Anda di halaman 1dari 14

Pasal: Tayammum

Secara bahasa: Maksud atau tujuan. Secara istilah sebuah ungkapan yang menunjukkan
sampainya debu pada wajah serta kedua tangan dengan syarat-syarat yang dikhususkan. Dasar
diperbolehkan tayamum dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
{ ‫} فلم تجدوا ماء فتيمموا صعيدا طيبا‬
“Maka jika kamu tidak memporeh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci). ( Al-
Ma’idah [5]: 6 )
)) ‫)) جعلت لي األرض مسجدا وترابها طهورا أينما أدركني الصالة تيممت وصليت‬
“Aku jadikan bumi sebagai masjid dan tanahnya suci (mensucikan), dimanapun aku
mengetahui waktu shalat maka aku bertayamum lalu shalat.” (hlm: 74)
Syarat tayammum ada 5 :
1. Adanya udzur, berupa safar atau sakit
Ada empat kondisi musafir terhadap keberadaan air :

 Meyakini tidak adanya air di disekitarnya, seperti di padang pasir.


 Kemungkinan ada air disekitarnya baik dekat maupun jauh, maka ia wajib mencari air
tersebut tidak adanya perbedaan pendapat akan hal ini, karena tayamum adalah
bersuci yang dilakukan pada kondisi darurat, dan tidak dikatakan darurat jika di tempat
itu masih didapati air untuk bersuci.
 Meyakini adanya air disekitarnya, dan ini memiliki tiga tingkatan :

 Air berada pada jarak perjalan para pencari kayu bakar, pencari rumput dan
pengembala yang mengembalakan hewan ternaknya. Maka wajib baginya berusaha
untuk memperoleh air dan ia tidak diperbolehkan tayamum. Muhammad bin Yahya
berkata,”Jaraknya sekitar setengah farsakh.

 Air tersebut berada pada posisi yang jauh, sekiranya jika ia mendatangi air tersebut
menjadikan waktu sholat habis maka diperbolehkan tayamum menurut pendapat
madzhab.
 Lokasi air berada diantara dua jarak tersebut, yaitu melebihi jarak tempuh para
pencari kayu, pencari rumput, dan pengembala, namun tidak sampai habisnya
waktu shalat. Terdapat perbedaan pendapat akan hal ini, menurut mazhab
bolehnya tayamum, karena ia tidak mendapatkan air pada saat itu, sedangkan
upaya pencarian menambah kesulitan.

 Ada air namun para musafir berdesak-desakan karena air tersebut didalam sumur dan
tidak mungkin bisa diambil kecuali dengan sebuah alat (timba), padahal disana hanya
ada satu timba. Terdapat perdaan pendapat akan hal ini, pendapat yang rajih ia boleh
bertayamum karena ketidak mampuan dalam memperoleh air yang sangat jelas, dan
tidak perlu mengulang shalat menurut pendapat madzhab, Wallahu a’lam.
Ada tiga kondisi ketika sakit terhadap keberadaan air :
 Takut akan hilangnya nyawa ketika berwudhu atau hilangnya bagian dari anggota
badan, atau hilangnya fungsi dari anggota badan, termasuk juga ketika ia menderita
sakit yang tidak berbahaya, namun jika ia menggunakan air penyakitnya menjadi
berbahaya (bertambah parah), maka diperbolehkan tayamum dan ini menurut
pendapat mazhab.

 Ditakutkan penyakitnya menjadi semakin parah, seperti rasa sakit yang semakin terasa
meskipun tidak menambah lama waktu sakit, atau khawatir akan memperlambat
kesembuhannya yaitu memperlama kesembuhan meskipun rasa sakit tidak bertambah,
atau sakitnya menjadi sangat parah sampai menuju ambang kematian, atau menjadikan
cacat yang buruk, seperti membuat hitam pada anggota badan yang nampak seperti
wajah dan lainnya yang terlihat ketika bekerja. Mengenai semua gambaran ini terdapat
perbedaan pendapat, dan yang rajih yaitu bolehnya tayamum, dan illat kecacatan yang
buruk yaitu memperburuk bentuk fisik dan kemadharatannya terus-menerus seperti
rusaknya anggota badan.

 Takut akan cacat yang sedikit seperti bakas cacar, atau sedikit warna hitan, atau
khawatir cacat yang menjadikan jelek pada anggota badan yang tidak kelihatan, atau ia
memiliki penyakit namun tidak takut menggunakan air serta tidak khawatir akan akibat
yang ditimbukan walapun saat itu ia merasakan sakit, seperti terdapat luka, atau
kedinginan, ataupun kepanasan, maka tidak diperbolehkan bertayamum karena
penyakit-penyakit yang seperti ini dan tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah
ini, Wallahu a’alam.
Bagi orang yang sakit boleh bersandar pada pendapatnya sendiri dalam memahami
penyakit yang ia rasakan, apakah penyakitnya itu mengkhawatirkan atau tidak asalkan ia
mengetahui secara mendetail terhadap penyakit yang ia derita. Dan diperbolehkan
baginya berpegang pada pendapat Dokter yang kompeten. Tidak diterima pendapat
orang yang tidak kompeten dalam bidang tersebut.
Disyaratkan orang yang ahli dalam bidang tersebut beragama islam. Tidak diterima
pendapat orang kafir, karena Allah menganggap mereka fasik. Maka tinggalkanlah apa
yang Allah perintahkan untuk meninggalkannya, dan jangan terpedanya dengan
perbuatan ahli fikih yang keji. Kemudian syarat yang lain adalah baligh, maka tidak boleh
berpegang kepada pendapat anak kecil, dan disyaratkan ia adil, maka orang fasik tidak
boleh dijadikan sandaran.
Boleh berpegang atau percaya kepada pendapat hamba sahaya dan wanita. Maka cukup
dengan pendapat satu orang saja dari mereka menurut pendapat yang masyhur.
2. Masuknya waktu sholat
Syarat sahnya tayamum dikerjakan setelah masuknya waktu shalat, Allah berfirman;

{ ‫} إذا قمتم إلى الصالة فاغسلوا وجوهكم‬


“Apabila kamu hendak berdiri sholat, maka basuhlah wajahmu.”( Al-Ma’idah [5]: 6 )

Dan berdiri untuk shalat disini tentu dilakukan sesudah masuknya waktu shalat, Lain halnya
dengan wudhu yang boleh dilakukan kapanpun. Tayamum disini ditetapkan berdasarkan
dhohir ayat. Sedangkan dari sunnah Rasul bersabda,
)) ‫)) جعلت لي األرض مسجدا وترابها طهورا أينما أدركني الصالة تيممت وصليت‬
“Aku jadikan bumi sebagai masjid dan tanahnya suci (mensucikan), dimanapun aku
mengetahui waktu shalat maka aku bertayamum lalu shalat.” ( HR. Ahmad )
Alasan yang lain, karena tayamum merupakan thaharah darurat, dan tidak ada kedaruratan
terhadap tayamum sebelum masuknya waktu shalat. Wallahu a’lam

Lain halnya dengan wudhu, boleh dilakukan diluar waktu shalat. Karena tayammum
merupakan thaharah di waktu darurat.

3. Berusaha mencari air


Syarat sah tayamum yang selanjutnya adalah mencari keberadan air, berdasarkan firman
Allah,
{ ‫}فلم تجدوا ماء فتيمموا‬
“Maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah.” (Al-Ma’idah [5]: 6)
Allah memerintahkan kita bertayamum jika tidak didapati air, dan menggetahui ada dan
tidaknya air kecuali dengan mencarinya, disyaratkan bolehnya mencari air ketika telah
masuk waktu shalat, sebab setelah masuknya waktu shalat baru bisa dikatakan waktu
darurat dan dia boleh mencari air tersebut sendiri dan juga bisa juga dicarikan orang yang
diizinkannya menurut pendapat yang shahih. Aku katakanan, disyaratkan orang yang
diminta untuk mencari air tersebut dapat dipercaya. Wallahu a’lam

Cara mencarinya adalah dengan memeriksa kendaraannya bisa jadi ia membawa air namun
ia tidak mengetahuinya, jika tidak didapati lihatlah ke arah kanan dan kiri, depan dan
belakang jika ia berada pada tempat yang datar atau mencarinya ditempat yang hijau
(banyak tumbuhan) dan juga pada tempat yang disana menjadi tempat burung-burung
berkumpul dengan melihat disekelilingnya.

Jika tempat tersebut tidak datar (berbukit) maka perlu dilihat, jika ia menghawatirkan
dirinya sendiri atau hartanya, maka kondisi seperti ini diperbolehkan tayamum meskipun ia
yakin adanya air apalagi jika ia ragu terhadap keberadaan air.

Wajib membeli air untuk wudhu dan mandi serta membayar dengan harta jenis apapun
untuk mendapatkan air tersebut, kecuali jika ia membutuhkan hartanya untuk pulang dan
perginya ketika safar.

Jika tidak ada alat yang bisa digunakan untuk mengambil air kecuali dengan memberi upah ,
maka wajib baginya menyewanya dengan upah yang semisal.

Jika ia bisa menjulurkan surbannya kedalam sumur dan memerasnya maka ia harus
melakukannya. Jika surban tersebut tidak dapat menjangkau permukaan air namun bisa
disobek maka ia harus menyobek dan menyambungnya agar dapat mencapai air. Hal ini jika
tidak ditemukan kerugian pada pakaian tersebut yang melebihi harga air atapun upah tali.
Harga semisal menurut beberapa pendapat, yang rajih harganya sesuai dengan tempat dan
kondisi pada saat itu.

4. Tidak mampu menggunakan air


Beberapa sebab lain diperbolehkannya tayamum
 Di dekatnya ada air namun ia mengkhawatirkan keselamatan dirinya jika harus
mendatanginya, seperti adanya binatang buas
 Takut terpisah dari rombongan.
 Kehausan
 Tidak bisa menggunakan air kerena luka atau senjenisnya, seperti bisur dan
semisalnya, baik itu diperban ataupun tidak

5. Debu yang suci


Tidak sah tayammum kecuali dengan debu yang suci murni bukan bekas digunakan. Debu
tesebut harus ada wujudnya, baik itu bewarna merah, hitam, ataupun kuning. Tidak sah
tayammum dengan menggunakan kapur, dan seluruh barang tambang
Kewajiban-kewajiban tayamum ada empat :
1) Niat
Tayamum adalah ibadah yang membutuhkan niat seperti sholat dan wudhu. Tatacaranya
adalah ia berniat dibolehkannya shalat, tidak cukup berniat untuk menghilangkan hadats,
karna tayamum tidak dapat menghilangkan hadats. Ini berdasarkan sabda Nabi kepada
Amru bin Ash ketika ia mengalami junub, maka ia bertayamum dan sholat bersama para
shahabatnya, maka Rasul bekata kepadanya,
)) ‫)) أصليت بأصحابك وأنت جنب‬
“Apakah kamu shalat dengan para shahabatmu dalam keadaan junub?”
Selain itu, seandainya tayamum bisa menghilangkan hadats, tentu tayamum tersebut tidak
akan batal dengan adanya air sebagaimana wudhu dengan menggunakan air.
Niat harus dilakukan sebelum mengangkat tangan dari tanah, jika berbarengan sudah cukup
baginya menurut pendapat yang rajih dalam kitab Asy-Syarh dan Ar-Raudhah.
Jika seseorang meniatkan untuk diperbolehkan mengerjakan shalat, maka ia memiliki empat
kondisi :
1. Ia berniat diperbolehkannya shalat wajib dan shalat sunnah sekaligus. Niat seperti ini
membolehkan keduanya, baik shalat sunnah sebelum atau sesudah shalat wajib, baik
didalam waktu atau diluar waktu.

2. Ia meniatkan shalat wajib, baik itu salah satu dari shalat lima waktu atau shalat nazar
dan tidak meniatkan shalat sunnah, maka ia diperbolehkan mengerjakan shalat wajib
karena ia meniatkannya, dan juga dengan shalat sunnah sebelum dan setelahnya
serta shalat sunnah yang dikerjakan diluar waktu menurut pendapat yang rajih,
karna sholat sunnah mengikuti shalat fardhu.
3. Ia meniatkan shalat sunnah saja maka ia tidak boleh mengerjakan shalat wajib
menurut pendapat yang rajih. Karena shalat sunnah mengikuti shalat wajib.
4. Ia meniatkan shalat sunnah saja maka menurut pendapat yang rajih ia sama seperti
orang yang meniatkan shalat sunnah. Wallahu a’lam

2) Membasuh wajah
Dalilnya,
{ ‫} فامسحوا بوجوهكم وأيديكم منه‬
“Usaplah wajah dan tanganmu dengan dengan (debu) itu.” (Al-Ma’idah [5]: 6)

Perbuatan tersebut telah dicontohkan oleh Nabi. Sedangkan wajah maka wajib mengusap
seluruhnya sama seperti wudhu. Menurut pendapat mazhab tidak wajib mengusapkan
tanah sampai tempat tumbuhnya rambut agar tidak memberatkan. Sedangkan kedua
tangan wajib mengusapnya sampai siku secara menyeluruh.

3) Membasuh kedua tangan sampai siku


4) Berurutan
Wajah harus didahulukan dari pada tangan. Ia diharuskan untuk melepas cincin, tidak cukup
hanya menggerak-gerakkannya, lain halnya dengan wudhu karena tanah tidak bisa masuk
kebawah cincin.

Cabang
Jika ia bertayamum sedangkan di tangannya terdapat najis, kemudian ia memukulkan
tangan tersebut ke tanah lalu ia mengusapkan kewajah, maka perbuatan tersebut boleh menurut
pendapat yang paling shahih. Dalam kitab Aslu ar-Raudhah disunnahkan mengucapkan dua kalimat
syahadat setelah tayamum seperti wudhu dan mandi.
Sunnah-sunnahnya tayamum ada tiga :
1. Membaca basmalah
2. Mendahulukan yang kanan
3. Berkesinambungan
Sunnah tayamum yang lain mengurangi tanah yang diambil jika terlalu banyak, melepas
cicin pada pukulan pertama, menghadap kiblat, menyilangkan jari-jemarinya setelah pukulan yang
kedua.
Pembatal tayamum ada tiga :
1) Apa saja yang membatalkan wudhu
2) Melihat air diluar sholat
3) Murtad
Apabila tayamum seseorang telah sah dengan berbagai syaratnya, kemudian berhadats
maka batal tayamumnya. Apabila ia melihat air dipertengahan shalat seperti sholatnya musafir
maka tidak batal menurut zhahir mazhab dan pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan shalat orang yang
mukim akan batal jika melihat air.
Mengusap perban
Orang yang menggunakan perban cukup mengusap permukaannya kemudian bertayamum,
lalu sholat. Ia tidak harus mengulang shalatnya jika ia meletakkan perban tersebut dalam keadaan
suci.
Jika ia mampu melepaskannya dan tidak menimbulkan bahaya maka wajib melepaskan
perban tersebut kemudian membasuhnya dan membasuh bagian yang sakit jika memungkinkan.
Jika tidak memungkinkan maka hendaknya ia mengusap perban tersebut dengan tanah jika
termasuk anggota tayamum.
Jika melepasnya menimbulkan kemadharatan, seperti takut kehilangan nyawa, kehilangan
anggota badan serta kehilangan fungsinya, atau tertimapa cacat yang buruk pada anggota badan
yang tampak maka ia tidak harus melepaskan perban. Akan tetapi ia wajib melakukan beberapa
hal :

 Membasuh anggota badan yang sehat menurut mazhab, termasuk anggota tubuh yang
sehat yang ada dibawah perban dengan meletakkan kain basah dan memerasnya agar
tempat tersebut terbasuh dengan tetesan air.
 Mengusap perban dengan air menurut pendapat yang masyhur. Sebab anggota badan yang
sehat ada yang tertutup oleh perban. Wajib mengusap seluruh permukan perban di atas
anggota badan yang sehat.
 Ia wajib bertayamum menurut pendapat yang masyhur. Jika junub, menurut pendapat yang
paling shahih maka ia harus memilih mendahulukan membasuh dari pada tayamum, atau
mengakhirkannya.

Jika hadats kecil, maka yang shahih tidak berpindah dari bagian tubuh ke tubuh yang lain
sampai sempurnanya bagian tubuh tersebut. Jika perban tersebut berada pada tangan, maka wajib
mendahulukan tayamum dari pada mengusap kepala. Jika terdapat dua perban atau tiga maka
tayamum sesuai dengan jumlah perban yang ada. Imam Nawawi berkata, jika luka tersebut berada
pada empat anggota wudhu menurut ulama mazhab, cukup dengan satu kali tayamum dari seluruh
anggota wudhu.
Wajibnya membasuh yang sehat, mengusap perban, dan tayamum, itu dianggap cukup dengan dua
syarat :
1. Jangan sampai ada bagian tubuh yang sehat berada di bawah perban kecuali sebatas yang
diperlukan untuk mengikat perban
2. Memakai perban dalam keadaan suci, jika tidak wajib melepasnya dan kembali
meletakkannya dalam keadaan suci jika memungkinkan. Jika tidak, maka perban itu
dibiarkan dan wajib mengganti ketika shalat apabila sudah sembuh.
Tayamum dilakukan setiap hendak melaksanakan shalat fardhu, dan cukup dengan satu kali
tayamum jika hendak melaksanakan shalat sunnah apa saja dan sekehendaknya.
Cabang
Jika orang yang junub dan berhadats hanya menemukan sedikit air yang tidak mencukupi,
maka ia wajib menggunakan air tersebut menurut pendapat yang shahih, dan wajib sisanya
bertayamum. Jika ia menemukan tanah namun tidak mencukupi, maka menurut mazhab wajib
menggunakannya, jika terdapat pada dirinya najis dan ia memiliki air yang bisa digunakan untuk
mencuci sebagian najis tersebut maka ia wajib mencucinya menurut pendapat mazhab.
Jika ia berhadats atau junub dan pada dirinya terdapat najis, dan ia memiliki air yang hanya
cukup menyucikan salah satunya saja, maka yang dipilih adalah menghilangkan najis terlebih
dahulu kemudian tayamum, karena najis tidak bisa diganti dengan yang lainnya.
Jika seorang musafir melewati air padahal waktu sholat telah masuk namun ia tidak
berwudhu darinya, kemudian setelah jauh ia bertayamum lalu shalat maka dibolehkan tidak perlu
mengulang sholatnya menurut mazhab.
Jika tidak mendapati air serta debu, maka ia tetap melaksanakan shalat sebagai
penghormatan terhadap waktu kemudian mengulangnya. Shalat menjadi sah, jika ia menemukan
air, kemudian ia harus mengulang shalatnya.
Jika tidak mendapati air dan debu, ia tetap melaksanakan shalat sebagai penghormatan
terhadap waktu kemudian mengulanginya. Shalat dihitung sah apabila ia menemukan air dan
mengulanginya.
Jika tidak memiliki air serta tanah kemudian shalat apakah harus membaca al-fatihah
padahal dalam kondisi junub ? Perkataan Imam ar-Rafi’i didalalam bab ini menuntut untuk tidak
membacanya, namun diganti dengan dzikir, pendapat ini diikuti oleh imam Nawawi, akan tetapi
Imam Nawawi membenarkan dalam bab mandi, wajib membacanya.
Jika ia bertayamum karna junub kemudian berhadats, maka diharamkan baginya apa-apa
yang diharamkan bagi orang yang berhadats, dan tidak diharamkan membaca al-Qur’an serta
berdiam diri dimasjid, kemudian dengan melihat air diharamkan membaca Al-Qur’an dan seluruh
perkara yang diharamkan sampai ia mandi, selama tidak berkaitan dengan penghalang apapun,
secara syar’i seperti haus, adanya binatang buas, musuh seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Wallahu a’lam
Jika musafir mendapati tong berisi air dijalan, yang disediakan untuk minum, maka tidak
boleh berwudhu darinya dan ia harus bertayamum. Karena tong tersebut diletakkan untuk minum.
Wallahu a’lam.

Pasal: Najis Serta Cara Menghilangkannya

Setiap benda cair yang keluar dari dua jalan (kemaluan dan dubur) adalah najis kecuali mani :
Najis secara bahasa setiap yang menjijikkan. Secara syara’ sebuah ungkapan dari setiap yang
haram dimakan secara mutlak meskipun memungkinkan untuk dimakan, bukan disebabkan
keharamannya, bukan karena kotor, bukan karena dapat merusak badan atau akal.
Ketahuilah bahwa sesuatu yang keluar dari dalam tubuh hewan ada dua jenis:
1. Yang tidak bersatu dan tidak terurai dalam tubuh binatang tersebut, sesungguhnya yang
menetes, seperti air liur, keringat dan yang semisal antara keduanya. Maka hukumnya sama
dengan hewan-hewan yang memiliki sesuatu yang menetes darinya. Jika hewan tersebut
najis maka ia najis dan jika tidak maka hewan tersebut suci.

2. Yang terurai seperti air kencing, kotoran, darah, muntahan, maka seluruhnya najis baik
berasal dari hewan yang boleh dimakan ataupun yang tidak boleh dimakan.
Kami memiliki satu pendapat, sesungguhnya air kencing hewan yang boleh dikonsumsi dan
juga kotorannya adalah suci. Ini pendapat al-Istikhri dan ar-Ruyani.
Mazhab Malik dan Ahmad semoga Allah meridhoi keduanya, mereka berpegang pada hadits
yang kontradiktif. Hewan yang tidak boleh dikonsumsi para ulama bersepakat akan kenajisannya,
dan mereka mengkiaskan dengan hewan yang tidak boleh dimakan karena ia berubah mejadi
sesuatu yang menjijikkan.
Imam Nawawi berkata, “Air kencing manusia itu najis, ini merupakan ijma’. Tidak ada
perbedaan air kencing anak kecil dan orang dewasa menurut ijma’.
Menurut ijma’ kotoran (tinja) itu najis. Menurut Syaikh madzi itu najis karena keluar dari
salah satu dari dua lubang. Madzi adalah cairan bewarna putih, encer, lengket yang keluar tanpa
shahwat ketika sedang bermesraan dan memandang.
Perkataan Syaikh juga tentang kenajisan wadi. Wadi adalah cairan yang bewarna putih,
keruh, kental yang keluar setelah kencing.
Tidak ada perbedaan kenajisan apa yang keluar dari dua jalan, baik itu normal seperti air
kencing dan tinja atau tidak normal seperti darah dan nanah. Kecuali cacing, kerikil dan setiap
benda keras yang tidak bisa dicerna oleh lambung, ini adalah benda yang terkena najis bukan benda
yang najis. Karena Syaikh telah membatasinya dengan cairan.
Apakah mani itu najis atau suci ? Dilihat terlebih dahulu, jika mani manusia terdapat
perselisihan dikalangan ulama. Namun menurut mazhab kami suci. Menurut Imam Malik dan Abu
Hanifah najis. Menurut mazhab Syafi’i dan ahli hadits serta para sahabat yang lain seperti Ali bin Abi
Thalib, Sa’d bin Abi Waqash, Ibnu Umar dan Aisyah mereka berpendapat bahwasanya mani itu suci.
Dalil mereka tentang mengerik mani. Seandainya mani itu najis tidak cukup dengan mengeriknya.
Tidak ada perbedaan antara mani mani pria dan wanita.
Sedangkan mani selain manusia, seperti mani Anjing atau Babi atau keturunan salah satu
dari keduanya dihukumi najis tanpa ada perbedaan pendapat. Sedangkan selain dari kedua hewan
tersebut terdapat perbedaan pendapat, yang rajih menurut Rafi’i najis. Ar-Rafi’I memberi
pengecualin terhadap mani manusia, yang mana sebagai pemuliaan terhadap mereka.
Sedangkan yang rajih menurut Imam Nawawi mani selain keduanya suci. Pendapat yang lain
mengatakan najis jika bukan hewan yang halal dimakan, jika hewan tersebut halal dimakan maka
maninya suci.
Seluruh air kencing dan kotoran (tinja) wajib dicuci, kecuali air kencing bayi laki-laki yang
belum disapih, air kencing bayi laki-laki cukup disucikan dengan memercikkan air.
Tatacara mencucinya, najis terkadang ‘ainiyah, yaitu dapat dilihat dan terkadang hukmiyah
yaitu menghukumi tempat yang najis tanpa melihat tempat najisnya. Jika najisnya ‘ainiyah maka
harus menghilangkan najis tersebut dan berusaha menghilangkan rasa, warna, serta bau yang ada.
Jika rasa najis tetap ada, maka tempat yang terkena najis tersebut belum suci karena
rasanya tetap ada yang menunjukkan masih adanya najis. Gambarannya, apabila mulut seorang
terdapat najis, dan bekas najis dan baunya masih ada, maka belum dikatakan suci. Jika yang tersisa
hanya warnanya saja, dan tidak sulit untuk menghilangkanya maka belum dikatakan suci.
Jika kesulitan menghilangkannya, seperti darah haid yang mengenai baju dan terkadang
tidak hilang walaupun dicuci berulang kali, menurut pendapat yang shahih hukumnya suci sebab
sulit dibersihkan. Jika yang tersisa baunya saja, sedangkan bau tersebut sulit dihilangkan seperti
bau khamar, maka tempat yang terkena najis dihukumi suci menurut pendapat yang paling kuat.
Walaupun warna dan baunya masih tersisa karena sulit menghilangkannya maka tetap dihukumi
suci menurut pendapat yang shahih.
Syarat thaharah yaitu ia menuangkan air ditempat yang terkena najis. Jika ia merendam
pakaian dan semacamnya didalam sebuah ember berisi air yang kurang dari dua qullah, maka yang
shahih menurut jumhur ulama mazhab pakaian tersebut tetap najis, karena dengan memasukkan
pakaian tersebut kedalam air yang kurang dari dua qullah maka air tersebut menjadi najis. Cukup
dengan membanjiri bagian yang najis menurut pendapat yang shahih.
Sedangkan najis hukmiyah, disyaratkan untuk dicuci. Kecuali air kencing anak kecil laki-laki
yang belum disapih, cukup dengan memercikkan air dan harus mengenai bagian yang terkena najis
serta air tersebut harus mendominasi dari air kencingnya.
Tidak disyaratkan berniat ketika mencuci. Akan tetapi Ibnu Syuraij dan Qafal diantara para
ulama kami mensyaratkan niat ketika mencuci najis seperti hadats. Air kencing bayi perempuan
wajib dicuci menurut mazhab. Dalilnya :
(( ‫))ينضح من بول الغالم ويغسل من بول الجارية‬
“Air kencing bayi laki-laki dipercikkan sedangkan air kencing bayi perempuan dicuci. ( HR.
Tirmidzi )
Perbedaan keduanya dilihat dari sisi maknanya dengan beberapa alasan ;
1. Air kencing bayi wanita itu mengalir (berpancaran) maka perlu dicuci. Berbeda dengan air
kencing laki-laki yang jatuh pada satu tempat.

2. Air kencing bayi wanita kental, bewarna kuning, berbau serta lengket pada tempat yang
terkena, berbeda dengan air kencing bayi laki-laki.
Pendapat yang paling kuat apa yang dikatakan, bahwa jiwa lebih menyukai bayi laki-laki
ketimbang perempuan, sehingga banyak yang membawa bayi laki-laki sehingga sudah tepat bila
diberikan keringanan untuk memercikkan air untuk menghindari hal yang menyulitkan.
Tidak ada najis yang dimaafkan kecuali sedikit dari darah, nanah, dan binatang yang tidak
mempunyai darah jika jatuh kedalam bejana, kemudian mati didalamnya, maka tidak dihukumi
najis.
Sedikit darah dan nanah dimaafkan jika menempel pada pakaian dan badan dan shalatnya
tetap sah. Yang dimaksud bangkai yang tidak memiliki darah yang mengalir adalah tidak ada darah
pada bangkai tersebut yang mengalir seperti lalat, nyamuk, kalajengking, sejenis kumbang dan cicak
ini semua dishahihkan oleh an-Nawawi selain ular dan katak. Terdapat perbedaan pendapat
tentang kenajisan hewan-hewan tersebut, namun menurut mazhab tidak najis.
Perlu diketahui bahwa najis yang tidak bisa dilihat dengan mata karna sedikitnya seperti
setetes air kencing, dan juga najis yang menempel pada kaki lalat, hukumnya tidak menajiskan
seperti hukum bangkai yang darahnya tidak mengalir ini pendapat yang rajih menurut Imam
Nawawi, karena sulit menghindarinya seperti darah kutu. Namun pendapat ar-Rafi’I najis (lalat).
Wallahu a’lam
Seluruh binatang itu suci kecuali anjing, babi dan keturunan dari keduanya atau salah satu dari
keduanya.
Imam Syafi’i memberi pengecualin bahwasanya anjing, babi dan keturunan dari keduanya
adalah najis.
Adapun tentang kenajisan babi, Imam Syafi’I berhujjah bahwa babi lebih buruk kondisinya
dari pada anjing karena tidak boleh dimanfaatkan.
Seluruh bangkai najis kecuali bangkai ikan, belalang dan manusia.
Dalilnya,
{ ‫} حرمت عليكم الميتة‬
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” ( Al-Ma’idah [5]: 3 )
Bankai adalah hilangnya nyawa tanpa disembelih secara syar’i seperti sembelihan orang
Majusi, binatang yang haram, binatang yang disembelih dengan ditusuk atau lain sebagainya, dan
juga hewan yang disembelih namun dagingnya tidak dimakan.
Janin yang terdapat pada bangkai setelah disembelih induknya maka bangkainya suci dan
halal. Hewan buruan yang mati dengan pukulan maka ia halal dan juga unta yang kabur kemudian
mati dengan anak panah bukan pada tempat sembelihan maka hukumnya halal. Jawabannya
bahwa ini penyembelihan secara syar’i.
Bejana karena dijilat anjing dan babi dicuci tujuh kali salah satunya dengan tanah, dan mencuci
seluruh najis cukup sekali, tiga kali lebih utama.
Nabi bersabda,
)) ‫)) إذا ولغ الكلب في إناء أحدكم فليرقه ثم ليغسله سبع مرات‬
“Apabila seekor anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian maka hendaknya ia
menumpahkannya, lalu mencucinya tujuh kali.” (HR. Muslim)
Jika yang dijilat berupa makanan yang sifatnya cair maka haram dimakan. Tidak ada
perbedaan antara najis karena jilatan anjing, kencingnya, darahnya, keringatnya, rambutnya, atau
selainnya dari seluruh bagian anggota tubuh yang ada, maka harus dicuci tujuh kali, yang pertama
dengan tanah.
Imam Nawawi berkata dalam kitab ar-Raudhah, “Menurut pendapat yang syadz, cukup
mencuci bagian yang tidak dijilat sekali saja seperti mencuci najis biasa. Pedapat ini disebutkan
dalam kitab Syarhu al-Muhadzab, “Itu benar dan kuat dari sisi dalil, karena perintah mencucu tujuh
kali agar mereka menjauhi makan bersama anjing.
Apakah najis karena babi harus dicuci seperti anjing atau tidak ? Ada dua pendapat:
1. Menurut qaul jadid dan pendapat sebagian ulama mereka mengatakan, “Ya.” Karena babi
termasuk najis ‘ain (bendanya najis) seperti anjing, bahkan lebih pantas karena tidak boleh
mengambil manfaat apapun darinya.
2. Menurut qaul qadim cukup sekali saja seperti mencuci najis yang lain. Menurut pendapat
yang dirajihkan Imam Nawawi dalam kitab Syarhu al-Muhadzab “Cukup sekali cuci tanpa
menggunakan tanah.”
Apakah sabun dan kapur sama seperti tanah ? Ada dua pendapat:
1. Ya, sama seperti benda-benda selain batu yang digunakan untuk istinja’. Dan juga sama
seperti benda-benda selain tawas dan qarz dalam penyamakan, dishahihkan oleh an-
Nawawi dalam kitab Ruusul Masail.
2. Yang lebih dzahir menurut Rafi’i dalam kitab ar-Raudhah dan Al-Majmu’, kedudukannya
tidaklah sama, karena berkaitan bersuci menggunakan tanah. Maka benda-benda selainnya
tidak bisa menggantikan tanah, seperti dalam tayamum.
3. Jika ia mendapati tanah tidak bisa digantikan dengan benda lainnya. Jika ia tidak mendapati
tanah maka boleh digantikan dengan sesuatu yang lain.
Ada yang berpendapat ia bisa menggantikan tanah, jika tanah tersebut bisa merusak seperti pakain,
dan ini tidak berlaku terhadab bejana. Tidak cukup hanya menaburkan tanah pada tempat yang
najis, akan tetapi harus dicampur dengan air agar tanah tersebut merata sampai seluruh bagian
yang terkena najis.
Jika anjing menjilat dan menajiskan suatu benda, lalu benda tersebut mengenai benda
lainnya maka wajib dicuci tujuh kali. Jika seekor anjing menjilat makanan beku maka bagian yang
terkena liur dan yang sekitarnya dibuang. Jika seekor anjing memasukkan kepalanya kedalam
bejana yang didalamnya terdapat air, dan ia tidak mengetahui apakah anjing tersebut menjilat air
yang ada didalamnya atau tidak ? Jika anjing tersebut menggeluarkan mulutnya dalam keadaan
kering maka tidaklah najis.
Jika ia mengeluarkan mulutnya dalam keadaan basah menurut pendapat yang rajih, karena
hukum asalnya anjing tersebut tidak menjilat, maka air tersebut tetap dihukumi suci, dan mulutnya
yang basah kemugkina disebabkan air liurnya, hukum asal tidaklah hilang karena keraguan.
Jika sebagian air cucian najis anjing mengenai suatu benda, Jika air cucian pertama maka
benda yang terkena itu dicuci enam kali dan air cuciannya dicampur dengan tanah jika pada cucian
pertama tidak ada tannahnya. Jika yang jatuh adalah sebagian air cucian ketujuh maka tidak harus
dicuci.
Khamr yang menjadi cuka secara alami adalah suci, jika ia menjadi cuka dengan ditambahi
sesuatu (bawang merah, ragi, yang semisalnya) maka tidak suci.

Pasal: Haidh, Nifas dan Istihadhah

Ada tiga jenis darah yang keluar dari kemaluan wanita: darah haidh, nifas, dan istihadhah. Haid
adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada kondisi sehat tanpa ada sebab melahirkan,
nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan, dan istihadhah adalah darah yang keluar pada
selain hari-hari haid dan nifas.
Secara bahasa As-Sailaani (dua jalan). Secara istilah darah yang keluar dari rahim seorang
wanita setelah masuk usia baligh dengan syarat-syarat yang jelas. Ada 4 macam hewan yang
mengalami haid yaitu wanita, kuda atau sejenis anjing hutan, kelinci, dan kelelawar.

Adapun darah nifas adalah darah yang keluar setelah melahirkan yang membuat masa
iddah berakhir, baik ia melahirkan bayi dalam kondisi hidup atapun meninggal, sempurna ataupun
tidak sempurna. Demikian juga jika ia melahirkan bayi masih berupa segumpal darah ataupun
daging. Diambil dari perkataan Syaikh darah yang keluar bersaman dengan keluarnya bayi atau
sebelum keluarnya bayi tidak disebut nifas, demikianlah menurut pendapat yang rajih.

Nifas secara bahasa melahirkan. Menurut istilah ahli fiqh sebagaimana yang disebutkan
Syaikh, disebut darah nifas karena keluar setelah keluarnya satu jiwa.

Sedangkan darah yang keluar bukan karena haid atau setelah melahirkan, jika keluarnya
diwaktu- waktu yang memungkinkan terjadinya haid namun diluar siklus haid disebabkan ole sakit
atau kerusakan pembuluh darah rahim yang paling dalam, maka darah ini disebut darah istihadhah.

Batas minimal haid adalah sehari semalam, pada umumnya enam atau tujuh hari dan maksimal
lima belas hari.

Batas minimal masa haid seorang wanita adalah sehari semalam berdasarkan istiqra’
(pengamatan terhadap kebiasan yang terjadi), dan kebanyakan wanita mengalaminya selama enam
atau tujuh hari, dan paling lama lima belas hari. Syafi’i berkata “Aku mengetahui para wanita yang
menyatakan padaku bahwa mereka mengalami haid selama lima belas hari. Batas minimal seorang
gadis mengalami haid pada usia sembilan tahun.

Batas minimal nifas adalah sesaat, maksimalnya enam puluh hari, dan kebanyakan empat puluh
hari.

Batas minimal nifas adalah sesaat dan ini merupakan uangkapan dalam kitab al-Mijhaj.
Sedangkan dalam kitab at-Tanbih minimal satu muntahan. Dalam kitab ar-Raudhah mengikuti
pendapat Rafi’I tidak ada batasan minimal, akan tetapi hukum nifas diambil dengan apa yang
didapati. Batas maksimal nifas enam puluh hari menurut istiqra’.

Auza’i berkata ditempat kami ada seorang wanita yang nifas selama dua bulan. Rabi’ah guru
Imam Malik berkata, “Aku mendapi manusia berkata, maksimal nifas seorang wanita enam puluh
hari dan kebanyakan empat puluh hari.

Batas minimal sucinya seorang wanita antara haid yang satu dengan haid berikutnya lima belas
hari. Tidak ada batasan maksimalnya.
Sesungguhnya ada seorang wanita yang haidnya hanya sekali dalam setahun, bahkah sekali
seumur hidup.
Ustad Fatih Izzul Islam berkata, ada seorang wanita yang haidnya hanya lima bulan sekali,
biasanya terjadi paska melahirkan maka dalam kondisi tersebut biasanya seorang wanita
mengalami haid secara tidak teratur.
Usia minimal haid bagi seorang gadis sembilan tahun, tidak ada batasan usia maksimalnya.
Imam Syafi’i berkata, ”Aku terheran-heran ketika mendengar wanita tihamah haid pada usia
sembilan tahun. Yang dimaksud sembilan tahun adalah genap sembilan tahun menurut pendapat
yang shahih. Ada yang berpendat pertengahan sembilan tahun dan juga sembilan tahun lebih.
Menurut pendapat yang shahih diukur dengan perkiraan, tidak ada pembatasan menurut
pendapat yang shahih.
Batas minimal usia kehamilan adalah enam bulan, paling lama empat tahun, kebanyakan
sembilan bulan.
Pernah dihadapkan kepada Utsman seorang wanita yang melahirkan saat kandungannya
baru berusia sembilan bulan. Imam Malik berkata,”Tetangga kami istri dari Muhammad bin Ajlan ia
adalah wanita yang jujur dan begitu pula suaminya, ia hamil tiga kali selama dua belas tahun dan
setiap kehamilan berusia empat tahun.
Yang diharamkan bagi wanita haid dan nifas ada delapan larangan :
1. Shalat
2. Puasa
3. Membaca Qur’an
4. Menyentuh Mushaf
5. Membawa Mushaf
Riwayat Ibnu Umar, apabila diharamkan menyentuh mushaf apalagi membawanya, kecuali
mushaf tersebut berada bersama barang-barang lain dan tidak ada maksud membawanya
secara khusus. Jika ia berniat untuk membawanya maka haram. Imam Rafi’i telah
menetapkan hal tersebut.

6. Masuk Masjid
Jika wanita haid masuk masjid kemudian duduk atau berdiam, meskipun berdiri atau modar-
mandir, maka haram baginya. Karena orang yang junub juga diharamkan memasuki masjid.
Tidak diragukan hadats wanita haid lebih berat dari pada junub. Jika ia masuk masjid hanya
sekedar lewat, maka diperbolehkan sama seperti orang yang junub. Yang menjadi
perdebatan apabila aman dari mengotori masjid dengan memakai penutup dan pembalut.
Jika ia khawatir mengotori masjid maka haram baginya tanpa adanya perbedaan pendapat.

Imam Rafi’i berkata, tidak ada pengkhususan bagi wanita haid saja, tetapi orang yang beser
atau ada luka yang mengalir dan ditakutkan mengotori masjid ketika berjalan maka ia tidak
boleh lewat.
7. Thawaf
8. Bersegama
Diharamkan bagi orang yang junub ada lima larangan:
1. Shalat
Seandainya seseorang tidak mendapati air dan tanah lalu ingin shalat, apakah membaca Al-
Fatihah diharamkan baginya atau tidak ? Ada dua pendapat mengenai hal ini:
 Pendapat yang lebih shahih menurut Imam Rafi’i haram membacanya, hendaknya
mengganti dengan dzikir.
 Imam Nawawi berpendapat sebaliknya, membenarkan membaca Al-Fatihah.
2. Membaca Al-Qur’an
Jika mengucapkan ayat-ayat Al-Qur’an maka ia berniat melakukan dzikir. Jika ia berniat
membaca Al-Qur’am maka haram. Jika ia meniatkan keduanya juga haram. Jika ia tidak
meniatkannya sama sekali tidak haram, menurut Iman Rafi’i.
3. Menyentuh Mushaf
4. Thawaf
5. Berdiam dimasjid
Yang diharamkan bagi orang yang berhadats ada tiga larangan:
1. Shalat
2. Thawaf
3. Menyentuh dan membawa mushaf
Diharamkan menyentuh kotak dan kharithah (kantong mushaf seperti dompet yang terbuat
dari kulit) yang ada didalamnya mushaf, karena keduanya dinisbatkan kepada mushaf. Jika
ia tidak bermaksud demikian, namun ia bermaksud membawa kotak dan kharitah atau
bermaksud menyentuh keduanya maka tidak haram, dishahihkan Imam Nawawi.

Jika ia menutupi tangannya mengunakan kain pada lengan bajunya dan membolak-balikkan
mushaf tersebut maka duhukumi haram. Jumhur menetapkan hal ini karna ujung bajunya
bersambung dengan dirinya dan duhukumi sebagai bagian dari dirinya. Membawa mushaf
diharamkan karena lebih parah dari pada menyentuh mushaf.

Anda mungkin juga menyukai