NIM : 02011281924107
YU
YURISPRUDENSI
Pengertian
1. Sudikno Mertokusumo (1991: 92): menurut Sudikno Mertokusumo yurisprudensi
adalah pelaksanan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalan oleh
suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh
apapun dan siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan
berwibawa.1
2. Kansil : Pengertian yurisprudensi menurut Kansil adalah keputusan hakim terdahulu
yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudia mengenai
masalah yang sama.
Fungsi Yurisprudensi
Sejarah
Yurisprudensi berkaitan dengan perkembangan ilmu hukum dan dipandang sebagai salah
satu intrumen untuk melihat konsistensi putusan hakim atau kepastian hukum. Sebagai
negara yang mewarisi tradisi Eropa Kontinental, keberadaan yurisprudensi di Indonesia
tidak semengikat dibanding negara dengan sistem hukum Anglo Saxon. Bukan berarti
Indonesia tak mengenal penggunaan putusan hakim terdahulu. Tetapi jika dihubungkan
dengan prinsip dasar kemandirian hakim, maka penerapan yurisprudensi akan menjadi
tantangan. Terutama berkaitan dengan pertanyaan apakah yurisprudensi itu memiliki
kekuatan mengikat, atau sebenarnya lebih memiliki kekuatan persuasif.2
Yurisprudensi berasal dari kata Latin ‘iuris’ ‘prudentia’ yang berarti pengetahuan hukum
(rechtsgeleerheid). Secara leksikal, Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (2015:
1568), mendefinisikan yurisprudensi sebagai (i) ajaran hukum melalui peradilan; dan (ii)
himpunan putusan hakim.
Rachmat Trijono dalam buku Kamus Hukum (2016: 269) menyebutkan yurisprudensi
sebagai putusan hakim yang diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya
dalam kasus yang serupa. Dalam kamus hukum lain karya M. Marwan dan Jimmy P
(2009: 651), yurisprudensi diartikan sebagai (a) ajaran hukum yang tersusun dari dan
dalam peradilan, yang kemudian digunakan sebagai landasan negara; dan (b) suatu
putusan haki terdahulu yang diikuti oleh hakim-hakim lainnya dalam perkara yang sama;
atau kumpulan putusan Mahkamah Agung tentang berbagai vonis dari beberapa macam
jenis kasus perkara berdasarkan pemutusan kebijakan para hakim sendiri yang diikuti
hakim lainnya dalam perkara yang sama.
Dalam Black’s Law Dictionary (1999: 871) lema jurisprudence diterjemahkan ke dalam
beberapa pengertian. Pada awalnya, di abad ke-18, jurisprudensi dimaknai sebagai studi
tentang prinsip pertama alam, hukum sipil dan hukum bangsa-bangsa, yang lazim dikenal
dengan istilah jurisprudentio natularis. Pada era yang lebih modern, dimaknai sebagai
studi tentang elemen-elemen dasar sistem hukum. Ia juga bisa dimaknai sebagai studi
tentang sistem hukum secara umum; preseden peradilan yang diikuti secara kolektif;
studi tentang pengetahuan hukum (dalam literatur Jerman); suatu sistem, badan, atau
bagian dari hukum; dan case law.
Dalam ilmu pengetahuan hukum, yurisprudensi dianggap sebagai salah satu sumber
hukum formal, selain perundang-undangan, kebiasaan, traktat, dan doktrin. Ada banyak
contoh yurisprudensi, sebagian di antaranya sangat dikenal para praktisi dan akademisi
hukum. Salah satunya, yurisprudensi mengenai perbuatan melawan hukum
(onrechtsmatigedaad). Sebelum tahun 1919, Hoge Raad di Belanda menganut pandangan
bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar undang-undang atau
berhubungan dengan hak orang lain. Setelah putusan Hoge Raad Belanda tanggal 31
Januari 1919, pandangan pengadilan itu berubah. Kini, perbuatan hukum termasuk pula
perbuatan-perbuatan yang berkaitan dengan sikap hati-hati yang pantas dalam lingkup
kehidupan bermasyarakat. Contoh yurisprudensi lain yang terkenal adalah pencurian
listrik. Meskipun bendanya tidak terlihat, pencurian arus listrik bisa dikualifikasi sebagai
pencurian.
Hasil penelitian BPHN pada 1995 menyimpulkan bahwa suatu putusan hakim dapat
disebut sebagai yurisprudensi, apabila putusan hakim itu memenuhi unsur-unsur berikut:
(a) Putusan atas suatu peristiwa hukum yang belum jelas pengaturan perundang-
undangannya; (b) Putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap; (c) Telah berulang
kali dijadikan dasar untuk memutus perkara yang sama; (d) Putusan tersebut telah
memenuhi rasa keadilan; dan (e) Putusan tersebut dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Sifat preseden dalam sistem peradilan Anglo-Saxon (common law system) bisa bersifat ‘the
binding force of precedent’ (preseden yang mengikat) dan ‘persuasive precedent’ (preseden
yang persuasif). Dua sifat preseden ini sangat bergantung dengan yurisdiksi yang berada di
negara bersangkutan.
Untuk menjelaskannya, mari kita simak pengertian kedua istilah di atas dalam Black Law’s
Dictionary:
“Binding Precedent: A precedent that a court must follow. For example, a lower court as
bound by an applicable holding of a higher court in the same jurisdiction.”
(Terjemahan bebasnya adalah preseden yang harus diikuti oleh pengadilan. Misalnya,
pengadilan di tingkat bawah terikat pada putusan pengadilan di atasnya dalam satu
yurisdiksi yang sama).
Contohnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah Agung (Supreme Court) di Australia
mengikat pengadilan-pengadilan negeri atau tinggi di Australia.
Persuasive precedent: A precedent that a court may either follow or reject, but that is
entitled to respect and careful consideration. For example, if the case was decided in a
neighboring jurisdiction, the court might evaluate the earlier court’s reasoning without
being bound to decide the same way.”
(Terjemahan bebasnya adalah preseden yang boleh diikuti atau ditolak oleh pengadilan,
tetapi bisa dihormati dan digunakan secara hati-hati sebagai pertimbangan).
Contohnya, jika ada kasus yang diputus di sebuah negara Anglo-Saxon, pengadilan di
negara Anglo-Saxon lain (yang memiliki sistem hukum yang sama) bisa mengevaluasi dasar
putusan itu tanpa harus terikat). Misalnya, preseden yang dibuat oleh Mahkamah Agung di
Inggris, bisa bersifat persuasif untuk diikuti oleh pengadilan-pengadilan yang memiliki
yurisdiksi ‘tetangga’ dengannya, seperti pengadilan di Australia. Ini disebabkan karena
konsep negara mereka yang masih menganut negara persemakmuran.
Sementara, di sistem Eropa Kontinental (civil law system) yang dianut oleh Indonesia,
dikenal istilah yurisprudensi. Yurisprudensi dapat digolongkan sebagai ‘persuasive
precedent’. Namun, sifat persuasifnya hanya berlaku di negara Indonesia. Hal itu berbeda
dengan preseden persuasif yang terdapat di negara-negara Anglo-Saxon yang tetap
disarankan untuk mengikuti preseden di negara persemakmuran yang lain.