Oleh:
110110170035
Dosen:
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
1. Kesengajaan
Jenis-Jenis Kesengajaan :
yaitu seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai
maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah
melakukan perbutannya apabila pembuat menghendaki bahwa akibat
perbutannya tidak akan terjadi.3 Dalam praktik benruk sengaja inilah yang
paling mudah dibuktikan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi.
1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustka,
2014, hlm.168.
2
Ibid. hlm.169.
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm.116.
Contoh apabila seseorang menembak orang lain dan senjatanya
ditujukan kearah jantung atau kepala orang lain, maka dapat disimpulkan
oleh hakim bahwa pembuat sengaja (sebagai maksud) menghilangkan nyawa
orang tersebut. Dalam dakwaan penuntut umum, sering dikemukakan bahwa
terdakwa mengarahkan senjatanya ke bagian tubuh korban yang sangat
berbahaya bagi nyawanya, seperti jantung, kepala, leher dan kemudian
disertai dengan kenyataan-kenyataan yang diambil dari visum et repertum.
Misalnya, dalam visum et repertum ditulis oleh dokter, bahwa terdapat tiga
buah luka di jantung korban akibat tusukan benda tajam yang mematikan dia,
disertai dengan keterangan saksi yang melihat terdakwa menikam korban
dari jarak sangat dekat mengarah ke dadanya beberapa kali, akan membuat
hakim berkesimpulan bahwa terjadi pembunuhan dengan sengaja (sebagai
maksud).4
4
Ibid. hlm.117.
Akibat ledakan tersebut 83 orang tewas dan 50 orang hanya menderita luka-
luka.
Dalam perjalanan dengan kereta api menuju Hoorn, orang tersebut baru
menyadari bahwa meskipun tujuannya untuk membunuh Mantri Pasar,
namun di rumah tempat kue tarcis beracun itu dikirim, Mantri Pasar tersebut
tinggal bersama istrinya, sehingga ada kemungkinan kue tersebut dimakan
oleh istrinya juga. Orang tersebut tidak berbuat apa-apa dan pada
5
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm.173-174.
kenyataannya yang mati akibat memakan kue tersebut bukanlah Mantri
Pasar, melainkan istrinya pada tanggal 30 September.6
6
Ibid, hlm.174-175.
7
Ibid, hlm.175.
8
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm.293-294.
Contohnya adalah seorang pengendara sepeda motor yang dikejar polisi,
kemudian mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di tengah lalu lintas
yang sangat padat agar lolos dari kejaran polisi. Pengendara sepeda motor
tersebut kemudian menabrak seorang pejalan kaki dan mengakibatkan
kematian.
5. Kesengajaan Diobjektifkan
9
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm.176.
10
Ibid, hlm.177.
Dalam kasus tersebut termasuk contoh kesengajaan diobjektifkan karena
perbuatan penembakan yang dilakukan oleh pelaku tidak dapat ditentukan
secara pasti apakah seseorang tersebut melakukan perbuatan dengan sengaja
atau tidak, tetapi ada tidaknya kesengajaan dalam penembakan tersebut
diputuskan hakim dari perbuatan yang tampak dilakukan oleh pelaku yaitu
melakukan penembakan korban dari jarak 2 meter. Dari jarak tersebut hakim
menyimpulkan bahwa pelaku melakukannya dengan sengaja.
6. Dolus Directus
7. Dolus Indirectus
8. Dolus Determinatus
Yaitu dolus yang bertolak dari anggapan bahwa pada hakikatnya suatu
kesengejaan harus didasarkan pada objek tertentu.
9. Dolus Indeterminatus
12
Ibid, hlm.178.
13
Ibid, hlm. 179.
Contoh, karena dendam dengan Z, Y yang sedang mengendarai mobil
menabrak Z yang sedang berjalan. Y berkehendak akibat tabrakan tersebut Z
mengalami cacat atau bahkan kematian. Dalam ilustrasi ini, motivasi Y
sangat jelas adalah balas dendam terhadap Z. akibat yang dikehendaki tidak
diperhitungkan oleh Y, apakah Z akan cacat ataukah mati.14
14
Ibid, hlm. 179.
15
Andi hamzah, Op.Cit, hlm. 123.
dilakukannya. Perbuatan pelaku membunuh Satuan Pengaman
dikualifikasikan sebagai dolus repentinus.
16
Ibid, hlm. 124.
17
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm. 182
yang menabrak seseorang yang kemudian diidentifikasi sebagai B yang
merupakan musuh A. tidankan A menabrak B bukanlah suatu kesengajaan,
namun tindakan membiarkan B tergeletak begitu saja dan tidak memberikan
pertolongan adalah suatu kesengajaan karena mengetahui bahwa B adalah
musuhnya.18
Yaitu kesengajaan yang diawali dengan niat jahat. Dolus Malus pertama
sekali dituangkan dalam Beirse Wetboek 1813 yang dibuat oleh von
Feuerbach yang pada intinya seseorang yang melakukan perbuatan pidana
dan dapat dipidana hanya karena orang tersebut memahami bahwa perbuatan
yang dilakukan adalah yang dilarang oleh undang-undang. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa persyaratan adanya dolus malus identic dengan
kesengajaan berwarna.19
2. Kealpaan
Menurut van Hamel, dua hal yang terdapat dalam kealpaan adalah tidak
ada penduga-duga dan tidak adanya penghati-hatian. Menurut Simos, isi
18
Ibid, hlm. 182
19
Ibid, hlm. 182
kealpaan mengandung dua unsur yaitu tidak ada penghati-hatian disamping
dapat diduga-duganya akibat yang akan timbul. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa syarat kealpaan adalah tidak adanya penghati-hatian dan tidak adanya
penduga-dugaan.20
Kealpaan seperti ilustrasi di atas adalah kealpaan yang paling berat atau
yang biasa disebut dengan istilah culpa lata.
Kealpaan yang tidak disadari atau disebut juga dengan istilah negligentia
adalah pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang
dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Pelaku tidak mempunyai
pemikiran sama sekali kemungkinan akibat yang akan timbul.
20
Ibid, hlm. 190.
21
Ibid, hlm. 191.
Contoh, seorang mengendarai sepeda motor dengan perlahan-lahan di
jalan yang sepi karena orang tersebut belum mahir. Tiba-tiba, orang tersebut
dikejar anjing sehingga menabrak seseorang. Kealpaan yang demikian
disebut juga sebagai culpa levis atau kealpaan ringan.
1. Culpa Subjektif
2. Culpa Objektif
Contoh, jika seorang pengemudi mobil di jalan raya tidak berlaku santun
dalam berlalu lintas lalu menimbulkan kecelakaan, maka pelaku secara
objektif tidak mengadakan penghati-hatian.24
22
Ibid, hlm. 191-192.
23
Ibid, hlm. 192.
24
Ibid, hlm. 192.
3. Culpa Sesungguhnya
Culpa Sesungguhnya yaitu akibat yang dilarang itu timbul karena
kealpaannya.
3. Dwaling (Kekeliruan)
25
Ibid, hlm. 192-193.
26
Ibid, hlm. 193.
Kekeliruan yang dimaksud adalah terdapat kesesuaian antara kehendak
dan pernyataan, namun kehendak salah satu atau kedua pihak terbentuk
secara cacat. Di luar hal tersebut, maka akibat dari kekeliruan harus
ditanggung oleh dan menjadi risiko pihak yang membuatnya.27
1. Error In Persona
Yaitu suatu dwaling, suatu salah paham atau kekeliruan dari pihak
terdakwa terhadap orang yang akan dituju. Jadi salah paham tentang
objeknya perbuatan, umpamanya: Apabila yang akan dibunuh itu A
kemudian dikira telah membunuh A, padahal yang sesungguhnya yang
dianggap itu adalah B.
Jadi error in persona dalam contoh di atas tidak membawa akibat apa-
apa. Lain halnya dengan kualitas objek menjadi unsur delik, misalnya dalam
penghinaan terhadap Kepala Negara. Jika kesalahan orang yang menghina
ditujukan kepada kepala negara, akan tetapi yang dianggap sebagai kepala
negara itu sesungguhnya orang biasa saja, maka error in persona
mempunyai akibat lain. Terdakwa tidak bisa dipidana karena Pasal 134,
tetapi karena pasal yang umum mengenai penghinaan. Demikian pula halnya
kalau orang akan memaki-maki misalnya saudara dari kepala negara, padahal
karena rupanya sama, yang dimaki-maki adalah kepala negaranya sendiri
27
Wibowo Tunardi, “Cacat Pada Kehendak (Wilsgebreken)”,
http://www.jurnalhukum.com/cacat-pada-kehendak-wilsgebreken/, diakses pada tanggal 8
November 2018 pukul 16.48 WIB.
bukan saudaranya. Error in persona ini membawa akibat pula dia tidak
melanggar Pasal 134 tetapi melanggar Pasal 310 atau 315 KUHP.28
2. Aberatio Ictus
Jadi tidak ada salah paham sama sekali, yang ada ialah bahwa jalannya
kausal menjadi berbeda dengan apa yang dikehendaki. Dalam hal itu
terdakwa bisa dituntut karena percobaan pembunuhan atau percobaan
penganiayaan terhadap A.29
3. Error In Objecto
28
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 209.
29
Ibid, hlm. 210.
30
Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl220/tentang-error-in-persona-
dan-error-in-objecto diakses pada tanggal 8 November 2018 pukul 17.02 WIB.
4. Feitelijke Dwaling (Kesesatan Fakta)
Adalah suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh
undang-undang. Pada dasarnya kesesatan hukum tidak menghapus tuntutan
pidana. Kesesatan hukum dibedakan menjadi kesesatan hukum yang dapat
dimengerti dan kesesatan hukum yang tidak dapat dimengerti. Kedua
kesesatan hukum ini merujuk pada tingkat pengetahuan dan latar belakang
yang objektif dari pelaku.
Contohnya, jika seseorang yang berasal dari pedalaman dan pertama kali
ke kota, kemudian mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm
karena tidak tahu ada peraturan yang mewajibkan penggunaan helm, maka
kesesatan hukum demikian termasuk ke dalam kesesatan hukum yang dapat
dimengerti, dapat tidak dipertanggungjawabkan secara pidana, namun
kesesatan hukum yang dilakukan oleh orang yang berlatar belakang
pendidikan memadai, termasuk ke dalam kesesatan yang tidak dapat
dimengerti dan dapat dijatuhi pidana.32
31
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm. 170.
32
Ibid, hlm. 171.
Daftar Pustaka
a. Buku Referensi
Farid, Zainal Abidin. 2014. Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
b. Internet