Anda di halaman 1dari 11

TUGAS HUKUM PERUSAHAAN

KELOMPOK 1:
Nandita Wira Pratiwi (1604552056)
Anak Agung Wahyu Wedangga (1704552094)
Ni Made Kintan Oktavianti (1904551013)
Jasmine Sahira Kusnadi (1904551034)
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS HUKUM
2021/2022
I. HUKUM PERUSAHAAN
A. Istilah dan Pengertian Hukum Perusahaan
Istilah perusahaan dalam perundang-undangan dapat ditemukan dalam Pasal 6 Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Adapun mengacu pada Undang-Undang
Wajib Daftar Perusahaan, maka perusahaan didefinisikan sebagai: ‘’ Setiap bentuk usaha
yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan,
bekerja serta ber kedudukan dalam wilayah Negara Indonesia dengan tujuan
mendapatkan keuntungan atau laba.’’1
Di samping istilah perusahaan, terdapat istilah lain yang terkait dengan perusahaan,
yaitu pelaku usaha. Istilah Pelaku Usaha tersebut sepadan dengan istilah pelaku bisnis dan
pelaku ekonomi. Pelaku Usaha adalah subjek yang melakukan kegiatan usaha atau
melakukan kegiatan ekonomi. Pelaku Bisnis adalah subjek yang melakukan kegiatan
bisnis sama dengan pelaku ekonomi. Pelaku ekonomi adalah subjek yang
menjalankan/melakukan kegiatan ekonomi, yang dapat berupa memproduksi barang dan/
atau jasa, atau melakukan distribusi barang atau jasa. Bertitik tolak dari definisi tersebut,
maka lingkup pembahasan hukum perusahaan meliputi 2 hal pokok, yaitu bentuk usaha
dan kegiatan usaha.2
B. Sumber Hukum Perusahaan di Indonesia
Dalam hukum perusahaan sumber hukum cenderung formil, yaitu perundangan-
undangan berupa yang masih berlaku dalam BW dan KUHD, serta undang-undang yang
dibuat oleh pembuat Undang-Undang Republik Indonesia yang mengatur tentang
perusahaan. Selain perundang-undangan adalah kontrak perusahaan, yurisprudensi, dan
kebiasaan. Sementara sumber hukum yang bersifat materiil hanya bersifat pendukung
saja. Sebagai contoh sumber hukum materiil adalah kondisi ekonomi, sosial politik yang
tejadi ketika peraturan itu dilaksanakan.3
C. Peran dan Kedudukan Hukum Perusahaan di Indonesia
Kedudukan hukum perusahaan terletak pada hukum dagang (termasuk hukum
perdata) sekaligus juga terletak pada hukum administrasi negara dan hukum ekonomi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum perusahaan mempunyai 3 aspek yaitu :
ekonomi perusahaan, hukum dagang/perdata (privat) dan hukum administrasi negara
(publik).4 Hukum perusahaan diatur dalam buku ketiga bab ke 8 KUH Perdata, KUHD,
dan peraturan Perundang-Undangan lainnya. Serta Aspek hukum administrasi negara
yang tercermin dari tata perniagaannya serta pendirian usahanya. Hukum Perusahaan
dalam dunia usaha hubungannya dengan persaingan usaha di Indonesia berfungsi sebagai
sumber informasi yang berguna bagi praktisi bisnis, juga untuk dapat memahami hak-hak
dan kewajibannya dalam praktik bisnis dan agar dapat teruwujud watak dan perilaku
aktivitas dibidang bisnis yang berkeadilan, wajar, sehat dan dinamis.5

II. PERUSAHAAN DAGANG

1
Muhammad Said Is, S.H.HI.,M.H. Hukum Perusahaan di Indonesia. (Jakarta, PT.Kharisma
Putra Utama, 2016 ). hlm 2.
2
Ibid. hal.3.
3
Pujiyono. Hukum Perusahaan. (Surakarta, Indotama Solo, 2014). hlm 17.
4
Bagus Irawan. Aspek-aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi. (Penerbit
Alumni, 2007). hlm 18.
5
Ibid. hal.22.
Perusahaan dagang adalah perusahaaan perseorangan yang dilakukan oleh seorang
pengusaha. Artinya, perusahaan dagang dapat dikelola oleh satu orang atau lebih, modal
milik sendiri. Tata cara pendiriannya dijabarkan dalam Pasal 15 Undang Undang Wajib
Daftar Perusahaan (UUWDP). Apabila perusahaan berbentuk perorangan hal-hal yang
wajib didaftarkan adalah:
nama lengkap pemilik atau pengusaha dan setiap alias-aliasnya; setiap namanya dahulu
apabila berlainan dengan huruf a angka 1; nomor dan tanggal tanda bukti diri; alamat
tempat tinggal yang tetap; alamat dan negara tempat tinggal yang tetap, apabila tidak
bertempat tinggal tetap di wilayah Negara Republik Indonesia; tempat dan tanggal lahir
pemilik atau pengusaha; negara tempat lahir apabila dilahirkan di luar wilayah Negara
Republik Indonesia; kewarganegaraan pemilik atau pengusaha pada saat pendaftaran;
setiap kewarganegaraan pemilik atau pengusaha dahulu apabila berlainan dengan huruf d
angka 1; nama perusahaan dan merek perusahaan apabila ada; kegiatan pokok dan lain-
lain kegiatan usaha; izin-izin usaha yang dimiliki; alamat kedudukan perusahaan; alamat
setiap kantor cabang, kantor pembantu, dan agen serta perwakilan perusahaan apabila
ada; jumlah modal tetap perusahaan apabila ada; tanggal dimulai kegiatan perusahaan;
tanggal pengajuan permintaan pendaftaran.

Apabila perusahaan berbentuk usaha perorangan memiliki akta pendirian, pada waktu
mendaftarkan wajib menyerahkan salinan-salinan resmi akta pendirian yang disahkan
oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Dokumen lain yang dibutuhkan untuk
mendaftarkan perusahaan berbentuk perorangan dijabarkan lebih lanjut dalam keputusan
Menteri Perindusrrian dan Perdagangan, seperti yang telah di kutip diatas, yakni
melampirkan dokumen.6
III. PERSEKUTUAN PERDATA
A. Istilah dan Pengertian Persekutuan Perdata
Istilah persekutuan terjemahan dari kata Maatschap (parnership). Persekutuan perdata
terjemahan dari Burgelijke Maatschap (civil partnership), yang berarti, dua orang atau
lebih mengikat diri untuk memberikan suatu berupa uang, barang, atau tenaga dalam
bentuk suatu kerja sama.7Persekutuan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang
atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan
maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.
Sesuatu yang dimaksud menganut pengertian yang luas, yaitu bisa berupa uang maupun
barang-barang lain ataupun kerajinan (tenaga atau keterampila).8 Hal ini merupakan
syarat mutlak bagi terbentuknya persekutuan perdata. Maka dari pengertian tersebut,
unsur dari persekutuan perdata adalah:
1. Adanya suatu perjanjian kerja sama antara dua orang atau lebih
2. Masing-masing pihak harus memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan (inbreng)
3. Bermaksud membagi keuntungan bersama.
B. Sumber Hukum Persekutuan Perdata

6
Sadi Is, Muhammad. Hukum Perusahaan Di Indonesia. (Jakarta, Kencana, 2016). hlm 162-
163.
7
Bahmid, Bahmid. PERUBAHAN PERSEKUTUAN PERDATA MENJADI BADAN HUKUM
PERSEROAN TERBATAS. JURNAL PIONIR 2.4 (2018). Hal 2.
8
Asikin, Zainal. Wira Pria Suhartana. PENGANTAR HUKUM PERUSAHAAN.( Jakarta, Kencana,
2016). Hal 12.
Persekutuan perdata atau Maatschap diatur dalam Bab VIII bagian pertama dari Buku III
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), tepatnya pada Pasal 1618 hingga Pasal
1652.
C. Jenis Persekutuan Perdata
Persekutuan perdata terbagi menjadi dua yaitu persekutuan perdata yang terbatas dan
tak terbatas. Persekutuan perdata terbatas hanya menyangkut barang-barang tertentu,
pemakaiannya atau hasil-hasil yang akan diperoleh dari barang-barang itu, mengenai
usaha tertentu atau penyelenggaraan suatu perusahaan atau pekerjaan tetap. Persekutuan
perdata ini dikenal juga sebagai persekutuan perdata khusus (bijzondere maatschap).
Sedangkan persekutuan perdata tak terbatas atau persekutuan perdata umum (algehele
maatschap) meliputi apa saja yang akan diperoleh para peserta sebagai hasil usaha
mereka selama persekutuan itu berdiri. Para sekutu memasukkan seluruh hartanya atau
bagian yang sepadan dengannya. Persekutuan ini dilarang dalam Pasal 1621 KUH
Perdata, yang dibolehkan untuk dimasukkan itu adalah keuntungan. Karena akan sulit
untuk membagi keuntungan secara adil apabila pemasukan tanpa perincian.9
D. Pendirian Persekutuan Perdata
Dalam pendirian suatu Maatschap, setiap sekutu diwajibkan untuk berkontribusi
(inbreng) sesuatu yang bernilai ekonomis dan bermanfaat bagi kepentingan Maatschap
tersebut. Bentuk kontribusi yang dapat diberikan yaitu uang, barang, good will, dan know
how. Good will dapat berupa pangsa pasar yang luas, jaringan, relasi, ataupun merek
(brand image). Adapun know how dapat berupa keahlian di bidang tertentu. Syarat
pendirian Maatschap yaitu didirikan minimal 2 orang berdasarkan perjanjian dengan akta
notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia sebagai bentuk kesepakatan antara para
sekutu untuk berserikat dan mengatur hubungan hukum diantara para sekutu tersebut.
Maatschap dapat didirikan melalui perjanjian sederhana tanpa pengajuan formal atau
tanpa persetujuan dari pemerintah yaitu secara lisan.10
E. Tanggung Jawab Sekutu
Tanggung jawab Maatschap dibagi menjadi dua yaitu tanggung jawab intern para
sekutu dan tanggung jawab ekstern terhadap pihak ketiga. Dalam tanggung jawab intern,
para sekutu dapat menunjuk salah seorang diantara mereka atau pihak ketiga untuk
menjadi pengurus Maatschap guna melakukan segala tindakan kepengurusan atas nama
Maatschap.11 Mengenai tanggung jawab juga diatur dalam Pasal 1637 KUH Perdata.
"Jika beberapa peserta ditugaskan melakukan urusan perseroan tanpa adanya pekerjaan
tertentu bagi masing-masing atau tanpa adanya perjanjian, bahwa salah seorang tidak
boleh melakukan suatu tindakan apa pun jika tidak bersama-sama dengan para pengurus
lain maka masing-masing berwenang untuk bertindak sendiri dalam urusan perseroan
itu."
Bila tidak dibentuk perjanjian sebelumnya, maka wajib diindahkan aturan-aturan
berikut:
1. para peserta dianggap telah memberi kuasa satu sama lain untuk mengurus
perseroan itu; Apa yang dibuat oleh masing-masing peserta sekalipun tanpa izin dari
peserta lain, mengikat mereka, tanpa mengurangi hak mereka atau salah seorang dari
mereka untuk melawan perbuatan tersebut selama perbuatan itu belum ditutup;

9
Ibid. Hal 14.
10
Ibid. Hal 15.
11
Ibid. Hal 12-13.
2. setiap peserta boleh menggunakan barang-barang kepunyaan perseroan asal untuk
keperluan biasa dan tidak dengan cara yang bertentangan dengan kepentingan
perseroan atau dengan cara sedemikian rupa, sehingga para peserta lain mendapat
halangan untuk menggunakannya berdasarkan haknya;
3. setiap peserta berhak mewajibkan para rekannya untuk ikut memikul biaya-biaya
yang perlu untuk pemeliharaan. barang-barang kekayaan perseroan;
4. tanpa izin peserta lain, tidak seorang peserta pun boleh mengadakan pembaruan-
pembaruan pada barang tak bergerak kepunyaan perseorangan dengan alasan bahwa
pembaruan-pembaruan itu bermanfaat bagi perseroan.
Berdasarkan Pasal 1642-Pasal 1645 KUH Perdata, tanggung jawab sekutu dalam
persekutuan perdata yaitu:
1. Bila seorang sekutu mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga, maka
sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggungjawab atas perbuatan-perbuatan
hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga itu, walaupun ia mengatakan bahwa dia
berbuat untuk kepentingan persekutuan;
2. Perbuatan tersebut baru mengikat sekutu-sekutu yang lain apabila:
a. nyata-nyata ada surat kuasa dari sekutu yang lain;
b. hasil perbuatannya atau keuntungannya itu telah nyata-nyata dinikmati oleh
persekutuan.
3. Apabila beberapa orang sekutu persekutuan perdata mengadakan hubungan dengan
pihak ketiga, maka para sekutu itu dapat dipertanggungjawabkan sama rata, meskipun
pemasukan mereka masing-masing tidak sama, kecuali apabila dalam perjanjian yang
dibuatnya dengan pihak ketiga itu dengan tegas ditetapkan imbangan tanggung jawab
masing-masing sekutu menurut perjanjian itu.
4. Apabila seorang sekutu persekutuan perdata mengadakan hubungan hukum dengan
pihak ketiga atas nama persekutuan, maka persekutuan dapat langsung menggugat
pihak ketiga itu.
F. Pembebanan Pengurusan Persekutuan Perdata
Pembebanan pengurusan persekutuan perdata dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Diatur sekaligus bersama-sama akta pendirian persekutuan perdata (Sekutu
Statuter)
2. Diatur dengan akta tersendiri sesudah persekutuan perdata berdiri (Sekutu
Mandater)
G. Keuntungan Persekutuan Perdata
Pembagian keuntungan persekutuan perdata berdasarkan Pasal 1633 KUH Perdata
yaitu: “Jika dalam perjanjian perseroan tidak ditetapkan bagian masing-masing peserta
dari keuntungan dan kerugian perseroan, maka bagian tiap peserta itu dihitung menurut
perbandingan besarnya sumbangan modal yang dimasukkan oleh masing-masing. Bagi
peserta yang kegiatannya saja yang dimasukkan ke dalam perseroan, bagiannya dalam
laba dan rugi harus dihitung sama banyak dengan bagian peserta yang memasukkan
uang atau barang paling sedikit.”
H. Pembubaran Persekutuan Perdata
Pembubaran persekutuan perdata (maatschap eindight) dijabarkan dalam Pasal 1646
sampai Pasal 1652 KUH Perdata. Berdasarkan Pasal 1646 KUH Perdata, suatu Maatschap
dengan sendirinya bubar apabila terjadi salah satu dari peristiwa berikut:
1. karena waktu yang ditetapkan dalam perjanjian telah habis.
2. karena musnahnya barang yang dipergunakan untuk tujuan perseroan atau karena
tercapainya tujuan itu.
3. karena kehendak beberapa peserta atau salah seorang peserta.
4. karena salah seorang dari peserta meninggal dunia, di tempat di bawah
pengampuan atau bangkrut atau dinyatakan sebagai orang yang tidak mampu.
Berakhirnya persekutuan perdata diatur dalam Pasal 1646 KUH Perdata, persekutuan
perdata berakhir apabila telah diadakan likuidasi. Likuidasi merupakan tindakan
pemberesan setelah persekutuan perdata bubar. Orang yang melakukan likuidasi disebut
likuidator, yang biasanya ditunjuk oleh Anggaran Dasar, atau dipilih melalui rapat sekutu
yang terakhir. Jika rapat terakhir tidak ada, maka pengurus terakhir yang melaksanakan
likuidasi.12
IV. FIRMA
A. Pengertian dan Ketentuan Umum Firma
Dalam bahasa Belanda terdapat istilah "venootschap onder firma" atau "persekutuan
firma" yang secara harfiah memiliki arti yaitu perserikatan dagang antara beberapa
perusahaan.13 Ketentuan Firma diatur dalam Pasal 16 sampai Pasal 35 Kitab Undang
Undang Hukum Dagang (KUHD). Menurut Pasal 16 KUHD, firma adalah persekutuan
perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama (firma).
Firma adalah persekutuan perdata jenis khusus yang memiliki unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Menjalankan perusahaan
2. Mempunyai nama bersama
3. Pertanggungjawaban tanggung menanggung atau bersifat pribadi untuk
keseluruhan (Hoofdellijk voor het geheel)
Dalam unsur ini, dikenal istilah tanggung renteng sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 18 KUHD. Artinya bahwa apabila firma mengalami kerugian, maka firma harus
menanggung beban kerugian tersebut.14Tanggung jawab pesero dalam persekutuan firma
dibedakan menjadi tanggung jawab ekstern (keluar) dan tanggung jawab intern (di
dalam). Tanggung jawab intern pesero seimbang dengan pemasukannya (inbreng).
Tanggung jawab ekstern para pesero dalam Firma menurut pasal 18 KUHD adalah
tanggung jawab atas semua perikatan persekutuan, meskipun dibuat sekutu lain, termasuk
perikatan-perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum. Pertanggungjawaban
itu menjadi tanggung jawab pesero secara bersama-sama sebagai akibat perbuatan yang
disebabkan karena salah seorang atau beberapa pesero. 15
B. Pendirian, Pendaftaran dan Pengumuman Firma
Berdasarkan Pasal 22 KUHD, perseroan-perseroan firma harus didirikan dengan akta
otentik. Tujuan utama adanya akta otentik adalah sebagai alat bukti utama keberadaan
firma dalam melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Oleh karena itu akta
pendirian secara tertulis seyogianya menjadi keharusan bagi calon sekutu yang akan
mendirikan firma. Sebagai bukti hukum, pembuatan akta pendirian Firma dibuat di
hadapan Notaris. Terdapat tiga unsur penting dalam isi Pasal 22 KUHD, sebagai berikut:
- Firma harus didirikan dengan akta otentik;
- Firma dapat didirikan tanpa akta otentik;
- dan akta yang tidak otentik tidak boleh merugikan pihak ketiga.

12
Dani, Sapuan. PERKEMBANGAN HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA. (MAJALAH
KEADILAN 19.1 .2020):34-53. Hal 40.
13
Pujiyono. Hukum Perusahaan. (Surakarta, Indotama Solo, 2014).hlm 71.
14
Ibid. Hal 73.
15
Hariyanto, Erie. HUKUM DAGANG & PERUSAHAAN DI INDONESIA. (Surabaya, Pena
Salsabila,2013).. Hal 20.
Pendaftaran dan pengumuman firma diatur dalam Pasal 23 hingga Pasal 29 KUHD.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 23 dan Pasal 24 KUHD, Persekutuan Firma harus
mendaftarkan akta pendiriannya atau hanya petikannya saja ke kepaniteraan Pengadilan
Negeri di mana Persekutuan Firma tersebut didirikan. Pengumuman firma diatur di dalam
Pasal 28 KUHD yang menyebutkan bahwa firma wajib mengumumkan petikan aktanya
dalam surat kabar resmi sesuai dengan ketentuan Pasal 26. Akta pendirian Firma harus
diumumkan dalam Berita Negara RI. Tenggang waktu untuk mendaftar dan
mengumumkan tidak ditentukan oleh KUH Perdata, KUDH, maupun undang-undang.
Namun kewajiban untuk mendaftarkan dan mengumumkan adalah merupakan suatu
keharusan yang bersanksi. Apabila tidak disegerakan maka menurut ketentuan Pasal 29
KUHD, Persekutuan Firma tersebut harus dianggap sebagai:
a) Persekutuan Umum seperti halnya persekutuan perdata yang menangani segala
urusan/usaha;
b) Memiliki jangka waktu pendirian yang tidak terbatas;
c) Tidak ada perbedaan dan atau pengecualian terhadap seorang sekutu/firmant dalam
hal melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga.
C. Pembagian Keuntungan dan Kerugian
Dalam persekutuan firma, pembagian keuntungan didasarkan pada perjanjian antar
para sekutu ketika proses pembuatan akta pendirian dan ketentuan-ketentuan lain yang
mengatur firma. Para sekutu dapat bersepakat terlebih dahulu mengenai cara, metode dan
jumlah keuntungan yang dibagi untuk para sekutu. Sebagai batasannya pembagian
tersebut tidak boleh memberikan seluruh keuntungan hanya kepada salah seorang sekutu
saja dan boleh diperjanjikan jika seluruh kerugian hanya ditanggung oleh salah satu
sekutu saja. Selain itu kesepakatan mengenai pembagian keuntungan juga tidak
diperbolehkan melanggar hukum, ketertiban umum dan kesusilaan. Apabila para sekutu
tidak memiliki perjanjian sebelumnya maka pembagian keuntungan dan kerugian dapat
memakai ketentuan yang diatur dalam Pasal 1633-Pasal 1635 KUH Perdata.16
D. Pembubaran Firma
Ketentuan mengenai bubarnya firma diatur di dalam Pasal 31-35 KUHD. Sebab bubarnya
firma karena:
1) telah ditentukan dengan atau oleh perjanjian (yang tercantum dalam akta
pendirian/anggaran dasar);
2) telah berakhir waktunya/daluwarsa;
3) lepasnya tanggung jawab para sekutu (mengundurkan diri, meninggal atau
pailitnya para sekutu)
Ketentuan lebih rinci mengenai pembubaran ini juga terdapat di dalam Pasal 1646 hingga
1652 KUH Perdata. Sebab tersebut adalah sebagai berikut:
1) sebab yang diatur dalam pasal 1646 KUH Perdata: Lampaunya waktu/daluwarsa;
Musnahnya barang atau telah tercapainya tujuan persekutuan; kehendak dari seorang
atau beberapa orang sekutu; salah seorang sekutu meninggal dunia atau dibawah
pengampuan atau dinyatakan pailit.
2) sebab yang diatur dalam Pasal 1647 KUH Perdata yaitu Putusan Hakim.

V. PERSOALAN HUKUM TERKAIT FIRMA

Perusahaan yang meminjam uang harus mengembalikan pinjaman yang telah


diberikan sesuai jangka waktu yang telah ditentukan. Dengan demikian, perusahaan

16
Pujiyono. Hukum Perusahaan. (Surakarta, Indotama Solo, 2014). hlm 79.
yang meminjam harus mengembalikan pinjamannya sesuai dengan nominal uang
yang dipinjam dari pihak lain. Apabila tidak bisa mengembalikan pinjaman, maka
perusahaan tersebut dapat diajukan gugatan wanprestasi dan dapat diajukan Pailit
melalui jalur Kepailitan di Pengadilan Niaga. Permasalahan pokok yang saat ini
dihadapi yaitu perbedaan keputusan Hakim dalam hal mengadili termohon Pailit
( debitor ) yang merupakan perusahaan bukan badan hukum yaitu Perusahaan
Persekutuan Firma.17 Kasus yang dialami Firma Litha & Co, diawali dari Firma Litha
& Co sebagai termohon Pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Kemudian Hakim menghukum Pailit dan PKPU Firma Litha & Co, karena telah
memenuhi syarat Pailit dalam Undang-Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Hutang. Dalam Putusan Nomor
01/PKPU/2012/PN.Niaga.MKS. Firma Litha & Co dihukum untuk membayar utang
kepada para kreditornya atau Pemohon PKPU. Firma Litha & Co telah memenuhi
syarat debitor yang dapat dinyatakan pailit yaitu debitor yang mempunyai 2 atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
ditagih.18
Kemudian setelah Pengadilan Niaga menjatuhkan putusan atas permohonan
pernyataan pailit, maka upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan tersebut
adalah Kasasi ke Mahkahmah Agung hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang. Sesuai dengan aturan tersebut Firma Litha & Co yang telah
diputus Pailit dan PKPU oleh Pengadilan Niaga Makasar, selanjutnya Firma Litha &
Co mengajukan Peninjauan Kembali dengan alasan-alasan yang diajukan oleh Firma
Litha & Co yaitu :
1. Pemohon PKPU Heryanto Wijaya, PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk,
sama sekali tidak dapat memenuhi kriteria hukum untuk dapat dipandang selaku
Pemohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terhadap Firma Litha
& Co karena sementara menggunakan upaya hukum lain (upaya hukum tersebut
masih sementara aktif berjalan/belum dicabut) sehingga terdapat dua upaya
hukum yang digunakan dalam menyelesaikan satu permasalahan hukum, tanpa
adanya suatu ketegasan pemilihan diantara dua upaya hukum tersebut.
2. PT.Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk adalah pemegang Hak Tanggungan atas
barang jaminan Firma Litha & Co, yang dalam pasal 244 Undang Undang No.
37/2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, tidak
dimungkinkan untuk ikut serta didalamnya. Permohonan lelang eksekusi tersebut
sampai saat ini masih berjalan dan tidak pernah dicabut oleh BNI sampai saat ini.
3. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar salah menerapkan hukum
terhadap Firma Litha & Co berkenan Firma bukanlah badan hukum. Pengadilan
Niaga Pada Pengadilan Negeri Makassar sama sekali telah keliru dalam
menerapkan hukum khususnya terhadap perusahaan yang non Badan Hukum.
4. Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Makassar, salah menerapkan hukum,
karena permohonan ditujukan kepada pihak yang sudah meninggal, Ribka Ruru.
5. Hakim Pemutus Pengadilan Niaga Makassar dalam putusannnya sama sekali tidak
mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan yang dilakukan hakim
pengawas dengan pengurus bersama dengan Termohon PKPU dan Pemohon
PKPU, sehingga dengan demikian Putusan Pengadilan Niaga tersebut nyata-nyata
melanggar asas Keseimbangan, asas Kelangsungan Usaha, maupun asas keadilan,

17
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Ctk Kedua, UMM Press Malang, 2007, hlm.20.
18
Ibid,Hal.23
sebagaimana dianut dalam Undang Undang No. 37/2004 Tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban.
Alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung dengan nomor putusan :
156/PK/Pdt.Sus/2012 memutuskan untuk mengabulkan permohonan Peninjauan
Kembali yang dimohonkan Firma Litha & Co dan membatalkan Putusan Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri Makassar Nomor 01/PKPU/2012/PN.NIAGA.MKS.
Hakim berpendapat bahwa : Firma Litha & Co tidak mempunyai legal standing
karena Firma Litha & Co tidak bersetatus badan hukum sehingga tidak dapat
dijadikan subyek hukum sebagai Termohon PKPU, dan seharusnya yang dapat
dijadikan termohon PKPU adalah pengurus aktif dari Firma Litha & Co 19. Terdapat
perbedaan Putusan Hakim yang menghukum Firma Litha & Co. Di Pengadilan
Niaga , Firma Litha & Co diputus Pailit & PKPU karena telah memenuhi syarat
sebagai Debitor Pailit sesuai dengan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan PKPU. Tetapi di Mahkamah Agung , Firma Litha & Co diputus Hakim
bebas tidak dalam keadaan Pailit karena Firma Litha & Co bukan berstatus badan
hukum sehingga tidak bisa dijadikan subjek hukum sebagai Termohon PKPU.
Mengingat permasalahan seperti yang di jelaskan di atas bahwa dalam hal
mengadili Kepailitan mengenai kedudukan Firma sebagai Termohon Pailit dalam
Pengadilan harus ada konsistensi dalam memutus perkara Pailit. Namun mengapa
masih saja ada perbedaan dalam penjatuhan hukuman Pailit terhadap Persekutuan
Firma dan terdapat tumpang tindih antara Putusan Hakim pada tingkat Kasasi dengan
Undang-Undang yang berlaku, karena hal ini dapat memberikan kebingungan serta
hal yang dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap seluruh
pihak baik masyarakat dan negara. Untuk itu harus ada kepastian hukum dalam hal
menyangkut masalah kedudukan Firma sebagai Termohon Pailit di Pengadilan.

19
Putusan Mahkamah Agung ( Putusan Kasasi ) Nomor : 156 PK/PDT.SUS/2012.hlm.15.
DAFTAR PUSTAKA
Irawan, Bagus.2007.Aspek-Aspek Hukum Kepailitan, Perusahaan dan Asuransi. Bandung : Penerbit
Alumni

Pujiyono, 2014. Hukum Perusahaan, Surakarta : CV.Indotama Solo

Said, Muhammad.2016.Hukum Perusahaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Kencana

Annurdi (dkk), Tanggung Jawab Sekutu Firma Atas Kepailitan, Tanjungpura Law Journal
,27(1),2017, hal.16 tersedia di http://jurnal.untan.ac.id/index.php/tlj diakses pada 10 September
2021, pukul 08.00
Rahayu Hartini,2007. Hukum Kepailitan, Ctk Kedua, UMM Press Malang, 2007
Asikin, Zainal,Wira Pria Suhartana,2016. Pengantar Hukum Perusahaan.Jakarta : Kencana
Haryanto,Erie.2013.Hukum Dagang dan Perusahaan di Indonesia.Surabaya : Penerbit Rena
Salsabila
Dani Sapuan.2020.Perkembangan Hukum Perusahaan di Indonesia.(Majalah Keadilan 19.1.2020)
Bahmid,Bahmid.Perubahan Persekutuan Perdata menjadi badan hukum Perseroan Terbatas.Jurnal
Pionir.2.4

Anda mungkin juga menyukai