Anda di halaman 1dari 5

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG

FAKULTAS EKONOMI
PRODI S1 AKUNTANSI

Nama               : Alfiyatus Salamah


NIM                 : E2B019338
Mata Kuliah     : Al Islam dan Kemuhammadiyahan
Dosen               : Drs. Hamzah rifki, M.Si
Prodi                 : SI Akuntansi

1. Allah menjelaskan di antara karakter/sifat malaikat adalah sebagaimana firman Allah


dalam Q.S at-Tahrim ayat 6. Sebutkan karakter itu.
 Firman Allah dalam surah at tahrim ayat ke 6

ۤ
َ‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا قُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم َواَ ْهلِ ْي ُك ْم نَارًا َّوقُوْ ُدهَا النَّاسُ َو ْال ِح َجا َرةُ َعلَ ْيهَا َم ٰل ِٕى َكةٌ ِغاَل ظٌ ِشدَا ٌد اَّل يَ ْعصُوْ نَ هّٰللا َ َمٓا اَ َم َرهُ ْم َويَ ْف َعلُوْ ن‬
َ‫َما يُْؤ َمرُوْ ن‬

Terjemahan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang
bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,
dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“

Sedangkan sifat-sifat malaikat di ayat tersebut ialah :


1. Malaikat-malaikat itu kasar
2. Malaikat-malaikat itu keras
3. Malaikat-malaikat itu tidak mendurhakai Allah
4. Malaikat--malaikat itu mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah

2. Apa perbedaan antara kotor, najis dan hadats berikan contoh masing-masing
 Najis adalah sesuatu yang dianggap kotor oleh orang yang memiliki tabi’at yang
selamat (baik) dan selalu menjaga diri darinya. Sedangkan hadats menunjukkan
keadaan diri.
 Apabila pakaian terkena najis –seperti kotoran manusia dan kencing- maka harus
dibersihkan. Sedangkan kalau berhadats, mesti dengan berwudhu, mandi atau
tayammum kala tidak ada air.
 Najis kadang kita temukan pada badan, pakaian dan tempat. Sedangkan hadats
terkhusus kita temukan pada badan.
 Najis bentuknya konkrit, sedangkan hadats itu abstrak dan menunjukkan keadaan
seseorang. Ketika seseorang selesai berhubungan badan dengan istri (baca: jima’), ia
dalam keadaan hadats besar. Ketika ia kentut, ia dalam keadaan hadats kecil.
Sedangkan apabila pakaiannya terkena air kencing, maka ia berarti terkena najis.
 Hadats kecil dihilangkan dengan berwudhu dan hadats besar dengan mandi.
Sedangkan najis, asalkan najis tersebut hilang, maka sudah membuat benda tersebut
suci.

3. Sebutkan media apa saja yang dapat digunakan untuk bersuci


 Media thaharah / Bersuci ada 4 (empat) :
 Air, jika suci dan mensucikan (air mutlak)
 Tanah, jika suci, mensucikan, murni (tidak bercampur), dan berdebu
 Penyamak, jika kesat dan mampu menghilangkan sisa-sisa darah dan lendir
dari kulit bangkai.
 Batu untuk istinja’, jika mampu menghilangkan kotoran, padat, suci dan bukan
benda terhormat (semisal, bukan makanan, bukan kertas bertuliskan ayat-ayat
Qur’an)

 Dalam bersuci menggunakan air, kita juga harus memperhatikan air yang boleh dan
tidak boleh digunakan untuk bersuci
Macam-macam air yang dapat digunakan untuk bersuci adalah :
 Air mutlak
mensucikan, terdapat tujuh jenis air mutlak yaitu :
Air hujan, Air sumur, Air laut, Air sungai/danau/telaga, Air mata air, Air salju dan
Air embun.
 Air yang suci tetapi tidak dapat mensucikan
yaitu air yang halal untuk diminum tapi tidak dapat digunakan untuk bersuci seperti
air teh, kopi, sirup, air kelapa dll.
 Air musyammas
yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain emas dan perak. Air ini
makruh digunakan untuk bersuci.

 Air mustakmal
yaitu air yang telah digunakan untuk bersuci. Air ini tidak boleh digunakan untuk
bersuci walaupun tidak berubah rasa, bau maupun warnanya.
 Air mutanajjis
yaitu air yang sudah terkena najis. Baik yang sudah berubah rasa, warna dan baunya
maupun yang tidak berubah dalam jumlah yang sedikit yaitu kurang dari dua kullah
(270 liter menurut ulama kontemporer)

4. Sebutkan bentuk-bentuk keringanan/rukhshoh dalam pelaksanaan shalat


 Bentuk-bentuk keringanan/rukhshoh dalam pelaksanaan shalat
 Shalat Qashar

Menurut bahasa Arab qashar berarti meringkas, yaitu meringkas shalat yang semula
harus dikerjakan empat rakaat (misal dhuhur, ashar dan isya) menjadi dua rakaat. Seorang
musafir diperbolehkan mengqashar shalat yang berrakaat empat dengan lima syarat. 1)
Kepergiannya bukan dalam rangka maksyiat. 2) jarak perjalanannya paling sedikit 16
farsakh. 3) shalat yang diringkas adalah yang berrakaat empat. 4) niat mengqashar bersamaan
dengan takbiratul Ihram. 5) dan hendaknya tidak bermakmum pada orang yang mukim (tidak
musafir).
 Shalat Jama’

Shalat jama’ adalah mengumpulkan dua shalat fardlu yang dikerjakan dalam satu
waktu shalat. Shalat yang boleh dijama’ adalah shalat dhuhur dengan ashar dan magrib
dengan isya’. Shalat jama’ ada 2 (dua) macam, pertama jama’ taqdim ialah melakukan shalat
dhuhur dan ashar pada waktunya dhuhur atau melakukan shalat maghrib dan isya’ pada
waktunya maghrib. Kedua, Jama’ ta’khir ialah melakukan shalat dhuhur dan ashar pada
waktunya shalat ashar atau melakukan shalat maghrib dan isya’ pada waktunya shalat isya’.
 Shalatnya Orang Sakit

Seorang hamba yang sedang sakit tetap diwajibkan melaksanakan shalat fardhu,
selama akal dan ingatan orang yang sakit masih sadar.
 Shalat di Atas Kendaraan

Dalam perjalanan menuju Mekkah-Madinah, tidak selamanya kewajiban shalat dapat


dilaksanakan di luar kendaraan. Seperti halnya dalam pesawat, perjalanan tentu tidak
mungkin dihentikan, sementara waktu shalat telah tiba.
5. Sebutkan (udzur) sebab-sebab/alasan yang menimbulkan adanya keringanan
(rukhshoh) dalam berpuasa Ramadlan dan sebutkan pula bentuk-bentuk keringanannya
 Orang sakit ketika sulit berpuasa.

Untuk orang sakit, terdapat tiga kondisi :


1. Apabila sakitnya ringan dan tidak berpengaruh apa-apa jika tetap berpuasa.
Contohnya adalah pilek, pusing atau sakit kepala yang ringan. Untuk kondisi pertama
ini tetap diharuskan untuk berpuasa.
2. Aapabila sakitnya bisa bertambah parah atau akan menjadi lama sembuhnya dan
menjadi berat jika berpuasa, namun hal ini tidak membahayakan. Untuk kondisi ini
dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan jika tetap ingin berpuasa.
3. Apabila tetap berpuasa akan menyusahkan dirinya bahkan bisa mengantarkan pada
kematian. Untuk kondisi ini diharamkan untuk berpuasa. Hal ini berdasarkan firman
Allah Ta’ala, artinya : “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” (QS. An-Nisa’: 29).

 Musafir ketika sulit berpuasa.

Musafir yang melakukan perjalanan jauh sehingga mendapatkan keringanan untuk


mengqashar shalat dibolehkan untuk tidak berpuasa.
Para ulama dalam hal ini berselisih pendapat. Namun yang lebih tepatnya kita melihat
dari kondisi musafir berikut ini :
1. Jika berat untuk berpuasa atau sulit melakukan hal-hal yang baik ketika itu, maka
lebih utama untuk tidak berpuasa.
2. Jika tidak memberatkan untuk berpuasa dan tidak menyulitkan untuk melakukan
berbagai hal kebaikan, maka pada saat ini lebih utama untuk berpuasa. Alasannya
karena lebih cepat terlepasnya beban kewajiban puasa. Begitu pula hal ini lebih
mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak itu lebih mudah daripada
mengqadha’ puasa sendiri di saat orang-orang tidak banyak yang berpuasa.
3. Jika berpuasa akan mendapati kesulitan yang berat bahkan dapat mengantarkan pada
kematian, maka pada saat ini wajib tidak berpuasa dan diharamkan untuk berpuasa.

 Orang yang sudah tua renta dan dalam keadaan lemah, juga orang sakit yang tidak
kunjung sembuh.

Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa, boleh baginya
untuk tidak berpuasa dan tidak ada qadha baginya. Menurut mayoritas ulama, cukup bagi
mereka untuk memberi fidyah yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari
yang ditinggalkan. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala, artinya : “Dan wajib bagi orang-
orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi makan seorang miskin.” (QS. al-Baqarah: 184).

 Wanita hamil dan menyusui.


Dalam hal ini, rincian hukum bagi mereka adalah sebagai berikut :
1. Untuk wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya saja bila
berpuasa. Bagi wanita, untuk keadaan ini boleh tidak berpuasa dan wajib untuk
mengqadha (tanpa fidyah) di hari yang lain ketika telah sanggup berpuasa.
2. Untuk wanita hamil dan menyusui yang mengkhawatirkan keadaan dirinya dan buah
hati.

Sebagaimana keadaan pertama, sang wanita dalam keadaan ini juga boleh tidak
berpuasa dan tidak ada kewajiban atas wanita hamil atau menyusui kecuali mengqadha`
secara mutlak (tanpa fidyah), baik disebabkan ketidakmampuan atau kekhawatiran terhadap
diri sendiri jika bershaum pada bulan Ramadhan, maupun disebabkan kehawatiran terhadap
janin atau anak susuannya.

Anda mungkin juga menyukai