Anda di halaman 1dari 17

KELOMPOK 8

Nama Anggota :

1. Ni Wayan Karina (1904551243)


2. Aurel Irandiaz Dhea Pavransa (1904551244)
3. Dhea Pristiwanti (1904551248)
4. Muhammad Hariobimo Hutomo (1904551260)
5. Arya Agung Iswara (1904551264)
6. Ni Putu Raisa Prita Loka (1904551286)

Fakultas Hukum

Universitas Udayana

2021
BAB VIII

Pemeriksaan di Tingkat Pertama PTUN

A. Pemeriksaan dengan Acara Biasa


Sebelum dilakukan pemeriksaan terhadap pokok sengketa dari gugatan
penggungat, terlebih dahulu melalui prosedur rapat permusyawaratan dan
pemeriksaan persiapan, setelah melalui kedua prosedur itu tidak ada alasan bagi
hakim untuk menyatakan dalam suatu penetapan bahwa gugatan tidak diterima atau
tidak berdasar, maka selanjutnya akan dilakukan pemeriksaan terhadap pokok
sengketa dengan acara biasa.
Pemeriksaan sengketa dengan acara biasa, diatur dalam Pasal 68 sampai
dengan Pasal 97 UU 5/1986. Dari pasal-pasal tersebut yang berkaitan dengan
pemeriksaan sengketa acara biasa adalah bahwa pemeriksaan dengan acara biasa
dilakukan dengan majelis hakim (tiga orang hakim). Hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali menyangkut ketertiban umum
atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Dalam hal penggugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan pada hari
pertama dan pada hari yang ditentukan dalam panggilan yang kedua tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabnkan, meskipun setiap dipanggil dengan patut, gugatan
dinyatakan gugur dan penggugat harus membayar biaya perkara. Terhadap penetapan
ini penggugat mempunyai kesempatan untuk memasukkan gugatannya sekali lagi
sesudah membayar uang muka biaya perkara, sepanjang tenggang waktu untuk
mengajukan gugatan masih tersedia.
Berbeda halnya, apabila tergugat atau kuasanya tidak hadir di persidangan dua
kali sidang berturut-turut dan/atau tidak menanggapi gugatan tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan, meskipun setiap kali telah dipanggil dengan patut, maka
hakim ketua sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat memerintahkan
tergugat hadir dan/atau menanggapi gugatan tersebut. Apabila dalam jangka waktu
dua bulan setelah surat tersebut dikirimkan lewat surat tercatat tidak diterima berita,
baik dari atasan tergugat maupun dari tergugat, maka hakim ketua sidang menetapkan
hari sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa dilanjutkan menurut acara biasa,
tanpa hadirnya tergugat. Putusan terhadap pokok gugatan dapat dijatuhkan hanya
setelah pemeriksaan mengenai segi pembuktiannya telah dilakukan secara tuntas.
Dengan demikian, dalam hukum acara peradilan tata usaha negara tidak dikenal
adanya putusan verstek, meskipun akhirnya ada kesan seperti itu, tetapi putusan
verstek tidak memerlukan pemeriksaan pokok sengketa dan segi pembuktiannya
dilakukan secara tuntas. Di samping itu, dengan adanya putusan verstek dalam hukum
acara perdata dimungkinkan adanya verzet (perlawanan), sedangkan dalam hukum
acara peradilan tata usaha negara terhadap putusan ini tidak dimungkinkan adanya
verzet.
B. Pemeriksaan dengan Acara Cepat
Pemeriksaan dengan acara cepat diatur dalam Pasal 98 dan 99 UU 5/1986. Dalam
Pasal 98 UU 5/1986 disebutkan:
(1) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus
disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya
dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
(2) Ketua pengadilan dalam jangka waktu empat belas hari setelah diterimanya
permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengeluarkan penetapan
tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.
(3) Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat digunakan
upaya hukum.
Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa kepentingan penggugat cukup
mendesak, apabila kepentingan itu menyangkut KTUN yang berisikan misalnya
perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati penggugat. Sebagai
kriteria dapat dipergunakan alasan-alasan pemohon, yang memang dapat diterima.
Yang dipercepat bukan hanya pemeriksaannya melainkan juga pemutusannya.
Alasan mengajukan permohonan pemeriksaan acara cepat mempunyai kemiripan
dengan alasan mengajukan permohonan penundaan pelaksanaan KTUN yakni; sama-
sama terdapat kepentingan penggugat yang mendesak. Perbedaannya adalah
permohonan penundaan pelaksanaan KTUN pemeriksaannya hanya menyangkut
alasan mengapa penggugat mengajukan permohonan penundaan; sedangkan pada
pemeriksaan acara cepat, termasuk pokok sengketanya.
Selanjutnya dalam Pasal 99 UU 5/1986 disebutkan sebagai berikut:
(1) Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal.
(2) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1)
dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah
dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksudn dalam Pasal 98 ayat (2)
menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan
persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63.
(3) Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak, masing-
masing ditentukan tidak melebihi empat belas hari.
Ketentuan Pasal 98 dan 99 UU 5/1986 tersebut dapat mengajukan permohonan
pemeriksaan dengan cara cepat adalah pihak penggugat dan permohonan itu harus
diajukan bersama-sama dalam surat gugat yang diajukan.
Berdasarkan Pasal 62 UU 5/1986, setiap gugatan yang masuk terlebih dahulu
dilakukan penelitian administrative oleh star kepaniteraan. Setelah itu barulah surat
gugatan penggugat diajukan dalam rapat permusyawaratan ketua pengadilan.
Permohonan pemeriksaan dengan acara cepat harus diajukan bersama-sama dengan
surat gugatan.
Apabila ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan berpendapat tidak
terdapat alasan permohonan penggugat agar dilakukan pemeriksaan dengan acara
cepat dipandang cukup beralasan, maka ketua pengadilan akan mengeluarkan
penetapan yang menentukan bahwa untuk selanjutnya pemeriksaan perkara dilakukan
dengan acara cepat. Berdasarkan ketentuan Pasal 99 tersebut di atas, pemeriksaan
dengan acara cepat tanpa melalui pemeriksaan persiapan. Sebaliknya, apabila tidak
terdapat alasan yang dipandang cukup beralasan oleh hakim untuk mengabulkan
permohonan penggugat agar gugatan diperiksa dengan acara cepat, sedangkan
terhadap penetapan itu tidak tersedia upaya hukum, maka mau tidak mau penggugat
harus menerima bahwa gugatannya akan diperiksa dengan acara biasa.
Dengan dimuatnya pemeriksaan perkara dengan acara cepat ini akan dapat
membantu para pencari keadilan untuk apat mengetahui secepat mungkin tentang
kepastian hukum dari hak-hak yang diperjuangkannya. Pemeriksaan perkara dengan
acara biasa akan memakan waktu yang berlarut-larut. Sementara kelemahannya
adalah bagi pihak ketiga yang berkepentingan. Penerapan pemeriksaan dengan acara
cepat dapat berakibat begitu dia mengetahui ada kepentingannya yang tersangkut dan
bermaksud untuk masuk ke dalam perkara tersebut sudah terlambat. Sedangkan untuk
mengajukan gugatan tersendiri tidak mungkin, karena KTUN yang dipersengketakan
itu tidak ditujukan langsung terhadap dirinya.
C. Pemeriksaan dengan Acara Singkat
Pemeriksaan dengan acara singkat di PTUN dapat dilakukan apabila terjadi
perlawanan (verzet) atas penetapan yang diputuskan oleh ketua pengadilan dalam
rapat permusyawaratan. Dalam pasal 62 UU PTUN disebutkan:
1) Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan.
2) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh
penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
3) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh KTUN yang
digugat;
5) Gugatan diajukan sebelum waktunya.
Pemeriksan dengan acara singkat dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu:
a) Gugatan perlawanan atas penetapan Ketua PTUN, sebagaimana diatur dalam
Pasal 62 ayat (3), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) UU No 5 tahun 1986.
b) Gugatan perlawanan oleh pihak ketiga terhadap pelaksanaan putusan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagaimana diatur dalam Pasal 118 UU No 5
tahun 1986.
Pemeriksaan dengan Acara Singkat mempunyai kelebihan dan kelemahan.
Adapun yang menjadi kelebihannya dari pemeriksaan acara singkat adalah sebagai
berikut:
a) Dengan adanya pemeriksaan acara singkat dapat mengatasi berbagai problema
atau rintangan yang mungkin dan nanti terjadi, dalam rangka penyelesaian secara
cepat sengketa-sengketa Tata Usaha Negara.
b) Dengan diadakannya pemeriksaan acara cepat dapat mengatasi sekaligus
menyelesaikan problem masuknya perkara-perkara yang tidak memenuhi
persyaratan.
c) Kehadiran pemeriksaan acara singkat dapat dihindarkan pemeriksaan perkara
yang memerlukan banyak waktu dan biaya yang tidak sedikit.
Selain itu pemeriksaan acara singkat memiliki kelemahannya adalah sebagai
berikut:
a) Terkait dengan waktu. Dalam pemeriksaan acara singkat jangka waktu 14 (empat
belas) hari dalam melakukan perlawanan terhitung sejak penetapan dismissal itu
diucapkan dapat menjadi tidak realistis, karena dapat saja pada waktu itu
diucapkan berhalangan hadir.
b) Dalam acara singkat ini digunakan untuk memeriksa pemeriksaan perlawanan
dan pemutusan terhadap upaya perlawanan. Sementara jika perlawanan
dibenarkan, maka penetapan dismissel Ketua PTUN gugur demi hukum,
c) Pokok gugatan diperiksa dengan menggunakan acara biasa. Terhadap putusan ini
tidak ada upaya hukum
d) Pemeriksaan acara singkat yang diperiksa bukan mengenai pokok sengketa,
melainkan baru mengenai perlawanan sesuai yang diatur dalam Pasal 62 ayat (3),
ayat (4), ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 118 UU No 5 tahun 1986.
Adapun bunyi Pasal 62 ayat (3) yakni sebagai berikut ;
a. terhadap penetapan sebgaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan
perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat belas hari setelah
diucapkan;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 56.
Sementara Pasal 62 ayat (4) berbunyi ; Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat. Pasal 62 ayat (5)
menyatakan dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka
penetapan sebgaimana dimaksud dalmn ayat (1) gugur demi hukum dan pokok
gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Berikutnya
Pasal 62 ayat (6) berbunyi terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat
digunakan upaya hukum.
Sementara Pasal 118 menyatakan sebagai berikut:
(1) Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1)
berisi kewajiban bagi tergugat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9),
ayat (10), dan ayat (11), pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau
diikutsertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut
ketentuan Pasal 83 dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan
dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat
mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan Pengadilan
tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa itu pada tingkat pertama.
(2) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat diajukan
pada saat sebelum putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap itu dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56; terhadap
permohonan perlawanan itu berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 62 dan Pasal 63.
(3) Gugatan perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan
sendirinya mengakibatkan ditundanya pelaksanaan putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut.
Acara pemeriksan singkat terhadap gugatan perlawanan baik dari pihak
penggugat asal maupun pihak ketiga tidak diatur secara terperinci seperti yang diatur
dalam pemeriksaan cepat dan bisa, sehingga dalam praktek ada beberapa pendapat,
ada yang mengatakan harus melalui proses persidangan seperti dalam acara biasa.
Dan sebagian besar mengatakan cukup dalam ruang permusyawaratan dalam sidang
yang tertutup dan para pihak diberi kesempatan untuk menanggapinya, sedang
putusannya diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
D. Pemeriksaan Tingkat Banding
a) Pengertian Banding
Banding merupakan salah satu upaya hukum biasa yang dapat diminta oleh
salah satu atau kedua belah pihak yang berperkara terhadap suatu putusan
Pengadilan Negeri. Para pihak mengajukan banding bila merasa tidak puas dengan
isi putusan Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan
Negeri dimana putusan tersebut dijatuhkan.
Sesuai azasnya dengan diajukannya banding maka pelaksanaan isi putusan
Pengadilan Negeri belum dapat dilaksanakan, karena putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum yang tetap sehingga belum dapat dieksekusi, kecuali
terhadap putusan uit voerbaar bij voeraad.
Pengajuan banding dapat dilakukan oleh pihak yang berkedudukan sebagai
penggugat (orang atau badan hukum perdata) maupun tergugat (badan atau
pejabat tata usaha Negara). Pada prinsipnya pihak yang mengajukan banding
adalah pihak yang tidak menerima putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Artinya bahwa tidak menutup kemungkinan pihak pengugat maupun tergugat
dapat menjadi pihak yang berkedudukan sebagai pihak yang mengajukan
permohonan banding atau biasa disebut pembanding. Berbeda pada saat perkara
tersebut diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, dimana yang selalu menjadi
pengugat adalah orang atau badan hukum perdata, sedangkan yang menjadi
tergugat selalu adalah badan atau pejabat tata usaha Negara.
b) Banding dalam Pengadilan Tata Usaha Negara
Pihak yang melakukan upaya hukum banding terhadap perkara yang telah
diputuskan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dibatasi oleh waktu untuk
mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Hal ini
sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 yang menetapkan waktu untuk dilakukan upaya hukum banding terhadap
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah 14 hari setelah putuan pengadilan
itu diberitahukan kepadanya secara sah. Ketentuan Pasal 123 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 secara lengkap menyebutkan bahwa :
(1) Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau
kuasanya yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.
(2) Permohonan pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya
perkara banding lebih dahulu, yang besarnya ditaksir oleh Panitera.
c) Pemeriksaan di Tingkat Banding
a. Permintaan Pemeriksaan di Tingkat Banding
Terhadap putusan pemeriksaan Peradilan Tata Usaha Negara dapat
dimintakan banding oleh penggugat atau tergugat atau pihak ketiga yang
memasuki proses sewaktu proses itu berjalan, kepada Pengadilan Tinggi Tata
usaha Negara (Pasal 122 UU PTUN)
1. Pemeriksaan ditingkat banding ini dimaksudkan agar seluruh pemeriksaan
yang telah dilakukan oleh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama diperiksa
ulang oleh Pengadilan Tinggi.
2. Pada pemeriksaan ini para pihak diberi kesempatan untuk mengajukan
argumen-argumennya dalam bentuk memoro banding mengenai hal-hal
yang dianggapnya perlu, yang menurut mereka telah dilupakan oleh
Hakim Pengadilan Tingkat Pertama.
3. Disini dapat juga diajukan bukti-bukti baru yang belum pernah diajukan
atau membantah, atau memperkuat pertimbangan atau putusan Hakim
Pengadilan Tingkat Pertama
4. Pemeriksaan ini bersifat devolutif, artinya seluruh pemeriksaan perkara
dipindahkan dan diulang kembali oleh Hakim Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara.
b. Pihak Ketiga (Pasal 83 UU PTUN)
Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan
dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas
prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa
Hakim, dapat masuk ke dalam sengketa Tata Usaha Negara dan bertindak
sebagai:
 Pihak yang membela haknya, atau;
 Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa.
Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a,
dapat dikabulkan dalam putusan yang dicantumkan dalam Berita Acara
Sidang. Permohonan banding terhadap putusan Pengadilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) huruf b tidak dapat diajukan tersendiri akan
tetapi harus bersama-sama dengan permohonan banding terhadap putusan
akhir dalam pokok sengketa.
c. Putusan PTUN yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan
pemeriksaan banding bersama-sama dengan Putusan Akhir (Pasal 124
UU PTUN)
Putusan terhadap penundaan pelaksanaan putusan TUN yang sedang
digugat {Pasal 67 ayat (2)}, yang hanya dapat dimohonkan pemeriksaan
banding bersama-sama dengan Putusan Akhir.
d. Beberapa Putusan yang dapat berkedudukan sebagai Putusan Akhir,
tetapi tidak dimungkinkan untuk dimintakan permohonan banding:
1. Penetapan Ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan, ketua
pengadilan berwenang memutuskan dengan penetapan yang dilengkapi
dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan dapat diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak mendasar.
2. Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya
hukum (Pasal 62 ayat (6) UU PTUN);
3. Penetapan Ketua Pengadilan mengenai permohonan untuk beracara cuma-
cuma (Pasal 60 UU PTUN)
4. Putusan perlawanan pihak ketiga terhadap pelaksanaan Putusan yang telah
berkekuatan tetap (Pasal 118)
e. Prosedur Permohonan Pemeriksaan Banding.
1. Diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya kepada Ketua
pengadilan TUN Tingkat Pertama yang menjatuhkan Putusan dalam
tenggang waktu 14 hari setelah putusan tersebut diberitahukan kepadanya
secara sah (Pasal 123 ayat 1). Dalam praktek hal ini akan terjadi dengan
mengisi formulir yang sudah tersedia.
2. Hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang dapat dilaksanakan (Pasal 115), oleh karena itu permohonan banding
akan mengakibatkan ditundanya pelaksanaan Putusan yang dimohonkan
banding.
3. Setelah Permohonan Pemeriksaan Banding beserta biaya perkara dipenuhi
dan perkara itu dicatat dalam perkara banding, Panitera memberitahukan
hal itu kepada pihak Terbanding. Hal yang serupa juga harus dilakukan
kalau kedua pihak mengajukan Permohonan Permintaan Banding.
4. Selambat-lambatnya dalam waktu 30 hari sesudah Permohonan
Pemeriksaan Banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua
belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di kantor
Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang waktu 30 hari setelah
mereka menerima pemberitahuan tersebut (Pasal 126 ayat 1)
5. Salinan Putusan, Berita Acara dan surat-surat lain yang bersangkutan
dengan perkara harus dikirimkan kepada Panitera Pengadilan Tinggi TUN
selambat-lambatnya 60 hari sesudah pernyataan Permohonan Pemeriksaan
Banding.
E. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi
Mengenai upaya hukum kasasi diatur dalam dalam pasal 131 UU PTUN yang
menyebutkan sbg :
1) Terhadap putusan tingkat terakhir pengadilan dapat dimintakan pemeriksaan
kasasi kepada MA.
2) Acara pemeriksaan kasasi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat 1 UU
No 14 tahun 1985 jo UU No 5 tahun 2004 tentang perubahan atas UU no 14 tahun
1985 MA.
Adapun bunyi ketentuan pasal 55 ayat 1 UU MA tersebut adalah sbb:
Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh pengadilan di lingkungan
peradilan agama atau yang diputus oleh pengadilan di lingkungan pengadiilan TUN,
dilakukan menurut ketentuan UU ini.
Tenggang waktu mengajukan upaya hukum kasasi tidak disebutkan dalam UU
PTUN, mengingat karena hal itu berdasarkan pasal 131 ayat (2) PTUN menyebutkan
bahwa acara pemeriksaan kasasi perkara TUN mengacu atau berpedoman kepada UU
No 14 Tahun 1985 jo UU No 5 tahun 2004 tentang MA ( UUMA). Dalam pasal 46
ayat (1) disebutkan bahwa tenggang waktu mengajukan kasasi adalah 14 hari sesudah
putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada
pemohon. Permohonan kasasi disampaikan pemohon secara tertulis atau lisan melalui
panitera pengadilan tingkat pertama yang telah memutus perkaranya. Apabila
tenggang waktu itu dilampaui, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima
putusan. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah permohonan kasasi
terdaftar, panitera memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu kepada
pihak lawan.
Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan dicatat dalam buku daftar,
pemohon kasasi wajib menyampaikan memori kasasi memuat alasan-alasan
permohonan kasasi. Panitera dalam tenggang waktu selambat-lambatnya 30 hari
menyampaikan salinan memori kasasi itu kepada pihak lawan. Dalam tenggang waktu
14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi, maka pihak lawan harus
sudah mengajukan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada panitera (pasal 47).
Dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah menerima memori kasasi dan
jawaban terhadap memori kasasi, panitera mengirimkan permohonan kasasi, memori
kasasi, jawaban atau memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada MA.
Dalam UU MA disebutkan bahwa permohonan upaya hukum kasasi dapat
diajukan dalam hal:
1) Upaya hukum kasasi terhadap kasus tersebut belum pernah diajukan atau dengan
kata lain permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali (pasal 43 ayat 2).
2) Permohonan pemeriksaan kasasi itu hanya dapat diajukan jika pemohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya menggunakna upaya hukum banding,
kecuali ditentukan lain oleh UU (pasal 43 ayat 1).
3) Pihak yang dapat mengajukan upaya hukum kasasi adalah pihak yang berperkara
atau wakilnya (pasal 44). Dengan demikian pihak ketiga tidak dapat mengajukan
kasasi.
4) Demi kepentingan hukum Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara yang
diperiksa dan diputus oleh pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat
banding dapat mengajukan permohonan kasasi (pasal 45 ayat 1).
Selanjutnya dalam pasal 30 UUMA disebutkan bahwa MA dalam tingkat kasasi
membatalkan putusan atau penetapan pengadilan–pengadilan dari semua lingkungan
peradilan karena:
1) Tidak berwenang atau melampaui batas–batas wewenang (menyangkut
kompetensi relative atau konpetensi absolute);
2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dalam kurung
(menyngkut kesalahan penerapan hukum metriil atau formil misalnya lupa
menyatakan perkara terbuka untuk umum);
3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersamgkutan ( misalnya lupa memuat irah-irah “demi keadilan berdasarkan
ketuhanan yang maha esa”.
Dari alasan-alasan tersebut di atas menurut Soedino Merokoesoemo dapatlah
diketahui bahwa dalam tingkat kasasi tidak diperiksa tentang duduknya perkara atau
faktanya tetapi tentang hukumnya, sehingga tentang terbukti tidaknya peristiwa tidak
akan diperiksa, pnilaian hasil pembuktian tidak dapat dipertimbangkan dalam
pemeriksaan tingkat kasasi. MA terikat pada peristiwa yang telah diputuskan dalam
tingkat terkhir. Jadi dalam tingkat kasasi peristiwanya tidak diperiksa kembali.
Dengan demikian kasasi tidak dimaksudkan sebagai peradilan tingkat ketiga.

F. Pemeriksaan Peninjauan Kembali


Pihak yang kalah dalam berperkara setelah berakhirnya upaya hukum biasa,
hukum acara di Indonesia masih memberikan kesempatan untuk menempuh upaya
hukum luar biasa yang dikenal dengan “Peninjauan Kembali”. Dikatakan luar biasa
karena peninjauan kembali adalah upaya hukum terhadap putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap dan membutuhkan alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu
yang ditentukan secara limitatif oleh Undang-Undang Mahkamah Agung dengan
tenggang waktu yang lebih lama yaitu 180 (seratus delapan puluh) hari dan
kewenangan mengadilinya langsung berada pada Mahkamah Agung. Sedangkan
upaya hukum biasa adalah upaya hukum terhadap putusan yang belum berkekuatan
hukum tetap, tenggang waktunya terbatas yang biasanya 7 atau 14 hari saja dan tidak
membutuhkan adanya alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu.
Hukum positif kita telah mengatur bahwa Peninjauan Kembali hanya untuk 1
(satu) kali diajukan dalam perkara tata usaha negara, sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
RI menyatakan “Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali”.
Permohonan peninjauan kembali dapat dilakukan apabila dalam putusan
mengenai perkara yang bersangkutan ditemukan hal-hal sebagai berikut:
1. Adanya suatu kebohongan, tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu, yang untuk itu
semua telah dinyatakan pula oleh hakim pidana. Peninjauan kembali dapat
diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak diketahuinya kebohongan,
tipu muslihat, atau bukti-bukti palsu berdasarkan putusan hakim pidana.
2. Adanya surat-surat bukti yang bersifat menentukan, jika surat-surat bukti
dimaksud dikemukakan ketika proses persidangan berlangsung. Bukti semacam
itu disebut pula dengan istilah novum. Peninjauan kembali dapat diajukan dengan
masa tenggang waktu 180 hari sejak diketahui atau ditemukannya bukti baru
(novum).
3. Adanya kenyataan bahwa putusan hakim mengabulkan suatu hal yang tidak
dituntut atau lebih dari yang dituntut. Peninjauan kembali dapat diajukan dalam
tenggang waktu 180 hari sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
4. Adanya bagian mengenai suatu tuntutan dalam gugatan yang belum diputus tanpa
ada pertimbangan sebab-sebabnya. Peninjauan kembali diajukan dengan masa
tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai kekuatan hukum tetap dan
telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang berperkara.
5. Adanya putusan yang saling bertentangan, meskipun para pihaknya sama,
mengenai dasar atau soal yang sama, atau sama tingkatannya. Peninjauan kembali
ditujukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan mempunyai
kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-pihak yang
berperkara.
6. Adanya kenyataan bahwa putusan itu mengandung suatu kekhilafan atau
kekeliruan yang nyata sehingga merugikan pihak yang bersangkutan. Peninjauan
kembali dapat diajukan dengan masa tenggang waktu 180 hari sejak putusan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan telah diberitahukan kepada pihak-
pihak yang berperkara.

Salah satu tindakan yang wajib dilakukan dan tertera dalam Standard Operating
Procedure (SOP) dalam penerimaan perkara peninjauan kembali di PTUN adalah
tahap pemeriksaan. Dasar hukum dalam melakukan pemeriksaan peninjauan kembali
di PTUN adalah :
a) UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan Peninjauan Kembali, Pasal 132. Bunyi pasal tersebut adalah:
(1) Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
(2) Acara pemeriksaan peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
b) Pasal 77 (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA
menyebutkan:”Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama atau oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan hukum acara peninjauan kembali yang
tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 75”
c) SEMA Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan khususnya pada angka 5 disebutkan sebagai berikut Tentang
Pengajuan Peninjauan Kembali: Lembaga hukum Peninjauan Kembali
merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat diajukan hanya satu kali
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, namun dalam hal terdapat dua
putusan peninjauan kembali yang saling bertentangan terhadap satu obyek
sengketa yang sama dapat diajukan permohonan peninjauan kembali untuk
membatalkan putusan peninjauan kembali yang kedua, karena dalam sengketa
tata usaha negara menganut asas erga omnes sehingga peninjauan kembali yang
kedua itu tidak diperlukan lagi.
Selain ketentuan-ketentuan diatas, terdapat pula beberapa prinsip dalam
peninjauan kembali di PTUN, yaitu:
1. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan terhadap putusan
Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
2. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.
3. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan
pelaksanaan putusan Pengadilan.
4. Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum diputus, dan dalam
hal sudah dicabut permohonan peninjauan kembali itu tidak dapat diajukan lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Harahap, Zairin. 2014. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Rajawali Pers
Indroharto. 2001. Teori dan Praktek Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta:
Grafindo.
Kansil, C.S.T. 1996. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pradnya Paramita
Wantu, Fence M. 2014. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Gorontalo:Reviva
Cendekia
Wiyono, R. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar Grafika

Internet :
Buku Ajar, “HUKUM ACARA DAN PRAKTEK PERADILAN TATA USAHA NEGARA”,
diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pendidikan_1_dir/4d9941b1e3d09fd0e40249ce753
7964b.pdf diakses pada tanggal 23 September 2021 pukul 20.00 WIB

Peraturan Perundang-Undangan :
SEMA Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan
UU No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara
UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara

Anda mungkin juga menyukai