-Khaulani.

Dalam kasus iddah wanita hamil karena berzina, Para ulama di kalangan Tabiin berbeda
pendapat :

a). Imam Sufyan as Sauri dan sebagain tabiin berpendapat bahwa tidak ada iddah bagi
wanita hamil karena berzina. Karena iddah untuk menjaga nasab, sedangkan Pezina
tidak menjaga nasab.

b). Imam Hasan basri, Ibrahim An Nakho’i dan sebagian tabiin lainnya berpendapat
bahwa wanita hamil karena berzina tetap ada iddahnya, karena iddah itu karena Istibro’
(membersihkan Rahim) [16]

2. Periode Pembentukan (Abad ke 2-3 H )

a). Mazhab Imam Abu Hanifah

Imam Abu Hanifah, yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi, mempunyai nama
lengkap: Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. lahir di Irak pada tahun 80
Hijriah/699 M, bertepatan dengan masa khalifah Bani Umayyah Abdul Malik bin Marwan.
Beliau digelari dengan nama Abu Hanifah yang berarti suci dan lurus, karena sejak kecil
beliau dikenal dengan kesungguhannya dalam beribadah, berakhlak mulia, serta
menjauhi perbuatan-perbuatan dosa dan keji. Dan mazhab fiqihnya dinamakan Mazhab
Hanafi.[17]

Guru-guru yang pernah beliau temui antara lain adalah : (Hammad bin Abu Sulaiman Al-
Asy’ari (W. : [120 H/ 738]) faqih kota “Kufah”, ‘Atha’ bin Abi Rabah (W. : (114 H/ 732 M)
faqih kota “Makkah”, ‘Ikrimah’ (W104 H/ 723 M) maula serta pewaris ilmu Abdullah bin
Abbas, Nafi’ (W. : [117 H/ 735 M]) maula dan pewaris ilmu Abdullah bin Umar serta yang
lain-lain. Beliau juga pernah belajar kepada ulama’ “Ahlul-Bait” seperti missal : Zaid bin
Ali Zainal ‘Abidin (79-122 H/698-740 M), Muhammad Al-Baqir ([57-114 H/ 676-732 M]),
Ja’far bin Muhammad Al-Shadiq (80-148 H/ 699-765 M) serta Abdullah bin Al-Hasan.
Beliau juga pernah berjumpa dengan beberapa sahabat seperti missal : Anas bin Malik
(10 SH-93 H/ 612-712 M), Abdullah bin Abi Aufa (w. 85 H/ 704 M]) di kota Kufah, Sahal
bin Sa’ad Al-Sa’idi (8 SH-88 H/ 614-697 M) di kota Madinah serta bertemu dengan Abu
Al-Thufail Amir bin Watsilah (W 110 H/729 M) di kota Makkah.

Salah satu muridnya yang terkenal adalah Muhammad bin Al-Hassan Al-Shaibani, guru
Imam Syafi’i. Melalui goresan tangan para muridnya itu, pandangan-pandangan Imam
Hanafi menyebar luas di negeri-negeri Islam, bahkan menjadi salah satu mazhab yang
diakui oleh mayoritas umat Islam.[18]

b). Madzhab Imam Malik   

Malik bin Anas bin Malik, Imam maliki di lahirkan di Madinah al Munawwaroh. sedangkan
mengenai masalah tahun kelahirannya terdapat perbedaaan riwayat. al-Yafii dalam
kitabnya Thabaqat fuqoha meriwayatkan bahwa imam malik dilahirkan pada 94 H. ibn
Khalikan dan yang lain berpendapat bahawa imam Malik dilahirkan pada 95 H.
sedangkan. imam al-Dzahabi meriwayatkan imam malik dilahirkan 90 H. Ia menyusun
kitab Al Muwaththa’, dan dalam penyusunannya ia menghabiskan waktu 40 tahun,
selama waktu itu, ia menunjukan kepada 70 ahli fiqh Madinah.

Imam Malik menerima hadits dari 900 orang (guru), 300 dari golongan Tabi’in dan 600
dari tabi’in tabi’in, ia meriwayatkan hadits bersumber dari Nu’main al Mujmir, Zaib bin
Aslam, Nafi’, Syarik bin Abdullah, az Zuhry, Abi az Ziyad, Sa’id al Maqburi dan Humaid
ath Thawil, muridnya yang paling akhir adalah Hudzafah as Sahmi al Anshari.

Adapun yang meriwayatkan darinya adalah banyak sekali diantaranya ada yang lebih
tua darinya seperti az Zuhry dan Yahya bin Sa’id. Ada yang sebaya seperti al Auza’i, Ats
Tsauri, Sufyan bin Uyainah, Al Laits bin Sa’ad, Ibnu Juraij dan Syu’bah bin Hajjaj.
Adapula yang belajar darinya seperti Asy Safi’i, Ibnu Wahb, Ibnu Mahdi, al Qaththan dan
Abi Ishaq.

Di antara guru beliau adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Nafi’ al Muqbiri, Na’imul Majmar, Az
Zuhri, Amir bin Abdullah bin Az Zubair, Ibnul Munkadir, Abdullah bin Dinar, dan lain-lain.
Di antara murid beliau adalah Ibnul Mubarak, Al Qoththon, Ibnu Mahdi, Ibnu Wahb, Ibnu
Qosim, Al Qo’nabi, Abdullah bin Yusuf, Sa’id bin Manshur, Yahya bin Yahya al
Andalusi, Yahya bin Bakir, Qutaibah Abu Mush’ab, Al Auza’i, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin
Uyainah, Imam Syafi’i, Abu Hudzafah as Sahmi, Az Aubairi, dan lain-lain.[19]

c). Mazhab Imam Syafii

Mazhab Syafi’i didirikan oleh Abu Abdullah Muhammad bin ldris as-syafi’i. Ia wafat pada
767 masehi 158 H.  Selamahidup Beliau pernah tinggal di Baghdad, Madinah, dan
terakhir di Mesir. Corak pemikirannya adalah konvergensi atau pertemuan antara
rasionalis dan tradisionalis. Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab
Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid[20]

Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji
sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia
merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai
senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya.
Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim
bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah. Kemudian dia
juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang
bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.

Guru yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin
menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai
halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di atas.

Ia pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab
Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad
bin Syafi’ dan lain-lain. Adapun Murid beliau yang paling terkenal antara lain adalah
Imam ahmad bin hanbal.
d). Mazhab Imam Ahmad

Beliau adalah Abu Abdillah, Ahmad bin Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-Syaibani.
Imam Ahmad dilahirkan di ibu kota kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, Irak, pada
tahun 164 H/780 M. Saat itu, Baghdad menjadi pusat peradaban dunia dimana para ahli
dalam bidangnya masing-masing berkumpul untuk belajar ataupun mengajarkan ilmu.
Dengan lingkungan keluarga yang memiliki tradisi menjadi orang besar, lalu tinggal di
lingkungan pusat peradaban dunia, tentu saja menjadikan Imam Ahmad memiliki
lingkungan yang sangat kondusif dan kesempatan yang besar untuk menjadi seorang
yang besar pula.

Beberapa gurunya yang terkenal, di antaranya Ismail bin Ja’far, Abbad bin Abbad Al-
Ataky, Umari bin Abdillah bin Khalid, Husyaim bin Basyir bin Qasim bin Dinar As-Sulami,
Imam Syafi’i, Waki’ bin Jarrah, Ismail bin Ulayyah, Sufyan bin `Uyainah, Abdurrazaq,
serta Ibrahim bin Ma’qil.

Adapun muridnya adalah Shalih bin Imam Ahmad bin Hambal Abdullah bin Imam
Ahmad bin Hambal  Keponakannya, Hambal bin Ishaq.[22]

e). Mazhab lainnya

           Ada beberapa mazhab lain yang terkenal yang muncul pada abad 2 sampai
dengan 3 hijriyyah antara lain Madzhab Atho, Madzhab Ibnu sirin, Madzhab Zhohiriyyah
yang di pelopori Imam Daud az zhohiri, Madzhab As ya’bi, Mazhab Imam an-Nakho’i;
akan tetapi madzhab-madzhab tersebut tidak begitu berkembang seiring berjalannya
zaman dari masa ke masa.[23]

Contoh   :

1. Para ulama berbeda pendapat tentang wanita hamil atau wanita menyusui apakah wajib
puasa atau tidak ? Jika tidak wajb, apakah mengqodho puasanya ataun membayar fidyah.

a). Imam Syafii berpendapat bahwa Wanita Hamil dan Menyusui boleh tidak berpuasa
akan tetapi keduanya wajib membayar qodho dan membayar fidyah

b).Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa Wanita hamil dan Menyusui boleh tidak
berpuasa, akan tetapi keduanya hanya wajib membayar qodho saja

c). Imam Malik berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tdak berpuasa,
akan tetapi keduanya hanya membayar fidyah

d). Imam Ahmad berpendapat bahwa Wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa,
akan tetapi wanita hamil wajib mengqodho puasa sedangkan wanita menyusui wajib
membayar Fidyah

e). Sebagian ulama lain seperti Imam Daud dari kalangan mazhab zhohiriyyah
berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib berpuasa[24]
              Para ulama berbeda pendapat karena tidak ada Nash yang shorih yang
menjelaskan hal tersebut, sehingga mereka mengqiyaskan dengan orang yang sakit
atau orang yang tidak mampu sama sekali berpuasa.

3. Periode Keemasan (Abad ke 3-9 H )

Pada  periode ini muncul lah ulama-ulama besar yang menisbatkan diri ke madzhab
tertentu di antaranya : Dari kalangan Syafiiyyah seperti Imam An Nawawi, Imam a-
Muzani, Imam Ibnu hajar al Asqolani, Ibnu hajar al haistami dan lain-lain. Dari Kalangan
Hanafiyyah seperti Imam Abu Yusuf, Imam As syaibani, Imam al Maruzi dan lain lain.
Dari kalangan Hanabilah seperti Imam Ibnu Qoyyim, Ibnu taimiyyah, Ibnu Rojab dan lain
lain. Dari kalangan Malikiyyah seperti Imam Ibnu Qosim, Imam Syahnun, Imam Ibnu
Rusyd dan lain lain.[25]

            Mengenai perbedaan pendapat di kalangan ulama abad ke 3 -9 telah banyak


kitab yang membahasnya, masing masing menguatkan prndapat Imam mazhabnya,
walau tak jarang ada sebagian ulama yang berbeda dengan imam mazhabnya.

4. Periode Kemunduran ( Abad ke 10 – 13 H )

            Pada periode ini, Madzhab mengalami kemunduran karena faktor penjajahan di
dunia islam, dan tidak kuatnya kekuasaan muslim pada saat itu di bawah kepemimpinan
daulah usmaniyyah pada periode akhir.

5. Periode Kebangkitan ( Abad ke 14 – Sekarang )

            Pada periode ini, madzhab mengalami kebangkitan kembali, di mulai dengan
munculnya para ulama dengan kitab-kitabnya yang terkenal seperti Syekh Wahbah
Zuhaili, Syekh Muhammad bin Sholeh al Usaimin, Syekh Yusuf al Qordhowi, Syekh Ali
Jum’ah dan lain lain, ada yang masih mengukuti dan selaras dengan metodologi para
Imam madzhab yang empat, adapula yang mulai berusaha keluar dari metodologi para
ulama terdahulu karena pertimbangan zaman

B. KESIMPULAN

1. Madzhab adalah kumpulan pendapat mujtahid yang berupa hukum-hukum Islam, yang
digali dari dalil-dalil syariat yang rinci serta berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan
(ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.
2. Latar belakang timbulnya madzhab karena Perbedaan Pemahaman (Pengertian) Tentang
Lafadz Nash, Perbedaan Dalam Masalah Hadits serta Perbedaan dalam Pemahaman dan
Penggunaan Qaidah Lughawiyah Nash dan lain-lain
3. Periode perkembangan Madzhab :
a. Periode Pertumbuhan ( abad ke 0 – 1 H )
b. Periode Pembentukan ( abad ke 1-2 H )
c. Periode Keemasan ( abad ke 3-9 H
d. Periode Kemunduran ( abad ke 10-13 H )
e. Periode kebangkitan ( abad ke 14 – sekarang )

Anda mungkin juga menyukai