0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
18 tayangan4 halaman
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim yang konsisten atas peristiwa hukum serupa, dan bukan sekadar rentetan keputusan.
2. Kaidah yurisprudensi adalah alasan penjatuhan putusan hakim yang dapat dijadikan premis dalam pengambilan keputusan serupa di masa depan.
3. Untuk menentukan su
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim yang konsisten atas peristiwa hukum serupa, dan bukan sekadar rentetan keputusan.
2. Kaidah yurisprudensi adalah alasan penjatuhan putusan hakim yang dapat dijadikan premis dalam pengambilan keputusan serupa di masa depan.
3. Untuk menentukan su
Ringkasan dokumen tersebut adalah:
1. Yurisprudensi adalah hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim yang konsisten atas peristiwa hukum serupa, dan bukan sekadar rentetan keputusan.
2. Kaidah yurisprudensi adalah alasan penjatuhan putusan hakim yang dapat dijadikan premis dalam pengambilan keputusan serupa di masa depan.
3. Untuk menentukan su
Istilah ‘yurisprudensi’ diambil dari bahasa Belanda ‘jurisprudentie’ tetapi tampaknya tidak secara persis dapat dialihbahasakan menjadi ‘jurisprudence’ dalam bahasa Inggris. Istilah yang lazim dipakai untuk yurisprudensi dalam kosa kata Inggris adalah judge- made law, case law, precedent, atau precedential decision.Secara harafiah memang yurisprudensi tidak dikenal dalam tradisi common law, namun secara esensial, apa yang dimaksud dengan yurisprudensi dalam tradisi civil law memiliki identifikasi kesamaan maksud dengan doktrin stare decisis dalam tradisi common law. Sebagai suatu pedoman istilah yurisprudensi di Indonesia harus dibedakan dengan istilah Jurisprudence dalam bahasa Inggris yang berarti ilmu hukum. Istilah yurisprudensi dalam pengertian hukum di Indonesia dapat disamakan dengan jurisprudentie di Belanda atau istilah serupa dalam bahasa Perancis yaitu jurisprudence. Menurut Surojo Wignjodipuro, Apeldoorn tidak membenarkan menyebut yurisprudensi sebagai sumber hukum. Biasanya Arrest-Arrest Hoge Raad itu dijadikan pedoman oleh hakim-hakim bawahan sebab ini adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghindari kasasi. Lama kelamaan Arrest Hoge Raad tersebut merupakan hukum objektif. Jadi terang disini berdasarkan kebiasaan dianggap sebagai keyakinan hukum umum. Jadi jelas bukan merupakan sumber hukum tersendiri11. Berbeda dengan itu, Bellefroid tidak dapat membenarkan pendapat Apeldoorn. Bellefroid mengatakan bukan kebiasaan sebab tidak timbul karena kebiasaan tetapi didesak atau terdesak (takut di kasasi) dari atas. Seorang hakim tidak terikat oleh keputusan hakim lain. Apabila terjadi bahwa keputusan suatu hakim senantiasa dijadikan pedoman keputusan hakim-hakim lain terhadap peristiwa hukum tertentu yang sama, maka lahir hukum yang berlaku umum yang disebut Hukum Yurisprudensi. Mahadi menguraikan arti yurisprudensi bukan keputusan-keputusan hakim, bukan pula sebagai “rentetan-rentetan” keputusan, melainkan hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim. Mahadi menyatakan umumnya yusrisprudensi dimaksudkan sebagai rentetan keputusan-keputusan hakim yang sama bunyinya tentang masalah yang serupa. Lebih lanjut ia menyamakan yurisprudensi dengan istilah “ijma” dalam hukum Islam18. Sebagaimana dikemukakan Juynboll (1930), “ijma” yaitu “de overeenstemmende meening van alle in zaker tijdperk levende moslimssche geleerden”, yang artinya pendapat yang bersamaan di antara para ahli yang ada pada suatu masa19. Surojo Wignjodipuro yang menyatakan jika putusan hakim terhadap persoalan hukum tertentu menjadi dasar keputusan hakim-hakim lain, sehingga keputusan ini menjelma menjadi putusan hakim yang tetap terhadap persoalan/peristiwa hukum tertentu dimaksud, maka hukum yang termuat di dalam keputusan semacam itu dinamakan hukum yurisprudensi. Yurisprudensi sekalipun memiliki fungsi yang penting namun tidak memiliki kedudukan hukum yang jelas di Indonesia, baik dalam tataran teori dan praktik. Bismar Siregar mengemukakan meskipun secara historis Indonesia mempunyai kedekatan keluarga dengan sistem hukum civil law melalui jaman penjajahan Belanda, namun belum ada pengertian baku mengenai apakah yang dimaksud dengan yurisprudensi itu.1 Sebagai suatu wujud penemuan hukum, dasar yang biasa dijadikan rujukan bagi lahirnya yurisprudensi adalah Pasal 5 ayat (1) UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan 1 Bismar Siregar, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, (Jakarta: Rajawali, 1986), hlm. 19. memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Maksud yang terkandung dari pasal itu adalah agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berkaitan dengan asas iura curia novit. Made Darma Weda menyatakan ada beberapa persyaratan untuk dapat dikatakan sebagai yurisprudensi, yaitu: (a) Putusan atas peristiwa hukum yang belum jelas peraturannya; (b) Putusan telah berkekuatan hukum tetap; (c) Putusan berulang kali dijadikan dasar hukum untuk memutus perkara sama; (d) Putusan telah memenuhi rasa keadilan masyarakat; (e) Putusan telah dibenarkan oleh MA.2 2. Kaidah Hukum Yurisprudensi Dalam terminologi leksikal, kaidah yurisprudensi ini termasuk dalam ratio decidendi, yaitu alasan penjatuhan putusan (the rationale for the decision). Di Indonesia, istilah ratio decidendi memang tidak cukup populer digunakan.Biasanya kita memakai terminologi lain yang agak mirip dengan itu, yakni kaidah yurisprudensi. Pengertian ratio decidendi atau pertimbangan hakim adalah argument/alasan hakim yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Ratio decidendi Hakim dapat diartikan sebagai pikiran hakim yang menentukan seorang Hakim membuat amar putusan.3 Pada umumnya, fungsi ratio decidendi atau legal reasoning, adalah sebagai sarana mempresentasikan pokok-pokok pemikiran tentang problematika konflik hukum antara seseorang dengan orang lainnya, atau antara masyarakat dengan pemerintah terhadap kasus-kasus yang menjadi kontroversi atau kontraproduktif untuk menjadi replika dan duplika percontohan, terutama menyangkut baik dan buruknya sistem penerapan dan penegakan hukum, sikap tindak aparatur hukum, dan lembaga peradilan.4 Apabila suatu putusan sudah diklaim atau diberi label sebagaiyurisprudensi, maka harus ada kaidah yurisprudensi yang bisa ditarik dari putusan tersebut. Kaidah ini harus dapat diformulasikan sebagai proposisi dan di kemudianhari akan menjadi premis mayor saat hakim menerapkannya dalam pengambilankesimpulan. Boleh jadi, proposisi yang dimaksud tidak benar-benar secara eksplisittertuang di dalam putusan tadi, namun seperti apapun cara hakimmencantumkannya, proposisi ini tetap dapat diangkat dan diformulasikan kembalisebagai sebuah premis. Karakteristik yurisprudensi dalam literatur sistem civil law terbilang unik. Ia berasal dari putusan-putusan hakim yang berkarakter kasuistis, individual, dan konket (in concreto). Hakim-hakim dalam keluarga sistem ini sejak lama diajarkan untuk tidak menjadikan putusan konkret itu sebagai sebuah aturan umum. Kaidah yurisprudensi sebagai formulasi atas hasil penemuan hukum termasuk dalam kriteria ratio decidendi. Kaidah yurisprudensi terkadang tidak secara sadar dirumuskan dan baru terpikirkan kemudian oleh orang lain yang membaca putusan itu di kemudian hari. Hanya saja, tidak mungkin ada hakim yang beritikad baik bersedia menyembunyikan ratio decidendi dalam putusannya. 2 Edward Simarmata, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Laporan Penelitian, Jakarta: Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010, h.117 3 Yan Pramadya Puspa, dalam Mochammad Alfi Muzakki, 2011, “Ratio Decidendi Hakim Ma Dalam Menerima Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Perkara Pemalsuan Surat (Analisis TerhadapPutusan MA Nomor 41 PK/PID/2009 dan Putusan MA Nomor 183 PK/Pid/2010)”, Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, hlm. 9. 4 Abraham Amos H.F. “Legal Opinion Teorities & Empirisme” PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 34. Dalam sistem hukum Indonesia yang tidak mengenal asas preseden yang mengikat,maka hakim-hakimnya sangat perlu untuk lebih cermat dalam memilih danmemilah putusan- putusan terdahulu, yang notabene telah diklaim sebagaiyurisprudensi. Mereka perlu mencari ratio decidendi dari suatu putusan hakimyang berlabel yurisprudensi itu, dengan menelaah fakta material yang terjadi padaperkara terdahulu dan membandingkannya dengan fakta dari kasus yang tengahdihadapinya. mereka tidak disarankan untuk langsung mengutip kaidahyurisprudensi tanpa terlebih dulu memahami fakta-fakta material ini. Jika itudilakukan, berarti mereka sudah masuk ke dimensi preskriptif tanpa melewatidimensi deskriptif dari putusan tersebut. Dan, patut juga diperhatikan bahwakaidah yurisprudensi pada hakikatnya adalah kaidah penemuan hukum. Tidaklayak suatu putusan disebut sebagai yurisprudensi apabila di dalamnya tidak dapat dilacak adanya penemuan hukum, baik yang memberi tafsir baru (melaluiinterpretasi di luar tafsir gramatikal) atau menetapkan norma baru (melaluikonstruksi), yang berbeda dengan ketentuan dari berbagai sumber hukum yangsudah berlaku saat ini. Kaidah yurisprudensi pada hakikatnya mengandung penemuan hukum baru yang lahir melalui terobosan terhadap ketidaklengkapan atau ketiadaan sumber-sumber formal hukum. Lazimnya, kaidah yurisprudensi yang memiliki nilai tambah bagi khazanah sumber-sumber formal hukum adalah kaidah yang memperluas makna, bukan mempersempit makna.Dari keempat proposisi di atas, tampak bahwa tidak ada satupun yang mengandung penemuan hukum baru, sekaligus juga memperluas makna sebuah konsep hukum. Ada tiga proposisi yang layak untuk diidentifikasi sebagai kaidah yurisprudensi tersebut. 1. Semua perbuatan yang dilakukan sebelum dilarang oleh peraturan perundangundangan adalah tindakan di luar objek pemidanaan. 2. Semua pelanggaran izin usaha yang bebas dari ancaman pemidanaan adalah bentuk tindakan yang berada di luar hukum pidana.. 3. Semua bentuk pengecualian pemidanaan terhadap seorang pelaku pidana yang perbuatannya dilakukan bersama-sama dengan pelaku lainnya adalah putusan yang inkonsisten dan bertentangan dengan keadilan. Silogisme terakhir yang dapat diajukan sebagai ratio decidendi adalah terkait dengan rasa keadilan yang dicerna oleh majelis hakim. Abraham Amos H.F., Legal Opinion Teorities & Empirisme, PT. Grafindo Persada, 2007 Mochammad Alfi Muzakki, Ratio Decidendi Hakim MA Dalam Menerima Permohonan Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Perkara Pemalsuan Surat (Analisis TerhadapPutusan MA Nomor 41 PK/PID/2009 dan Putusan MA Nomor 183 PK/Pid/2010), Artikel Ilmiah, Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, Malang, 2011
Shidarta.2006. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung:
Utomo Simarmata, Edward. 2010, Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi Untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan, Laporan Penelitian, Jakarta: Puslitbang Hukum Dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Siregar, Bismar, 1986, Keadilan Hukum dalam Berbagai Aspek Hukum Nasional, Jakarta: Rajawali. https://www.researchgate.net/publication/ 354694002_Ratio_Decidendi_dan_Kaidah_Yurisprudensi