Anda di halaman 1dari 7

Tata Cara Mengubur Jenazah Menurut Hukum

Islam
Rabu 31 Januari 2018 6:30 WIB
Share:

Kewajiban yang keempat bagi seorang muslim yang masih hidup terhadap muslim yang telah
meninggal adalah menguburkannya. Tentunya menguburkan jenazah tidak asal dimasukkan dan
ditimbun tanah begitu saja. Ada aturan-aturan tertentu yang digariskan oleh Islam di dalam
pelaksanaan penguburan ini. Ada perlakuan yang mesti dilakukan, ada doa-doa yang mesti
diucapkan.

Aturan-aturan Islam perihal penguburan ini menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan umat
manusia. Tidak hanya ketika masa hidupnya saja, saat telah meninggal pun jenazah manusia
mesti diperlakukan dengan baik.

Dalam Al-Qur’an Allah subhânahu wa ta’âla menyatakan:


‫َولَقَ ْد َك َّر ْمنَا بَنِي آ َد َم‬

Artinya: “Dan sungguh telah Kami muliakan anak keturunan Adam.” (QS. Al-Isra: 70)

Secara teknis Dr. Musthafa Al-Khin di dalam kitabnya al-Fiqhul Manhajî menjelaskan tata cara
mengubur jenazah sebagai berikut:

Kewajiban minimal dalam mengubur jenazah adalah dengan mengubur jenazah pada satu lubang
yang dapat mencegah tersebarnya bau dan dari dimangsa binatang buas, serta dengan
menghadapkannya ke arah kiblat.

Sedangkan untuk lebih sempurnanya mengubur jenazah dapat dilakukan dengan cara sebagai
berikut:

1. Jenazah dikubur dalam sebuah lubang dengan kedalaman setinggi orang berdiri dengan
tangan melambai ke atas dan dengan lebar seukuran satu dzira’ lebih satu jengkal.

Berdasarkan sebuah hadits riwayat Imam Turmudzi berkenaan dengan para sahabat yang
terbunuh pada waktu perang uhud, beliau bersabda:

‫ َوَأحْ ِسنُوا‬،‫ َوَأوْ ِسعُوا‬،‫احْ فِرُوا‬

Artinya: “Galilah liang kubur, luaskan dan baguskan.”

2. Wajib memiringkan jenazah ke sebelah kanan dan menghadapkannya ke arah kiblat.


Sekiranya jenazah tidak dihadapkan ke arah kiblat dan telah diurug tanah maka liang kubur wajib
digali kembali dan menghadapkan jenazahnya ke arah kiblat bila diperkirakan belum berubah.
Disunahkan untuk menempelkan pipi jenazah ke bumi.

3. Bila tanahnya keras disunahkan liang kubur berupa liang lahat. Yang dimaksud liang
lahat di sini adalah lubang yang dibuat di dinding kubur sebelah kiblat seukuran yang cukup
untuk menaruh jenazah. Jenazah diletakkan di lubang tersebut kemudian ditutup dengan
menggunakan batu pipih agar tanahnya tidak runtuh mengenai jenazah. 

Namun bila tanahnya gembur maka disunahkan dibuat semacam belahan di bagian paling bawah
liang kubur seukuran yang dapat menampung jenazah di mana di kedua tepinya dibuat struktur
batu bata atau semisalnya. Jenazah diletakkan di belahan liang kubur tersebut kemudian di
bagian atasnya ditutup dengan batu pipih lalu diurug dengan tanah.

Bisa penulis gambarkan, belahan ini bisa jadi semacam parit yang membelah bagian dasar liang
kubur. Di parit inilah jenazah diletakkan. Adapun batu pipih untuk penutup sebagaimana disebut
di atas, di Indonesia barangkali lebih sering menggunakan papan kayu sebagai penutup jenazah
agar tidak terkena reruntuhan tanah.

4. Setelah jenazah diletakkan secara pelan di dasar kubur disunahkan pula untuk melepas
tali ikatannya dimulai dari kepala.

Akan lebih baik bila orang yang meletakkan dan meluruskan jenazah di liang kubur adalah orang
laki-laki yang paling dekat dan menyayangi si mayit pada saat hidupnya. Pada saat
meletakkannya di liang lahat disunahkan membaca:

‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬


َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫بِس ِْم هللاِ َو َعلَى ُسنَّ ِة َرس‬
“Bismillâhi wa ‘alâ sunnati Rasûlillâhi shallallâhu ‘alaihi wa sallama.”
Mengikuti sunah Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud
dari sahabat Abdullah bin Umar, bahwa bila Rasulullah meletakkan jenazah di dalam kubur
beliau membaca bismillâhi wa ‘alâ sunnati Rasûlillâhi shallallâhu ‘alaihi wa sallama.

Sementara Syekh Nawawi Banten dalam kitab Kâsyifatus Sajâ menambahkan  bahwa ketika


proses mengubur jenazah disunahkan menutupi liang kubur dengan semisal kain atau lainnya. Ini
dimaksudkan barangkali terjadi ada yang tersingkap dari diri jenazah sehingga terlihat apa yang
semestinya dirahasiakan. 

Juga disunahkan meletakkan jenazah di liang kuburnya dengan posisi tubuh miring ke sebelah
kanan. Bila dimiringkannya pada tubuh sebelah kiri maka makruh hukumnya. Pada hal ini,
dalam konteks wilayah Indonesia yang arah kiblatnya cenderung ke arah barat sedangkan wajib
hukumnya menghadapkan jenazah ke arah kiblat, maka untuk memiringkan tubuhnya ke sisi
kanan ketika jenazah dikubur posisi kepala berada di sebelah utara. Bila posisi kepala ada di
sebelah selatan maka untuk menghadapkannya ke arah kiblat mesti memiringkan tubuhnya ke
sisi kiri. Wallâhu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Tags:
#jenazah
Share:
RABU 24 JANUARI 2018 15:0 WIB

Pentingnya Kesaksian Baik Orang Hidup untuk


Jenazah

Ilustrasi (NU Online)


Di dalam sebuah keranda terbaring tubuh jenazah yang telah dibungkus rapi kain kafan dan
ditutupi dengan sebuah kain bertabur bunga. Di sisinya puluhan orang berdiri bershaf-shaf
melakukan shalat jenazah atas dirinya. 

Setelah mengucapkan salam sebagai pertanda diakhirinya shalat tersebut sang imam berbalik
badan menghadap para makmum. Satu dua kalimat diucapkan, satu dua dalil ayat dan hadits
dirapalkan. Kemudian ia bertanya kepada para hadir, “Mayit (jenazah) ini semasa hidupnya
termasuk orang yang baik atau jelek?” Dan pada umumnya serentak mereka akan menjawab,
“Baik!”

Pemandangan ini kaprah terjadi di sebagian kalangan masyarakat muslim Indonesia ketika ada di
antara mereka yang meninggal dunia. Dengan meminta kesaksian “baik” dari masyarakat atas si
mayit mereka berharap Allah akan melimpahkan kebaikan bagi si mayit di kehidupan barunya
kelak. Meski tidak dipungkiri bahwa sebagian muslim yang lain menolak perlakuan ini dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia. 

Perbedaan pendapat memang tak bisa dihindari, namun bukan di sini tempatnya untuk
membahas perbedaan itu. Bagi para ulama Nusantara yang mengajarkan dan melanggengkan
tradisi ini tentunya memiliki dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. 

Apa yang disampaikan oleh Imam Bukhari di dalam kitab Shahih-nya kiranya cukup menjadi
dasar untuk hal ini. Sebuah hadits yang bersumber dari sahabat Anas bin Malik radliyallâhu
‘anhu  menuturkan:

،‫ت» ثُ َّم َمرُّ وا بُِأ ْخ َرى فََأ ْثنَوْ ا َعلَ ْيهَا َش ًّرا‬ َ ‫ فَقَا َل النَّبِ ُّي‬،‫ فََأ ْثنَوْ ا َعلَ ْيهَا َخ ْيرًا‬،‫َمرُّ وا بِ َجنَا َز ٍة‬
ْ َ‫ « َو َجب‬:‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ْ َ‫ فَ َو َجب‬،‫ «هَ َذا َأ ْثنَ ْيتُ ْم َعلَ ْي ِه خَ ْيرًا‬:‫ت؟ قَا َل‬
،ُ‫ت لَهُ ال َجنَّة‬ ْ َ‫ َما َو َجب‬:ُ‫ض َي هَّللا ُ َع ْنه‬
ِ ‫ب َر‬ ِ ‫ت» فَقَا َل ُع َم ُر بْنُ الخَطَّا‬ ْ َ‫ « َو َجب‬:‫فَقَا َل‬
ِ ْ‫ َأ ْنتُ ْم ُشهَدَا ُء هَّللا ِ فِي اَألر‬،ُ‫ت لَهُ النَّار‬
‫ض‬ ْ َ‫ فَ َو َجب‬،‫َوهَ َذا َأ ْثنَ ْيتُ ْم َعلَ ْي ِه َش ًّرا‬

Artinya: “Sahabat Anas bin Malik berkata, orang-orang lewat membawa satu jenazah, mereka
memujinya dengan kebaikan. Maka Rasulullah bersabda, “Wajabat.” Kemudian lewat lagi
orang-orang membawa satu jenazah, mereka mencelanya dengan kejelekan. Maka Rasulullah
bersabda, “Wajabat.” Sahabat Umar bin Khathab berkata, “Apa yang wajib, ya Rasul?”
Rasulullah bersabda, “Jenazah ini yang kalian puji dengan kebaikan wajib baginya surga. Dan
rang ini yang kalian cela dengan kejelekan wajib baginya neraka. Kalian adalah para saksinya
Allah di muka bumi.”

Hadits di atas menjadi dasar para ulama di negeri ini melakukan apa yang biasa disebut
dengan tahsînul mayit  dengan menanyakan kepada para pelayat apakah jenazah ketika hidupnya
termasuk orang yang baik atau buruk. Dengan ini masyarakat diminta kesaksiannya untuk si
mayit. Bila baik menurut masyarakat maka diharapkan kesaksian mereka diterima oleh Allah
yang pada akhirnya akan memberikan kebaikan surga bagi si mayit. Sebagaimana sabda
Rasulullah di atas bahwa orang-orang yang masih hidup adalah saksinya Allah di muka bumi
bagi orang yang telah mati.

Tentunya kata “wajib” pada hadits di atas bukanlah berarti bahwa Allah mau tidak mau harus
memasukkan si mayit ke dalam surga atau neraka sesuai dengan kesaksian yang diberikan
masyarakat kepadanya. Kata “wajib” di sini lebih bermakna adanya satu isyarat bahwa jenazah
yang bersangkutan layak dan semestinya masuk surga atau neraka atas kebaikan atau kejelekan
yang ia lakukan semasa hidupnya sebagaimana disaksikan oleh masyarakat. 

Adapun Allah sendiri tak ada kewajiban bagi-Nya untuk menempatkan seseorang di surga atau
di neraka. Allah melakukan apa pun sesuai dengan kehendak-Nya. Tak ada yang bisa
mengganggu gugat apa yang dilakukan-Nya. Bahwasanya seseorang telah berbuat kebaikan
semasa hidupnya kemudian ia dimasukkan ke dalam surga adalah semata-mata karena rahmat
dan anugerah Allah. Dan bahwasanya seseorang telah melakukan kejelekan semasa hidupnya
lalu ia dimasukkan ke dalam neraka juga semata-mata karena keadilan Allah saja.
Ada yang berpendapat bahwa kesaksian di atas hanya berlaku bagi dua jenazah yang diceritakan
di dalam hadits tersebut, di mana Allah membukakan kegaiban bagi Rasulullah tentang di mana
kelak kedua jenazah itu ditempatkan. Pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul
Bâri dengan berdasar pada keumuman hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:

ُ‫ت لَهُ ْال َجنَّة‬


ْ َ‫َم ْن َأ ْثنَ ْيتُ ْم َعلَ ْي ِه َخ ْيرًا َو َجب‬

Artinya: “Orang yang kalian puji dengan kebaikan wajib baginya surga.”

Lebih lanjut Ibnu Hajar juga menuturkan bahwa sabda Rasulullah “kalian adalah para saksinya
Allah di muka bumi” yang dimaksud adalah para sahabat nabi dan orang-orang yang memiliki
kesamaan sifat dengan mereka, yakni sama-sama memiliki iman.

Sebagain ulama juga berpendapat bahwa pujian kebaikan yang diberikan oleh orang-orang yang
memiliki keutamaan kepada seseorang bila itu sesuai dengan realita maka orang yang dipuji itu
termasuk ahli surga. Namun bila pujian baik itu tidak sesuai dengan realitanya maka orang yang
dipuji tidak termasuk ahli surga. Demikian pula sebaliknya dengan celaan jelek.

Sedangkan Imam Nawawi—sebagaimana dikutip Ibnu Hajar—berpendapat bahwa yang benar


adalah hadits tersebut berlaku pada keumuman kalimatnya. Orang yang meninggal yang
kemudian Allah mengilhamkan kepada orang-orang untuk memujinya dengan kebaikan itu
menunjukkan bahwa orang tersebut termasuk ahli surga, baik pada kenyataannya perilakunya
sesuai dengan pujian tersebut maupun tidak. Karena perbuatan-perbuatan manusia berada di
bawah kehendak Allah dan ilham yang diberikan Allah kepada orang-orang untuk memberikan
kesaksian baik pada si mayit bisa dijadikan tanda terealisasinya kehendak tersebut. Dengan
demikian maka tampaklah manfaat dari pujian (lihat Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bâri Syarh
Shahîhil Bukhâri [Beirut: Darul Fikr, 2007], jil. III, hal. 2014).

Apa yang disampaikan oleh Imam Nawawi di atas—masih menurut Ibnu Hajar—dikuatkan oleh
satu hadits yang diriwayatkan secara marfu’ oleh Imam Ahmad, Ibnu Hiban dan Hakim dari
jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit dari Anas:

ُ ‫وت فَيَ ْشهَ ُد لَهُ َأرْ بَ َعةٌ ِم ْن ِجي َرانِ ِه اَأْل ْدنَ ْينَ َأنَّهُ ْم اَل يَ ْعلَ ُمونَ ِم ْنهُ ِإاَّل َخ ْيرًا ِإاَّل قَا َل هَّللا ُ تَ َعالَى قَ ْد قَبِ ْل‬
‫ت قَوْ لَ ُك ْم‬ ُ ‫َما ِم ْن ُم ْسلِ ٍم يَ ُم‬
َ‫ت لَهُ َما اَل تَ ْعلَ ُمون‬ ُ ْ‫َو َغفَر‬

Artinya: “Tidaklah seorang muslim meninggal kemudian empat orang tetangganya yang paling
dekat memberikan kesaksian kepadanya bahwa mereka tidak mengetahui dari orang tersebut
kecuali kebaikan, kecuali Allah berkata, “Aku terima ucapan kalian dan aku ampuni apa-apa
yang tidak kalian ketahui.”

Alhasil, dapat diambil satu pelajaran bahwa kesaksian baik yang diberikan oleh para tetangga
dan handai taulan kepada seorang yang telah meninggal sangat memberi manfaat. Karenanya
bagi siapa saja yang bila kelak ia meninggal dunia berkeinginan para tetangganya dengan ringan
hati berkenan memberikan kesaksian baik bagi dirinya, maka tidak bisa tidak selama hidupnya ia
mesti berbuat dan berhubungan baik dengan para tetangga dan kerabat lainnya. Bagaimana bisa
para tetangga dan kerabat akan dengan jujur dan senang hati memberikan kesaksian baik bila di
masa hidupnya yang mereka terima dari si mayit adalah kejelekan dan keburukan perilakunya?

Ini juga menjadi pelajaran bagi umat manusia, bahwa ketika kesaksian baik telah diucapkan bagi
seorang yang telah meninggal dunia sudah semestinya itu menjadi kunci penutup bagi siapa saja
untuk tidak lagi mengungkit keburukan si mayit yang pernah dilakukan semasa hidupnya.
Jawaban “baik” yang diucapkan atas pertanyaan imam shalat jenazah semestinya juga menjadi
kunci pembuka bahwa pada hari-hari berikutnya hanya kebaikan si mayit saja yang layak
diperbincangkan. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

SENIN 22 JANUARI 2018 6:43 WIB


Tata Cara Mengafani Jenazah dalam Islam

Ilustrasi (masjidku.id)
Salah satu dari empat kewajiban orang yang masih hidup terhadap seorang yang telah meninggal
adalah mengafani. Ini dilakukan setelah mayit atau jenazah dimandikan dan sebelum dishalati.

Meski terlihat sederhana namun mengafani mayit bukanlah hal yang setiap orang bisa
melakukannya. Pada umumnya pekerjaan ini diserahkan oleh ahli waris mayit kepada seorang
yang profesinya lazim disebut dengan Lebe di satu daerah atau Modin di daerah yang lain.

Lalu bagaimana semestinya mengafani mayit dilakukan? Dr. Musthafa Al-Khin dalam
kitabnya al-Fiqhul Manhaji ‘ala Madzahib al-Imam asy-Syafi’i menjelaskan tentang hal ini
sebagai berikut:

(Baca juga: Tata Cara Memandikan Jenazah)

Mengafani mayit paling sedikit adalah membungkusnya dengan kain yang dapat menutupi
seluruh anggota badan dan menutup kepala bila si mayit bukan orang yang sedang ihram.

Sedangkan cara mengafani mayit secara sempurna adalah sebagai berikut:

Bila mayitnya seorang laki-laki ia dikafani dengan menggunakan tiga lembar kain putih dimana
masing-masing kain tersebut berukuran cukup lebar dengan panjang sesuai panjang tubuh si
mayit dan dengan lebar yang sekiranya bisa membungkus seluruh tubuh si mayit. Dimakruhkan
mengafani mayit dengan menggunakan kain selain warna putih sebagaimana juga dimakruhkan
menggunakan semacam gamis dan menutup kepalanya dengan semacam surban.

Berdasarkan hadits riwayat Imam Muslim dari Sayidatina Aisyah, beliau berkata:
ٌ‫ َواَل ِع َما َمة‬، ٌ‫ْس فِيهَا قَ ِميص‬ ٍ ‫ ِم ْن ُكرْ س‬،‫يض َسحُولِيَّ ٍة‬
َ ‫ لَي‬،‫ُف‬ ٍ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي ثَاَل ثَ ِة َأ ْث َوا‬
ٍ ِ‫ب ب‬ َ ِ‫ُكفِّنَ َرسُو ُل هللا‬
Artinya: “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dikafani dengan menggunakan tiga kain putih
sahuliyah dari Kursuf, tidak ada dalam tiga kain itu gamis dan surban.”

Sahuliyah adalah kain putih yang bersih yang hanya dibuat dari bahan katun.

Juga sebuah hadits riwayat Imam Turmudzi dari sahabat Ibnu Abas, bahwa Rasulullah bersabda:

‫ فِيهَا َموْ تَا ُك ْم‬£‫ َو َكفِّنُوا‬،‫ فَِإنَّهَا ِم ْن خَ ي ِْر ثِيَابِ ُك ْم‬،‫اض‬


َ َ‫البَسُوا ِم ْن ثِيَابِ ُك ُم البَي‬
Artinya: “Pakailah pakaianmu yang berwarna putih, karena itu sebaik-baik pakaian kalian, dan
kafani mayit kalian dengannya.”

Adapun bila yang meninggal orang perempuan maka disunahkan mengafaninya dengan
menggunakan lima kain putih. Kelima kain itu berupa satu helai sarung yang menutupi bagian
pusar hingga anggota paling bawah, khimar atau tudung yang menutupi bagian kepala, gamis
yang menutupi bagian atas hingga di bawahnya sarung, dan lembar kain yang bisa membungkus
seluruh jasad mayit.

(Baca juga: Empat Perlakuan kepada Orang yang Baru Saja Meninggal)

Hal ini didasarkan pada sebuah hadits riwayat Abu Dawud dimana Rasul memerintahkan agar
anak perempuannya, Umi Kulsum, dikafani secara demikian.

Cara mengafani mayit sebagaimana di atas itu diperuntukkan bagi mayit yang tidak sedang
berihram. Bila si mayit adalah orang yang sedang berihram maka bagian kepala wajib dibuka
bila mayitnya laki-laki dan bagian wajah wajib dibuka bila perempuan.

Juga diwajibkan kain kafan yang digunakan adalah dari jenis kain yang ketika masih hidup
diperbolehkan untuk menggunakannya. Karenanya jenazah laki-laki tidak diperbolehkan
dikafani dengan menggunakan kain sutera sebab ketika masih hidup ia juga dilarang
memakainya. Seyogyanya pula pada bagian-bagian yang berlubang dan pada anggota sujud
diberi kapas yang diberi kapur barus dan diikatkan tali dari potongan kain yang nantinya akan
dilepas di kuburan. Wallahu a’lam. (Yazid Muttaqin)

Anda mungkin juga menyukai