Anda di halaman 1dari 8

KELOMPOK 7

UAS FIQIH 1 (IBADAH)

Orang Sakit dan Jenazah

Nama : Auliyah Fitri

NIM : 201210192

Nilai : 93 (A+)

Soal :

Jika ada saudara seiman kita, meninggal di karnakan tenggelam di luar


negeri. Beliau dinyatakan tenggelam selama 14 hari di luar Negeri dan setelah
jasadnya di temukan. Almarhum dimandikan, diazankan, dikafankan dan di
petikan juga di luar negeri. Di dalam perjalanan dari luar Negeri ke rumah
Almarhum itu menempuh waktu 17 jam. Mengapa sesampainya di Negara yang
jadi tempat peristirahatan terakhirnya. Almarhum tidak di mandikan dan di ganti
kain kafannya lagi? Jelaskan sesuai syariat Islam!

Jawaban:

Menurut para ulama, hukum memandikan ulang jenazah dan mengganti


kain kafan jenazah dengan kain kafan yang lain itu boleh. Sebelum jenazah
dikuburkan, tidak masalah kita memandikan dan mengganti kain kafan dengan
yang baru, jika memang hal itu dibutuhkan. Maka dari itu jika hal tersebut benar-
benar tidak di butuhkan sebaiknya tidak usah di lakukan.

Ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;

ْ‫ق ْال َكفَ ُن قَبْل ال َّد ْف ِن َأو‬ ُ ‫ق ْالفُقَهَا ُء َعلَى َأنَّهُ لَوْ ُكفِّنَ ْال َمي‬
َ ‫ِّت فَس ُِر‬ َ َ‫ اتَّف‬:‫ين ْال َميِّت‬
ِ ِ‫ِإعَا َدةُ تَ ْكف‬
َ‫ ِأل َّن ْال ِعلَّة‬،‫ت ْال َمال‬ ِ ‫بَ ْع َدهُ ُكفِّنَ َكفَنًا ثَانِيًا ِم ْن َمالِ ِه َأوْ ِم ْن َمال َم ْن َعلَ ْي ِه نَفَقَتُهُ َأوْ ِم ْن بَ ْي‬
‫فِي ْال َم َّر ِة اْألولَى ْال َحا َجةُ َو ِه َي َموْ جُو َدةٌ فِي ْال َحالَ ِة الثَّانِيَ ِة‬
Artinya:
Mengulang mengafani mayit; Ulama fiqih sepakat bahwa jika jenazah
sudah dikafani, lalu kain kafannya dicuri sebelum dikuburkan atau setelah
dikuburkan, maka jenazah tersebut harus dikafani lagi, baik dari hartanya
jenazah, dari hartanya orang yang wajib menanggung nafkahnya atau dari baitul
mal. Karena alasan mengafani jenazah yang pertama adalah karena kebutuhan,
dan kebutuhan itu tetap ada di kondisi yang kedua.

Begitu juga wajib diganti jika kain kafannya terkena najis yang tidak
dima’fu sebelum jenazah dishalati. Hal ini karena menurut sebagian ulama, jika
ada najis pada kain kafan jenazah, maka shalat atas jenazah tersebut dinilai tidak
sah.

Ini sebagaimana disebutkan dalam kitab Fatawa Al-Ramli berikut;

‫صاَل ةُ َعلَ ْي ِه‬ َّ ‫صحُّ ال‬ ِ َ‫ت ن ََجا َسةٌ خَ فِيَّةٌ َأوْ ظَا ِه َرةٌ هَلْ ت‬
ِ ِّ‫ُسِئ َل َع َّما لَوْ َكانَ فِي َكفَ ِن ْال َمي‬
‫ت َوفِي َكفَنِ ِه نَ َجا َسةٌ َغ ْي ُر َم ْعفُ ٍّو‬ ِ ِّ‫صاَل ةُ َعلَى ْال َمي‬
َّ ‫صحُّ ال‬ ِ َ‫اب بَِأنَّهُ اَل ت‬
َ ‫فََأ َج‬.. ‫َم َعهَا َأ ْم اَل ؟‬
َّ ‫َع ْنهَا ظَا ِه َرةٌ َأوْ خَ فِيَّةٌ َويُ ْشتَ َرطُ فِي ْال َكفَ ِن طَهَا َرتُهُ إلَى ا ْنتِهَا ِء ال‬
‫صاَل ِة َعلَ ْي ِه‬
Artinya:

Imam Al-Ramli ditanyai, bagaimana jika di kain kafan mayit terdapat


najis yang samar atau jelas, apakah sah melakukan shalat jenazah atas mayit
tersebut atau tidak?. Beliau menjawab bahwa tidak sah melakukan shalat jenazah
atas mayit yang di kain kafannya terdapat najis yang tidak dima’fu, baik najisnya
tampak atau samar, dan disyaratkan kesucian kain kafan hingga shalat jenazah
selesai dilaksanakan.

Nama : Anisa Khairani

NIM : 201210186

Nilai : 90 (A+)

Soal :
Bagaimana cara pengurusan jenazah yang jika terkena letusan bom, jika
mayatnya berhamburan?

Jawaban:

Beberapa dari syahid akhirat yang meninggal disebabkan bencana atau


kecelakaan seringkali jasadnya rusak, tidak utuh bahkan habis atau tidak
ditemukan. Selama masih ditemukan jasadnya, jenazah tetap wajib diurus secara
lengkap. Hanya saja jika memandikannya bisa mengakibatkan kerusakan baru
atau bertambah parah, maka digantikan dengan ditayamumkan. (Sayyid Bakri,
I’anah at Thalibin, 2: 108)

Sedangkan jika yang ditemukan berupa potongan anggota tubuh maka


potongan tersebut tetap dimandikan dan dishalatkan, dengan maksud menyalatkan
jenazah seutuhnya, lalu dikuburkan. Jenazah yang tidak ditemukan hanya
dishalatkan. Di mana pun diperkirakan posisi jenazah, orang yang menyalatkan
tetap menghadap kiblat. (Imam Nawawi, al-Majmu’ 'ala Syarhil Muhadzdzab, 5:
254)

Dalam keadaan normal haram hukumnya menguburkan dua jenazah dalam


satu liang kubur. Sedangkan dalam keadaan darurat—misalnya jumlah jenazahnya
banyak sekali dan sulit menguburkan secara terpisah satu persatu—maka boleh
menguburkan mereka secara masal sesuai kebutuhan, sebagaimana dulu dilakukan
oleh Rasulullah SAW terhadap korban Perang Uhud (Al-Khâtib As-Syirbini, al-
Iqnâ’ fî Halli Alfâdzi Abî Syujâ’, 1: 194)

__________________________________________________________________

Nama : Cantika Mukti Andini

NIM : 201210197

Nilai : 90 (A+)

Soal :
Bolehkan menunda penguburan jenazah hanya karna sekadar menunggu
keluarga dari jauh? Bukannya penguburan jenazah harus dilakukan sesegera
mungkin!

Jawaban:

Rasulullah SAW bersabda: "Percepatlah kalian dalam membawa jenazah.


Jika jenazah itu baik maka kalian telah mendekatkanya pada kebaikan. Jika
jenazah itu jelek, maka kalian telah melepaskan dari pundak kalian", (HR
Bukhari).

Berdasarkan hadits Rasulullah SAW, sebenarnya sudah jelas bahwa sangat


tidak dianjurkan untuk menunda penguburan jenazah, kecuali dalam jangka waktu
sebentar saja. Misalkan hanya menunggu 1-2 jam demi alasan tertentu.

Jika sampai menunda pemakaman jenazah dalam jangka waktu lama,


maka hal tersebut sudah termasuk kategori zalim terhadap jenazah. Seperti itulah
hukum menunda penguburan jenazah dalam Islam.

Jadi tidak boleh kalau menunda untuk penguburan jenazah, karena lebih
cepat lebih baik, tapi tergantung keluarga yang di tinggalkan mereka setuju atau
tidak jika menunda pemakaman jenazah. Soalnya tetangga saya ada yang
menunda untuk pemakaman jenazah karna menunggu anaknya pulang, tapi itu
dalam jangka waktu 2 jam, dan yg saya tau batas waktu menunda pemakaman
hanya 1-2 jam saja, jika lebih maka tidak dibolehkan

__________________________________________________________________

Nama : R. Muhammad Sahran

NIM : 201172385

Nilai : 95 (A+)

Soal :

Bagaimana konsep sakit dalam Islam? Jelaskan!


Jawaban:

Dalam perspektif Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan


oleh Sang Pencipta Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.

Sabda Rasulullah SAW yang artinya "Dan sesungguhnya bila Allah SWT
mencintai suatu kaum, dicobanya dengan berbagai cobaan. Siapa yang ridha
menerimanya, maka dia akan memperoleh keridhoan Allah. Dan barang siapa
yang murka (tidak ridha) dia akan memperoleh kemurkaan Allah SWT" (H.R.
Ibnu Majah dan At Turmudzi).

Sakit juga dapat dipandang sebagai peringatan dari Allah SWT untuk
mengingatkan segala dosa-dosa akibat perbuatan jahat yang dilakukannya selama
hidupnya. Pada kondisi sakit, kebanyakan manusia baru mengingat dosa-dosa dari
perbuatan jahatnya dimasa lalu. Dalam kondisi sakit itulah, kebanyakan manusia
baru melakukan taubat dengan cara memohon ampunan kepada Allah SWT dan
berjanji tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya di kemudian hari.

Kondisi sehat dan kondisi sakit adalah dua kondisi yang senantiasa dialami
oleh setiap manusia. Allah SWT tidak akan menurunkan suatu penyakit apabila
tidak menurunkan juga obatnya, sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu

Hurairah ra dari Nabi saw bersabda: ‫َما َأ ْن َز َل هَّللا ُ دَا ًء ِإاَّل َأ ْن َز َل لَهُ ِشفَا ًء‬ - Allah
SWT tidak menurunkan sakit, kecuali juga menurunkan obatnya (HR Bukhari).

Bila dalam kondisi sakit, umat Islam dijanjikan oleh Allah Swt berupa
penghapusan dosa apabila ia bersabar dan berikhtiar untuk menyembuhkan
penyakitnya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim,
"Tidaklah seorang muslim tertimpa derita dari penyakit atau perkara lain kecuali
Allah hapuskan dengannya (dari sakit tersebut) kejelekan-kejelekannya (dosa-
dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya." Sementara bagi Umat
Islam lainnya yang berada dalam kondisi sehat dianjurkan oleh Allah Swt untuk
menjenguk saudara seiman yang menderita sakit.
Apabila orang yang sehat minta didoakan dari orang yang sakit, maka
Allah Swt berjanji akan mengabulkannya. Hal ini diriwayatkan Asy-Suyuti, "Jika
kamu menjenguk orang sakit, mintalah kepadanya agar berdoa kepada Allah
untukmu, karena doa orang yang sakit seperti doa para malaikat." Dengan
demikian, kedudukan orang yang menderita sakit bukanlah orang yang hina,
malah memiliki kedudukan yang mulia.

Simak hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari "Tidak ada yang yang
menimpa seorang muslim kepenatan, sakit yang berkesinambungan (kronis),
kebimbangan, kesedihan, penderitaan, kesusahan, sampai pun duri yang ia
tertusuk karenanya, kecuali dengan itu Allah menghapus dosanya." Menurut
Aswadi Syuhadak dalam sebuah tulisannya berjudul "Sakit versus Kesembuhan
Dalam Islam", kata maradl (Sakit) dan syifa' (Sembuh) dalam QS. Al-Syu`ara'
ِ ِ‫ف‬ž ‫و يَ ْش‬ž
[26/47]: 80 ‫ين‬ ُ ž‫ض‬
َ žُ‫ت فَه‬ ْ ‫ وَِإ َذا َم ِر‬yang artinya, "apabila aku sakit, Dialah Yang
menyembuhkan aku", dikaitkan dengan manusia, sedangkan syifa' (kesembuhan)
diberikan pada manusia dengan disandarkan pada Allah swt.

Kandungan makna demikian ini juga mengantarkan pada sebuah


pemahaman bahwa setiap ada penyakit pasti ada obatnya, dan apabila obatnya itu
mengenai penyakitnya sehingga memperoleh kesembuhan, maka kesembuhannya
itu adalah atas ijin dari Allah swt. sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Jabir dari Nabi saw bersabda: ‫يب َد َوا ُء ال َّدا ِء‬
َ ‫ص‬ِ ‫لِ ُك ِّل دَا ٍء َد َوا ٌء فَِإ َذا ُأ‬
‫ِإ ْذ ِن هَّللا ِ عَ َّز َوجَ َّل‬žžِ‫بَ َرَأ ب‬. -Setiap penyakit pasti ada obatnya, apabila obatnya itu
digunakan untuk mengobatinya, maka dapat memperoleh kesembuhan atas ijin
Allah swt (HR. Muslim).

Lebih lanjut merujuk pada catatan Ibnu Faris, maradl merupakan bentuk
kata yang berakar dari huruf-huruf m-r-dl (‫ ض‬-‫ ر‬-‫ )م‬yang makna dasarnya berarti
sakit atau segala sesuatu yang mengakibatkan manusia melampaui batas
kewajaran dan mengantar kepada terganggunya fisik, mental bahkan tidak
sempurnanya amal atau karya seseorang atau bila kebutuhannya telah sampai pada
tingkat kesulitan.
Terlampauinya batas kewajaran tersebut dapat berbentuk ke arah
berlebihan yang disebut boros, sombong maupun takabbur; dan dapat pula ke arah
kekurangan yang disebut kikir, bodoh, dungu dan kolot. oleh karenanya maradl
juga dapat dikatakan sebagai hilangnya suatu keseimbangan bagi manusia.

Aswadi Syuhadak menemukan sebanyak tiga belas kali dalam Al-Qur'an


kata maradl, kesemuanya dikaitkan dengan qulub (‫وب‬žž‫)قل‬, hati dalam bentuk
jamak, kecuali sekali disebut kata qalb dalam bentuk tungal. Kata maradl juga
biasa diidentikkan dengan kata saqam. Dalam hal ini, kata saqam hanya
difokuskan pada penyakit jasmani, sedangkan maradl terkadang digunakan untuk
sebutan penyakit jasmani, ruhani dan psikologis.

Kata syifa' itu sendiri adalah berakar dari huruf-huruf ‫ ي‬-‫ ف‬- ‫ ش‬dengan
pola perubahannya ‫فاء‬žž‫ ش‬-‫في‬žž‫ يش‬-‫فى‬žž‫( ش‬syafa-yasyfi-syifa') yang menurut catatan
ibnu Mandhur berarti obat yang terkenal, yaitu obat yang dapat menyembuhkan
penyakit Ibnu Faris bahkan menegaskan bahwa term ini dikatakan syifa' karena ia
telah mengalahkan penyakit dan menyembuhkannya. Sejalan dengan pengertian
ini, al-Raghib al-Ashfahani justru mengidentikkan term syifa' min al-maradl
(sembuh dari penyakit) dengan syifa' al-salamah (obat keselamatan) yang pada
perkembangan selanjutnya term ini digunakan sebagai nama dalam penyembuhan,
baik mabarrat, klinik maupun rumah sakit.

Beberapa pengertian syifa' tersebut secara sederhana dapat dipahami


bahwa syifa' itu sendiri selain menunjuk pada proses dan perangkat tekniknya
juga merujuk pada hasil yang diperolehnya, yaitu sebuah kesembuhan dari suatu
penyakit. Sedangkan kata sehat yang merujuk pada kata salim sebagaimana
tercantum dalam QS al-Shaffat [37]:85-86 dan QS as-Syu'ara' ayat 87-90.
Kandungan ayat ini menunjukkan upaya dan permohonan Nabi Ibrahim kepada
Allah swt untuk memperoleh keselamatan maupun kesehatan sejak dalam
kehidupan di dunianya hingga di hari kebangkitan. Secara filosofis, makna
kesehatan menurut ajaran Islam adalah kebersihan dalam diri manusia meliputi
sehat jasmani dan rohani atau lahir dan batin.
Orang yang sehat secara jasmani dan ruhani adalah orang berperilaku yang
lebih mengarah pada tuntunan nilai-nilai ruhaniyah, uluhiyah (ilahiyah) maupun
rububiyyah (insaniyah) sehingga melahirkan amal saleh. Jasad, raga, dan badan
serta unsur-unsur fisik yang mengalami kerusakan hingga kesakitan dapat
disembuhkan melalui ayat-ayat qauliyah sebagaimana tersebut dalam QS al-Isra':
[17/50]: 82-83, ayat-ayat kauniyah dalam QS al-Nahl [16/70]: 69 dan gabungan
antara ayat-ayat qauliyah dan kauniyah sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-
Taubah [9/113]: 14 dan 15 yang dapat disebaut sebagai penyembuhan dan
kegunaannya secara holistik.

Untuk mencegah datangnya penyakit, manusia dibebaskan untuk


berikhtiar. Namun Islam sudah memberikan kuncinya secara umum dengan cara
mencegah kelebihan makan.Al Quran mengingatkan, "Makan dan minumlah tapi
jangan berlebih-lebihan. Allah tidak senang kepada orang yang berlebih-lebihan
(QS Al-A'raf [7]: 31).

Rasulullah juga memberikan tips dalam sabdanya," Tidak ada bencana


yang lebih buruk yang diisi oleh manusia daripada perutnya sendiri. Cukuplah
seseorang itu mengonsumsi beberapa suap makanan yang dapat menegakkan
tulang punggungnya. Kalau terpaksa, maka ia bisa mengisi sepertiga perutnya
dengan makanan, sepertiga untuk minuman dan sepertiga sisanya untuk nafasnya"
(HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim).

Anda mungkin juga menyukai