Hukum-hukum Junub
Perkara-perkara yang kesahannya tergantung pada mandi junub :
1. Shalat dengan semua macamnya kecuali shalat jenazah
2. Thawaf
3. Puasa Ramadhan dan puasa qadha Ramadhan artinya seorang yang dengan sengaja
menunda mandi sampai waktu subuh, maka puasanya batal.
Perkara-perkara yang diharamkan bagi orang yang junub :
1. Menyentuh tulisan Alquran, nama Allah, Sifat-sifat dan Asma-Nya, juga nama para
nabi dan para imam.
2. Masuk ke dalam Masjid Al-Haram ( di Mekah dan Madinah)
3. Menetap di dalam masjid
4. Meletakkan sesuatu di dalam masjid sekalipun dari luar atau sambil lewat.
5. Membaca surat-surat 'azhimah yakni surat Al-'Alaq, An-Najm, As-Sajdah, dan
Fushilat.
Perkara-perkara yang dimakruhkan bagi yang junub :
1. Makan
2. Minum
3. Membaca lebih dari tujuh ayat selain dari surat-surat 'azhimah
4. Menyentuh kulit dan kertas Alquran
5. Tidur
6. Memakai daun pacar
7. Berjima'
8. Membawa mushhaf.
Tujuan-tujuan Mandi
Pertama, untuk sahnya perbuatan seperti shalat dan bagian-bagiannya yang tertinggal
karena lupa (kecuali shalat jenazah), thawaf, dan puasa di bulan Ramadhan dan puasa
Qadha.
Kedua, untuk diperbolehkannya atau tidak diharamkannya melakukan sebuah perbuatan
seperti menyentuh nama (isim) Allah dan sifat-sifat-Nya yang tertentu, menyentuh nama
para Nabi as. dan para Imam as., masuk ke dalam Mesjid Haram (di Mekah dan
Madinah), menetap di mesjid-mesjid, meletakkan sesuatu di dalam mesjid, dan membaca
surat-surat 'Azhimah (yaitu surat yang mengandung ayat sajdah seperti surat An-Najm,
Fushshilat, As-Sajdah dan Al-'Alaq).
Catatan-catatan
1. Jika ragu-ragu tentang bagian dari anggota-anggota mandi setelah melakukannya,
seperti jika seseorang ragu-ragu tentang kesahan badan sebelah kanan setelah ia
membasuhnya, maka anggaplah sah.
2. Jika seseorang berhadas kecil (seperti kentut, kencing, buang air) di tengah-tengah
mandi, maka teruskanlah mandinya dan setelah mandi hendaknya wudhu.
3. Jika seorang yang sedang junub melaksanakan shalat, kemudian ragu-ragu apakah dia
sudah mandi atau belum, maka anggaplah shalatnya sah dan hendaknya mandi untuk
melakukan shalat-shalat berikutnya. Tetapi jika keraguan itu muncul di tengah-tengah
shalat, maka shalatnya batal dan wajib baginya mengulangi shalat setelah mandi.
4. Segala jenis mandi tidak bisa menggantikan wudhu kecuali mandi junub.
5. Seorang yang pada badannya terdapat jabirah (luka yang dibalut / diperban) kemudian
dia berhadas besar (seperti junub), maka hendaknya dia mengusapkan air ke atas jabirah
itu dan membasuh anggota badan yang sehat dan hendaknya mandi secara tartibi, bukan
irtimasy (lihat buletin Al-Jawad No.12 Tahun I).
Hukum Mayat
1. Di saat sakratul maut.
Di saat seorang sedang sakratul maut diwajibkan dipalingkan ke arah kiblat, dengan cara
terlentang di atas punggungnya yang jika dia duduk maka posisinya menghadap kiblat.
Memalingkan mayat ke arah kiblat hukumnya fardhu kifayah.
2. Memandikan mayat.
- Memandikan mayat hukumnya fardhu kifayah (mayat anak-anak atau dewasa) kecuali :
a. Bayi keguguran yang belum berusia empat bulan. Bayi ini tidak wajib dimandikan
tetapi cukup dibalut dengan kain lalu dikuburkan. Adapun jika sudah berusia empat bulan
maka mayat bayi dimandikan, dikafani, dan dikuburkan.
b. Seorang syahid yang dibunuh demi membela Islam, tidak wajib dimandikan dan tidak
wajib dikafani. Dia cukup dikuburkan dengan bajunya. Gugurnya kewajiban mandi dan
kafan bila seorang syahid mati di tengah berkecamuknya perang.
Mengkafani Mayat
1. Cara Mengkafani Mayat : Mengkafani mayat hukumnya fardhu kifayah dan kafan
harus terdiri dari tiga helai kain ; mi'zar ( kain yang menutupi antara pusar dan lutut),
qomish ( kain yang menutupi antara dua bahu sampai betis ) dan izar ( kain yang
menutupi seluruh badan ).
2. Syarat-syarat kain kafan : a. Kain yang mubah ( tidak boleh menggunakan kain milik
orang lain kecuali kalau diizinkan), b. Kain yang suci ( tidak boleh menggunakan kain
yang terkena najis atau terbuat dari barang najis, seperti kulit bangkai ), c. Kain kafan
tidak terbuat dari sutra, walaupun mayat itu wanita atau anak kecil, d. Kain kafan tidak
terbuat kulit binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya.
Tahnith Mayat
Men-tahnith mayat hukumnya fardhu kifayah, baik mayat itu anak kecil atau besar.
Tahnith mayat dilakukan setelah memandikan.
Tahnith adalah mengusapkan kapur barus di tujuh anggota sujud ( dahi, perut kedua
telapak tangan, kedua lutut dan kedua ibu jari telapak kaki ).
Menshalati Mayat
Menshalati mayat muslim hukumnya fardhu kifayah dan tidak boleh menshalati mayat
kafir.
a. Cara Shalat Mayat adalah setelah niat bertakbir lima kali; setelah takbir pertama
mengucapkan dua kalimat syahadat; Setelah takbir kedua membaca shalawat; Setelah
takbir ketiga mendoakan kaum muslimin dan muslimat, dan mukminin dan mukminat;
Setelah takbir keempat mendoakan mayat; dan kemudian takbir kelima sebagai penutup
shalat.
b. Dalam pelaksanaan shalat mayat tidak ada azan, iqamat, ruku', sujud, tasyahhud dan
salam.
Menguburkan Mayat
Menguburkan mayat muslim hukumnya fardhu kifayah. Caranya adalah meletakan
badannya di dalam lubang kubur sambil menghadap kiblat dengan berbaring di atas
samping kanan dan kemudian menutupinya dengan tanah sehingga aman dari binatang
buas dan baunya tidak tercium oleh manusia.
Shalat Jenazah
Shalat jenaza hukumnya wajib kifayah bagi setiap muslim. Apabila telah ada seorang
muslim yang melakukan shalat jenazah untuknya, maka gugurlah kewajiban itu
menshalatinya bagi yang lain. Shalat jenazah harus dilakukan dengan niat qurbatan ilallah
(mendekatkan diri pada Allah).
ُ مدا ً َر
ُ سو
(ِل الله َّ ح
َ م َّ َ شهَد ُ أ
ُ ن ْ َ ه اِل ّ الله وَا
َ ن ل اِل
َ ْ َ ه أکْبَُر( ا
ْ شهَد ُ أ ُ الل
(Allah Mahabesar),aku bersaksi bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Takbir kedua,
َّ ح
( ٍمد َ م
ُ ل َّ ح
ِ مد ٍ وَآ َ م ِّ ص
ُ ل عَلی َّ ُه أکْبَُر( اَللَّه
َ م ُ الل
(Allah Mahabesar), ya Allah, curahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad Saww.
dan keluarga Muhammad.
Takbir Ketiga,
(ت
ِ منَا ُ ْ ن وَال
ِ مؤ َ ْ منِي
ِ مؤ َّ ُه أکْبَُر( اَللَّه
ُ ْ م اغْفِْر لِل ُ الل
(Allah Mahabesar), Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan kaum mukmini laki-
laki dan kaum mukmin perempuan.
Takbir Kempat,
(ت
ِ ِّ مي َّ ُه أکْبَُر( اَللَّه
َ ْ م اغْفِْر لِهَذا ال ُ الل
(Allah Mahabesar), Ya Allah, ampunilah seluruh dosa dan kesalahan jenazah ini.
Takbir kelima, "Allahu Akbar" dan selesailah shalat jenazah tersebut.
Hukum-hukum Menguburkan Mayat
1. Hukum menguburkan mayat Muslim adalah wajib kifayah.
Yang dimaksud menguburkan ialah menyembunyikan mayat di dalam lubang tanah. Oleh
karena itu, menyembunyikannya di dalam tumpukan tanah tidak sah. Lubang kubur itu
hendaknya dapat menjaga jasad mayat dari binatang buas dan baunya tidak menyebar ke
luar.
2. Mayat yang mati di lautan, jika tidak bisa diantar ke daratan, maka setelah dimandikan,
dikafani dan dishalati, diletakkan di atas papan yang dibebani barang yang berat
kemudian dibuang ke laut.
3. Posisi mayat ketika dikuburkan menghadap kiblat, yakni membaringkannya ke sebelah
kanan.
4. Biaya penguburan diambil dari uang warisan sebelum dibagikan.
5. Anggota tubuh mayat yang terpisah hendaknya dikuburkan bersama dalam satu lubang.
6. Jika seseorang mati di dalam sumur dan tidak bisa dikeluarkan, juga tidak bisa
dipalingkan ke kiblat, maka dibiarkan di dalam sumur saja, lalu sumur itu ditutup
sehingga menjadi kuburannya.
7. Menguburkan mayat tidak boleh di tanah milik orang lain.
8. Mayat kafir tidak boleh dikuburkan di pekuburan kaum Muslimin. Demikian pula tidak
boleh menguburkan mayat Muslim di pekuburan kaum kafir.
RISALAH JENAZAH
Oleh : Iyyas
A. MUQODDIMAH.
Segala puji bagi Alloh yang telah
memberikan karunia Nya kepada ummat
manusia agar supaya manusia
mensyukurinya.
Sholawat beriring salam selalu tercurah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad
Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, demikian
juga kepada keluarga dan sahabat –
sahabatnya serta para pengikut-
pengikutnya yang masih istiqomah
dengan ajaran-ajarannya.
Alloh Ta’ala berfirman
“Setiap yang bernyawa pasti akan
merasakan kematian”. (Q.S Ali Imron
:185 ).
Wahai saudara yang menyadari akan arti
kehidupan. Mati adalah sesuatu yang
pasti bagi kita, tentunya kita
menginginkan agar mayat kita diurus
dengan benar sesuai dengan ajaran Rosul
Shollallohu ‘Alaihi Wasallam. Nah….!
Kalau kita menginginkan agar mayat kita
diurus orang lain, maka hendaknya kita
juga harus bisa mengurus jenazah,
bagaimana cara mempersiapkan
pemandian bagi jenazah,
memandikannya, mengkafaninya,
mensholatkan, sampai kita
menguburkannya. Maka kami coba
untuk membuat risalah jenazah yang
kami sarikan dan kami nukilkan dari
kitab Al Wijaazah fi Tajhiizi Al Janaazah
karangan Abdurrohman bin Abdulloh Al
Ghaits.
B. MEMANDIKAN JENAZAH.
a. Orang yang berhak memandikan
jenazah.
1. Jika mayyit telah mewasiatkan kepada
seseorang untuk memandikannya, maka
orang itulah yang berhak.
2. Jika mayyit tidak mewasiatkan, maka
yang berhak adalah ayahnya atau
kakeknya atau anak laki-lakinya atau
cucu-cucunya yang laki-laki (kalau
mayatnya laki-laki, kalau perempuan
maka dari jenis putri).
3. Jika tidak ada yang mampu, keluarga
mayyit boleh menunjuk orang yang
amanah lagi terpercaya buat
mengurusnya.
Definisi Haji:
Secara etimologis, haji berarti pergi menuju tempat yang diagungkan.
Secara terminologis berarti beribadah kepada Allah dengan melaksanakan manasik haji,
yaitu perbuatan tertentu yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu dengan cara yang
tertentu pula.
Artinya: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang
yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban
haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta
alam."
Allah Taala mewajibkan haji bagi kaum muslimin pada tahun ke sembilan Hijrah. Nabi
saw. melakukan haji hanya sekali, yaitu haji wada.
Fardu:
Fardu adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, sah haji bergantung kepadanya dan
tidak dapat diganti dengan dam. Fardu mencakup rukun dan syarat.
Wajib:
Wajib adalah semua pekerjaan yang harus dilakukan, bila ditinggalkan, maka harus
membayar dam.
Sunah:
Sunah menurut mazhab Syafi'i adalah semua pekerjaan yang diperintahkan Allah tetapi
tidak bersifat jazim (tegas), diberi pahala orang yang melaksanakannya, tidak disiksa
orang yang meninggalkannya. Sunah, man
Haji Tamattu`
Yaitu melaksanakan umrah pada bulan-bulan haram, kemudian melaksanakan haji di tahun yang sama. Dalam hal ini,
seorang muslim yang hendak melaksanakan haji tamattu` hendaknya berniat tamattu` sejak ia
melangkahkan kaki meniggalkan negerinya, dengan berniat umrah saja seterusnya berihram
dan mengucapkan:
لبيك اللهم بعمرة متمتعا بها إلى الحج
نويت العمرة وأحرمت بها لله تعالى، وتقبلها مني،اللهم إِني أريد العمرة فيسرها لى
Artinya, " Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah dengan umrah dan haji secara tamattu`, Ya Allah!
Aku hendak melaksanakan umrah, berilah kemudahan bagiku dan terimalah umrahku, Aku
berniat ihram untuk umrah karena Allah Taala. "
Sesampainya di Mekah, melaksanakan tawaf tujuh putaran dan Sai antara Safa dan Marwa tujuh putaran juga, lantas
tahallul dari ihram dengan mencukur atau menggunting rambut. Selanjutnya tetap dalam kondisi tidak ihram sampai hari
Tarawiyah yaitu tanggal 8 Zulhijah. Pada saat itu, dia mulai berihram haji dari tempat tinggalnya
dan mengucapkan:
نويت الحج وأحرمت به لله تعالى، وتقبله مني،لبيك حجا اللهم إِني أريد الحج فيسره لى
Artinya, " Aku penuhi panggilanmu untuk haji, Ya Allah ! Aku hendak melaksanakan haji, berilah
kemudahan bagiku dan terimalah hajiku. Aku berniat ihram untuk haji karena Allah Taala. "
Kemudian bertalbiah dan dilanjutkan dengan doa:
ل شريك لك، إن الحمد والنعمة لك والملك، لبيك ل شريك لك لبيك،لبيك اللهم لبيك
Artinya, " Aku penuhi panggilan-Mu Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagi-Mu,
aku penuhi panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji, segala nikmat dan segala kekuasaan
hanyalah untuk-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. "
شيء حرمته على المحرم وأبتغي، من الطيب والنساء، وجسدي وجميع جوارحي،اللهم إني أحرم لك شعري وبشري
يا رب العالمين،بذلك وجهك الكريم
Artinya, " Ya Allah! Demi Engkau aku haramkan rambutku, kulitku, tubuhku, dan seluruh
anggota badanku dari wewangian dan wanita, sesuatu yang Engkau haramkan bagi orang yang
sedang ihram. Aku melakukannya semata-mata hanya karena-Mu, Wahai Tuhan semesta alam. "
Selanjutnya melaksanakan semua amalan yang harus dilaksanakan dalam haji ifrad. Untuk yang melaksanakan haji
Tamattu` diwajibkan membayar dam karena ia telah bersenang-senang melaksanakan umrah pada bulan-bulan haram.
Allah Taala berfirman yang artinya, " Siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (dia
wajib menyembelih) kurban yang mudah didapat."
Tawaf umrah bagi yang berhaji tamattu` tidak perlu didahului dengan tawaf qudum. Setelah tahallul pertama (setelah
melontar jumrah aqabah dan bercukur) langsung melaksanakan tawaf ifadah dan Sai antara Safa dan Marwa. Ini adalah
pendapat sebagian besar ulama. Adapun menurut mazhab Hanafi, bagi orang yang berhaji tamattu` dan belum membawa
binatang ternak, tidak dikenakan dam tetapi jika telah membawa binatang ternak maka hukumnya seperti haji qiran.
Haji Qiran
Yaitu menyatukan ihram untuk umrah dan haji pada satu kali bepergian. Niat ihram untuk
umrah dan haji dalam waktu yang sama dari miqat sambil mengucapkan:لبيك حجا وعمرة
Artinya, " Aku penuhi panggilan-Mu haji dan umrah." Orang yang sedang berhaji qiran,
sesampainya di Mekah langsung melaksanakan tawaf tujuh putaran, dengan berlari-lari kecil dalam tiga putaran
pertama, kemudian Sai antara Safa dan Marwa. Selanjutnya menurut mazhab Hanafi dia memulai ibadah hajinya seperti
haji ifrad tetapi menurut sebagaian besar ulama, haji qiran cukup dengan satu tawaf dan satu Sai, jika sudah selesai ia
bertahallul dari umrah dan haji sekaligus.
Haji Ifrad
Yaitu melakukan ihram hanya untuk haji dengan niat haji sejak dari rumah di kampung asalnya. Memulai ihram untuk
haji dilakukan dari miqat dengan mengucapkan:
اللهم إني أريد الحج فيسره لى وتقبله مني
Artinya, "Ya Allah! Sesungguhnya aku berniat melaksanakan haji, berikanlah kemudahan dan
terimalah hajiku, " kemudian membaca talbiah. Sesampainya di kota Mekah, dia langsung pergi
menuju Masjidil haram. Di saat melihat Kakbah disunatkan bertakbir dan bertalbiah. Bagi yang bukan penduduk Mekah
diwajibkan melaksanakan tawaf qudum tujuh putaran, dengan menyelendangkan kain ihramnya --ke pundak kanan
sampai menutupnya dan membiarkan pundak kiri terbuka--, pada tiga putaran pertama tawaf. Menurut sebagian besar
ulama, disunatkan lari-lari kecil, sedangkan menurut mazhab Maliki, lari-lari kecil pada tiga putaran pertama ini
hukumnya wajib. Khusus untuk penduduk Mekah atau yang mukim di Mekah tidak wajib melaksanakan tawaf qudum.
Seletah tawaf, dilanjutkan dengan Sai antara Safa dan Marwa sebanyak tujuh kali, setelah itu menetap di Mekah, dalam
keadaan ihram hingga tiba saat berangkat ke Mina pada hari Tarwiah (tanggal 8 Zulhijah). Wukuf di Mina sampai waktu
salat Subuh hari Arafah (tanggal 9 Zulhijah), kemudian menuju Arafah dan wukuf di sana. Salat Zuhur dan Asar
dilaksanakan pada waktu Zuhur (Jamak taqdim). Ketika matahari mulai terbenam, jamaah haji bertolak menuju
Muzdalifah dan melaksanakan salat Magrib dan Isya (jamak takhir) serta bermalam di sana. Ketika matahari terbit di
pagi hari raya Kurban, mereka bertolak menuju Mina untuk melontar Jumrah Aqabah. Jamaah haji baru berhenti
membaca talbiah bersamaan dengan lontaran pertama. Kemudian boleh menyembelih kurban, --opsional-- pada saat ini
atau langsung menggunting rambut. Dengan demikian telah halal baginya segala yang dilarang ketika ihram kecuali
berhubungan dengan wanita (bersenggama). Setelah itu berangkat menuju Mekah untuk melaksanakan tawaf Ziarah
sebanyak tujuh putaran. Bagi yang belum melaksanakan Sai ketika melakukan tawaf qudum, ia berkewajiban
melaksanakannya antara Safa dan Marwa setelah tawaf ziarah ini. Setelah itu sudah halal baginya bersenggama dengan
wanita. Kemudian kembali ke Mina untuk mabit (bermalam) sampai melontar tiga jumrah baik dua kali lontaran
(tanggal 11 dan 12 Zulhijah) maupun tiga kali melontar (ditambah tanggal 13 Zulhijah). Selanjutnya berangkat menuju
Mekah untuk melaksanakan tawaf wada`.
dub, mustahab dan tathawwu' adalah kata-kata sinonim yang memiliki satu arti.
Sunah Haji:
1. Mandi ketika hendak ihram
2. Membaca talbiah
3. Tawaf Proses Tata Cara Pernikahan Yang Islami
Karya : Salmah Machfoedz
Pada risalah yang singkat ini, kami akan mengungkap tata cara penikahan sesuai dengan
Sunnah Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam yang hanya dengan cara inilah
kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah). Sehingga orang-orang yang mengamalkannya
akan berjalan di atas landasan yang jelas tentang ajaran agamanya karena meyakini
kebenaran yang dilakukannya. Dalam masalah pernikahan sesunggguhnya Islam telah
mengatur sedemikian rupa. Dari mulai bagaimana mencari calon pendamping hidup
sampai mewujudkan sebuah pesta pernikahan. Walaupun sederhana tetapi penuh barakah
dan tetap terlihat mempesona. Islam juga menuntun bagaimana memperlakukan calon
pendamping hidup setelah resmi menjadi sang penyejuk hati.
Berikut ini kami akan membahas tata cara pernikahan menurut Islam secara singkat.
I. Minta Pertimbangan
Bagi seorang lelaki sebelum ia memutuskan untuk mempersunting seorang wanita untuk
menjadi isterinya, hendaklah ia juga minta pertimbangan dari kerabat dekat wanita
tersebut yang baik agamanya. Mereka hendaknya orang yang tahu benar tentang hal
ihwal wanita yang akan dilamar oleh lelaki tersebut, agar ia dapat memberikan
pertimbangan dengan jujur dan adil. Begitu pula bagi wanita yang akan dilamar oleh
seorang lelaki, sebaiknya ia minta pertimbangan dari kerabat dekatnya yang baik
agamanya.
Shalat istikharah adalah shalat untuk meminta kepada Allah Taala agar diberi petunjuk
dalam memilih mana yang terbaik untuknya. Shalat istikharah ini tidak hanya dilakukan
untuk keperluan mencari jodoh saja, akan tetapi dalam segala urusan jika seseorang
mengalami rasa bimbang untuk mengambil suatu keputusan tentang urusan yang penting.
Hal ini untuk menjauhkan diri dari kemungkinan terjatuh kepada penderitaan hidup.
Insya Allah ia akan mendapatkan kemudahan dalam menetapkan suatu pilihan.
1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan syari yang menyebabkan laki-laki
dilarang memperisterinya saat itu. Seperti karena suatu hal sehingga wanita tersebut
haram dini kahi selamanya (masih mahram) atau sementara (masa iddah/ditinggal suami
atau ipar dan lain-lain).
2. Belum dipinang orang lain secara sah, sebab Islam mengharamkan seseorang
meminang pinangan saudaranya.
Dari Uqbah bin Amir radiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
bersabda: "Orang mukmin adalah saudara orang mukmin yang lain. Maka tidak halal bagi
seorang mukmin menjual barang yang sudah dibeli saudaranya, dan tidak halal pula
meminang wanita yang sudah dipinang saudaranya, sehingga saudaranya itu
meninggalkannya." (HR. Jamaah)
Apabila seorang wanita memiliki dua syarat di atas maka haram bagi seorang laki-laki
untuk meminangnya.
Islam adalah agama yang hanif yang mensyariatkan pelamar untuk melihat wanita yang
dilamar dan mensyariatkan wanita yang dilamar untuk melihat laki-laki yang
meminangnya, agar masing- masing pihak benar-benar mendapatkan kejelasan tatkala
menjatuhkan pilihan pasangan hidupnyaDari Jabir radliyallahu anhu, bersabda Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam:
"Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, maka apabila ia
mampu hendaknya ia melihat kepada apa yang mendorongnya untuk menikahinya." Jabir
berkata: "Maka aku meminang seorang budak wanita dan aku bersembunyi untuk bisa
melihat apa yang mendorong aku untuk menikahinya. Lalu aku menikahinya." (HR. Abu
Daud dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Abu Dawud, 1832).
Adapun ketentuan hukum yang diletakkan Islam dalam masalah melihat pinangan ini di
antaranya adalah:
V. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi:
Ijab artinya mengemukakan atau menyatakan suatu perkataan. Qabul artinya menerima.
Jadi Ijab qabul itu artinya seseorang menyatakan sesuatu kepada lawan bicaranya,
kemudian lawan bicaranya menyatakan menerima. Dalam perkawinan yang dimaksud
dengan "ijab qabul" adalah seorang wali atau wakil dari mempelai perempuan
mengemukakan kepada calon suami anak perempuannya/ perempuan yang di bawah
perwaliannya, untuk menikahkannya dengan lelaki yang mengambil perempuan tersebut
sebagai isterinya. Lalu lelaki bersangkutan menyatakan menerima pernikahannya itu.
Diriwayatkan dalam sebuah hadits bahwa:
Sahl bin Said berkata: "Seorang perempuan datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa
sallam untuk menyerahkan dirinya, dia berkata: "Saya serahkan diriku kepadamu." Lalu
ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata:
"Wahai Rasulullah kawinkanlah saya dengannya jika engkau tidak berhajat padanya."
Lalu Rasulullah shallallahu alaih wa sallam bersabda: "Aku kawinkan engkau kepadanya
dengan mahar yang ada padamu." (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadist Sahl di atas menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah
mengijabkan seorang perempuan kepada Sahl dengan mahar atau maskawinnya ayat Al-
Quran dan Sahl menerimanya.
Dari Uqbah bin Amir, bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: "Sebaik-baik
mahar adalah yang paling ringan." (HR. Al-Hakim dan Ibnu Majah, shahih, lihat Shahih
Al-Jamius Shaghir 3279 oleh Al-Albani)
d. Adanya Wali
Dari Abu Musa radliyallahu anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: "Tidaklah
sah suatu pernikahan tanpa wali." (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Syaikh Al-
Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 1836).Wali yang mendapat prioritas pertama
di antara sekalian wali-wali yang ada adalah ayah dari pengantin wanita. Kalau tidak ada
barulah kakeknya (ayahnya ayah), kemudian saudara lelaki seayah seibu atau seayah,
kemudian anak saudara lelaki. Sesudah itu barulah kerabat-kerabat terdekat yang lainnya
atau hakim.
e. Adanya Saksi-Saksi
"Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali dan dua orang saksi yang adil." (HR. Al-
Baihaqi dari Imran dan dari Aisyah, shahih, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir oleh Syaikh
Al-Albani no. 7557).
Menurut sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam, sebelum aqad nikah diadakan
khuthbah lebih dahulu yang dinamakan khuthbatun nikah atau khuthbatul-hajat.
VI. Walimah
Walimatul Urus hukumnya wajib. Dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaih wa
sallam kepada Abdurrahman bin Auf:
"....Adakanlah walimah sekalipun hanya dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Al-Alabni dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)
Akan tetapi tidak wajib menghadiri undangan yang didalamnya terdapat maksiat kepada
Allah Taala dan Rasul-Nya, kecuali dengan maksud akan merubah atau
menggagalkannya. Jika telah terlanjur hadir, tetapi tidak mampu untuk merubah atau
menggagalkannya maka wajib meninggalkan tempat itu.
Dari Ali berkata: "Saya membuat makanan maka aku mengundang Nabi shallallahu
`alaihi wa sallam dan beliaupun datang. Beliau masuk dan melihat tirai yang bergambar
maka beliau keluar dan bersabda:
"Sesungguhnya malaikat tidak masuk suatu rumah yang di dalamnya ada gambar." (HR.
An-Nasai dan Ibnu Majah, shahih, lihat Al-Jamius Shahih mimma Laisa fis Shahihain
4/318 oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadii).
Adapun Sunnah yang harus diperhatikan ketika mengadakan walimah adalah sebagai
berikut:
1. Dilakukan selama 3 (tiga) hari setelah hari dukhul (masuk- nya) seperti yang
dibawakan oleh Anas radliallahu `anhu, katanya:
2. Hendaklah mengundang orang-orang shalih, baik miskin atau kaya sesuai dengan
wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam:
"Jangan bersahabat kecuali dengan seorang mukmin dan jangan makan makananmu
kecuali seorang yang bertaqwa." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al-
Hakim dari Abi Said Al-Khudri, hasan, lihat Shahih Al-Jamius Shaghir 7341 dan
Misykah Al-Mashabih 5018).
3. Sedapat mungkin memotong seekor kambing atau lebih, sesuai dengan taraf
ekonominya. Keterangan ini terdapat dalam hadits Al-Bukhari, An-Nasai, Al-Baihaqi dan
lain-lain dari Anas radliallahu `anhu. Bersabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
kepada Abdurrahman bin Auf:
"Adakanlah walimah meski hanya dengan seekor kambing." (HR. Abu Dawud dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 1854)
Akan tetapi dari beberapa hadits yang shahih menunjukkan dibolehkan pula mengadakan
walimah tanpa daging. Dibolehkan pula memeriahkan perkawinan dengan nyanyi-
nyanyian dan menabuh rebana (bukan musik) dengan syarat lagu yang dinyanyikan tidak
bertentangan dengan ahklaq seperti yang diriwayatkan dalam hadits berikut ini:
Dari Aisyah bahwasanya ia mengarak seorang wanita menemui seorang pria Anshar. Nabi
shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: "Wahai Aisyah, mengapa kalian tidak
menyuguhkan hiburan? Karena kaum Anshar senang pada hiburan." (HR. Bukhari 9/184-
185 dan Al-Hakim 2/184, dan Al-Baihaqi 7/288). Tuntunan Islam bagi para tamu
undangan yang datang ke pesta perkawinan hendaknya mendoakan kedua mempelai dan
keluarganya.Dari Abi Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaih wa
sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan doa:
"Mudah-mudahan Allah memberimu berkah. Mudah-mudahahan Allah mencurahkan
keberkahan kepadamu dan mudah - mudahan Dia mempersatukan kalian berdua dalam
kebajikan." (HR. Said bin Manshur di dalam Sunannya 522, begitu pula Abu Dawud
1/332 dan At-Tirmidzi 2/171 dan yang lainnya, lihat Adabuz Zifaf hal. 89)
Adapun ucapan seperti "Semoga mempelai dapat murah rezeki dan banyak anak" sebagai
ucapan selamat kepada kedua mempelai adalah ucapan yang dilarang oleh Islam, karena
hal itu adalah ucapan yang sering dikatakan oleh Kaum jahiliyyah.
Dari Hasan bahwa Aqil bin Abi Thalib menikah dengan seorang wanita dari Jisyam. Para
tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyyah: "Bir rafa wal banin." Aqil bin Abi
Thalib mencegahnya, katanya: "Jangan kalian mengatakan demikian karena Rasulullah
melarangnya." Para tamu bertanya: " Lalu apa yang harus kami ucapkan ya Aba Zaid?"
Aqil menjelaskan, ucapkanlah: "Mudah- mudahan Allah memberi kalian berkah dan
melimpahkan atas kalian keberkahan." Seperti itulah kami diperintahkan. (HR. Ibnu Abi
Syaibah 7/52/2, An-Nasai 2/91, Ibnu Majah 1/589 dan yang lainnya, lihat Adabuz Zifaf
hal. 90)
Demikianlah tata cara pernikahan yang disyariatkan oleh Islam. Semoga Allah Taala
memberikan kelapangan bagi orang- orang yang ikhlas untuk mengikuti petunjuk yang
benar dalam memulai hidup berumah tangga dengan mengikuti sunnah Rasulullah
shallallahu alaih wa sallam. Mudah-mudahan mereka digolongkan ke dalam hamba-
hamba yang dimaksudkan dalam firman-Nya: "Yaitu orang-orang yang berdoa: Ya Rabb
kami, anugerahkan kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang
hati (kami). Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa." (Al-Furqan:
74).
qudum buat pelaku haji ifrad atau qiran
4. Bermalam di Mina pada malam Arafah
5. Lari kecil dan membuka bahu kanan ketika tawaf qudum
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
2. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu
adanya:
1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai
2. Izin dari wali
3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil)
4. Mahar
5. Ijab Qabul
• Wali
Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling
berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya
ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian
saudara seayah, kemudian paman. [1]
Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, “Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur
ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asy-Syafi’i, dan
selainnya berkata, “Wali dalam pernikahan adalah ‘ashabah (dari pihak bapak),
sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak
memiliki hak wali.” [2]
Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita
sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka.
Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali
yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita
menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah),
pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita
itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka
berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai
wali.” [3]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak sah nikah melainkan dengan wali.” [4]
Juga sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” [5]
Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau
janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah.
Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan
juga berdasarkan dalil dari Al-Qur’anul Karim.
Allah Ta’ala berfirman:
“Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa ‘iddahnya, maka
jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila
telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang
dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari
Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu
tidak mengetahui.” [Al-Baqarah : 232]
Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut
ini. Tentang firman Allah: “Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka,” al-
Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Ma’qil bin Yasar,
sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata,
“Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-
laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa ‘iddahnya telah berlalu, laki-laki itu
(mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, ‘Aku telah
menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau
menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia
tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan
wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini:
‘Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka.’ Maka aku berkata, ‘Sekarang
aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah.’” Kemudian
Ma‘qil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6]
Hadits Ma’qil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan
sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak
sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Ma’qil bin Yasar yang
berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya
yang akan ruju’ dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha.
Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar
para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja
keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat
sahnya nikah.
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, “Para ulama berselisih tentang
disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka
berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian.
Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah
perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan
dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan
bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu.” [7]
Imam asy-Syafi’i rahimahullaah berkata, “Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin
walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, ‘Maka nikahnya bathil (tidak sah).’”[8]
Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, “Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik
janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara laki-lakinya,
kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya…” [9]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, “Nikah tidak sah kecuali dengan wali.
Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak
boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya,
maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan
tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali.”
• Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan
Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban
juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila
wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan
jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan
tanda ia setuju.
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan
seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya.” Para Shahabat
berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya?” Beliau menjawab, “Jika ia diam
saja.” [11]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallaahu ‘anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang
mendatangi Rasulullah shal-lallaahu ‘alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah
menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia
ingin membatalkannya). [12]
• Mahar
“Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai
pemberian yang penuh kerelaan.” [An-Nisaa’ : 4]
Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan
sebab pernikahan.
Mahar (atau diistilahkan dengan mas kawin) adalah hak seorang wanita yang harus
dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan
tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan
keridhaannya.
Syari’at Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan
dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan.
Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah
rahimnya.” [13]
‘Urwah berkata, “Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan.”
‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
‘Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah.’” [14]
Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh
membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Qur’an yang dihafalnya. [15]
• Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu,
yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah
Nikah adalah sebagai berikut:
Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan
kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan
amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad
shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar
taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” [Ali ‘Imran
: 102]
“Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri
yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari
keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.
Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan
(peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan
mengawasimu.” [An-Nisaa' : 1]
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah
perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni
dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang
dengan kemenangan yang besar.” [Al-Ahzaab : 70-71]
Amma ba’du: [17]