Anda di halaman 1dari 3

Nama : Venna audyssa yuniva aer

Nim : 20421117

Pengertian upaya hukum


Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau
badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak
yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan,
tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan
kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.
B. Macam Upaya Hukum
Upaya hukum dibedakan antara upaya hukum terhadap upaya hukum biasa dengan upaya hukum
luar biasa.
1. Upaya hukum biasa
Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap.
Upaya ini mencakup:
a. Perlawanan/verzet
b. Banding
c. Kasasi
Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan tersebut
telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitboverbaar bij
voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya hukum, tetap saja eksekusi
berjalan terus.

2. Upaya hukum luar biasa


Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya
upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:
a. Peninjauan kembali (request civil)
b. Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial

Verzet
Verzet (perlawanan) adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh tergugat ketika dijatuhkan
putusan verstek yang tidak didahului oleh upaya hukum banding penggugat, apabila penggugat
terlebih dahulu melakukan upaya hukum banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet,
namun tergugat diperbolehkan untuk mengajukan banding. Upaya hukum verzet dapat
dikategorikan sebagai penerapan prinsip audi et alteram partem yang merupakan prinsip dalam
hukum acara perdata yang bermakna hakim mendengar kedua belah pihak berperkara di
persidangan. Pelaksanaan upaya hukum verzet tidak terpisahkan dari verstek, mengingat
kedudukan verzet dalam perkara verstek ialah sebagai jawaban atas gugatan penggugat yang
biasanya dilaksanakan pada pengadilan tingkat pertama.
Ketentuan mengenai upaya hukum verzet terhadap putusan verstek diatur lebih lanjut dalam
Pasal 129 HIR/153 RBg dan SEMA Nomor 9 Tahun 1964. Dalam Pasal 129 HIR ayat (1) ditentukan
bahwa, “Tergugat yang dihukum sedang ia tidak hadir (verstek) dan tidak menerima putusan itu
dapat mengajukan perlawanan atas keputusan itu.” Pada pasal 129 ayat (2) juga ditentukan
bahwa, “Jika putusan itu diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu
dapat diterima dalam tempo 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan itu. Jika putusan itu
tidak diberitahukan kepada yang dikalahkan itu sendiri, maka perlawanan itu dapat diterima
sampai hari ke-delapan sesudah peringatan yang tersebut pada Pasal 196 atau dalam hal tidak
menghadap sesudah dipanggil dengan patut sampai hari ke-delapan sesudah dijalankan
keputusan surat perintah kedua yang tersebut pada Pasal 197.” Maka berdasarkan ketentuan
pasal dimaksud, dapat disimpulkan bahwa tenggat waktu mengajukan verzet adalah empat belas
hari setelah putusan verstek dijatuhkan apabila pemberitahuan disampaikan langsung kepada
tergugat, dan delapan hari setelah aanmaning (peringatan) apabila pemberitahuan putusan tidak
langsung diberikan kepada tergugat, atau jika tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning
(peringatan) maka tenggat waktunya adalah sampai hari kedelapan sesudah sita eksekusi
dilaksanakan. Jika lewat masa tenggang seperti ketentuan yang telah disebutkan sebelumnya,
maka secara langsung putusan tersebut berkekuatan hukum tetap.
Berdasarkan Pasal 125 HIR/149 RBg dan Pasal 129 HIR/152 RBg, pihak yang berhak mengajukan
perlawanan (verzet) adalah tergugat atau kuasa hukumnya yang telah diberikan surat kuasa
khusus. Apabila verzet diterima dan persidangan dilanjutkan kembali, maka pihak pelawan (yang
mengajukan verzet) tetap disebut sebagai penggugat, dengan demikian pada persidangan verzet
apabila pelawan tidak hadir kembali setelah dilakukan pemanggilan yang patut maka Hakim dapat
menjatuhkan putusan verstek kedua.
Dalam perkara biasa, putusan dijatuhkan setelah proses replik dan duplik dari pihak penggugat
dan tergugat, dimana pihak tergugat masih diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan
atas gugatan penggugat. Namun pada putusan verstek hanya didapati gugatan penggugat tanpa
adanya tanggapan dari tergugat. Maka melalui verzet lah, tergugat dianggap memberikan
jawaban atas gugatan penggugat tersebut yang merupakan salah satu kesatuan yang tidak
terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, verzet bukanlah gugatan atau perkara baru,
namun merupakan bantahan yang ditujukan pada ketidakbenaran dalil gugatan dengan alasan
putusan verstek yang dijatuhkan itu keliru dan tidak benar. Ketentuan bahwa terhadap putusan
verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru ini berlandaskan pada Putusan
Mahkamah Agung No. 307 K/Sip/1975.
Putusan Mahkamah Agung Nomor 494K/Pdt/1983 turut menjelaskan jika dalam proses verzet
atas verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat.
Pemeriksaan verzet tetap diajukan dan diperiksa dengan acara biasa yang berlaku untuk acara
perdata, dengan begitu kedudukan pelawan akan sama dengan kedudukan tergugat.

Banding
Banding yaitu salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu pihak atau kedua
belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan
banding bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan negeri kepada Pengadilan Tinggi
melalui Pengadilan Negeri di mana putusan tersebut dijatuhkan. Pengajuan banding dapat
diajukan sehingga putusan terhadap Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena
putusan tersebut belum mempunyai kekuatan hukum tetap sehingga belum dapat dieksekusi
kecuali pada putusan Uitvoerbaar Bij Voorraad.
Dasar hukum banding diatur dalam Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR (untuk Jawa dan
Madura) kemudian Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rbg (untuk luar Jawa dan Madura), serta
Pasal 3 Jo. Pasal 5 UU No. 1 Tahun 1951 UU Darurat No. 1 Tahun 1951.
Pasal 188 sampai dengan Pasal 194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi dan diganti dengan UU No.
20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.

Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh salah satu kedua belah
pihak yang berperkara terhadap suatu putusan Pengadilan Tinggi. Para pihak dapat mengajukan
kasasi bila merasa tidak puas dengan isi putusan Pengadilan Tinggi kepada Mahkamah Agung.
Bila suatu permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan dibawahnya diterima oleh Mahkamah
Agung, maka putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Terdapat beberapa alasan
mengajukan kasasi, yaitu:
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang pengadilan
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang di wajibkan oleh peraturan perundang-undangan
Untuk mengajukan kasasi memiliki tenggang waktu yang disampaikan 14 hari setelah putusan
atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukannya kepada pemohon.

Anda mungkin juga menyukai