satunya berbunyi:
ضى اَوْ ع َٰلى َسفَ ٍر اَوْ َج ۤا َء اَ َح ٌد ِّم ْن ُك ْم ِّمنَ ْالغ َۤا ِٕى ِط اَوْ ٰل َم ْستُ ُم النِّ َس ۤا َء فَلَ ْم تَ ِج ُدوْ ا َم ۤا ًء ٓ ٰ َْواِ ْن ُك ْنتُ ْم َّمر
ص ِع ْيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوْ ا بِ ُوجُوْ ِه ُك ْم َواَ ْي ِد ْي ُك ْم ۗ اِ َّن هّٰللا َ َكانَ َعفُ ًّوا َغفُوْ رًا
َ فَتَيَ َّم ُموْ ا
Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali
dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu
tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci).
Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha
Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4] :43)
Dari ayat di atas, setidaknya ada dua sebab atau alasan dibolehkannya
bertayamum, yaitu kondisi sakit dan ketiadaan air, sementara kita dalam keadaan
bepergian, sepulang dari buang air, atau junub. Ayat di atas juga mengisyaratkan
bahwa tayamum tidak saja boleh menggantikan wudhu, tetapi juga mandi besar,
berdasarkan penafsiran sebagian ulama yang memaknai ungkapan lâmastumunnisâ
dengan berhubungan suami-istri, seperti yang ditunjukkan dalam riwayat Ibnu
‘Abbâs, Mujahid, Qatadah, Ubay ibn Ka‘b, ‘Amar ibn Yasir, dan yang lain. Lebih
lanjut mengenai sebab-sebab bertayamum telah dijelaskan para ulama fiqih, di
antaranya oleh Syekh Mushthafa al-Khin dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji ‘ala
Madzahib al-Imam al-Syafi‘i (Terbitan Darul Qalam, Cetakan IV, 1992, Jilid 1,
hal. 94). Menurutnya, ada empat alasan dibolehkannya bertayamum.
Sulitnya menggunakan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Sulit
secara kasat mata contohnya airnya dekat, tetapi tidak bisa dijangkau karena ada
musuh, karena binatang buas, karena dipenjara, dan seterusnya. Sementara sulit
menggunakan air secara syara‘ misalnya karena khawatir akan datang penyakit,
takut penyakitnya semakin kambuh, atau takut lama sembuhnya. Hal ini
berdasarkan riwayat seorang sahabat yang meninggal setelah mandi, sedangkan
kepalanya terluka. Kala itu, Rasulullah saw. bersabda, “Padahal, cukuplah dia
bertayamum, membalut lukanya dengan kain, lalu mengusap kain tersebut dan
membasuh bagian tubuh lainnya.” (H.R. Abu Dawud) 4. Kondisi sangat dingin.
Artinya, jika menggunakan air, kita akan kedinginan karena tidak ada sesuatu yang
dapat mengembalikan kehangatan tubuh. Diriwayatkan bahwa ‘Amr ibn ‘Ash
pernah bertayamum dari junubnya karena kedinginan. Hal itu lalu disampaikan
kepada Rasulullah saw., dan beliau pun mengakui serta menetapkannya,
sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud. Namun, dalam keadaan terakhir ini,
terlebih jika ada air, seseorang diharuskan mengqadha shalatnya.
Ketiadaan air, baik secara kasat mata maupun secara syara‘. Ketiadaan air secara
kasat mata misalnya dalam keadaan bepergian dan benar-benar tidak ada air,
sedangkan ketiadaan air secara syara‘ misalnya air yang ada hanya mencukupi
untuk kebutuhan minum. Jauhnya air, yang keberadaannya diperkirakan di atas
jarak setengah farsakh atau 2,5 kilometer. Artinya, jika dimungkinkan ada air
tetapi di atas jarak tersebut, maka diperbolehkan bertayamum mengingat beratnya
perjalanan, terlebih ditempuh dengan berjalan kaki.