Anda di halaman 1dari 13

BAB IV

ANALISA TERHADAP KEJAHATAN TERKAIT PASAL 340 KUHP


YANG TIDAK DIJATUHI HUKUMAN MATI

A. Pelaksanaan Hukuman Mati Terhadap Pelaku Tindak Pidana


Pembunuhan Berencana Sudah Tepat Diberlakukan Sesuai
Hukum Pidana Di Indonesia
Pelaku kejahatan pembunuhan berencana sangatlah pantas
diberikan sanksi pidana mati, karena perbuatannya yang telah
menghilangkan nyawa orang lain, mengacu kepada ketentuan
pada Pasal 340 KUHPidana. Dalam putusan Pengadilan Negeri
Nomor 263/Pid.B/2019/PN Bgr pelaku diberi hukuman penjara
selama Sembilan tahun. Yang mana seharusnya pelaku mendapat
sanksi pidana hukuman mati, sesuai tuntutan Penuntut Umum
dalam surat dakwaan yaitu dimasukkan Pasal 340 KUHPidana
dengan hukuman maksimum hukuman mati.
Eksekusi hukuman mati ditentukan oleh Mahkamah Agung
dan atau Kementrian Hukum & Ham sebagai lembaga yang
mempunyai otoritas untuk menentukan waktu dan tempat
pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana. Pelaksanaan
eksekusi mati diatur dalam Undang-Undang No.2/PNPS/1964
Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh
Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum dan Militer.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terutama
rumusan yang mencantumkan “direncanakan” sebagai unsur
tindak pidana, ketentuan pidana dimaksud adalah terdapat dalam
Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal tersebut,
rumusannya sebagai berikut : “Barangsiapa yang dengan sengaja
dan dengan rencana terlebih dahulu merampas jiwa orang lain,
karena melakukan pembunuhan berencana, diancam dengan

58
59

pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau sementara


maksimum dua puluh tahun”.
Delik yang memenuhi unsur "Barangsiapa, dengan sengaja &
rencana terlebih dahulu, Merampas jiwa orang lain" maka
termasuk pembunuhan berencana. Hakekat tindak pidana
pembunuhan berencana adalah memang benar-benar sengaja
merampas nyawa/jiwa orang lain. Unsur sengaja meliputi
tindakannya dan objeknya, yaitu menghendaki hilangnya nyawa
seseorang yang disebabkan tindakannya tersebut.
Mengenai unsur kesengajaan ini ada tiga corak kesengajaan :
(1) kesengajaan sebagai maksud, (2) kesengajaan sebagai
keharusan dan (3) kesengajaan sebagai kemungkinan.
Dalam kesengajaan itu terdapat corak perbuatan yang
dilakukan secara sengaja untuk mencapai tujuan tertentu. Jadi
dalam kesengajaan itu perbuatan yang dilakukan bukan suatu
tujuan, tapi dalam mencapai tujuan tertentu diperlukan ada suatu
perbuatan, itulah yang dikatakan perbuatan tindak pidana secara
sengaja.
Dan apakah yang dimaksud dengan “direncanakan terlebih
dahulu”. Dipandang dengan rencana terlebih dahulu yaitu ketika
pelaku mendapati waktu yang cukup untuk memikirkan,
menimbang-menimbang, dan menentukan waktu, tempat, serta
cara untuk melancarkan aksi tindak pidananya tersebut. Seperti
mempersiapkan alat untuk membunuh target, merencanakan
konsep/alur pembunuhan, dan lain sebagainya. Juga yang
disebut merencanakan terlebih dahulu, pelaku menyadari akibat
setelah melakukan aksi kejahatannya tersebut, sehingga pelaku
berupaya untuk menghilangkan jejak atas tindak pidana yang ia
lakukan, yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang.
60

Yang dimaksud dengan direncanakan terlebih dahulu ialah


adanya jarak waktu antara saat pelaksanaan perbuatan dengan
saat timbulnya kehendak untuk melakukan perbuatan. Berapa
waktu yang diperlukan untuk dapat memikir-mikirkan dan
menimbang-nimbang cara melakukan perbuatan itu adalah relatif.
Disinilah cukup sulit untuk menentukan ada tidaknya unsur
berencana dalam melakukan suatu tindak kejahatan terhadapnya.
Tetapi harus diakui bahwa dalam peristiwa-peristiwa tertentu
unsur berencana ini sangat jelas karena dengan mudah diperoleh
dari fakta-fakta di persidangan melalui keterangan saksi-saksi
atau mungkin dari keterangan pelaku itu sendiri.
Dalam hal ini saksi-saksi memberikan keterangan bahwa
sebelum dilakukannya pembunuhan, beberapa hari sebelumnya
pelaku telah memikirkan cara melakukan perbuatan, tempat
melakukan dan lain sebagainya. Terlebih pula kalau pelaku
sendiri memberi keterangan demikian.
Dalam hal demikian ada kalanya unsur berencana ini nanti
disimpulkan dari fakta-fakta terjadinya peristiwa. Ada suatu kasus
yang dikemukakan sebagai berikut :
Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan Sdr. Daeng
Sanusi Tamnge Alias Dadun bin Dafran Tamnge menghilangkan
nyawa Sdr. Daud Muslim pada putusan Pengadilan Negeri Bogor
Nomor 263/Pid.B/2019/PN Bgr. Kronologis pada kasus tersebut
yaitu bermula ketika terdakwa Daeng mencari Istrinya Jamilah
tidak pulang dari hari Minggu, tanggal 11 Agustus 2019 yang
awalnya izin pergi ke rumah saudara di daeran Bendongan. Dan
pada hari senin tanggal 12 Agustus 2019 anaknya bernama Bismi
Aurora pulang ke rumah diantar Asep, namun tidak bersama
Jamilah. Terdakwa Daeng kebingungan mengapa anaknya saja
yang pulang. Lalu, esok harinya tanggal 13 Agustus 2019 pukul
61

13.00 WIB Terdakwa Daeng dan Asep mencari Jamilah ke pasar


bogor, namun tidak bertemu. Keduanya kembali pulang. Malam
harinya Daeng terus berusaha mencari sang istri seorang diri, dan
pada pukul 21.00 WIB Ia bertemu Jamilah sedang berjalan
sedirian. Setelah itu Daeng menanyakan prihal mengapa istrinya
Jamilah sudah beberapa hari belum pulang kerumah. kemudian
Jamilah menceritakan alasannya, yaitu : "Pada hari minggu
tanggal 11 Agustus 2019 sekitar Pukul 10.00 WIB Jamilah
ditelepon oleh Daud Muslim (Korban) untuk meminjamkan sebesar
Rp. 200.000. Pada saat itu Jamilah diperintahkan untuk datang
ke Kios Pasar Bogor untuk mengantarkan uang tersebut.
Singkatnya, setelah Jamilah sampai dilokasi dan bertemu Daud
Muslim. Jamilah diberi kopi oleh Daud Muslim, dan Jamilah
meminumnya. Setelah meminum kopi, Jamilah merasa pusing,
diantara sadar / tidak sadar. Pada kondisi itu Daud Muslim
menampar pipi kanan & kiri Jamilah, hingga Jamilah jatuh tidak
sadarkan diri. Setelah Jamilah sadarkan diri, ia terkaget melihat
celana levis & celana dalam yang ia gunakan sudah melorot
dibawah dengkul. Paha kanan & kiri banyak sperma. Bibir bawah
luka. Dileher & dada terdapat tanda merah.” Sontak, setelah
mendengar cerita dari Sang Istri, Terdakwa Daeng sangat marah,
dan pulang ke rumah untuk menenangkan diri.
Perasaan marah terdakwa Daeng masih melekat, Ia kemudian
menyiapkan 1 buah pisau sangkur, dan selalu dibawa oleh
terdakwa Daeng untuk menusuk korban Daud Muslim. Untuk
melaksanakan niatnya tersebut, pada hari sabtu tanggal 17
Agustus 2019 terdakwa Daeng berusaha mencari Korban Daud
Muslim ke kios Pasar Bogor, namun tidak bertemu. Selang 6 hari
setelahnya, hari jumat tanggal 23 Agustus 2019. Pukul 17.00 WIB
pergi menuju Pasar Bogor, dan tiba pukul 18.30 WIB. Saat sampai
62

di Pasar, terdakwa Daeng mencari-cari korban hampir 4 jam


lamanya. Kira-kira pukul 23.00 WIB, Terdakwa Daeng bertemu
Korban di Lantai 1, lalu Daeng meminta pertanggung jawaban atas
apa yang dilakukan oleh Daud Muslim. Tetapi Korban Daud
Muslim membantah atas apa pernyataan Terdakwa Daeng. Karena
membantah lantas keduanya terjadi pertengkaran, dan Terdakwa
Daeng menusuk bagian ulu hati korban Daud Muslim sebanyak 1
kali dengan pisau sangkur yang selalu Terdakwa Daeng bawa.
Setelah menusuk korban Daeng kemudian pulang. Dan Korban
dibawa ke RS. Melania Ciawi dan dinyatakan meninggal dunia
pukul 00.28 WIB pada tanggal 24 Agustus 2019, sesuai dengan
Visum Et Repertum No. 023. No. Rekam Medis 15.69.35, dan
Visum Et Repertum No. 098./SK-II/VIII/2019/IKF.
Kasus yang diuraikan di atas dikatakan bahwa pelaku
dipersalahkan melakukan pembunuhan berencana karena istri
pelaku bernama Jamilah diduga diperkosa oleh korban Daud
Muslim, sehingga pelaku amarah dan meluapkan rasa amarah
tersebut dengan menusuk korban ke bagian ulu hati, hingga
tewas. Pada kasus diatas unsur berencana terpenuhi sebagaimana
yang terdapat dalam Pasal 340 KUHPidana. Bahwa pelaku
dinyatakan bersalah telah melakukan tindak pidana pembunuhan
secara berencana dan dibuktikan pada fakta-fakta dalam
persidangan, keterangan saksi-saksi, dan terdakwa.
Dari jalan cerita tersebut jelas terlihat cukupnya waktu bagi
terdakwa untuk berpikir dan menimbang-nimbang pembunuhan
yang akan dilakukan yaitu ketika terdakwa menyiapkan 1 buah
pisau sangkur pada tanggal 13 Agustus 2019 ketika pulang
kerumah setelah bertemu dengan istri Jamilah, dan melakukan
aksinya pada tanggal 23 Agustus 2019. Selang 10 hari dari awal
menyiapkan pisau sangkur, hingga tewasnya korban Daud
63

Muslim. Sekaligus juga terlihat bahwa tidak ada alasan untuk


memandang bahwa kejadian pada kasus diatas merupakan suatu
reaksi spontan karena goncangan jiwa yang disebabkan suatu aksi
dari sang korban. Karena jelas-jelas terdakwa berniat membunuh
korban dengan bukti selalu membawa pisau sangkur yang telah ia
persiapkan.
Pasal 340 KUHPidana dengan adanya unsur sengaja dan
direncanakan terlebih dahulu, maka ancaman hukuman lebih
berat dari pembunuhan biasa pada Pasal 338 KUHPidana.
Ancaman pada pembunuhan biasa padal pasal 338 maksimum
lima belas tahun, sedangkan pembunuhan dengan adanya unsur
direncanakan pada Pasal 340 yaitu maksimum hukuman mati.
Maka sangat layak sanksi pidana hukuman mati diberikan kepada
pelaku kejahatan pembunuhan berencana, karena adanya unsur
direncanakan sebelumnya, dan akibat dari perbuatannya tersebut
hilangnya nyawa seseorang, maka termasuk kategori Extra
Ordinary Crime / kejahatan luar biasa, memberi dampak bagi
kehidupan masyarakat luas.
Apabila dikaitkan dengan peranan subjektifitas hakim dalam
kebebasannya menjatuhkan hukuman antara minimal satu hari
dan maksimal sebagaimana ditentukan dalam rumusan delik. Dan
hakim dalam membuat keputusan suatu perkara dituntut
memiliki kemampuan intelektual, dan harus memiliki moral serta
integritas yang tinggi sehingga dapat mencerminkan rasa keadilan,
menjamin kepastian hukum dan dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat. Pada kasus yang diuraikan di atas dimana untuk
perbuatan pembunuhan berencana, hakim menjatuhkan
hukuman sembilan tahun penjara. Sedangkan akibat dari
perbuatan tersebut jelas menghilangkan nyawa seseorang. Sudah
tentu, kejahatan pembunuhan berencana itu tidak benarkan
64

dengan alasan apapun, walaupun masalah besar menimpa diri


seseorang. Karena perbuatan membunuh yang dilakukan secara
sengaja dan direncanakan itu tidak dibenarkan oleh sistem
hukum positif Indonesia, serta tidak ada satu agama pun yang
membenarkan perbuatan tersebut kecuali dalam keadaan
tertentu. Maka dari itu dipersalahkan orang yang melakukan
kejahatan membunuh dengan sengaja dan pantas diberi sanksi
pidana hukuman mati sesuai ketentuan pada Pasal 340
KUHPidana.
Penyelesaian masalah seyogyanya tidak diselesaikan dengan
masalah baru, tetapi masalah diselesaikan dengan cara-cara yang
baik. Dalam kasus yang diuraikan di atas, walaupun terdakwa
sakit hati karena istrinya sendiri diduga diperkosa oleh korban,
namun hal tersebut bukan suatu pembenaran menjadi alasan
untuk melakukan tindak pidana pembunuhan. Terdakwa tetap
harus menjalani hukuman atas apa yang ia perbuat.
Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa keberadaan dan
pencantuman berencana sebagai unsur delik dalam kejahatan
terhadap nyawa terlebih sebagai alasan pemberatan hukuman
sangatlah tepat. Pemberatan hukuman ini, bukanlah tanpa
tujuan, melainkan berkaitan pula dengan teori-teori
penghukuman.
Makna penghukuman antara lain teori klasik yang
berpendapat bahwa hukuman adalah pembalasan/vergelding
terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, serta
menimbulkan penderitaan pada korban, maka harus diberikan
pula penderitaan yang sama kepada orang yang melakukan
perbuatan jahat. Disamping itu ada teori yang berpendapat bahwa
penghukuman mempunyai tujuan menjerakan/menakutkan satu
pihak agar tidak mengulangi perbuatan kejahatan dan tercegah
65

bagi setiap orang untuk berniat jahat sehingga dalam jiwa masing-
masing orang telah mendapatkan tekanan atas ancaman pidana.
Hal tersebut apabila berjalan dengan baik, akan mempertahankan
ketertiban masyarakat. Sanksi pidana hukuman mati terhadap
pelaku pembunuhan berencana sangat tepat & seimbang, sesuai
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan
Konstitusi Negara Republik Indonesia.
Dari uraian-uraian diatas sehubungan dengan judul skripsi ini
mengenai pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku tindak
pidana pembunuhan berencana, sangatlah bermanfaat lagi jika
dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kejahatan terhadap
nyawa pada zaman sekarang ini, baik dari segi kwantitas maupun
dari segi kwalitasnya.
Oleh sebab itu dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
mendatang, unsur berencana dalam tindak pidana pembunuhan
tetap dipertahankan dan mutlak diberi sanksi pidana hukuman
mati terhadap pelaku kejahatan pembunuhan berencana sebagai
alasan pemberat hukuman, karena termasuk Extra Ordinary
Crime/kejahatan luar biasa, dan sebagai upaya menjaga
ketertiban masyarakat.

B. Pemberian Grasi atau Pengampunan Terhadap Pelaku Tindak


Pidana Pembunuhan Berencana
Pidana mati yang dilaksanakan di Indonesia sampai sekarang
ini relevan untuk diterapkan dan dijatuhkan terhadap pelaku
tindak pidana, dan sanksi pidana tersebut diterapkan terhadap
kejahatan-kejahatan yang berat, diantaranya kejahatan
pembunuhan berencana. Hakim dalam melakukan penilaian atau
pertimbangannya melihat dari unsur motif, motivasi, dan juga
latar belakang dari pelaku dalam melakukan tindak pidana
66

pembunuhan berencana tersebut. Kemudian dalam menjatuhkan


sanksi pidana mati terhadap pelaku tindak pidana yang termasuk
dalam kategori kejahatan yang berat, maka Hakim dalam hal ini
melihat dari sudut pandang yuridis, sosiologis, filosolis dan grasi.
1. Yuridis
Unsur pertama yang harus dilihat adalah mengenai
pertimbangan yang dipandang dari sudut yuridis yang maksudnya
adalah pandangan yang melihat dari ketentuan Undang-Undang
yang berlaku dan sesuai dengan tindak pidana yang telah
dilakukan oleh pembuat tindak pidana. Dan dalam menjatuhkan
putusan tersebut tidak boleh melebihi yang ditentukan didalam
peraturan Perundang-undangan.
2. Sosiologis
Sudut pandang yang kedua pandangan secara sosiologis yaitu
cara pandang yang dilakukan dengan melihat dari latar
belakangnya. Hakim menilai penyebab-penyebab pelaku
melakukan tindak pidana pembunuhan berencana terhadap
korban, berdasarkan bukti-bukti di persidangan.
3. Filosofis
Ketiga pandangan secara filosofis yang memandang tindak
pidana pembunuhan berencana merupakan suatu perbuatan yang
melanggar norma. Dengan kata lain pandangan tersebut yang
disesuaikan dengan cara atau latar belakang hidup dalam
masyarakat yang berkaitan dengan kebudayaan (kultur) dalam
masyarakat. Tentu tindak pidana kejahatan pembunuhan
berencana membuat kehidupan masyarakat Indonesia tidak
tentram dan aman, hal tersebut melanggar konstitusi yaitu
menghilangkan hak untuk hidup dan mempertahankan
kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak
67

mempertahankan hidup dan kehidupannya.” (Pasal 28A UUD


1945).
4. Grasi
Keempat grasi, dalam permohonan grasi, Presiden tentu
mempertimbangkan secara seksama, permohonan grasi terpidana
yang namanya sebagaimana termaksud dalam surat Jaksa Agung,
surat Ketua Mahkamah Agung, surat Menteri Kehakiman.
Terpidana mempunyai hak untuk mengajukan Permohonan Grasi,
karena divonis oleh Pengadilan dengan Hukuman Pidana Mati.
Permohonan grasi terpidana hanya dapat diajukan 1 (satu) kali,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun
2010 Tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2002. Maka
dari itu, hakim pun melihat sudut pandang ini, karena mungkin
saja terpidana bebas dari sanksi pidana mati karena adanya
pengampunan (grasi) dari Presiden. Salah satu macam pemberian
grasi dari Presiden terhadap terpidana hukuman mati yaitu
penghapusan pelaksanaan pidana, hal ini tercantum dalam Pasal
4 ayat (2) point c UU Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.

 Dampak Penerapan Hukuman Mati Terhadap Penegakan


Hukum Di Indonesia
Hukuman mati di Indonesia telah menjadi sistem hukum
Indonesia sejak sebelum kemerdekaan pada tahun 1945, dan
diterapkan atas kasus pembunuhan dengan sengaja dan
berencana. Didalam sistem hukum positif Indonesia ancaman
penjatuhan sanksi Hukuman Mati dimuat dalam serangkaian
tindak kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime), seperti pelanggaran HAM Berat
(Pembunuhan dengan sengaja dan berencana).
68

Seperti kita ketahui dalam konstitusi Indonesia memang


hukuman mati diperkenankan dan stelsel pemidanaan hukum di
Indonesia didalam KUHP Pasal 10 mengenal 4 macam hukuman
yang berlaku dinegara ini yaitu hukuman penjara, hukuman
kurungan, hukuman denda dan hukuman Mati. Berikut dampak
diterapkannya hukuman mati :

1. Dampak terhadap keluarga korban


Penerapan hukuman mati terhadap terpidana merupakan
upaya peyelesaian konflik yang terjadi. Hukuman mati
menyelesaikan masalah hingga benar-benar tuntas, memberikan
rasa puas kepada keluarga korban setelah hakim memutuskan
perkara di persidangan. Tujuan dari dilaksanakannya hukuman
mati juga upaya menghindari kemungkinan bagi pelepasan emosi-
emosi dari keluarga korban yang ditimbulkan oleh aksi sadis
pembunuhan yang dilakukan pelaku.
Negara Indonesia merupakan negara hukum, karenanya
setiap persoalan tindak pidana yang terjadi di masyarakat, hukum
lah menjadi harapan bagi pihak yang dirugikan (korban) untuk
ditegakan seadil-adilnya dan diberikan sanksi yang setimpal
terhadap pelaku. Itulah yang disebut kepastian hukum untuk
menciptakan ketertiban dan merupakan tujuan dari adanya
hukum.
Ekspresi kebahagiaan dari keluarga korban yang disebutkan
diatas hanya tertuju kepada terpidana atas hukuman mati yang
diputuskan oleh hakim. Selebihnya, keluarga korban tetap
menanggung kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan oleh
orang terkasih, yang mana bisa jadi korban ini sosok tulang
punggung keluarga menghidupi segala kebutuhan keluarga. Kasus
kejahatan pembunuhan di Indonesia harus ditangani dengan
69

serius, karena merugikan keluarga korban. Apalagi pembunuhan


yang dilakukan secara sengaja dan direncanakan maka layak
untuk diberikan sanksi terberat hukuman pidana mati sesuai
Pasal 340 KUHPidana.
2. Dampak bagi masyarakat umum
Dengan diterapkannya hukuman mati terhadap kasus
kejahatan pembunuhan berencana, maka akan memberikan kesan
& pesan terhadap masyarakat bahwa tindakan kejahatan yang
dilakukan tersebut merupakan kejahatan yang harus dihindari
karena merugikan diri sendiri, karena diberikannya sanksi pidana
yang berat (hukuman mati) dan merugikan pihak lain,
menghilangkan anggota keluarga korban. Pemberian hukuman
mati terhadap terpidana hendak dicapai untuk pencegahan yang
ditujukan kepada khalayak ramai/kepada semua orang untuk
mempengaruhi tingkah laku agar tidak melakukan tindak pidana.
Apabila setiap orang sadar dan mengerti, bahwa melanggar
peraturan diancam dengan pidana, maka orang itu akan menahan
diri agar tidak berbuat kejahatan. Sanksi pidana yang diberikan
berfungsi mendidik dan memperbaiki.
3. Dampak bagi pembangunan sistem hukum nasional
Dampak terhadap sistem hukum nasional dibentuk dari
kegiatan pembangunan hukum yang mendukung dan
menghasilkan berbagai unsur dari sistem hukum nasional itu
sendiri. Kegiatan pembangunan tersebut, yaitu materi hukum,
aparatur hukum, sarana dan prasarana hukum, budaya hukum,
dan pendidikan hukum.
Dalam pembangunan sistem hukum nasional, diterapkannya
hukuman mati terhadap terpidana sangat relevan karena
hukuman pidana mati akan membangun budaya hukum yang
baik, karena mengatur prilaku sosial masyarakat itu sendiri
70

sebagai tindakan preventif (upaya pencehanan) untuk melakukan


tindak pidana, akibat tekanan sanksi hukum yang diberikan itu
berat. Dan terkait materi hukum, bahwa penerapan dan
pelaksanaan hukuman mati diatur dalam Pasal 340 KUHP dan
Undang-Undang No. 2/PNPS/1964 tentang tata cara pelaksanaan
pidana mati di Indonesia. Juga tak lepas dari dukungan apatur
hukum (penegak hukum) yang amanah, sarana dan prasarana
yang menunjang. Kemudian setelah itu, pendidikan hukum
terhadap masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran hukum masyarakat. Jika masyarakat memiliki
kesadaran hukum, maka masyarakat akan sadar dan taat tentang
hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik dalam
menjalankan hukum yang berlaku. Dengan demikian, tingkat
kejahatan pembunuhan insyaaAllah akan menurun.

Anda mungkin juga menyukai