Anda di halaman 1dari 4

1.

Yurisprudensi
a. Putusan Permohonan Perubahan Status Setelah Mengubah Kelamin Dari
Laki-Laki Menjadi Perempuan
Salah satu contoh yurisprudensi, yaitu penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Barat-Selatan pada 19 November 1973 yang mengabulkan permohonan
seorang warga negara Indonesia bernama Iwan Rubianto Iskandar. Iwan
mengajukan permohonan perubahan status setelah mengubah kelamin dari laki-
laki menjadi perempuan. Ia juga mengubah namanya menjadi Vivian Rubianti
Iskandar. Vivian merupakan orang pertama di Indonesia yang melakukan operasi
ganti kelamin. Putusan majelis hakim yang diketuai Fatimah itu pun menjadi yang
pertama yang berkaitan dengan perubahan status gender.
Pokok perkara yang dimohonkan oleh Iwan Rubianto tersebut merupakan
kasus baru dan tidak diatur oleh undang-undang maupun hukum adat. Dalam
persidangan, Hakim Ketua menyebutkan pertimbangan hukum untuk kasus ini,
yaitu “Setiap orang berhak untuk mengajukan permohonan ke pengadilan
mengenai apa yang diatur dan tidak diatur oleh undang-undang. Dan,
berdasarkan prinsip hukum umum, seseorang mempunyai hak untuk mendapatkan
nasihat hukum mengenai masalah yang timbul dari kehidupan sehari-hari.”
Putusan hakim tersebut kemudian diikuti oleh Pengadilan Negeri
Surabaya dalam kasus Dedi Yuliardi. Dengan merujuk pada kasus Vivian, pada 24
Oktober 1988, Pengadilan Negeri Surabaya mengabulkan permohonan Dedi dan
menyatakan ia sebagai perempuan. Dedi lalu berganti nama menjadi Dorce
Ashadi dan memiliki nama panggung, yakni Dorce Gamalama.
b. Pembatalan/Pemutusan Perjanjian Sepihak dalam Kasus PT Chuhatsu
Indonesia dan PT Tenang Jaya Sejahtera
Dalam praktik, sering dijumpai perkara pembatalan perjanjian secara
sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Para pihak yang telah membuat
dan terikat dalam perjanjian yang sah sesuai dengan syarat sah perjanjian,
hendaknya mematuhi isi dari perjanjian tersebut sampai akhir. Namun, terkadang
sebelum jangka waktu perjanjian berakhir, salah satu pihak dalam perjanjian
tersebut melakukan pembatalan/pemutusan sepihak.
Atas permasalahan hukum yang timbul dari pembatalan perjanjian secara
sepihak, Mahkamah Agung (MA) sudah memiliki pendapat yang konsisten. MA
berpendapat bahwa jika salah satu pihak yang telah mengadakan perjanjian
dengan pihak lain, membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak, maka pihak
yang telah membatalkan perjanjian tersebut secara sepihak telah melakukan
perbuatan melawan hukum. Pendapat MA ini tercantum dalam putusan Nomor
1051 K/Pdt/2014 (PT. Chuhatsu Indonesia vs PT. Tenang Jaya Sejahtera) tanggal
12 November 2014, Dalam putusan tersebut, MA berpendapat “Bahwa
perbuatanTergugat/Pemohon Kasasi yang telah membatalkan perjanjian yang
dibuatnya denganPenggugat/Termohon Kasasi secara sepihak tersebut
dikualifisir sebagaiperbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan Pasal
1338 KUHPerdata, yaituperjanjian tidak dapat ditarik kembali selain denga
kesepakatan kedua belahpihak.”
Putusan ini kemudian diperkuat pada putusan Peninjauan Kembali nomor
580 PK/Pdt/2015. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menegaskan
bahwa penghentian perjanjian secara sepihak merupakan perbuatan melawan
hukum: “Bahwa penghentian Perjanjian Kerjasama secara sepihak tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum, oleh karena itu Tergugat harus
membayar kerugian yang dialami Penggugat.”
Sikap hukum MA tersebut dipertegaskan kembali melalui putusan nomor
28 K/Pdt/2016 (Dicky Rahmat Widodo vs Rista Saragih dan Hotman Sinaga)
tanggal 17 November 2016. Dalam putusan ini Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa sesuai fakta persidangan terbukti Penggugat adalah pelaksana proyek
sesuai dengan Surat Perintah Mulai Kerja yang diterbitkan oleh Tergugat I,
proyek mana dihentikan secara sepihak oleh Para Tergugat, sehingga benar para
Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum.”
Yurisprudensi pada kasus ini yaitu, sikap hukum sebagaimana di atas, di
mana MA berpandangan bahwa pemutusan perjanjian secara sepihak termasuk
dalam perbuatan melawan hukum, telah menjadi yurisprudensi tetap di Mahkamah
Agung. Hal ini dikarenakan Mahkamah Agung telah secara konsisten menerapkan
sikap hukumnya tersebut di seluruh putusan dengan permasalahan serupa sejak
tahun 2014.
2. DOKTRIN
a. Aleksander Peczenik
Peczenik, “The so-called doctrine is of significant importance for legal
reasoning. The word “doctrine” refers first of all to the professional legal writing
in legal dogmatics, whose task is to systematise and interpret valid law”.
Pengertian tersebut menunjukkan doktrin sebagai prinsip terutama prinsip hukum
yang secara luas dianut. Namun, doktrin memiliki pengertian tidak sebatas itu
melainkan juga dengan pengertian yang lebih luas dan mendalam. Berangkat dari
apa yang dikatakan Peczenik, nampak suatu gambaran bahwa doktrin sebagai
teachings dari para ahli hukum yang mana mengelaborasi valid law untuk
diintrepetasi dalam suatu pemikiran yang tersistematisasi.
Doktrin memang sangat erat dengan perannya untuk menginterpretasi
peraturan perundang-undangan. Oleh karena, dalam kasus-kasus tertentu butuh
suatu penjelasan yang membimbing (guidance) terutama ketika hakim dalam
menangani perkara. Agar suatu hal yang berkaitan dengan perkara yang ditangani
jelas dan terang tentunya hakim ‘meminta bantuan’ dari doktrin-doktrin yang
relevan untuk itu. Seperti yang diketahui, dalam hukum terdapat prinsip-prinsip.
Prinsip-prinsip yang cenderung abstrak dalam hukum disistematisasi oleh doktrin
dalam rangka pencapaian suatu pengertian yang lebih jelas. Peranan berikutnya
sebagaimana kutipan di atas merupakan peran yang cukup vital bahwa demi
pengembangan ilmu hukum.
b. Enrico Pattaro
Doktrin sebagai sumber hukum adalah otoritatif. Otoritatif dalam makna
kewibawaan. Doktrin berada pada posisi otoritatif atau memiliki wibawa bagi para
yuris. Doktrin sebagai sumber hukum memiliki sifat otoritatif bagi para yuris.
Bahkan dikatakan tidak hanya bahwa dalam artian bagaimana kualitas
argumentasi (the quality of reason), tetapi juga posisi otoritatif wibawa yang
ditempati para penulis hukum. Sama halnya dengan yang ia katakan ketika
disertasi doktoralnya menjadi otoritatif/berwibawa bersamaan saat ia menjadi
profesor hukum. Kewibawaan doktrin sebagai sumber hukum juga oleh karena
bagaimana doktrin memberikan deskripsi rasional dan ‘memurnikan’ hukum, serta
menjelaskan apa sebenarnya hukum itu. Dengan demikian, doktrin memiliki
wibawa atau otoritatif. Bahwasanya doktrin bukan hanya sekedar sumber hukum,
tetapi doktrin adalah lebih dari itu.
c. Aulis Aarnio
Doktrin dikatakan memilliki karakteristik yang deskriptif dan juga
normatif. Karakter yang deskriptif ialah terletak pada koherensinya pada peraturan
perundang-undangan dan praktek peradilan sedangkan karakter normatif pada
keadilan dan batas kewajaran. Dalam kutipan empiris, doktrin yang dimaksud
bukan ketika menjelaskan suatu peristiwa secara deskriptif seperti halnya pada
ilmu sosial. Karakter yang deskriptif itu diperjelas dengan karakter berikutnya
tersebut yang mana ketika dilihat dari sudut pandang ilmu sosial sangat dibedakan
pengertian secara empiris yang senyatanya dan normatif yang seharusnya. Dengan
demikian, karakteristik tersebut sebetulnya telah menonjolkan batasan dari doktrin
itu sendiri. Selain pada maknanya doktrin-legal doctrine sebagai teachings atau
ajaran dalam rangka membuka cakrawala berpikir (knowledge), sisi yang lain dari
doktrin adalah sebagai sumber hukum. Sumber hukum merupakan landasan
argumentasi, apalagi dalam praktik ajudikasi yang notabene harus memberikan
hasil solutif sejalan dengan hukum. Sumber hukum memberikan batasan mana
yang sesuai dan mana yang ‘offside’ menurut hukum.
Sumber hukum ditempatkan untuk memberikan arena batas dari hukum.
Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri arti pentingnya sumber hukum sebagai
landasan argumentasi khususnya dalam proses ajudikasi. Hakim dalam memutus
suatu perkara tentunya harus memperhatikan landasan argumentasi yang
justifiable. Oleh karena itu, proses legal reasoning merupakan hal yang tak bisa
diabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Aleksander Peczenik. 2003. A Theory of Legal Doctrine. Ratio Juris. Vol. 14 No. 1.

Aulis Aarnio. 2011. Essays on the Doctrinal Study of Law, Springer, Dordrecht.

Enrico Pattaro et.al. 2005. A Treatise of Legal Philosophy and General Jurisprudence.
Scientia Juris, Legal Doctrine as Knowledge of Law and as Source of Law. Vol.4
(1).

Anda mungkin juga menyukai