Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS AKTA SEWA MENYEWA RUMAH

Disusun dalam Rangka Memenuhi Tugas Laboratorium Perancangan Kontrak Kelas C


Tahun Akademik 2023/2024

Dosen Pengampu
Yuli Prasetyo, S.H., M.Kn.

Disusun Oleh:
Ivana Trisha (11000121130435)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2024
BAB I
PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Retnowulan dan Iskandar mendefinisikan upaya hukum sebagai suatu upaya yang
diberikan kepada seseorang/badan hukum oleh undang-undang dalam hal tertentu untuk
melawan putusan hakim.1 Upaya hukum merupakan usaha bagi setiap orang atau badan
hukum yang merasa dirugikan haknya atau kepentingannya untuk memperoleh keadilan
dan perlindungannya atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang telah ditetapkan
dalam undang-undang. Hal tersebut karena hakim itu juga seorang manusia yang bisa
secara tidak sengaja melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan salah mengambil
keputusan atau memihak kepada salah satu pihak.

Adapun jenis-jenis upaya hukum dalam Hukum Acara Perdata dibagi menjadi 2 (dua)
jenis yaitu:
1. Upaya hukum biasa
Upaya hukum yang dipergunakan bagi putusan yang belum memiliki kekuatan
hukum tetap yang terdiri dari: (a). Perlawanan (verzet), diatur dalam Pasal 129
ayat (1), Pasal 196, Pasal 197 HIR; (b). Banding, diatur dalam Pasal 21 ayat (1)
UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (c). Kasasi, diatur dalam
Pasal 30 UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan;
2. Upaya hukum luar biasa
Suatu upaya hukum yang dilakukan atas putusan yang telah berkekuatan hukum
tetap (inracht van gewijsde). Upaya hukum ini dalam asasnya tidaklah
menangguhkan pelaksanaan eksekusi. Upaya hukum luar biasa terdiri dari: (a).
Perlawanan pihak ketiga (denden verzet) terhadap sita eksekutorial vide
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 306 K/ Sip/1962 tanggal 21
Oktober 1962; (b) Peninjauan kembali (request civil), diatur dalam Pasal 66, Pasal
67, Pasal 71, Pasal 72 UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1982.

1
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, hlm. 138.
II. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah upaya hukum perdata terhadap putusan pengadilan yang belum


memuaskan pihak berperkara?
2. Bagaimanakah pengaturan hukum verzet dalam ketentuan hukum acara perdata?
3. Bagaimanakah pelaksanaan verzet terhadap putusan verstek dalam Putusan
Nomor 2/VZ/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Pbr?
BAB II
PEMBAHASAN

I. Upaya Hukum Perdata terhadap Putusan Pengadilan yang Belum Memuaskan


Pihak Berperkara

Soedikno Mertokusumo berpendapat bahwa upaya hukum merupakan alat untuk


mencegah dan memperbaiki kekeliruan putusan yang telah diputuskan oleh majelis
hakim.2 Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Iskandar Oeripkartawinata yang
menyatakan bahwa upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang
kepada seseorang untuk melawan putusan hakim.3 Berdasarkan pendapat para ahli
tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya hukum adalah suatu mekanisme yang diberikan
oleh undang-undang terhadap para pihak yang tidak puas atas putusan hakim.

Terdapat 2 (dua) jenis upaya hukum jika salah satu pihak berperkara tidak puas dengan
hasil yang dikeluarkan oleh pengadilan yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa:
1. Upaya Hukum Biasa
a. Perlawanan (Verzet)
Verzet merupakan upaya hukum perdata terhadap putusan yang dijatuhkan
pengadilan karena tidak hadirnya pihak tergugat yang telah dipanggil
secara berturut turut dan secara patut (putusan verstek). Dasar hukum
verzet diatur pada Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR dan Pasal 149 ayat
(3) jo Pasal 153 Rbg. Perlawanan ini dilakukan pihak tergugat setelah
keluarnya putusan verstek oleh pengadilan negeri.

Verzet (perlawanan) dilakukan oleh tergugat ketika dijatuhkan putusan


verstek yang tidak didahului oleh upaya hukum banding oleh penggugat.
Apabila penggugat terlebih dahulu melakukan upaya hukum banding,
maka tergugat tidak boleh mengajukan verzet, namun tergugat
diperbolehkan untuk mengajukan banding.

2
Soedikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, hlm. 243.
3
Iskandar Oeripkartawinata, Upaya-Upaya Hukum yang Dapat Digunakan oleh Pencari Keadilan menurut Hukum
Acara Perdata di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Volume 11 Edisi 4, September 1981, hlm. 443.
b. Banding
Dasar hukum banding perdata diatur dalam Pasal 199 sampai dengan Pasal
205 Rechtsglement Buitengewesten (RBg). Pasal 26 ayat (1) UU 48/2009
jo UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 6 UU No
20/1947 tentang Peradilan Ulangan. di mana yang dapat mengajukan
permohonan banding adalah pihak yang bersangkutan dan permohonan
banding harus diajukan kepada panitera pada Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).

Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No


20/1947 yaitu:
1) Ada pernyataan ingin banding
2) Panitera membuat akta banding
3) Dicatat dalam register induk perkara
4) Pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling
lama 14 hari sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
Pengajuan banding dapat dilakukan dalam rentang waktu selama
14 (empat belas) hari kalender, terhitung keesokkan hari dari hari
dan tanggal putusan dijatuhkan dan apabila hari ke 14 (empat
belas) tersebut jatuh pada hari libur maka dihitung pada hari kerja
selanjutnya.
5) Pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat
mengajukan kontra memori banding.

c. Kasasi
Permohonan kasasi diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya
telah menggunakan upaya hukum banding. Kasasi ini merupakan upaya
hukum yang tersedia bagi para pihak yang tidak menerima atau menolak
putusan pengadilan pada tingkat banding dan atau suatu lembaga yang
disediakan bagi pihak yang tidak menerima atau menolak penetapan
pengadilan pada tingkat pertama terkait perkara permohonan. Ketentuan
mengenai kasasi ini diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan
diatur pula dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 telah beberapa kali dirubah dan terakhir Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Tenggang waktu untuk mengajukan kasasi adalah 14 hari sejak putusan


atau penetapan Pengadilan Tinggi disampaikan kepada yang bersangkutan,
serta 14 hari terhitung sejak menyatakan kasasi, pemohon wajib
menyerahkan memori kasasi. Permohonan kasasi dalam perkara perdata
disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama yang telah memutus perkara.

2. Upaya Hukum Luar Biasa


a. Derden Verzet (Perlawanan Pihak Ketiga)
Derden verzet adalah perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga yang
tidak ada sangkut pautnya dengan perkara, akan tetapi putusan pengadilan
telah merugikan pihak ketiga tersebut. Artinya apabila dalam suatu
putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak
ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut
dalam bentuk Derden verzet.

Perlawanan pihak ketiga sering terjadi terhadap keadaan sita eksekusi atau
sita jaminan, yang mana haknya telah tersentuh oleh sengketa dan konflik
kepentingan dari penggugat dan tergugat. Maka untuk dapat
mempertahankan haknya di muka pengadilan dan mengabulkan
perlawanannya, maka harus memiliki alas hak yang kuat dan dapat
membuktikan bahwa benda yang akan di eksekusi atau disita tersebut
adalah haknya. Perlawanan pihak ketiga ini merupakan upaya hukum luar
biasa tetapi pada hakikatnya upaya hukum ini tidak menunda
dilaksanakannya eksekusi.
Derden Verzet didaftar sebagai perkara baru dengan membayar biaya
perkara baru, terpisah dari nomor perkara yang di lawan. Oleh karena
Derden Verzet itu sebagai perkara baru, maka yang menjadi bahan
pemeriksaan adalah perlawanan Pelawan, bila Terlawan membantah dalil
Pelawan, maka Pelawan berkewajiban membuktikan dalilnya.

b. Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali adalah suatu upaya untuk memeriksa dan
mementahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan
hukum tetap. Permohonan peninjauan kembali tidak menghalangi jalannya
eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dan hanya
dapat diajukan 1 (satu) kali, serta dapat dicabut selama belum diputus, jika
sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan
lagi.

II. Pengaturan Hukum Verzet dalam Ketentuan Hukum Acara Perdata

Upaya hukum verzet (perlawanan) adalah upaya hukum terhadap putusan yang
dijatuhkan Pengadilan Negeri/Pengadilan Tingkat Pertama karena Tergugat tidak hadir
pada sidang pertama dan tidak mengirimkan wakilnya untuk menghadap di persidangan,
walapun sudah dipanggil dengan patut dan tanpa alasan yang sah. Verzet atau perlawanan
bukanlah suatu perkara baru, namun merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan
gugatan semula/awal, yang tidak lain adalah bantahan yang ditujukan kepada
ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan
tidak benar. Putusan MA No. 494K/Pdt/1983 mengatakan dalam proses verzet atas
verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai Penggugat.4
Dalam Pasal 125 ayat (1) HIR/ Pasal 149 ayat (1) RBg menyatakan apabila pada hari
yang telah ditentukan, tergugat tidak hadir dan pula ia tidak menyuruh orang lain untuk
hadir sebagai wakilnya, padahal ia telah dipanggil dengan patut maka gugatan itu
diterima dengan putusan tak hadir (verstek), kecuali kalau ternyata bagi pengadilan
negeri bahwa guagatan tersebut melawan hukum atau tidak beralasan.

4
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hlm.407.
Gugatan yang dikatakan melawan hukum apabila peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
hukum yaitu apabila peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar gugatan tidak membenarkan
tuntutan (petitum). Misalnya A menggugat B agar membayar utangnya karena kalah
dalam suatu perjudian. Gugatan A terhadap B ini bertentangan dengan hukum, karena
peristiwa yang menjadi dasar gugatannya yaitu perjudian tidak membenarkan
tuntutannya, karenanya gugatan A tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.5
Gugatan yang dikatakan bertentangan dengan hukum dapat terjadi bilamana kedudukan
penggugat tidak dibenarkan mengajukan gugatan. Misalnya seorang anak yang belum
dewasa mengajukan gugatan ke pengadilan, sebab menurut peraturan hukum seorang
anak yang belum dewasa tidak dapat melakukan perbuatan hukum seperti mengajukan
gugatan ke pengadilan.6

Suatu gugatan yang tidak beralasan terjadi jika peristiwa-peristiwa yang diajukan tidak
membenarkan tuntutan, atau peristiwa-peristiwa yang diajukan sebagai dasar gugatan
tidak ada hubungannya dengan tuntutan. Dengan kata lain peristiwa-peristiwa yang
diajukan sebagai dasar gugatan tidak terbukti secara sah menurut hukum. Misalnya A
menggugat B supaya membayar harga barang yang dibelinya sebesar Rp 1.000.000.-.
Akan tetapi di persidangan A tidak mengajukan hal-hal yang memberikan gambaran
untuk membuktikan bahwa antara A dan B telah terjadi suatu perjanjian jual beli. Contoh
lain, dalam gugatan A terhadap B diuraikan bahwa A mempunyai piutang terhadap B
sebesar Rp5.000.000.- karena adanya perjanjian pinjam meminjam uang. Akan tetapi
dalam tuntutan disebutkan piutang itu terjadi karena harga sejumlah barang yang belum
dibayar. Karenanya gugatan A harus dinyatakan ditolak.7

Dalam putusan gugur karena penggugat tidak datang, maka sebelum dijatuhkan putusan
verstek, hakim harus terlebih dahulu dengan teliti memeriksa berita acara pemanggilan
pihak-pihak apakah pihak tergugat telah dipanggil dengan patut, seksama dan seandainya
cara pemanggilan tidak dilakukan sebagaimana mestinya, hakim tidak boleh menjatuhkan

5
Ketentuan Pasal 1788 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
6
Riduan Syahrani, 1988, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum. Jakarta: Pustaka Kartini. hlm. 47.
7
Ibid.
putusan tanpa hadirnya tergugat (verstek), melainkan harus menyuruh juru sita untuk
memanggil pihak tergugat sekali lagi.8

Pemeriksaan Perkara verzet dilakukan berdasarkan gugatan semula. Berkaitan dengan


pemeriksaan perkara verzet, dalam Putusan MA No. 938K/Pdt/1986, terdapat beberapa
pertimbangan yang menyatakan bahwa substansi verzet terhadap putusan verstek, harus
ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan/ penggugat asal.
Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran pelawan/ tergugat asal
menghadiri persidangan, tidak relevan karena forum untuk memperdebatkan masalah itu
sudah dilampaui.

Pengajuan surat perlawanan sebagai jawaban tergugat terhadap dalil gugatan dalam
praktik mengacu pada ketentuan Pasal 129 ayat (3) HIR. Perlawanan diajukan dan
diperiksa dengan acara biasa yang berlaku dalam acara perdata, karena itu, kedudukan
pelawan sama halnya dengan tergugat. Ketentuan ini mengandung arti yakni surat
perlawanan yang diajukan dan disampaikan kepada Pengadilan Negeri pada hakikatnya
sama dengan surat jawaban seperti yang digariskan dalam Pasal 121 ayat (2) HIR.
Kualitas surat perlawanan sebagai jawaban dalam proses verzet dianggap sebagai
jawaban pada sidang pertama.9

Upaya hukum verzet oleh tergugat (pelawan) tidak diperkenankan sekiranya penggugat
mengajukan upaya hukum banding karena gugatannya tidak dikabulkan seluruhnya.
Menurut M. Yahya Harahap tergugat tidak dapat mengajukan perlawanan jikalau
penggugat mengajukan banding melainkan tergugat hanya dapat mengajukan kontra
memori banding. Hal ini tidak memberi keuntungan bagi tergugat mengingat intensitas
pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi tidak seluas dan sedalam pemeriksaan yang
dilakukan Pengadilan Negeri melalui verzet.10

8
Ketentuan Pasal 126 HIR/ Pasal 150 RBg
9
M. Yahya Harahap, 2005, Op. cit. hlm 409-410.
10
M. Yahya Harahap, 2016, Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 95.
III. Analisis Pelaksanaan Verzet terhadap Putusan Verstek dalam Putusan
Nomor 2/ VZ/Pdt.Sus-PHI/2017/PN.Pbr

Putusan ini adalah putusan mengenai kasus hubungan industrial antara pekerja dengan
pemberi kerja. Verzet dilakukan oleh tergugat dalam gugatan verstek yang bertindak
sebagai pelawan di dalam putusan ini yakni pemberi kerja terhadap putusan pengadilan
yang memenangkan/memberikan keuntungan kepada si penggugat yang dalam putusan
ini bertindak sebagai terlawan yang merupakan pekerja. Tergugat merupakan PT
Hutahean yang diwakili oleh Direkturnya yang bernama Harangan Wilmar Hutahean
yang memberikan kuasanya kepada Marlanom Hutahaean, S.H.,M.H.; Renta
Simanullang, S.H.; S. A. Sinaga, S.H.; dan David Siagian, S.H. Sementara penggugat
adalah karyawan PT. Hutahean yang bernama Mantar Sianipar yang memberikan
kuasanya kepada Hengki Kendedet Silitonga, S.H.,Magabdi Silaban, S.H.

Dalam keterangan yang disebutkan pada bagian duduk perkara, disebutkan bahwa
pelawan mengajukan perlawanan di dalam tenggat waktu pengajuan upaya hukum.
Dalam putusan tersebut, disebutkan bahwa putusan verstek bertanggal 29 Maret 2017
diketahui pelawan melalui pemberitahuan yang diberitahukan jurusita Pengadilan Negeri
pekanbaru pada tanggal 20 April 2017 diajukan surat perlawanannya kepada pengadilan
negeri pekanbaru pada tanggal 4 Mei 2017 atau pada hari keempat belas setelah putusan
verstek diputuskan. Adapun terkait dengan tenggat waktu pengajuan perlawanan terhadap
putusan verstek adalah 14 hari setelah adanya putusan verstek dari pengadilan negeri.11
Oleh sebab itu, pengajuan surat perlawanan tersebut dapat diterima.

Dalam putusan tersebut, pelawan mengakui bahwa juru sita telah memanggil tergugat
pada tanggal 1 Februari 2017 untuk sidang tanggal 8 Februari 2017 dan pada tanggal 17
Februari 2017 untuk sidang tanggal 22 Februari 2017. Berdasarkan ketentuan mengenai
pemanggilan yang patut, panggilan sidang harus diberikan setidak-tidaknya tiga hari

11
Jonathan Santandrea, Kepastian Hukum Dari Penerapan Ketentuan Batas Waktu Pengajuan Upaya Hukum Verzet
(Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 9/Pdt.Plw./2017/PN..JKT.BRT. Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Dki Jakarta Nomor 107/Pdt/2018/PT.DKI)., Jurnal Adigama Volume 2 Edisi 2, Desember 2019,
hlm. 5.
sebelum persidangan.12 Dengan demikian, maka pemanggilan sudah dilaksanakan secara
patut. Pelawan menyatakan bahwa kondisi kesehatannya waktu itu tidak stabil
dikarenakan faktor usia, sehingga surat kuasa baru dikeluarkan pada tanggal 23 Februari
2017 dan tidak ada lagi pemanggilan persidangan setelah tanggal 17 Februari 2017
tersebut.

Pelawan di dalam surat perlawanannya mengajukan beberapa tuntutan antara lain:


1. Menyatakan Pelawan adalah pelawan yang benar;
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Pekanaru dalam perkara Pengadilan
Hubungan Industri No. 02/Pdt.Sus-PHI/2017/PN. Pbr tanggal 20 April 2017;
3. Menyatakan Gugatan Terlawan/Dahulu Penggugat ditolak atau stidaktidaknya
tidak dapat diterima;
4. Menolak pembayar untuk membayar hak-hak Terlawan/Penggugat sebesar
Rp80.766.175,70 oleh Pelawan terhadap Terlawan/Dahulu Penggugat karena
tidak berdasar hukum;
5. Menolak putusan dalam perkara Verstek perkara dapat dijalankan lebih dahulu
meskipun timbul upaya hukum Banding, Kasasi maupun Verzet;
6. Menghukum Terlawan/Dahulu Penggugat untuk membayar biaya perkara.

Atas gugatan tersebut, terlawan memberikan jawaban yakni pelawan telah melampaui tenggat
waktu untuk mengusulkan upaya hukum verstek karena telah lewat dari 14 hari sejak putusan di
tanggal 29 Maret 2017 disebutkan. Eksepsi yang diberikan oleh terlawan tidak tepat dikarenakan
indikator peristiwa yang digunakan untuk menghitung tenggat waktu untuk mengajukan upaya
hukum atas verstek tidak sesuai. Seharusnya tenggat waktu upaya hukum atas verstek dimulai
sejak pemberitahuan diberikan, bukan dimulai sejak putusan tersebut dikeluarkan.13

Hakim melihat terdapat beberapa poin jawaban terlawan atas pokok perkara yang diberikan oleh
pelawan. Poin-poin tersebut antara lain:
1. Menolak Perlawanan (Verzet) Pelawan untuk seluruhnya;

12
Maswandi, Putusan Verstek dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Mercatoria Volume 10 Edisi 2, Desember 2017,
hlm. 172.
13
Syahrul Sitorus, Upaya Hukum dalam Perkara Perdata (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali dan Derden
Verzet), Jurnal Hikmah Volume 15 Edisi 1, Januari - Juni 2018, hlm. 65.
2. Menguatkan Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Nomor 02/Pdt.Sus-PHI /2017/PN
Pbr;
3. Menghukum Pelawan/Tergugat untuk tetap membayar Upah/Gaji Terlawan/Penggugat
sampai adanya putusan Pengadilan yang berkekuatan tetap (incraht van gewijde).

Dalam poin-poin pertimbangan yang digunakannya, majelis hakim menyatakan bahwa


perzinahan yang dijadikan alasan oleh pelawan bukanlah suatu alasan yang dapat dijadikan
landasan pemutusan hubungan kerja dan apabila pelawan ingin memproses perzinahan tersebut
seharusnya dilakukan dengan melaporkannya ke pihak berwajib dikarenakan kesalahan berat
yang menjadi dasar pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan apabila terdapat putusan
pengadilan yang bersifat tetap. Majelis hakim juga menyatakan bahwa pemutusan hubungan
kerja yang dilakukan oleh pelawan terhadap terlawan tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, sehingga hakim berpendapat bahwa pelawan/tergugat harus memenuhi kewajibannya
sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan untuk memenuhi rasa keadilan
terlawan/penggugat. Dalam putusan ini, majelis hakim menyatakan bahwa pelawan/tergugat
tidak dapat membuktikan kesalahan di dalam putusan verstek yang dijatuhkan.

Terdapat beberapa hal yang majelis hakim putuskan di dalam putusan ini, yaitu:
1. Menyatakan Eksepsi Terlawan/Penggugat tidak dapat diterima;
2. Menyatakan bahwa Perlawanan terhadap Putusan Verstek Nomor 2/Pdt.Sus-PHI/2017/PN
Pbr, tanggal 29 Maret tersebut tidak tepat dan tidak beralasan;
3. Menyatakan oleh karena itu Pelawan/tergugat Tergugat adalah Pelawan yang tidak benar;
4. Mempertahankan Putusan Verstek tersebut;
5. Membebankan biaya kepada Negara.

Poin-poin putusan tersebut mengandung unsur declatoir, constitutoir, dan condemnatoir. Hal ini
terlihat dari poin putusan (1) sampai dengan (3) yang merupakan pernyataan untuk memberikan
suatu ketetapan hukum saja. Sedangkan, poin (4) dapat dikategorikan sebagai putusan
constitutoir karena memberikan norma hukum baru yaitu mempertahankan putusan verstek dan
poin (5) dapat dikategorikan sebagai putusan condemnatoir karena bersifat menghukum yang
memberikan beban bagi suatu pihak yang dalam konteks putusan tersebut adalah negara.
BAB III
PENUTUP

I. Simpulan

Upaya hukum merupakan usaha dari pihak bersengketa, dapat berupa orang pribadi atau
badan hukum selaku subjek, yang diajukan karena ketidakpuasan terhadap putusan yang
dikeluarkan pengadilan negeri. Terdapat 2 (dua) bentuk upaya hukum jika para pihak
merasa tidak puas dengan putusan hakim yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar
biasa. Salah satu upaya huku biasa adalah verzet yaitu upaya hukum perdata terhadap
putusan yang dijatuhkan pengadilan karena tidak hadirnya pihak tergugat yang telah
dipanggil secara berturut turut dan secara patut (putusan verstek).

Putusan Nomor 2/VZ/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Pbr merupakan putusan mengenai kasus


hubungan industrial antara pekerja dengan pemberi kerja. Kasus ini merupakan bentuk
verzet atau perlawanan hukum biasa atas putusan verstek yang diajukan oleh tergugat
yang bertindak sebagai pelawan di dalam putusan ini yakni pemberi kerja terhadap
putusan pengadilan yang memenangkan/memberikan keuntungan kepada si penggugat
yang dalam putusan ini bertindak sebagai terlawan yang merupakan pekerja. Verzet dapat
diterima oleh pengadilan karena diajkukan dalam tenggat waktu 14 hari setelah
pemberitahuan diberikan kepada tergugat/pelawan. Putusan yang diberikan oleh majelis
hakim di dalam putusan ini ada yang memiliki sifat declatoir, constitutoir, maupun
declaratoir. Dari segi pelawan/tergugat, alasan rasa keadilan yang tidak dipenuhinya
menurut majelis hakim kurang tepat. Sedangkan, dari sisi terlawan/penggugat, eksepsi
yang diberikannya tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan landasan hukum yang
digunakan.

Unsur-unsur verstek yang harus dipenuhi menurut Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1946, antara lain:
1. Tergugat telah dipanggil secara resmi dan patut yang di dalam kasus putusan
verstek tersebut sudah dilakukan dan diakui oleh pihak pelawan/tergugat di dalam
putusan ini;
2. Tergugat tidak hadir dalam sidang dan tidak mewakilkan kepada orang lain serta
tidak ternyata pula bahwa ketidakhadirannya itu karena sesuatu alasan yang sah
yang di dalam kasus putusan ini tercermin dengan pengakuan pelawan/tergugat
yang tidak hadir dan baru memberikan kuasa di tanggal 23 Februari 2017 dan
tidak memberitahukan alasan ketidakhadiran kepada pengadilan;
3. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan yang di
dalam kasus verstek ini tergugat tidak menyatakan memberikan eksepsi;
4. Penggugat hadir di persidangan yang di dalam kasus ini terlawan/penggugat
menyatakan diri hadir di dalam rangkaian persidangan tersebut;
5. Penggugat mohon keputusan yang di dalam kasus verstek tersebut tercermin
melalui gugatan yang diberikannya.

Berdasarkan paparan yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa putusan
di atas memenuhi unsur-unsur putusan verstek dan memenuhi unsur-unsur untuk
melakukan upaya hukum verzet atas putusan tersebut.

II. Saran

1. Kepada terlawan, hendaknya eksepsi yang diberikan memperhatikan ketentuan


tenggat waktu pengajuan upaya perlawanan yang dimulai sejak pemberitahuan
putusan kepada tergugat/pelawan.
2. Kepada pelawan, hendaknya argumentasi yang diberikan sesuai dengan pokok
perkara yang diajukan bukan menyasar kepada unsur-unsur lain yang tidak ada
hubungannya di dalam perkara.
3. Kepada majelis hakim, hendaknya dirincikan apakah pelawan/tergugat sudah
memberikan eksepsi atau belum di dalam putusan. Hal ini menjadi acuan apakah
unsur verstek di dal suatu putusan terpenuhi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Sutantio, Retnowulan dan Iskandar Oeripkartawinata. “Hukum Acara Perdata dalam Teori dan
Praktek”. Bandung : Mandar Maju.

Soedikno Mertokusumo. “Hukum Acara Perdata Indonesia”.

Yahya, M. Harahap. 2005. “Hukum Acara Perdata”. Jakarta: Sinar Grafika.

Syahrani, Riduan. 1988. “Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Umum”. Jakarta:
Pustaka Kartini.

Yahya, M. Harahap. 2016. “Hukum Acara Perdata: tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal
Oeripkartawinata, Iskandar. “Upaya-Upaya Hukum yang Dapat Digunakan oleh Pencari
Keadilan menurut Hukum Acara Perdata di Indonesia”, Jurnal Hukum dan Pembangunan
Volume 11 Edisi 4.

Jonathan Santandrea, Kepastian Hukum Dari Penerapan Ketentuan Batas Waktu Pengajuan
Upaya Hukum Verzet (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor
9/Pdt.Plw./2017/PN..JKT.BRT. Jo. Putusan Pengadilan Tinggi Dki Jakarta Nomor
107/Pdt/2018/PT.DKI)., Jurnal Adigama Volume 2 Edisi 2, Desember 2019.

Maswandi, Putusan Verstek dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Mercatoria Volume 10 Edisi 2,
Desember 2017.

Syahrul Sitorus, Upaya Hukum dalam Perkara Perdata (Verzet, Banding, Kasasi, Peninjauan
Kembali dan Derden Verzet), Jurnal Hikmah Volume 15 Edisi 1, Januari - Juni 2018.

Anda mungkin juga menyukai