Anda di halaman 1dari 18

Kesengajaan, Kealpaan dan Dwaling

Oleh:

Grace Evelyn Pardede

110110170035

Dosen:

Dr. Hj. Elis Rusmiati, S.H., M.H

Wanodyo Sulistiani, S.H., M.H., LL.M

Budi Arta Atmaja, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2018
1. Kesengajaan

Vos menyatakan bahwa dalam undang-undang (KUHP), kesengajaan


tidak didefenisikan, secara umum ajaran kesengajaan tidak ada dalam
undang-undang. Teori kesengajaan terdapat dalam dua teori, yaitu teori
kehendak (wilstheorie) dan teori pengetahuan (voorstellingstheorie).1

Menurut Pompe, berdasarkan teori pengetahuan, kesengajaan berarti


kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan
menurut rumusan undang-undang, sedangkan yang lain adalah teori
kehendak, kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya
perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-undang.

Menurut Suringa, berdasarkan teori kehendak, kesengajaan yaitu suatu


kelakuan yang menimbulkan akibat-akibat merupakan suatu kekharusan
tanggung jawabnya, baik akibat yang dikehendaki maupun akibat yang tidak
dikehendaki.2

Kedua teori tersebut tidak ada perbedaan yang hakiki.sebagaimana


menurut Pompe, syarat kesengajaan adalah menghendaki (willens) dan
mengetahui (wetens). Kedua syarat tersebut bersifat mutlak, artinya
seseorang dikatakan melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, jika
perbuatan tersebut dilakukan dengan mengetahui dan menghendakinya.

Jenis-Jenis Kesengajaan :

1. Sengaja Sebagai Maksud (opzet als oogmerk)

yaitu seperti yang dikemukakan oleh Vos, yang mengatakan sengaja sebagai
maksud apabila pembuat menghendaki akibat perbuatannya. Ia tidak pernah
melakukan perbutannya apabila pembuat menghendaki bahwa akibat
perbutannya tidak akan terjadi.3 Dalam praktik benruk sengaja inilah yang
paling mudah dibuktikan dengan melihat kenyataan-kenyataan yang terjadi.

1
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustka,
2014, hlm.168.
2
Ibid. hlm.169.
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hlm.116.
Contoh apabila seseorang menembak orang lain dan senjatanya
ditujukan kearah jantung atau kepala orang lain, maka dapat disimpulkan
oleh hakim bahwa pembuat sengaja (sebagai maksud) menghilangkan nyawa
orang tersebut. Dalam dakwaan penuntut umum, sering dikemukakan bahwa
terdakwa mengarahkan senjatanya ke bagian tubuh korban yang sangat
berbahaya bagi nyawanya, seperti jantung, kepala, leher dan kemudian
disertai dengan kenyataan-kenyataan yang diambil dari visum et repertum.
Misalnya, dalam visum et repertum ditulis oleh dokter, bahwa terdapat tiga
buah luka di jantung korban akibat tusukan benda tajam yang mematikan dia,
disertai dengan keterangan saksi yang melihat terdakwa menikam korban
dari jarak sangat dekat mengarah ke dadanya beberapa kali, akan membuat
hakim berkesimpulan bahwa terjadi pembunuhan dengan sengaja (sebagai
maksud).4

2. Sengaja Dengan Kesadaran Tentang Kepastian (opzet met bewustheid


van zekerheid of noodzakelijkheid)

yaitu kesengajaan yang menimbulkan dua akibat. Akibat pertama


dikehendaki oleh pelaku, sedangkan akibat kedua tidak dikehendaki namun
pasti atau harus terjadi.

Contoh kesengajaan sebagai kepastian adalah kasus yang terjadi pada


tahun 1875 di kota Bremerhaven, Jerman oleh seseorang yang bernama
Thomas Alexander Keith. Kasus ini kemudian dikenal dengan nama Thomas
van Bremerhaven.

Duduk perkaranya: Thomas mengirimkan satu peti berisi dinamit yang


akan dimuat di dalam kapal. Satu peri dinamit tersebut telah diatur
sedemikian rupa sehingga akan meledak 8 hari lagi dalam perjalanan dari
Bremerhaven ke New York dan Thomas mengasuransikan peti tersebut di
Southhampton, Inggris. Tujuan Thomas adalah untuk mengdapatkan ganti
rugi. Kenyataannya, karena kurang hati-hati, ketika peri itu diangkat ke
dalam kapal Bremerhaven, terjatuh dan menimbulkan ledakan dahsyat.

4
Ibid. hlm.117.
Akibat ledakan tersebut 83 orang tewas dan 50 orang hanya menderita luka-
luka.

Meledakkan kapal merupakan tujuan perbuatan Thomas untuk


mendapatkan premi asuransi. Kendatipun kematian akibat ledakan tersebut
bukanlah merupakan tujuan yang dikehendaki Thomas namun suatu
keharusan atau kepastian akan terjadi. Mahkamah Tinggi Jerman
(Reichsgericht) menganggap sikap batin untuk meledakkan kapal dengan
mengorbankan nyawa orang adalah dolus dengan kesadaran akan kepastian
atau opzet met noodzakelijkheidsbewustzijn.5

3. Sengaja Dengan Kesadaran Kemungkinan (opzet met


waarschijnlijkheidsbewustzijn)

Beberapa akli hukum pidana seperti Vos, Hazewinkel Suringa,


Jonkers, Simons, dan Moeljatno menyamakan kesengajaan sebagai
kemungkinan atau opzet met waarschijnlijkheidsbewustzijn dengan dolus
eventualitas. Akan tetapi kesengajaan sebagai kemungkinan dipisahkan
dengan dolus eventualitas.

Contoh kesengajaan sebagai kemungkinan yaitu kasus kue tart kota


Hoorn di Belanda berdasarkan Putusan Hof Amsterdam, 9 Maret 1911, W
9154 dan di tingkat kasasi oleh Hoge Raad, 19 Juni 1911, W 9203.
Seseorang di Amsterdam yang tidak senang kepada Mantri Pasar di kota
Hoorn memberi racun tikus (rattenkruid) pada kue tarcis yang dibelinya di
Haarlem pada tanggal 28 September 1910. Kue tarcis yang telah diberi racun
tikus kemudian dikirim dari Amsterdam ke Hoorn pada tanggal 29
September 1910 kepada Mantri Pasar.

Dalam perjalanan dengan kereta api menuju Hoorn, orang tersebut baru
menyadari bahwa meskipun tujuannya untuk membunuh Mantri Pasar,
namun di rumah tempat kue tarcis beracun itu dikirim, Mantri Pasar tersebut
tinggal bersama istrinya, sehingga ada kemungkinan kue tersebut dimakan
oleh istrinya juga. Orang tersebut tidak berbuat apa-apa dan pada

5
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm.173-174.
kenyataannya yang mati akibat memakan kue tersebut bukanlah Mantri
Pasar, melainkan istrinya pada tanggal 30 September.6

Kasus tersebut merupakan kesengajaan sebagai kemungkinan karena


dalam kasus kue tart kota Hoorn tersebut, pelaku melakukan perbuatan yang
mana sudah disadari dari perbuatan tersebut, terdapat adanya kemungkinan
objek lain menjadi korban dari akibatnya, dan ternyata benar akibatnya
bukan yang dikehendaki sebelumnya tapi objek lain yang mengalami dari
akibat perbuatannya yaitu kematian istri Mantri Pasar tanggal 30 September.
4. Kesengajaan Bersyarat atau Dolus Eventualitas

yaitu pada dasarnya seseorang melakukan perbuatan namun tidak


mengehendaki akibatnya. Dapat dikatakan bahwa meskipun seseorang tidak
menghendaki akibatnya, namun perbutaan tersebut tetap dilakukan, maka
dengan demikian orang tersebut harus memikul apapun risiko yang timbul.
Dalam dolus eventualitas menurut hukum Jerman haruslah ada billigend on
kauf nehmen atau menerima penuh risiko terwujudnya suatu kemungkinan.

Moeljatno menyebut teori billigend on kauf nehmen sebagai teori apa


boleh buat. Menurut Mezger dan Moeljatno bahwa dolus eventualis adalah
seseorang yang melakukan perbutaan sama sekali tidak menghendaki adanya
akibat yang dilarang oleh hukum pidana. Walaupun demikian, jika akibat
yang tidak dikehendaki timbul, maka orang tersebut harus berani memikul
risikonya.7

Dua syarat dolus eventualis :

1. Terdakwa mengetahui kemungkinan adanya akibat/keadaan yang


merupakan delik.
2. Sikapnya terhadap kemungkinan itu andai kata sungguh timbul, ialah
apa boleh buat, dapat disetujui dan berani memikul resiko.8

6
Ibid, hlm.174-175.
7
Ibid, hlm.175.
8
H.A. Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm.293-294.
Contohnya adalah seorang pengendara sepeda motor yang dikejar polisi,
kemudian mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di tengah lalu lintas
yang sangat padat agar lolos dari kejaran polisi. Pengendara sepeda motor
tersebut kemudian menabrak seorang pejalan kaki dan mengakibatkan
kematian.

Dalam peristiwa tersebut akibat kematian sebenarnya tidak dikehendaki


oleh pengendari motor, bahkan perbuatan menabrak pejalan kaki sama sekali
tidak dikehendaki oleh pengendara sepeda motor, akan tetapi kemungkinan
untuk menabrak disadarinya karena mengendarai sepeda motor dengan
kecepatan tinggi di tengah lalu lintas yang padat dan kemungkinan yang
disadarinya itu benar-benar terjadi sehingga apa boleh buat pengendara
sepeda motor itu harus memikul risikonya.9

5. Kesengajaan Diobjektifkan

Yaitu bukanlah jenis kesengajaan melainkan cara untuk memastikan


adanya kesengajaan. Terkait kesalahan, bahwa kesengajaan dan kealpaan
adalah hubungan antara sikap batin si pelaku dengan perbuatan yang
dilakukan. Dalam rangka untuk menentukan adanya kesengajaan bukanlah
perbuatan yang mudah bagi hakim. Tidaklah dapat ditentukan secara pasti
apakah seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja ataukah tidak.
Dalam hal tersebut, ada atau tidaknya kesengajaan harus disimpulkan dari
perbuatan yang tampak.

Contoh menurut Van Bemmelen yang dikutip Sudarto adalah, A


menembak B dalam jarak 2 meter. Di depan persidangan A menyangkal
bahwa ada kesengajaan membunuh B. berdasarkan fakta yang ada, hakim
kemudian mengobjektifkan kesengajaan bahwa menembak dari jarak 2
meter secara objektif, tembakan tersebut akan mematikan. Dengan demikian
tindakan A menembak B dari jarak 2 meter dengan sengaja dimaksudkan
untuk membunuh.10

9
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm.176.
10
Ibid, hlm.177.
Dalam kasus tersebut termasuk contoh kesengajaan diobjektifkan karena
perbuatan penembakan yang dilakukan oleh pelaku tidak dapat ditentukan
secara pasti apakah seseorang tersebut melakukan perbuatan dengan sengaja
atau tidak, tetapi ada tidaknya kesengajaan dalam penembakan tersebut
diputuskan hakim dari perbuatan yang tampak dilakukan oleh pelaku yaitu
melakukan penembakan korban dari jarak 2 meter. Dari jarak tersebut hakim
menyimpulkan bahwa pelaku melakukannya dengan sengaja.

6. Dolus Directus

Yaitu istilah yang menunjuk pada corak kesengajaan sebagai kepastian


atau keharusan. Dolus Directus ini mensyaratkan tidak hanya tingkat
pengetahuan yang tinggi, namun akibat dari perbuatan tersebut meskipun
tidak dikehendaki tetapi kesadaran akan keniscayaan pasti terjadi. Menurut
Sudarto bahwa dolus directus lebih pada kesengajaan sebagai maksud dan
menyatakan bahwa dolus directus adalah kesengajaan yang ditujukan
terhadap perbuaatan dan akibat dari perbuatan tersebut.11

Contoh, Doni ingin membunuh Beni karena Beni berselingkuh dengan


istrinya. Ketika Beni sedang berjalan di jalan yang sepi, Doni memukul
bagian belakang kepala Beni dengan batu bertubi-tubi hingga tewas. Dalam
peristiwa tersebut motivasi Doni adalah jelas karena Beni berselingkuh
dengan isterinya. Tindakan Doni memukul berkali-kali di kepala bagian
belakang Beni hingga mati adalah tindakan dan akibat yang memang
dikehendaki.

7. Dolus Indirectus

Yaitu kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang tetapi


akibat yang timbul tidak dikehendaki.

Contoh, A menganiaya B dengan maksud hanya untuk melukai. Akibat


yang timbul ternyata tidak hanya melukai melainkan kematian. Contoh lain,
C dan D bertengkar di jalan. C kemudian memukul D sehingga terjatuh dan
pada saat yang bersamaan D dilindas mobil yang mengakibatkan kematian.
11
Ibid, hlm.178.
Dalam ilustrasi dolus indirectus di atas, baik A maupun C tidak dapat
dijerat karena pembunuhan, melainkan karena penganiayaan yang
mengakibatkan mati. Di Perancis terdapat teori bertanggung jawab atas
segala akibat atau leer van het versari in re illicita untuk menentukan dolus
indirectus. Berbeda dengan Inggris dan Spanyol yang menggunakan teori
tersebut untuk menentukan dolus evetualis.12

8. Dolus Determinatus

Yaitu dolus yang bertolak dari anggapan bahwa pada hakikatnya suatu
kesengejaan harus didasarkan pada objek tertentu.

Contoh, tidak mungkin seseorang dikatakan mencuri jika tidak ada


barang yang akan dicuri. Dolus Determinatus ini merupakan varian yang
sudah tidak lagi digunakan dan lebih mengarah pada kesengajaan sebagai
kepastian.

9. Dolus Indeterminatus

Yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada sembarang orang.

Contoh, aksi terror yang berupa pengeboman di tempat umum.


Kesengajaan ini tidak memperdulikan siapa yang akan mati akibat ledakan
bom tersebut karena tujuannya bukanlah mengakibatkan matinya orang
melainkan timbulnya rasa takut atau suasana terror.

Dolus Indeterminatus ini juga dapat dimasukkan ke dalam kesengajaan


sebagai kepastian yang menghendaki satu akibat, namun akibat lain yang
tidak dikehendaki pasti terjadi.13

10. Dolus Alternativus

Yaitu kesengajaan untuk melakukan suatu perbuatan yang dilarang dan


menghendaki akibat yang satu atau akibat yang lain.

12
Ibid, hlm.178.
13
Ibid, hlm. 179.
Contoh, karena dendam dengan Z, Y yang sedang mengendarai mobil
menabrak Z yang sedang berjalan. Y berkehendak akibat tabrakan tersebut Z
mengalami cacat atau bahkan kematian. Dalam ilustrasi ini, motivasi Y
sangat jelas adalah balas dendam terhadap Z. akibat yang dikehendaki tidak
diperhitungkan oleh Y, apakah Z akan cacat ataukah mati.14

11. Dolus Generalis

Yaitu kesengajaan yang ditujukan kepada seseorang namun tindakan yang


dilakukan lebih dari satu untuk mencapai tujuan tersebut.

Contoh, seseorang hendak membunuh orang lain dan melakukannya


dengan beberapa perbuatan untuk melaksanakan maksudnya itu. A mencekik
B kemudian melemparkannya ke air. B tidak mati karena cekikan, tetapi
karena mati lemas.

A melakukan perbuatan pembunuhan berencana, ia melakukan dolus


generalis. Menurut Hazewinke-Suringa, terjadi pembunuhan berencana
karena maksud A tercapai, yaitu kematian B. Simons setuju, tetapi
pengarang lain tidak, karena menurut pengarang lain, tidak sesuai dengan
pemecahan dogmatis. Semestinya pembunuhan berencana karena mencekik
dan kematian B merupakan karena salahnya menyebabkan orang lain mati.15

12. Dolus Repentinus

Yaitu kesengajaan melakukan sesuatu yang muncul dengan tiba-tiba. Dalam


hukum Jerman, dolus repentinus dikenal dengan istilah hastemut. Artinya
kesengajaan tersebut muncul seketika dengan memperhatikan situasi dan
kondisi.

Contoh, seseorang yang setelah melakukan aksinya mencuri di sebuah


rumah kemudian tertangkap tangan oleh Satuan Pengaman yang menjaga
rumah tersebut. Agar tidak ketahuan, seketika timbul niat dari pelaku untuk
membunuh Satuan Pengaman tersebut dan hal tersebut berhasil

14
Ibid, hlm. 179.
15
Andi hamzah, Op.Cit, hlm. 123.
dilakukannya. Perbuatan pelaku membunuh Satuan Pengaman
dikualifikasikan sebagai dolus repentinus.

13. Dolus Premenditatus

Yaitu kesengajaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu. Dalam


hukum Jerman, dolus premenditatus dikenal dengan istilah beretene mut.

Contoh, dalam KUHP, dolus premenditatus terdapat di beberapa pasal,


antara lain Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, Pasal 3553
KUHP tentang Penganiayaan yang direncanakan terlebih dahulu dan Pasal
355 KUHP tentang penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu.16

Dolus Premenditatus adalah suatu keadaan yang memberatkan dalam


penjatuhan pidana. Kejahatan yang dilakukan secara bersama-sama dua
orang atau lebih biasanya merupakan dolus premenditatus yang dimulai
dengan suatu pemufakatan jahat.

14. Dolus Antecedens

Yaitu kesengajaan yang ditempatkan terlalu jauh sebelum tindakan


dilakukan.

Contoh, Remmelink dengan mengutip Jescheck memberikan ilustrasi


yaitu, pada tanggal 31 Oktober, seorang suami berniat menembak istrinya
saat berburu yang direncanakan pada tanggal 3 November. Ketika sedang
membersihkan senapan pada tanggal 2 November, tanpa sengaja suami
menembak istrinya sampai mati.17

15. Dolus Subsequens

Yaitu kesengajaan terhadap suatu perbuatan yang sudah terjadi.

Contoh, Remmelink memberikan sebuah ilustrasi yaitu, karena


kealpaannya, A menabrak seseorang yang kemudian diidentifikasi sebagai B

16
Ibid, hlm. 124.
17
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm. 182
yang menabrak seseorang yang kemudian diidentifikasi sebagai B yang
merupakan musuh A. tidankan A menabrak B bukanlah suatu kesengajaan,
namun tindakan membiarkan B tergeletak begitu saja dan tidak memberikan
pertolongan adalah suatu kesengajaan karena mengetahui bahwa B adalah
musuhnya.18

16. Dolus Malus

Yaitu kesengajaan yang diawali dengan niat jahat. Dolus Malus pertama
sekali dituangkan dalam Beirse Wetboek 1813 yang dibuat oleh von
Feuerbach yang pada intinya seseorang yang melakukan perbuatan pidana
dan dapat dipidana hanya karena orang tersebut memahami bahwa perbuatan
yang dilakukan adalah yang dilarang oleh undang-undang. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa persyaratan adanya dolus malus identic dengan
kesengajaan berwarna.19

2. Kealpaan

Imperitia culpae annumeratur, yang berarti kealpaan adalah kesalahan.


Akibat ini timbul karena seseorang alpa, sembrono, teledor, lalai, berbuat
kurang hati-hati atau kurang praduga-duga. Kealpaan merupakan kesalahan
yang lebih ringan daripada kesengajaan: imperitia est maxima
mechanicorum poena (kealpaan memiliki mekanisme pidana terbaik,
meskipun dapat membuat seseorang dituntut pertanggungjawabannya).

Menurut Pompe kealpaan sebagai demikian tidak disebut dalam undang-


undang. Bila pembentuk undang-undang menggunakan istilah kealpaan,
pengertiannya berbeda dengan apa yang disebut disni. Dalam KItab Undang-
Undang Hukum Pidana berarti: Ketidakhati-hatian.

Menurut van Hamel, dua hal yang terdapat dalam kealpaan adalah tidak
ada penduga-duga dan tidak adanya penghati-hatian. Menurut Simos, isi

18
Ibid, hlm. 182
19
Ibid, hlm. 182
kealpaan mengandung dua unsur yaitu tidak ada penghati-hatian disamping
dapat diduga-duganya akibat yang akan timbul. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa syarat kealpaan adalah tidak adanya penghati-hatian dan tidak adanya
penduga-dugaan.20

Terkait tidak mengadakan penduga-dugaan dalam kealpaan, melahirkan


dua bentuk kealpaan yaitu :

1. Bewuste Culpa (Kealpaan yang disadari)

Kealpaan yang disadari disebut juga luxuria berarti pelaku berpikir


bahwa akibat tidak akan terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu
kemudian keliru. Hubungan kesadaran antara pelaku dengan akibat yang
seharusnya dapat dihindari dapat dibuktikan. Pelaku sudah memperhitungkan
kemungkinan munculnya akibat dari tindakannya, namun ia percaya bahwa
ia masih dapat menghindari atau mencegahnya.

Contoh, seorang pembalap motor dengan kecepatan tinggi mengendarai


sepeda motor melewati jalan yang padat lalu lintasnya. Pembalap tersebut
berpikir bahwa karena kemahirannya, dia tidak akan menabrak, namun
kenyataanya dia menabrak seorang pejalan kaki. Pengendara dalam kasus
tersebut sudah memperhitungkan kemungkinan akan akibat perbuatannya,
namun karena kemahirannya mengendarai sepeda motor, ia percaya bahwa ia
masih dapat menghindari akibatnya.21

Kealpaan seperti ilustrasi di atas adalah kealpaan yang paling berat atau
yang biasa disebut dengan istilah culpa lata.

2. Onbewuste Culpa (Kealpaan yang tidak disadari)

Kealpaan yang tidak disadari atau disebut juga dengan istilah negligentia
adalah pelaku sama sekali tidak mempunyai pikiran bahwa akibat yang
dilarang mungkin timbul karena perbuatannya. Pelaku tidak mempunyai
pemikiran sama sekali kemungkinan akibat yang akan timbul.

20
Ibid, hlm. 190.
21
Ibid, hlm. 191.
Contoh, seorang mengendarai sepeda motor dengan perlahan-lahan di
jalan yang sepi karena orang tersebut belum mahir. Tiba-tiba, orang tersebut
dikejar anjing sehingga menabrak seseorang. Kealpaan yang demikian
disebut juga sebagai culpa levis atau kealpaan ringan.

Berkaitan dengan tidak mengadakan penghati-hatian, Moeljatno


mengutip pendapat van Hamel menyatakan bahwa kurang penghati-hatian
antara lain karena tidak mengadakan penelitian, kebijaksanaan , kemahiran
dalam keadaan tertentu. Artinya yang menjadi objek penilaian, bukanlah
batin terdakwa melainkan tingkah laku terdakwa.22

Tidak mengadakan penghati-hatian dalam kealpaan melahirkan dua


bentuk kealpaan yaitu:

1. Culpa Subjektif

Culpa Subjektif lebih menitikberatkan pada keadaan individu. Culpa


Subjektif tidak terlepas dari jaminan individu yang memperoleh pendidikan
khusus sehingga dibutuhkan tindakan yang ekstra cermat dan hati-hati.

Contoh, seorang polisi yang sedang mengejar pelaku kejahatan


kemudian terlibat baku tembak. Pada saat tembakan dilepaskan oleh polisi,
pelaku kejahatan berhasil menghindar dan peluru mengenai orang lain.
Dilihat dari sisi individu, seharusnya polisi yang mengikuti pendidikan
khusus menembak perlu kecermatan dalam tindakannya sehingga peluru
tidak dalah sasaran.23

2. Culpa Objektif

Culpa Objektif tidak berdasarkan keadaan individu seperti culpa


subjektif melainkan pada perbuatan lahir secara objektif.

Contoh, jika seorang pengemudi mobil di jalan raya tidak berlaku santun
dalam berlalu lintas lalu menimbulkan kecelakaan, maka pelaku secara
objektif tidak mengadakan penghati-hatian.24
22
Ibid, hlm. 191-192.
23
Ibid, hlm. 192.
24
Ibid, hlm. 192.
3. Culpa Sesungguhnya
Culpa Sesungguhnya yaitu akibat yang dilarang itu timbul karena
kealpaannya.

Contoh, pada Pasal 188 KUHP yang menyatakan, “Barangsiapa karena


kealpaannya menyebabkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah, jika karenanya timbul
bahaya umum bagi barang, jika karenanya timbul bahaya bagi nyawa orang
lain, atau jika karenanya mengakibatkan matinya orang”. Contoh lainnya
adalah Pasal 360 ayat (1) KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa karena
kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam
dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama
satu tahun.”25

4. Culpa Tidak Sesungguhnya


Culpa Tidak Sesungguhnya yaitu melakukan suatu perbuatan berupa
kesengajaan namun salah satu unsurnya diculpakan.
Contoh, Pasal 480 ke-1 KUHP, “Diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah
karena penadahan: barangsiapa membeli, menawarkan, menukar, menerima
gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual,
menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau
menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus
diduga, bahwa diperoleh dari kejahatan.”
Kata-kata “diketahui” menandakan bentuk kesalahan berupa
kesengajaan, sedangkan kata-kata “Sepatutnya diduga” menandakan bentuk
kesalahan berupa kealpaan.26

3. Dwaling (Kekeliruan)

25
Ibid, hlm. 192-193.
26
Ibid, hlm. 193.
Kekeliruan yang dimaksud adalah terdapat kesesuaian antara kehendak
dan pernyataan, namun kehendak salah satu atau kedua pihak terbentuk
secara cacat. Di luar hal tersebut, maka akibat dari kekeliruan harus
ditanggung oleh dan menjadi risiko pihak yang membuatnya.27

Dwaling (Kekeliruan) dibagi menjadi dua yaitu :

1. Error In Persona

Yaitu suatu dwaling, suatu salah paham atau kekeliruan dari pihak
terdakwa terhadap orang yang akan dituju. Jadi salah paham tentang
objeknya perbuatan, umpamanya: Apabila yang akan dibunuh itu A
kemudian dikira telah membunuh A, padahal yang sesungguhnya yang
dianggap itu adalah B.

Dalam keadaan semacam itu dikatakan bahwa terdakwa tidak


mempunyai kesengajaan untuk membunuh B. Walaupun demikian, terdakwa
dapat dipidana, tetapi tergantung dari bunyinya dakwaan. Jika didakwa telah
membunuh B, tidak dapat dipidana, oleh karena memang kesengajaannya
untuk itu tidak ada. Yang ada adalah untuk membunuh A. Seharusnya,
didakwakan telah membunuh orang lain, yang ternyata B. Rumusan Pasal
338 KUHP juga hanya mensyaratkan matinya orang lain (lain daripada
terdakwa).

Jadi error in persona dalam contoh di atas tidak membawa akibat apa-
apa. Lain halnya dengan kualitas objek menjadi unsur delik, misalnya dalam
penghinaan terhadap Kepala Negara. Jika kesalahan orang yang menghina
ditujukan kepada kepala negara, akan tetapi yang dianggap sebagai kepala
negara itu sesungguhnya orang biasa saja, maka error in persona
mempunyai akibat lain. Terdakwa tidak bisa dipidana karena Pasal 134,
tetapi karena pasal yang umum mengenai penghinaan. Demikian pula halnya
kalau orang akan memaki-maki misalnya saudara dari kepala negara, padahal
karena rupanya sama, yang dimaki-maki adalah kepala negaranya sendiri
27
Wibowo Tunardi, “Cacat Pada Kehendak (Wilsgebreken)”,
http://www.jurnalhukum.com/cacat-pada-kehendak-wilsgebreken/, diakses pada tanggal 8
November 2018 pukul 16.48 WIB.
bukan saudaranya. Error in persona ini membawa akibat pula dia tidak
melanggar Pasal 134 tetapi melanggar Pasal 310 atau 315 KUHP.28

2. Aberatio Ictus

Kekeliruan dalam hal ini mempunyai corak lain daripada error in


persona karena orangnya, akan tetapi karena macam-macam sebab
perbuatanya menimbulkan akibat yang berlainan daripada yang di
kehendaki.

Contohnya, misalnya terdakwa akan membunuh A, tetapi karena A tahu


akan hal ini, dia sempat menghindari peluru, yang kemudian mengenai B
atau akan memukul A dengan tongkat, tetapi karena tongkat menyinggung
sesuatu benda, maka yang kena adalah B.

Jadi tidak ada salah paham sama sekali, yang ada ialah bahwa jalannya
kausal menjadi berbeda dengan apa yang dikehendaki. Dalam hal itu
terdakwa bisa dituntut karena percobaan pembunuhan atau percobaan
penganiayaan terhadap A.29

3. Error In Objecto

Error in Objecto pada prinsipnya adalah kesalahan gugatan/ dakwaan


atas objek yang dipermasalahkan (dipersengketakan). Misalnya dalam
perkara Tata Usaha Negara seperti misalnya penggugat akhirnya menggugat
Gubernur DKI Jakarta atas keputusannya yang mengakibatkan tergusurnya
rumah M. Misalnya Surat Keputusan Gubernur tersebut yang memerintahkan
aparatnya untuk melakukan penggusuran adalah SK No. 785, akan tetapi
ternyata yang dipermasalahkan oleh Penggugat adalah SK No. 888, padahal
SK tersebut tidak ada kaitannya dengan penggusuran yang dilakukan. Maka
kesalahan atas objek yang dipersengketakan tersebut disebut dengan Error in
Objecto.30

28
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 209.
29
Ibid, hlm. 210.
30
Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl220/tentang-error-in-persona-
dan-error-in-objecto diakses pada tanggal 8 November 2018 pukul 17.02 WIB.
4. Feitelijke Dwaling (Kesesatan Fakta)

Adalah suatu kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang


tertuju pada salah satu unsur perbuatan pidana. Contohnya, seseorang
menggunakan surat untuk suatu keperluan, tetapi dia tidak mengetahui
bahwa isi surat tersebut tidak sesuai dengan faktanya. Orang ini tidak dapat
dipidana karena menggunakan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (2) KUHP, karena dia tidak mengetahui bahwa surat tersebut
adalah palsu.31

5. Rechtsdwaling (Kesesatan Hukum)

Adalah suatu perbuatan dengan perkiraan hal itu tidak dilarang oleh
undang-undang. Pada dasarnya kesesatan hukum tidak menghapus tuntutan
pidana. Kesesatan hukum dibedakan menjadi kesesatan hukum yang dapat
dimengerti dan kesesatan hukum yang tidak dapat dimengerti. Kedua
kesesatan hukum ini merujuk pada tingkat pengetahuan dan latar belakang
yang objektif dari pelaku.

Contohnya, jika seseorang yang berasal dari pedalaman dan pertama kali
ke kota, kemudian mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm
karena tidak tahu ada peraturan yang mewajibkan penggunaan helm, maka
kesesatan hukum demikian termasuk ke dalam kesesatan hukum yang dapat
dimengerti, dapat tidak dipertanggungjawabkan secara pidana, namun
kesesatan hukum yang dilakukan oleh orang yang berlatar belakang
pendidikan memadai, termasuk ke dalam kesesatan yang tidak dapat
dimengerti dan dapat dijatuhi pidana.32

31
Eddy O.S. Hiariej, Op.Cit, hlm. 170.
32
Ibid, hlm. 171.
Daftar Pustaka

a. Buku Referensi

Farid, Zainal Abidin. 2014. Hukum Pidana I, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Hamzah, Andi. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.

Hiariej, Eddy. 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana Edisi Revisi, Yogyakarta:


Cahaya Atma Pustka.

Moeljatno. 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT. Rineka Cipta.

b. Internet

Hukum Online, https://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl220/tentang-error-


in-persona-dan-error-in-objecto diakses pada tanggal 8 November 2018 pukul
17.02 WIB
Wibowo Tunardi, “Cacat Pada Kehendak (Wilsgebreken)”,
http://www.jurnalhukum.com/cacat-pada-kehendak-wilsgebreken/, diakses
pada tanggal 8 November 2018 pukul 16.48 WIB

Anda mungkin juga menyukai