Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

BENTUK KONKRET DARI PENALARAN HUKUM DILIHAT DARI


PERSPEKTIF SILOGISME (INFERENSI DEDUKTIF)

Logika Hukum

Dosen Pengampuh Mata Kuliah:

Dr. Dudung Indra Ariska, SH., MH.

Dede Kurniasih

742010120101

ROMBEL 1A

UNIVERSITAS WIRALODRA

FAKULTAS HUKUM

INDRAMAYU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan


kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya
lah penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Bentuk Konkret Dari Penalaran
Hukum Dilihat Dari Prefektif Silogisme (Inferensi Deduktif) tepat waktu.

Makalah Bentuk Konkret Dari Penalaran Hukum Dilihat Dari Prefektif Silogisme
(Inferensi Deduktif) disusun guna memenuhi tugas Dr. Dudung Indra Ariska, SH., MH.
pada mata kuliah logika hukum di Universitas Wiralodra.

Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Dudung Indra


Ariska, SH., MH.selaku dosen mata kuliah hukum. Tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga
mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan
makalah ini.

Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
ABSTRAK

Dewasa ini pemahaman dan pengetahuan tentang logika, penalaran, dan


argumentasi hukum semakin dibutuhkan tidak hanya bagi kalangan akademisi dalam
bidang filsafat dan hukum melainkan terutama bagi para praktisi hukum seperti polisi,
hakim, jaksa, pengacara, bahkan seluruh anggota masyarakat yang setiap hari berhadapan
dengan persoalan-persoalan hukum. Sebagai bagian dari penalaran pada umumnya,
penalaran hukum, meskipun memiliki sejumlah karakteristik yang berbeda, terikat pada
kaidah-kaidah penalaran yang tepat seperti hukum-hukum berpikir, hukum-hukum
silogisme, ketentuan tentang probabilitas induksi, dan kesesatan informal penalaran. Maka
penalaran hukum bukahlah jenis penalaran yang berbeda dan terpisah dari logika sebagai
ilmu tentang bagaimana berpikir secara tepat (sebagai salah satu cabang filsafat) melainkan
bagaimana menerapkan kaidah-kaidah berpikir menurut ketentuan logika dalam bidang
hukum. Artikel ini membahas kaidah-kaidah berpikir silogisme dan induksi. Aplikasi
penalaran deduktif dan induksif dalam hukum dengan model IRAC (Issue, Rule, Argument,
dan Conclusion) akan mengakhiri artikel ini.
Kata Kunci: Logika, Penalaran, Deduksi, Induksi, Penalaran Hukum dan Argumentasi.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dewasa ini, dalam wacana publik, khazanah intelektual, dan praktik hukum di tanah
air, peran logika dan penalaran hukum dalam studi hukum semakin diperhitungkan. Banyak
pemikir menyatakan bahwa untuk menjadi lawyer, hakim, jaksa, atau praktisi hukum yang
handal, pemahaman terhadap logika, penalaran hukum, dan argumentasi hukum merupakan
syarat mutlak yang tak bisa ditawar-tawar. Karena logika, penalaran hukum, dan
argumentasi hukum membekali para mahasiswa hukum, pekerja hukum, dan praktisi
hukum dengan kemampuan berpikir kritis dan argumentatif dalam memahami prinsip,
asumsi, aturan, proposisi, dan praktik hukum. Hanson dalam buku Legal Method, Skills,
and Reasoning,1menyatakan bahwa studi hukum secara kritis dari sudut pandang logika,
penalaran hukum, dan argumentasi hukum dibutuhkan karena pemahaman hukum dari
perspektif semacam ini berusaha menemukan, mengungkap, menguji akurasi, dan
menjustifikasi asumsi-asumsi atau makna-makna yang tersembunyi dalam peraturan atau
ketentun hukum yang ada berdasarkan kemampuan rasio (akal budi) manusia. Kemampuan
semacam ini tidak hanya dibutuhkan bagi mereka yang berkecimpung dalam bidang hukum
melainkan juga dalam seluruh bidang ilmu dan pengetahuan lain di luar hukum. Harus
diakui bahwa konsep, pemahaman, dan studi tentang logika, penalaran, dan argumentasi
hukum meskipun sering didiskusikan dalam hukum tetapi jarang dijelaskan, dielaborasi,
dan ditelaah secara memadai. Mahasiswa hukum sering dituntut untuk berpikir seperti
seorang ahli hukum, “to think like a lawyer”. Mereka diharapkan kelak mampu
menganalisis kasus hukum melalui medium penalaran hukum dalam kasus-kasus hukum
entah dalam wilayah publik, akademik, atau pengadilan. Di samping itu mahasiswa pun
diharapkan mampu memahami secara kritis, rasional, dan argumentatif teori, rumusan
undang-undang, opini, maupun pendapat hukum. Tidak dapat disangkal bahwa logika dan
penalaran hukum (legal reasoning) sering ditolak. Sebagian pendapat menyatakan bahwa
hukum berurusan dengandata, fakta, atau pengalaman praktis dan bukan pemikiran abstrak,
rasional ataulogis. Penalaran hukum lalu dianggap tidak perlu diajarkan kepada mereka
yang mempelajari hukum karena tidak “membumi”. Hukum harus dipelajari melalui
pengalaman konkret saja.Tentu saja anggapan ini tidak memadai. Kalau ingin jujur, hukum
sebagai “aturan tentang bagaimana orang seharusnya bertindak” adalah sebuah rumusan
“abstrak” tentang tindakan dan bukanlah tindakan itu sendiri. Perumusan aturan hukum
tidak lain dari upaya mengeksplisitasi atau mewujud nyatakan gagasan atau prinsip hidup
yang abstrak dalam norma kehidupan real. Tidak berlebihan untuk menyatakan bahwa
hukum sebagian bersumber dari prinsip hidup ideal. Tak dapat disangkal bahwa logika
murni (pure logic), logika formal, atau logika simbolik, sangat bolehjadi cukup “abstrak-
ideal” dan mungkin memiliki peran terbatas dalam merumuskan atau menganalisis putusan-
putusan pengadilan, mencermati aturan-aturan hukum, memetakan opini dan pendapat
hukum. Tetapi logika dasar seperti penyimpulan langsung, deduksi dan induksi, kesesatan
berpikir merupakan alat berpikir yang dapat digunakan untuk memperoleh kebenaran
hukum yang semakin bisa dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah. Pembelaan
paling persuasif atau pertimbangan hakim dalam menangani perkara di pengadilan sangat
boleh jadi tidak selalu merupakan argumen yang paling logis. Tetapi, apa pun alasannya,
seorang pembela, jaksa, atau hakim perlu mengungkapkan alasan-alasan dan pertimbangan-
pertimbangan yang rasional tentang pilihan argumen, pendapat, atau putusan hukum
tertentu. Maka berasumsi bahwa logika tidak selalu merupakan basis primer bagi putusan
hukum (legal decision) dan logika seharusnya tidak boleh berperan sebagai sarana
justifikasi (justification) kebenaran hukum, bukanlah sebuah argumen yang memadai.
Karena proses berargumentasi itu tidak lain dari proses menjustifikasi. Dalam konteks
itulah studi dan penelitian literer terhadap Logika, Penalaran, dan Argumentasi Hukum
tidak hanya semakin diperlukan melainkan juga selalu relevan. Karena studi tentang logika,
penalaran, dan argumentasi hukum tidak lain dari upaya menjelaskan kriteria-kriteria logis
mana yang dapat digunakan untuk menentukan suatu aturan, argumen, pendapat, atau
putusan hukum baik atau buruk, benar atau salah, dapat diterima atau harus ditolak.
BAB II
PEMBAHASAN

Argumentasi hukum adalah nama lain untuk penalaran hukum (legal reasoning).
Aktivitas penalaran hukum tentu tidak hanya dilakukan oleh hakim karena suatu kasus yang
dibawa ke persidangan adalah kasus yang telah melewati prosedur cukup panjang. Dalam
proses menuju ke tahap persidangan ini ada begitu banyak pihak yang ikut menstrukturkan
fakta yang terjadi, lalu menghubungkan struktur fakta itu dengan struktur norma
hukumnya, agar peristiwa konkret itu dapat dikualifikasikan sebagai peristiwa hukum.
Puncak dari proses penalaran hukum ini memang ada pada penalaran hukum yang dibuat
oleh hakim di dalam putusannya, sehingga tidak mengherankan apabila legal reasoning
kerap diidentikkan dengan judicial reasoning.
Bentuk konkret dari penalaran hukum dapat dilihat dari silogisme (inferensi
deduktif) yang bertitik tolak dari premis mayor, premis minor, dan konklusi. Premis mayor
biasanya diambil dari peraturan perundang-undangan atau sumber hukum lain yang
otoritatif. Pemilihan sumber hukum ini sesungguhnya tidak datang begitu saja. Pilihan itu
ditentukan secara sadar mengikuti faktanya. Jadi, faktalah yang menentukan hukumnya (ius
in causa positium).
Tatkala suatu norma hukum distrukturkan dan dijadikan sebagai premis mayor,
struktur itu sendiri merupa kan sebuah proposisi. Di dalam proposisi ada konsep-konsep
hukum yang dijalin. Ilmu hukum dogmatis (dogmatika hukum) kerap mengajarkan bahwa
proposisi ini sudah tersedia di dalam hukum positif. Dalam kenyataannya, tidak selalu
demikian! Hukum positif terkadang hanya menyediakan sebutan konsep-konsep hukum,
tetapi tidak sampai memberikan definisi yang tegas, apalagi sampai membangun proposisi
yang jelas untuk konsep-konsep itu. Padahal, proposisi pada sebuah premis mayor adalah
proposisi yang paling menentukan di dalam sebuah silogisme. Sebab silogisme adalah
proses benalar dengan sistem logika tertutup (closed logical system), yang tunduk pada
dalil-dalil yang dikenal di dalam silogisme.
Setiap putusan terdiri dari banyak silogisme. Banyaknya silogisme yang dibangun
sangat bergantung dari seberapa banyak unsur-unsur yang harus dibuktikan
keterpenuhannya oleh hakim. Misalnya, di dalam berbagai pasal ada kata “barangsiapa”
(dewasa ini digunakan nomenklatur “setiap orang”). Kata “barangsiapa” ini pada
hakikatnya merupakan sebuah konsep hukum, yang termasuk dalam subjek norma. Subjek
norma adalah unsur norma yang harus, bahkan pertama-tama dibuktikan keterpenuhannya.
Misalnya, kita ingin mencari jawaban apakah seorang pelaku bernama “X” dalam tindak
pidana pada Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah memenuhi unsur
“barangsiapa”. Untuk itu, sekalipun tidak secara eksplisit dan rigid dirumuskan di dalam
suatu putusan, akan terkandung di dalamnya struktur yang menunjukkan silogisme yang
pada akhirnya menyimpulkan bahwa “X” adalah “barangsiapa” dalam perkara itu atau
bukan “barangsiapa”. Kesimpulan itu sangat bergantung pada seperti apa rumusan
proposisi yang dibangun dalam premis mayor.
Premis Subjek hukum yang mampu dimintakan pertanggungjawaban secara
mayor hukum mengemban hak dan kewajiban adalah “barangsiapa”
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156a KUHP.

Premis Terdakwa “X” adalah subjek hukum yang mampu dimintakan


minor pertanggungjawaban secara hukum mengemban hak dan kewajiban.
Konklus Terdakwa “X” adalah “barangsiapa” sebagaimana dimaksud dalam
i Pasal 156a KUHP.

Hukum positif terkadang hanya menyajikan nomenklatur konsep hukum saja.


Misalnya, dalam contoh di atas adalah konsep “barangsiapa”, tetapi apa makna dari
“barangsiapa” ini harus harus dibangun oleh si penalar hukum. Konsep “barangsiapa” ini
perlu didefinisikan dan dibentuk menjadi sebuah proposisi. Redaksional dari proposisi ini
terkadang dapat ditemukan di dalam produk hukum positif (antara lain di dalam ketentuan
umum sebuah peraturan perundang-undangan), tetapi sangat mungkin juga harus
didatangkan melalui bantuan doktrin-doktrin hukum.
Oleh karena hukum berkembang sangat dinamis, maka ada kemungkinan pula
pembentuk hukum memang sengaja tidak membuat definisi konseptual atas suatu unsur di
dalam norma. Pasal-pasal tentang pelanggaran kesusilaan di dalam KUHP adalah contoh
yang klasik untuk disebutkan di sini. Apa yang dimaksud dengan ‘pelanggaran kesusilaan’
tampak sengaja dibiarkan “mengambang” sesuai dengan persepsi yang hidup di tengah-
tengah masyarakat. Tentu saja, model perumusan norma seperti ini mengandung dan
mengundang bahaya karena membuat para penalar hukum sangat bergantung pada persepsi
sosiologis yang ada di lapangan. Persepsi ini menjadi sangat subjektif karena pelanggaran
kesusilaan bagi suatu golongan masyarakat, belum tentu dipersepsikan sama oleh golongan
masyarakat lainnya. Apalagi jika pelaku yang diduga melanggar pasal tersebut adalah figur
yang menarik perhatian publik, maka dapat dipastikan gaung dari kasus ini akan lebih
berdampak sosial dan politis daripada pelakunya adalah orang-orang biasa yang tidak
mendapat sorotan publik.
Pasal lain dalam KUHP yang termasuk dalam kategori ini adalah Pasal 156a. Pasal
ini, sebagaimana akan dibahas dalam tulisan singkat ini, dimasukkan dalam sistematika
KUHP pada Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Apabila rumusan norma
di dalam Pasal 156a KUHP ini distrukturkan, dan kemudian dihubungkan dengan contoh-
contoh kasus yang telah diputuskan oleh pengadilan, akan terlihat bahwa beberapa unsur
normanya memang tidak berpijak dari definisi konseptual yang tegas.
Pasal tentang Penodaan Agama
Pasal yang digunakan dalam penuntutan kasus-kasus penodaan agama selama ini
adalah Pasal 156a KUHP, sebuah pasal yang baru disisipkan ke dalam kodifikasi itu 20
tahun setelah Indonesia merdeka, melalui Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965.
Pasal 156a KUHP ini selengkapnya berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan
sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: (a) yang pada
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang
dianut di Indonesia; (b) dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun
juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Jika dianalisis, maka Pasal 156a tersebut terdiri dari norma sekunder, yang
diletakkan pada awal pasal, baru kemudian diikuti dengan norma primer. Akibat hukum
atau ancaman sanksi yang dikenakan terhadap perbuatan ini adalah pidana penjara selama-
lamanya lima tahun. Rumusan ini merupakan norma sekunder, yang berarti baru muncul
apabila unsur-unsur di dalam norma primer terpenuhi. Norma primernya sendiri terdiri dari
unsur-unsur sebagai berikut:
Subjek Barangsiapa;
norma
Operator dilarang;
norma
Objek mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;
norma
Kondisi dengan sengaja, di muka umum;
norma
umum
Kondisi perasaan/perbuatan itu pada pokoknya bersifat permusuhan,
norma penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
khusus Indonesia;
(a)
Kondisi perasaan/perbuatan itu dengan maksud agar supaya orang tidak
norma menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang
khusus Maha Esa.
(b)

Putusan hakim biasanya cenderung untuk langsung membangun silogisme terhadap


unsur demi unsur di atas, walaupun tidak semuanya dilakukan secara berurutan.
Subjek Norma
Unsur subjek norma ini diwakili oleh kata “barangsiapa”. Unsur ini merupakan
sasaran dari norma itu (normaddressaat). Biasanya, unsur ini dimaknai sebagai pelaku
individu yang dijadikan sebagai terdakwa, kendali Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun
1965 sebenarnya memungkinkan ada subjek lain, yaitu organisasi, untuk juga dijadikan
subjek norma. Apabila Pasal 156a KUHP ini dibaca sebagai ketentuan yang identik dengan
Pasal 4 Penetapan Presiden No. 1/PNPS Tahun 1965, maka unsur ini memungkinkan untuk
diperluas cakupannya, sehingga meliputi orang perseorangan dan organisasi/badan.
Operator Norma
Operator norma kerap disebut sebagai modus perilaku (modus van behoren). Dalam
sistem hukum yang mengikuti tradisi hukum Barat, operator norma yang umum adalah
perintah dan larangan. Operator lain adalah kebolehan, yang dibedakan menjadi kebolehan
untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang, disebut izin; dan kebolehan untuk
tidak melakukan sesuatu yang secara uum diperintahkan, yang disebut dispensasi. Dalam
rumusan Pasal 156a KUHP, sangat jelas bahwa ada perilaku yang diancam dengan sanksi
pidana, sehingga berarti perilaku itu bermoduskan larangan.
Objek Norma
Oleh karena ilmu hukum dogmatis adalah ilmu yang berkenaan dengan aturan
manusia berperilaku, maka objek norma (normgedrag) adalah formulasi perilaku.
Formulasi perilaku yang dimaksud adalah: “mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan.” Ada uraian tambahan dari perilaku “mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan” ini, yang sebenarnya masuk ke dalam kategori berikutnya dari analisis struktur
norma, yakni kondisi norma (normconditie). Jadi, kondisi norma di sini sebenarnya adalah
kondisi yang memperjelas objek norma.

Kondisi Norma
Kondisi norma dalam Pasal 156a KUHP dirumuskan dalam dua kriteria. Ada
kondisi norma yang secara umum berlaku untuk semua perilaku yang dimaksud dalam
pasal ini. Kondisi itu adalah: “dengan sengaja” dan “di muka umum”.
Di samping itu, ada kondisi yang secara spesifik dibedakan untuk perilaku Pasal
156a huruf a dan Pasal 156a huruf b. Artinya, selain kondisi norma yang umum itu,
masing-masing ada kondisi tambahan yang dipersyaratkan, bergantung pada huruf a atau
huruf b yang dikenakan atas tuntutan perbuatan pidana tersebut.
Penerapan pada Beberapa Putusan
Ada fenomena menarik yang dapat diamati dari putusan-putusan pidana terkait
Pasal 156a KUHP. Titik krusial dari argumentasi hukum yang diperagakan oleh hakim,
terletak pada unsur objek norma dan kondisi norma. Para hakim tidak mengalami kesulitan
ketika membuat argumentasi untuk subjek norma dan operator norma.
Tatkala harus mensilogismekan unsur “barangsiapa”, hakim biasanya cukup
berangkat dari pengertian bahwa setiap penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum)
adalah “barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP. Dengan demikian, di fulan yang menjadi
terdakwa di dalam suatu kasus adalah penyandang hak dan kewajiban (subjek hukum),
sehingga si fulan tersebut adalah “barangsiapa” menurut Pasal 156a KUHP.
Dalam rumusan Pasal 156a KUHP, kondisi norma “dengan sengaja” dan “di muka
umum” ditaruh pada bagian berikutnya setelah kata “barangsiapa”. Oleh sebab itu, banyak
putusan hakim yang membuat pertimbangan untuk mensilogismekan bagian ini terlebih
dulu sebelum masuk ke objek norma.
Pada bagian kondisi norma yang umum ini, relatif juga tidak banyak kendala
ditemui. Frasa kata “dengan sengaja” selama ini sudah dimaknai secara cukup luas oleh
para hakim sebagai “kesadaran penuh dan keinsyafan (pemahaman) tentang perbuatan dan
apa akibatnya” (willen en wetten). Ditemukan ada satu putusan yang menggarisbawahi
bahwa “kesengajaan” di sini dimaknai secara luas mencakup ketiga gradasi kesengajaan,
yaitu kesengajaan sebagai maksud (oogmerk), kesengajaan dengan kesadaran pasti atau
keharusan (opzet bij zekerheids of nood zekelijkheids bewustzijn), dan kesengajaan dengan
menyadari kemungkinan (dolus evantualis). Para hakim biasanya akan mulai dari premis
mayor ini untuk menetapkan silogisme yang dibangunnya guna menentukan terpenuhinya
kondisi ini.
Frasa lain dari kondisi norma berikutnya adalah “di muka umum”. Pada frasa ini
tidak semua putusan hakim terkait Pasal 156a KUHP berusaha terlebih dulu memaparkan
definisi konseptual tentang makna “di muka umum”. Untuk menghindari perumusan
tersebut, maka hakim biasanya akan langsung masuk ke fakta, dengan menunjukkan bahwa
terdakwa sudah mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatannya itu di hadapan
beberapa orang.
Kesulitan terbesar ada pada saat hakim masuk ke dalam unsur kondisi norma huruf
a dan huruf b, yaitu tentang: “perasaan/perbuatan itu pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia” dan ”
perasaan/perbuatan itu dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun
juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Mari kita cermati beberapa putusan dari beberapa kasus berikut:
Nomor putusan Terdakwa Pertimbangan hakim terkait unsur
“perasaan/perbuatan yang pada
pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia”
3/Pid.B/2012/PN.Klt Andreas Ajaran yang menyatakan saat ini ada
(kasus:Amanat Guntur wahyu selain yang disampaikan Allah
Keagungan Ilahi) Wisnu kepada Nabi SAW sebagai nabi
Sarsono terakhir adalah penodaan terhadap
agama Islam sebagai salah satu agama
yang dianut di Indonesia
Praktik pengobatan dengan membawa
nama dan ajaran AKI yang
berdasarkan pertimbangan di atas
adalah perbuatan penyalahgunaan
agama Islam sekaligus permusuhan
terhadap umat/pemeluk agama Islam.
Poster yang terkandung simbol-
simbol agama Islam dan mengesankan
seakan-akan seperti firman Allah
merupakan tindakan menyesatkan dan
menodai agama/kitab suci umat Islam.
Tindakan menyebarkan ajaran AKI
dengan sengaja memasang poster
ajaran AKI adalah perbuatan yang
bersifat permusuhan terhadap agama
Islam sebagai salah satu agama yang
diakui di Indonesia.
06/Pid.B/2011/PN.Tm Antonius Penyebaran buku-buku dan borsur ke
g Ricmond rumah warga yang berisi pernyataan
Bawengan bahwa bangsa dan agama Arabi
memiliki karakter yang ganas dan
penuh tipu; serta setiap penganut
Muhammad sudah ditetapkan
mendatangi neraka, adalah
menyimpang dari agama Islam serta
penuh dengan penistaan dan
penghinaan terhadap agama Islam.
Penyebaran buku-buku dan brosur
tersebut kepada umat Islam
merupakan upaya adu domba
sehingga mengakibatkan permusuhan
antar-umat beragama, mengancam
keutuhan NKRI, serta melakukan
perbuatan permusuhan terahdap
agama ayang dianut di Indonesia,
yakni agama Islam.
31/Pid.B/2016/Pn.Skg Makmur Mengeluarkan perasaan adalah
bin Amir pengucapan, melalui kata atau
kalimat, atau dapat pula dengan
tulisan (dalam hal ini dilakukan dalam
bentuk selebaran yang pada pokoknya
mengatakan Allah sebagai teroris dan
perbuatan Nabi Muhammad SAW
memperisterikan banyak jada sebagai
perbuatan najis yang tidak layak
disandingkan dengan Allah SWT
dalam dua kalimat syahadat).
Melakukan perbuatan adalah perilaku
bersifat fisik, dengan wujud gerakan
dari tubuh atau bagian dari tubuh,
misalnya menginjak kitab suci suatu
agama.
Sifat permusuhan adalah isi
pernyataan atau makna perbuatan
yang dinilai oleh penganut agama
yang bersangkutan sebagai memusuhi
agamanya, sehingga timbul perasaan
benci atau membenci atau amarah
bagi umat agama yang bersangkutan
(melanggar ketenangan dan
ketenteraman batin dari pemeluk
agama penduduk negara).
Penyalahgunaan adalah isi pernyataan
(melalui perbuatan mengeluarkan
perasaan) atau makna perbuatan yang
dinilai oleh pemeluk agama yang
bersangkutan sebagai
menyalahgunakan agamanya,
sehingga timbul rasa amarah, sakit
hati, tidak puas (perasaan-perasaan
yang menyakitkan, yang membuat
terganggunya ketenangan rasa batin
bagi umat pemeluk agama yang
bersangkutan).
1537/Pid.B/2016/PN. Basuki Surat Al Maidah 51 adalah bagian
Jkt.Utr. Tjahaja dari Al Quran yang dijaga
Purnama kesuciannya serta diyakini
alias kebenarannya oleh umat Islam,
Ahok sehingga siapapun yang
menyampaikan ayat Al Quran
sepanjang disampaikan dengan benar,
maka hal itu tidak boleh dikatakan
membohongi umat atau masyarakat.
Ucapan terdakwa di hadapan warga
masyarakat Kepulauan Seribu telah
merendahkan, melecehkan dan
menghina Kitab Suci Al Quran yang
merupakan Kitab Suci agama Islam.
Ucapan terdakwa “Jangan percaya
sama orang… dibohongi pakai Surat
Al Miadah 51 macam-macam itu,”
adalah ucapan yang pada pokoknya
telah mengandung sifat penodaan
terhadap agama Islam sebagai salah
satu agama yang dianut di Indonesia.

Melalui metode analisis isi kualitatif (qualitative content analysis) terhadap empat
contoh putusan di atas, terlihat bahwa majelis hakim tidak berusaha untuk memberikan
definisi konseptual mengenai “perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat
permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia.” Alih-alih untuk memberikan definisi konseptual, hampir semua putusan
memilih untuk langsung menunjuk pada fakta hukum.
“Menimbang bahwa untuk membuktikan unsur tersebut, Majelis berpijak pada fakta
hukum yang didapat di persidangan, yaitu bahwa terdakwa beserta kelompoknya atau
pengikutnya telah memasang seluruh bosur dst.”
Hanya satu putusan, yaitu putusan perkara No. 31/Pid.B/2016/Pn.Skg yang terlacak
mencoba membuat uraian makna konseptual terlebih dulu, sebelum masuk ke dalam uraian
fakta. Namun, upaya ini tidak sepenuhnya berhasil karena rumusan yang dibuat kembali
terjebak pada cara perbuatan itu dilakukan, bukan menyentuh pada substansi dari unsur
“perasaan/perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”. Untuk menentukan apakah
isinya memang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan, hakim menyatakan
sifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan itu dinilai berdasarkan sudut pandang
subjektif penganut agama yang “diserang” bukan sudut pandang dari pelaku (terdakwa).
PENUTUP

Sebagai penutup dari tulisan pendek ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa
Pasal 156a KUHP memang membutuhkan kajian mendalam karena punya spektrum yang
sangat rentan untuk ditarik-ulur mengikuti persepsi yang tengah berkembang dalam
masyarakat. Hakim akan sangat mudah terjebak dalam pusaran tarik-menarik kepentingan
yang tidak selalu konstruktif.
Ada baiknya Pasal 156a KUHP ini didiskusikan kembali secara terbuka dan
kemudian diberikan koridor penafsiran yang lebih jelas. Hal ini terlebih-lebih sangat
penting bagi bangsa Indonesia yang ditakdirkan lahir sebagai bangsa yang majemuk.

Anda mungkin juga menyukai