Anda di halaman 1dari 23

REVIEW BUKU

“Perbandingan HIR dan RBg Sebagai Hukum Acara Perdata Positif di


Indonesia Cetakan ke-2”
Karya Prof. Dr. Hj. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
Diajukan untuk memenuhi nilai Ujian Tengah Semester
Oleh:

Kelompok 6
Grace Evelyn Pardede 110110170035
Tiara Almira Raila 110110170044

Dosen
Prof. Dr. Hj. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
Sherly Ayuna Putri, S.H., M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam Book Review ini, penulis merangkum dan menganalisis buku


“Perbandingan HIR dan RBg Sebagai Hukum Acara Perdata Positif di
Indonesia Cetakan ke-2” buku ini ditulis oleh Prof. Dr. Hj. Efa Laela Fakhriah,
S.H., M.H. dengan penerbit P.T Alumni. Adapun bab-bab yang akan dibahas
dari buku ini adalah bab berkaitan dengan:

1) Hukum Acara Perdata Indonesia


2) Sejarah HIR dan RBg
3) Het Herziene Indonesisch Reglement / HIR (Reglemen Hukum Acara
Perdata Untuk Jawad dan Madura)
4) Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten
Java en Madura / RBg, Stb. 1927-227 (Reglemen Hukum Acara
Perdata Untuk Luar Jawa dan Madura)
5) Perbedaan HIR dan RBg

Pada intinya, hal-hal yang akan dibahas oleh penulis pada book
review ini berkaitan dengan konsep penerapan dan pengaturan hukum acara
perdata, serta bagaimana penerapan HIR dan RBg pada praktinya oleh
hakim dalam mengadili dan memutus pekara sesuai dengan wilayah
berlakunya masing-masing.

Penjelasan singkat mengenai isi buku “Perbandingan HIR dan RBg


Sebagai Hukum Acara Perdata Positif di Indonesia Cetakan ke-2” akan
dijelaskan dalam BAB II dalam book review ini.
BAB II

URAIAN ISI BUKU

1. Uraian Bab I: Pendahuluan


Pada BAB I ini Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah S.H., M.H.
menjelaskan mengenai pendahuluan buku yang akan menjadi awal
dan dasar untuk bab-bab selanjutnya. Pada bab pendahuluan, penulis
dapat menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan negara yang
berdasar atas hukum (rechtsstaat) dan bukan berdasar atas
kekuasaan (machtstaat), dan pemerintahan Indonesia yang
berdasarkan sistem konstitusi (hukum dasar) dan bukan absolutisme
(kekuasaan yang tidak terbatas). Negara hukum adalah negara yang
membatasi kekuasaan negara terhadap warganya dengan
berlandaskan hukum.
Negara indonesia yang disebut sebagai negara hukum
didasarkan pada Pancasila sesuai dengan muatan Undang-Undang
Dasar 1945 setelah amandemen, yang bertujuan untuk menciptakan
ketertiban umum dan menyelenggarakan kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, Indonesia dikatakan sebagai negara hukum
merupakan dalam arti materiil. Negara dalam rangka mewujudkan
kesejahteraan rakyat harus aktif mengatur mengenai setiap bidang
kehidupan warga negaranya sehingga dapat mencapai kesejahteraan
bagi rakyatnya.
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum tersebut,
negara Indonesia harus dilakukan dengan pembangunan berskala
nasional yang juga mencakup pembangunan di bidang hukum. Karena
pembangunan di bidang hukum merupakan alat pembaharu
masyarakat sehingga tidak boleh ketinggalan dari perkembangan yang
terjadi dalam masyarakat.
Dapat diketahui bahwa tujuan utama hukum adalah untuk
mencapai ketertiban dalam masyarakat. Akan tetapi untuk mencapai
ketertiban dalam masyarakat tersebut harus diperlukan adanya
kepastian hukum. Tujuan lain dari hukum adalah untuk mencapai
keadilan. Untuk mencapai sebuah keadilan merupakan suatu hal yang
sulit untuk diwujudkan, dengan demikian haruslah diperlukan nilai-nilai
dan falsafah hidup yang menjadi dasar kehidupan masyarakat, yang
pada akhirnya dapat mencapai keadilan pada tujuannya jika nilai-nilai
dan falsafah hidup tersebut diterapkan dalam hidup bermasyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan pandangannya
tentang hukum bahwa hukum yang memadai seharusnya tidak hanya
merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur
kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan harus mencakup
pula lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan
untuk mewujudkan berlakunya kadidah-kaidah itu dalam kenyataan
hidup bermasyarakat. Menurut Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H.,
M.H. atas pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa: norma dan
kaedah hukum menggambarkan tatanan hukum materiil sedangkan
lembaga dan proses lebih menggambarkan tatanan hukum formal
sebagai cara untuk mempertahankan atau melaksanakan hukum
materiil.
Untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan
melalui pembangunan hukum, yang tidak hanya dilakukan terhadap
hukum materiil tetapi juga harus dilakukan dengan hukum formal yang
adalah hukum acara perdata. Untuk mempertahankan hukum perdata
materiil dibutuhkan hukum perdata formal. Hukum perdata formal
(hukum acara perdata) merupakan suatu penyelesaian sengketa
perdata yang dilakukan melalui proses pengadilan (litigasi).
Penyelesaian sengketa yang dilakukan di pengadilan merupakan
penyelesaian sengketa yang mempunyai sifat yang memaksa dan
mengikat.
Untuk mencapai kepastian hukum, hukum acara harus
berbentuk kodifikasi (pembukuan) yang sifatnya unifikasi dengan
dilakukannya hal tersebut sehingga dapat berlaku umum dan mengikat
bagi semua pihak. Kepastian hukum mempunyai pengertian yaitu
suatu kepastian tentang bagaimana kepastian aturan hukum, bukan
kepastian tindakan terhadap atau tindakan yang sesuai dengan aturan
hukum. Kepastian hukum tersebut dapat dilihat dari wujud putusan
yang diberikan oleh hakim dalam hal peraturan perundang-undangan,
lembaga dan pranata hukum.
Dalam pemberian keputusan oleh hakim, sehingga dapat dilihat
wujud dari kepastian hukum tersebut dilakukan hakim dengan terlebih
dahulu melakukan pembentukan hukum yang meliputi dilakukannya
penafsiran hukum dan konstruksi hukum. Untuk menegakkan hukum
ada unsur-unsur yang harus diperhatikan yaitu: kepastian hukum
(Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit).
Dengan terwujudnya kepastian hukum, mempunyai tujuan yaitu
untuk melindungi seseorang maupun masyarakat dari tindakan
kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah/penguasa.
Dengan terwujudnya unsur kemanfaatan mempunyai tujuan yaitu agar
seseorang maupun masyarakat dapat memperoleh manfaat dalam
pelaksanaan dan penegakan hukum. Dan yang terahir adalah dengan
terwujudkan unsur keadilan maka pihak-pihak yang merasa dirugikan
dapat diberikan apa yang menjadi haknya dan yang merugikan orang
maka akan diberikatan kewajiban yang harus dilaksanakan sesuai
dengan keputusan hakim yang didasarkan pada aturan perundang-
undangan yang berlaku.
2. Uraian Bab II: Hukum Acara Perdata Indonesia
Pada BAB II ini Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
menjelaskan mengenai beberapa hal, yang pertama mengemukakan
pengertian hukum acara perdata dan tujuan hukum perdata. Hukum
acara perdata adalah sekumpulan peraturan yang mengatur tentang
cara bagaimana seseorang harus bertindak terhadap orang lain, atau
bagaimana seseorang dapat bertindak terhadap negara atau badan
hukum atau dapat juga bagaimana negara atau badan hukum yang
bertindak terhadap seseorang.
Tujuan hukum acara perdata adalah tercapainya tertib hukum
yang mempunyai artian bahwa hukum acara perdata tersebut adalah
mempertahankan hak dan kepentingan sehingga tidak terganggu
dengan demikian tidak akan terjadi tindakan main hakim sendiri
(eigenrichting).
Hal kedua yang dikemukakan yaitu mengenai subjek hukum
acara perdata. Subjek hukum acara perdata tersebut merupakan
subjek/pihak yang dapat mengajukan gugatan karena dirasakan hak
dan kepentingannya terganggu oleh pihak lain. Dengan demikian
subjek hukum acara perdata dapat orang perorangan dapat juga
badan hukum.
Hal ketiga yang dikemukakan dalam Bab II tersebut mengenai
sumber hukum acara perdata yang berlaku sampai saat ini yaitu, HIR
(het Herzien Indonesisch Reglement) atau Reglemen Indonesia Baru
(RIB) yang digunakan pada wilayah Jawa dan Madura, serta RBg
(Reglement tot Regeling van het Rechtsweten in de Gewesten Buiten
Java en Madura) atau biasanya disebut dengan istilah
(Rechtsreglement Buitengewesten) atau Reglemen Daerah Seberang
(RDS) untuk wilayah luar Jawa dan Madura. Dasar berlakunya HIR
dan RBg diatur dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 setelah amandemen ke-empat.
Selain aturan peralihan tersebut dasar berlakunya HIR dan RBg
juga didasarkan pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor
1 Tahun 1951 Tentang Tindakan-Tindakan Untuk Menyelenggarakan
Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil yang
antara lain menetapkan bahwa acara Pengadilan Negeri dilakukan
dengan mengindahkan ketentuan peraturan, yang berdasarkan Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen IV yaitu HIR: Stb.
1848 no. 16 Stb.1941 no.44 dan Rbg: Stb. 1927 no. 227.
Selain HIR dan Rbg, dalam buku Prof Efa juga mengemukakan
sumber hukum acara perdata yang lain yaitu, Reglement Burgerleijke
Rechtsvordering atau disebut dengan Rv. Rv merupakan hukum acara
perdata untuk golongan eropa. Selain itu sumber hukum acara perdata
ada juga yang dinamakan dengan RO (Rechterlijke Organisatie in het
beleid der Justitie in Indonesie) yaitu peraturan tentang organisasi
kehakiman.
Dalam buku Prof Efa tersebut juga terdapat sumber hukum
acara perdata yang lain yaitu berupa peraturan perundang-undangan
mengenai Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang No. 48 Tahun
2009, Tentang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985 jo No. 5 Tahun
2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang
mengatur susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung dan Hukum
Acara Mahkamah Agung termasuk pemeriksaan kasasi, pemeriksaan
sengketa kewenangan mengadili dan Peninjauan Kembali.
Selain dalam peraturan perundang-undangan sumber hukum
acara perdata juga dikemukakan dalam buku tersebut yaitu dapat
berupa yurisprudensi atau dapat diartikan sebagai putusan
pengadilan, Perjanjian Internasional, Doktrin (ilmu pengetahuan) yang
dikemukakan para ahli, karena merupakan sumber tempat hakim
untuk menggali hukum acara perdata dan dapat pula berupa Adat
Kebiasaan yang dianut oleh hakim dalam melakukan pemeriksaan
perkara pedata.
Sumber-sumber hukum acara perdata yang telah dikemukakan
di atas, yang merupakan sumber hukum acara perdata primer yaitu
sumber yang berasal dari peraturan perundang-undangan (HIR dan
RBg) dan yang merupakan sumber hukum acara perdata sekunder
berupa doktrin, yurisprudensi, perjanjian internasional dan adat
kebiasaan hakim.
Hal keempat yang dikemukakan dalam Bab II Buku Prof Efa
adalah mengenai tugas hakim. Tugas hakim dalam buku tersebut yaitu
untuk mencari kebenaran formil dalam menyelesaikan sengketa
perdata. Tugas hakim juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu untuk
menemukan dan menegakkan hukum. Dalam proses penyelesaian
sengketa, hakim melakukan tiga tahap sehingga dapat memperoleh
kebenaran formil dalam penyelesaian sengketa tersebut. Tiga tahap
tersebut yaitu, tahap persiapan, tahap penentuan dan tahap
pelaksanaan.
Hal kelima yang dikemukakan dalam Buku Prof Efa Bab II yaitu
tentang beberapa asas bersifat umum yang berlaku dalam hukum
acara perdata yaitu, bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak
diserahkan sepenuhnya kepada yang berkepentingan sedangkan
hakim hanya bersifat menunggu datangnya tuntutan hak diajukan
kepadanya. Tetapi walaupun demikian, hakim tidak boleh menolak
untuk memeriksa dan mengadili dengan alasan hakim tidak tahu akan
hukumnya (ius curia novit). Asas tersebut diatur juga dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa pengadilan menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Asas lainnya yang dilakukan hakim dalam memeriksa sengketa
perdata adalah hakim bersifat pasif. Asas hakim bersifat pasif tersebut
diatur dalam Pasal 178 HIR/ 189 RBg yang mempunyai pengertian
bahwa hakim hanya terikat pada sengketa yang diajukan oleh para
pihak, sehingga dalam pembuktian para pihak yang wajib
membuktikan dan bukanlah hakim. Tetapi dapat diketahui, walaupun
dikatakan bahwa hakim bersifat pasif, tetapi hakim juga harus bersifat
aktif yaitu dalam hal melancarkan jalannya persidangan dalam
memimpin proses persidangan yang sedang berlangsung dan saat
menjatuhkan putusan perkara wajib mencari kebenaran dengan
mengadili perkara.
Dalam menerapkan asas-asas hukum yang telah dikemukakan
di atas, untuk memeriksa dan memutuskan perkara, hakim harus
mendasarkan putusannya tersebut pada HIR dan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan RBg yang
berlaku untuk wilayah di luar Jawa dan Madura.
Dapat disimpulkan bahwa penegakan hukum yang dimaksud
dalam buku tersebut adalah proses dilakukannya upaya untuk
tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata
sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3. Uraian Bab III: Sejarah HIR dan RBg
Pada BAB II ini Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
menjelaskan mengenai beberapa hal, yang pertama mengenai
bagaimana sejarah terbentuknya HIR dan Rbg. Sejarah dibentuknya
HIR diawali pada tanggal 1 Mei 1848. Pada tanggal 1 Mei 1848, ada
perundang-undangan baru yang berlaku menggantikan hukum
Belanda kuno dan Hukum Roma sebagaimana yang dinyatakan dalam
Pasal 1 Bepalingen omtrent de invoering van en de overgang tot de
nieuwe wetgeving. Peraturang perundang-undangan tersebut
merupakan peraturan baru yang berlaku akibat dihapuskannya hukum
Kerajaan Perancis setelah Negeri Belanda mendapatkan kembali
kemerdekaanya.
Dengan dibelakukannya asas penyesuaian (concordantie
beginsel) di Indonesia, maka peraturan perundang-undangan baru di
Negeri Belanda diberlakukan juga untuk HIndia Belanda (Indonesia)
karena Indonesia merupakan negara jajahan dari Belanda.
Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1839 No.102 dibentuk
suatu komisi yang terdiri atas Mr. C.I. Scholten van Oud Haarlem, Mr.
Schneitner dan Mr. I.F.H van Nes, bahwa komisi tersebut dibentuk
berdasarkan Firman Raja. Komisi yang dibentuk tersebut merupakan
komisi yang mempunyai tugas untuk menyusun rancangan peraturan
perundang-undangan bagi Hindia Belanda berdasarkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang terdapat di Negeri Belanda.
Pada tanggal 15 Desember 1845 Nomor 68, komisi yang
bertugas untuk menyusun rancangan perundang-undangan tersebut
dibubarkan setelah melakukan tugasnya selama 6 tahun. Kemudian
dikelurkanlah Firman Raja yang berisi mengangkat Mr. Wichers yang
merupakan Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara
yang diberikan tugas untuk mempersiapkan peraturan perundang-
undangan untuk HIndia Belanda.
Pada tanggal 5 April 1848 Staatsblad Nomor 16, Mr. Wichers
menyelesaikan hasil rancangan perundang-undangan tersebut yang
telah diterima oleh Gubernur Jenderal kemudian diumumkan dengan
sebutan Inlandsch Reglement (IR).
Pada tanggal 29 Desember 1949 berdasarkan Firman Raja
Nomor 93 dan diumumkan dalam Staatsblad 1849 Nomor 63
Inlandsch Reglement (IR) disahkan. Sejak diumumkannya, Inlandsch
Reglement (IR) tersebut mengalami beberapa perubahan berdasarkan
Staatsblad 1941 Nomor 31 jo Nomor 98 dan Staatsblad 1941 Nomor
32.
Ketentuan peralihan dari Staatsblad 1941 Nomor 32 ditetapkan
dalam Pasal 1 yang berbunyi:
1) Pasal 1 dari ordonansi ini hanya berlaku di dalam wilayah
hukum dari Landraad-Landraad, yang atas kekuatan pasal 93a
ayat 1 dari Reglement tentang susunan kehakiman dan
kebijaksanaan Pengadilan, ditunjuk oleh Gubernur-Jenderal.
2) Reglement Bumiputera, sebagaimana isinya telah diadakan
perubahan-perubahan di dalam ordonansi ini, akan
diberlakukan di dalam wilayah hukum Landraad-Landraad yang
dimaksud di atas dapat disebut het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR).
Pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun
1951 diatur mengenai pemberlakuan het Herziene Indonesisch
Reglement (HIR) atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui untuk
Jawa dan Madura dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) yang
berlaku untuk wilayah luar Jawa dan Madura.
Pemberlakuan het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau
Reglemen Indonesia yang diperbaharui untuk Jawa dan Madura dan
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg) yang berlaku untuk wilayah
luar Jawa dan Madura kemudian diperkuat dengan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 19 Tahun 1964 dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1965.
Dengan dihapuskannya Raad Justitie dan Hooggerechtshof
yang merupakan pengadilan untuk golongan Eropa pada zaman
Hindia Belanda, maka RV atau Hukum Acara untuk golongan eropa
yang sebelumnya merupakan sumber hukum acara perdata,
dinyatakan tidak berlaku lagi dan Pengadilan Negeri sekarang adalah
pengadilan negeri pada tingkat pertama yang memeriksa semua
perkara perdata dan semua golongan bangsa Indonesia.
HIR yang dilahirkan di zaman penjajahan, dimana tata hukum
dan administrasi negara diabdikan kepada tujuan mencapai
kesejahteraan kaum penjajah. Untuk itu, seluruh tata hukum Indonesia
pada saat itu disusun berdasrkan adanya dualism di segala bidang,
yang membagi penduduk Indonesia dalam golongan-golongan yang
masing-masing mempunyai hukum sendiri-sendiri.
Penyusunan HIR dahulu disesuaikan dengan keadaan
masyarakat Indonesia pada saat itu, yang lebih dari seratus tahun lalu,
maka HIR menutut Soebekti mempunyai karakteristik yaitu:
1) Pengajuan gugatan dilakukan dalam bentuk “surat
permohonan” dengan adanya kemungkinan untuk mengajukan
gugatan secara lisan.
2) Tidak ada kewajiban untuk menguasakan kepada kuasa hukum.
3) Adanya kewajiban bagi hakim sebelum memulai pemeriksaan
perkara untuk mengusahakan dicapainya siatu perdamaian.
4) Hakim mendengar langsung dari para pihak.
5) Keaktifan hakim sebelum dan sepanjang pemeriksaan di muka
sidang.
Dalam Bab III Buku Prof Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
tersebut juga dikemukakan mengenai pendapat Sudikno mengenai
asas-asas yang termuat dalam HIR dan RBg mengenai hukum acara
perdata yaitu:
1) Hakim Bersifat Menunggu yang mempunyai artian bahwa
inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya
kepada yang berkepentingan yaitu para pihak (penggugat dan
tergugat). Tuntutan demikian tuntutan hak yang mengajukan
adalah para pihak yang berkepentingan, dan hakim bersifat
menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya
atau dengan istilah lain disebut dengan judex ne procedat ex
officio, yang dimuat dalam Pasal 118 HIR dan Pasal 142 RBg.
2) Hakim Pasif, mempunyai artian bahwa hakim dalam
memeriksa perkara ruang lingkup atau pokok sengketa untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang
bersengketa bukan oleh hakim. Para pihak secara bebas untuk
mengakhiri perkara yang telah diajukan ke muka pengadilan
dan hakim tidak dapat menghalang-halanginya. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 130 HIR dan Pasal 154 RBg. Tetapi fungsi
hakim yang merupakan bersifat pasif, hakim juga dapat
melakukan fungsi yang aktif, yaitu dalam memimpin
pemeriksaan perkara. Hakim juga berhak memberikan nasihat
kepada kedua belah pihak serta menunjukkan upaya hukum
dan memberi keterangan kepada para pihak yang diatur dalam
Pasal 132 HIR dan Pasal 156 RBg.
3) Mendengar Kedua Belah Pihak, mempunyai artian bahwa
hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak
sebagai kebenaran, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak
diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Asas ini
diatur dalam Pasal 132a, 121 ayat (2) HIR dan Pasal 145 ayat
(2), 157 RBg.
4) Putusan Harus Disertai Alasan, mempunyai artian bahwa
semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan
putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili, yang digunakan
sebagai argumentasi untuk pertanggungjawaban hakim atas
putusan yang diberikan, yang didasarkan pada Pasal 184 ayat
(1), 319 HIR dan Pasal 195, 618 RBg.
5) Beracara Dikenakan Biaya, yang mempunyai artian bahwa
dalam melakukan acara di muka persidangan dibutuhakan
biaya administrasi agar suatu sidang dapat dilangsungkan
seperti biaya kepaniteraan, biaya untuk pemanggilan dan
pemberitahuan para pihak dan biaya materai. Hal tersebut
diatur dalam Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR dan Pasal 145
ayat (4), 192-194 RBg.
6) Tidak Adanya Keharusan Mewakilkan, yang mempunyai
artian bahwa dalam melakukan persidangan dalam acara
perdata, para pihak tidak diharuskan memberikannya kepada
kuasa hukum untuk mewakili penggugat maupun tergugat
dalam melakukan proses acara dalam persidangan yang
didasarkan pada Pasal 123 HIR dan Pasal 147 RBg. Tetapi
berbeda dengan aturan yang dikemukakan pada Rv yang
mewajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya untuk
disidangkan kepada orang lain dalam beracara di pengadilan
yang didasarkan pada Pasal 106 ayat (1) Rv.
4. Uraian Bab IV: Het Herziene Indonesisch Reglement / HIR
(Reglemen Hukum Acara Perdata Untuk Jawa dan Madura)
Pada BAB IV ini Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
menjelaskan mengenai Herziene Indonesisch Reglement (HIR) atau
Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB), pertama sekali
menjelaskan Bab Kesembilan Perihal Mengadili Perkara Perdata yang
Harus Diperiksa Oleh Pengadilan Negeri. Dalam bab IV tersebut,
dibagi menjadi beberapa bagian yang terhadap pokok-pokok proses
beracara perdata diatur mengenai:
1) Bagian Pertama yang mengatur tentang Pemeriksaan Perkara
di Dalam Persidangan. Pada bagian pertama ini, termuat dalam
Pasal 118 sampai dengan Pasal 161 Herziene Indonesisch
Reglement (HIR). Setiap pasal dalam bagian pertama buku
Prof. Efa dimuat penjelasan terhadap isi pasal yang dituliskan
untuk menjelaskan kepada pembaca mengenai apakah makna
setiap pasal yang dijelaskan tersebut. Sebelumnya pada bagian
pertama tersebut terdapat pasal 115 sampai dengan pasal 117
dan pasal 120a yang kemudian ditiadakan oleh Undang-
Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.
2) Bagian Kedua yang mengatur tentang Bukti dalam perkara
perdata. Pada bagian kedua ini, termuat dalam Pasal 162
sampai dengan Pasal 177 Herziene Indonesisch Reglement
(HIR). Sama dengan bagian pertama, dalam buku Prof Efa juga
dimuat penjelasan terhadap isi pasal yang juga dituliskan untuk
menjelaskan kepada pembaca mengenai makna setiap pasal
yang disebutkan. Dalam bagian kedua tersebut, Pasal 166 dan
Pasal 168 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) telah dicabut
menurut Staatblad 1927 Nomor 146 terhadap pasal 166 dan
Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 terhadap pasal 168.
3) Bagian Ketiga yang mengatur tentang Musyawarah dan
Keputusan Hakim. Pada bagian ketiga ini, termuat dalam Pasal
178 sampai dengan Pasal 187 Herziene Indonesisch
Reglement (HIR). Pada bagian ketiga tersebut, dimuat
penjelasan terhadapt isi pasal yang juga dituliskan untuk
menjelaskan mengenai makna setiap pasal yang disebutkan.
4) Bagian Keempat yang mengatur tentang Membandingkan
Keputusan (Apel). Pada bagian keempat ini, termuat dalam
Pasal 235 sampai dengan Pasal 236a Herziene Indonesisch
Reglement (HIR). Sebelumnya pada bagian keempat tersebut
termuat pasal 188 sampai dengan pasal 194 Herziene
Indonesisch Reglement (HIR), tetapi telah dicabut oleh Undang-
Undang Darurat No.1 Tahun 1951.
5) Bagian Kelima yang mengatur tentang bagaimana Cara
Menjalankan Keputusan. Pada bagian kelima ini, termuat dalam
Pasal 195 sampai dengan Pasal 224 Herziene Indonesisch
Reglement (HIR). Dalam bagian kelima tersebut, Pasal 206
sampai dengan Pasal 208 Herziene Indonesisch Reglement
(HIR) telah dicabut menurut Undang-Undang Darurat No.1
Tahun 1951. Sama halnya dengan bagian sebelumnya, pada
bagian ini juga pasal yang disebutkan Prof. Efa menjelaskan
makna dari setiap pasal yang ada dalam bagian ini.
6) Bagian Keenam yang mengatur tentang Hal Mengadili Perkara
Istimewa. Pada bagian keenam ini, termuat dalam Pasal 225
sampai dengan Pasal 234a Herziene Indonesisch Reglement
(HIR). Dalam bagian keenam buku Prof. Efa juga menjelaskan
makna dari setiap pasal yang dimuat dalam bagian keenam.
7) Bagian Ketujuh yang mengatur tentang Izin Untuk Berperkara
dengan Tak Berbiaya. Pada bagian ketujuh ini, termuat dalam
Pasal 237 sampai dengan Pasal 245 Herziene Indonesisch
Reglement (HIR). Pada bagian ketujuh, Prof. Efa menjelaskan
setiap pasal yang termuat dalam bagian tersebut.

5. Uraian Bab V: Reglemen Hukum Acara Untuk Daerah Luar Jawa


dan Madura. (Reglement tot regeling van het rechtswezen in de
gewesten buiten java en Madura) atau RBg.
Pada uraian Bab V ini Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
menjelaskan mengenai Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar
Jawa dan Madura (RBg). Prof. Efa menjelaskan dalam buku tersebut,
bahwa reglemen yang hanya dimuat adalah hal-hal yang masih
dianggap perlu untuk keadaan sekarang dengan penyesuaian
seperlunya, yaitu hanya berdasarkan Titel IV sampai dengan Titel V.
Pada Titel IV menjelaskan mengenai cara mengadili perkara perdata
yang dalam Tingkat Pertama Menjadi Wewenang Pengadilan Negeri,
dan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Bagian 1 yang memuat mengenai bagaimana Cara
Pemeriksaan di Sidang Pengadilan. Dalam bagian satu yang
memuat pemeriksaan di sidang pengadilan termuat dalam
Pasal 142 sampai dengan Pasal 188 RBg. Dalam buku Prof.
Efa pada pasal RBg tersebut hanya disebutkan isi dari pasal
142 sampai dengan Pasal 188 RBg tanpa menjelaskan makna
di setiap pasalnya.
2) Bagian 2 mengatur tentang Musyawarah dan Keputusan
Pengadilan. Dalam hal tersebut, termuat dalam RBg yang
dimuat dalam Pasal 189 sampai dengan Pasal 198.
3) Bagian 3 mengatur mengenai Banding dalam proses acara
perdata. Pasal pada bagian 3 yang mengatur mengenai
Banding yaitu termuat dalam Pasal 199 sampai dengan Pasal
205 RBg. Dalam buku Prof. Efa tidak dijelaskan penjelasan
mengenai isi pasal yang ada pada bagian tersebut.
4) Bagian 4 mengatur mengenai Pelaksanaan Keputusan Hakim
dalam beracara di depan persidangan. Mengenai pelaksanaan
keputusan hakim pada bagian keempat tertuang dalam Pasal
206 sampai dengan Pasal 258 RBg.
5) Bagian 5 mengatur mengenai Beberapa Acara Khusus. Dalam
buku Prof. Efa mengenai bagian 5 tersebut termuat dalam Pasal
259 sampai dengan Pasal 272 RBg.
6) Bagian 6 mengatur mengenai bagaimana Izin Berperkara
Tanpa Biaya yang dimuat dalam Pasal 273 sampai dengan
Pasal 281 RBg.
7) Pada Titel V mengatur mengenai Bukti dalam Perkara Perdata.
Dalam buku Prof. Efa yang mengatur mengenai hal bukti dalam
perkara perdata diatur dalam Pasal 282 sampai dengan Pasal
314 RBg. Akan tetapi ada pasal yang telah dihapuskan pada
Titel V tersebut yaitu Pasal 295 RBg yang dihapus dengan
Staatsblad 1927-576.

6. Uraian Bab VI: Perbedaan HIR dan RBg


Pada BAB VI ini Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
menjelaskan mengenai adanya perbedaan antara HIR dan RBg,
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Prof. Efa, Artaji dan
Anita pada tahun 2012. Dalam buku tersebut dikemukakan perbedaan
antara HIR dan RBg terdapat dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Perihal Tata Cara Pengajuan Gugatan, dalam HIR diatur dalam
Pasal 118 HIR sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 142
RBg.
2) Perihal Gugatan Secara Lisan, dalam HIR diatur dalam Pasal
120 HIR sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 144 RBg.
3) Perihal Kuasa, dalam HIR diatur dalam Pasal 123 HIR
sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 147 RBg.
4) Perihal Perlawanan (verzet) Terhadap Putusan Verstek, dalam
HIR diatur dalam Pasal 129 HIR sedangkan pada RBg diatur
dalam Pasal 153 RBg.
5) Perihal Penyumpahan Saksi, dalam HIR diatur dalam Pasal 148
HIR sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 176 RBg.
6) Perihal Pembuktian Akta Otentik, dalam HIR diatur dalam Pasal
165 HIR sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 285 RBg.
7) Perihal Biaya Perkara, dalam HIR diatur dalam Pasal 182 dan
Pasal 183 HIR sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 193
dan Pasal 194 RBg.
8) Perihal Menjalankan Putusan, dalam HIR diatur dalam Pasal
195 HIR sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 206 RBg.
9) Perihal Penyitaan, dalam HIR diatur dalam Pasal 197 (1) HIR
sedangkan pada RBg diatur dalam Pasal 208 RBg.
10) Perihal Penjualan Barang Sitaan, dalam HIR diatur dalam
Pasal 200 (1), (2), (3) dan (11) HIR sedangkan pada RBg diatur
dalam Pasal 215 dan Pasal 218 (2) RBg.
11) Perihal Akta Hipotik dan Surat Hutang Autentik, dalam HIR
diatur dalam Pasal 224 HIR sedangkan pada RBg diatur dalam
Pasal 258 RBg.
12) Perihal Putusan Hukuman Melakukan Suatu Perbuatan, dalam
HIR diatur dalam Pasal 225 HIR sedangkan pada RBg diatur
dalam Pasal 259 RBg.
13) Dan Perihal Berperkara Secara Prodeo (Cuma-Cuma), dalam
HIR diatur dalam Pasal 238 (2) dan (3) HIR sedangkan pada
RBg diatur dalam Pasal 274 (2) dan (3) RBg.

7. Uraian Bab VII: Penutup


Pada BAB VII ini Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
menjelaskan mengenai fungsi hukum acara perdata, yang berfungsi
untuk menentukan dan mengatur bagaimana cara melaksanakan hak
dan kewajiban perdata sesuai dengan apa yang diatur dalam hukum
perdata materiil.
Dalam buku tersebut juga mengemukakan bahwa hukum acara
perdata masih bersifat pluralisme. Sebagai contoh yaitu terdapat dua
peraturan yang mengatur mengenai penegakan hukum acara perdata
yang dibedakan hanya oleh wilayah berlakunya. Pluralisme terhadap
hukum acara perdata tidak hanya terdapat pada adanya HIR dan RBg
yang berbeda wilayah berlakunya, tetapi juga dapat dilihat dari
banyaknya sumber hukum acara perdata lainnya yang tersebar dalam
beberapa peraturan.

Dalam buku tersebut, Prof. Dr. Efa Laela Fakhriah, S.H., M.H.
berpendapat bahwa konsep pengaturan hukum acara perdata yang
akan datang sebaiknya diatur dalam satu peraturan tentang hukum
acara perdata yang terkodifikasi, dengan cara segera diundangkannya
Rancangan Hukum Acara Perdata sebagai hukum acara perdata yang
baru sehingga dapat memberi kepastian hukum baik bagi penegak
hukum maupun masyarakat pencari keadilan. Undang-Undang Hukum
Acara Perdata yang akan diundangkan tersebut harus disesuaikan
dengan berbagai aspek dan bidang dalam kehidupan, seperti dunia
bisnis dan teknologi informasi.
BAB III

PENUTUP

Dari hal yang dikemukakan pada bab I dan bab II berdasarkan buku
Prof. Efa penulis dapat memberikan suatu simpulan bahwa hukum acara
perdata yang di Indonesia saat ini masih terdapat dualisme. Alasan mengapa
hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia dikatakan masih bersifat
dualisme ialah karena dalam hukum acara Indonesia terdapat dua peraturan
yang digunakan sebagai sumber hukum acara perdata yaitu Het Herziene
Indonesisch Reglement (HIR) dan Rechtsreglement voor de Buitengewesten
(RBg).

Antara penggunaan Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan


Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg) didasarkan pada wilayah
berlakunya peraturan tersebut. HIR berlaku dalam proses hukum acara
perdata di wilayah Jawa dan Madura, sedangkan RBg merupakan hukum
yang berlaku untuk melaksanakan proses beracara perdata di luar wilayah
Jawa dan Madura. Dalam buku Prof. Efa juga dikemukakan mengenai
penerapan HIR dan RBg yang digunakan hakim untuk memutus suatu
perkara perdata harus berdasarkan wilayah berlakunya HIR dan RBg
tersebut.

Dalam buku yang di review, penulis ingin menyampaikan beberapa


kelebihan dan kekurangan buku yang kiranya dapat memberikan apresiasi
dan perbaikan yang membangun untuk buku Prof. Efa. Kelebihan buku dapat
dilihat melalui, cover buku yang menarik yang dapat merepresentasikan isi
buku yang bertemakan hukum, serta konten yang dibahas dalam buku
tersebut banyak memuat pasal HIR/RBg yang sesuai dengan judul buku
sehingga pembaca langsung dapat mengerti apa yang ingin disampaikan
oleh penulis lewat isi buku tersebut. Secara keseluruhan isi yang termuat
dalam buku sangat baik, dan sangat bermanfaat untuk dipelajari untuk
mahasiswa fakultas hukum dalam rangka menunjang pembelajaran dan ilmu
pengetahuan, tetapi dalam buku tersebut dapat ditemukakan beberapa
penulisan kata yang tidak lengkap/salah ketik.

Anda mungkin juga menyukai