Anda di halaman 1dari 16

Prinsip-prinsip WTO Agreement

dalam Perdagangan dan Bisnis


Dalam menjalankan tugasnya untuk mendorong terciptanya
perdagangan bebas tersebut, WTO memberlakukan beberapa
prinsip yang menjadi pilar-pilar WTO.
Prinsip-prinsip tersebut antara lain:
1. Prinsip Sovereignity (Kedaulatan Negara)
2. Prinsip Equal State (Kesederajatan Negara)
3. Prinsip Asymmetric Economic Conditions, Empowering, Free Competition
(Persaingan Bebas)
4. Prinsip Discrimination Non-discrimination (Diskriminasi dan Non-Diskriminasi)
5. Prinsip Exception, Special Treatment (Pengecualian dan Perlakuan Khusus)
6. Prinsip Reciprocity (Timbal-Balik)
7. Prinsip Peaceful Settlement of Dispute (Penyelesaian Sengketa Secara Damai)
Dasar Hukum Pengaturan
Outsourching dalam UU No. 13
Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan
Dalam UU No. 13 Tahun 2003 ketentuan mengenai Outsoruching diatur dalam pasal-pasal
sebagai berikut:
• Dalam Pasal 64 UU No. 13 Tahun 2003 menjelaskan bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
penyediaan jasa karyawan yang dibuat secara tertulis. 
• Dalam Pasal 65 ayat (2) ditentukan 4 syarat jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan
lain, sebagai berikut:
a) dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b) dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c) merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d) tidak menghambat proses produksi secara langsung.
• Dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 mengatakan bahwa pekerjaan yang dapat dijadikan dalam
perjanjian Outsourcing adalah pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan pokok atau
proses produksi suatu perusahaan.
• Hak-hak buruh Outsourcing yang dituangkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 relatif sangat banyak. Beberapa
hak yang diperoleh adalah hak non diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan terdapat dalam Pasal 5, hak
memperoleh perlakuan dan hak-hak yang sama di tempat kerja terdapat dalam Pasal 6 jo Pasal 65 ayat (4)
dan Pasal 66 ayat (2) huruf C, memperoleh upah lembur apabila dipekerjakan melebihi waktu kerja
normal terdapat dalam Pasal 1 angka 30 dan Pasal 78 ayat (2) jo Pasal 77 ayat (2), hak dan perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terdapat dalam Pasal 86 ayat (1) jo Pasal 2 ayat (1).
PEMUTUSAN HUBUNGAN
KERJA BAGI PEGAWAI
OUTSOURCING
PENDAHULU
AN

Outsourcing pada dasarnya adalah lembaga penyedia jasa kerja yang


dibutuhkan kepada setiap perusahaan-perusahaan besar yang bergerak
dibidang industri. Dimana dalam hal tersebut terdapat adanya penyerahan
wewenang dari lembaga penyedia jasa outsourcing kepada pihak perusahaan
untuk memperkerjakan setiap orang dari penyedia jasa untuk melakukan
ataupun membantu kegiatan bisnis industri tersebut utamanya pada
perusahaan asing.
Hal tersebut tentu membutuhkan adanya suatu aturan yang harus melindungi
antara kegiatan bisnis tersebut serta perlindungan setiap orang yang turut
serta membantu kegiatan industrial dalam kontrak kerja perusahaan.
Outsourcing sendiri merupakan salah satu sistematis yang terstruktur dibuat
oleh negara Indonesia tertuang dalam UU RI No 13 Tahun 2003 dalam
pelaksaannya tentang Ketenagakerjaan. .
Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang bisnis usaha/ Industri
dalam pemenuhannya dapat memperkerjakan atau mencari penyedia jasa
buruh melalui perjanjian-perjanjian yang dibuat secara tertulis atau
disebutkan sebagai kontrak kerja demi menunjang kelangsungan jalannya
bisnis industri tersebut. Dalam hal tersebut pemerintah berkewajiban untuk
turut serta dalam mengontrol jalannya pergerakan yang melibatkan SDM
untuk mendapatkan perlindungan kerja yakni memperoleh kemakmuran serta
keadilan untuk menjalankan setiap kegiatan demi pemenuhan hidupnya.
UU ketenagakerjaan sebagai aturan utama dalam setiap kegiatan yang
mengandung unsur SDM dalam bekerja dibidang industri bisnis, dimana hal
tersebut memproteksi segala konflik-konflik ataupun kecurangan baik dari
pihak bisnis terhadap perkerja serta dari pekerja terhadap pelanggaran kontak
kerja mereka masing masing.
sistem pemutusan
kerja pekerja
outsourcing

Salah satu ketentuan mengenai tata kelola pekerja Outsourcing ini tercantum pada
PERMEN No. 19 Tahun 2012 dimana dijelaskan suatu syarat umum untuk
memperkerjakan masyarakat yang dalam pelaksanaannya terhadap penyerahan
yang dapat berpacu untuk suatu alih daya yakni pemborongan terhadap pekerja
pekerja dan penyediaan jasa-jasa pekerja.
Terdapat beberapa hak para pekerja Outsourcing yang telah menjalani
pekerjaannya didalam suatu perusahaan yakni atas pembayaran tambahan dalam
keperluannya dimana hal tersebut jika pekerja melakukan kegiatan ekstra dalam
usaha bisnis tersebut, sifat dari kontrak kerja yang telah diajalankan pekerja
bersifat sementara atau pekerjaan tersebut hanya berlaku sesuai kontrak dan bisa
diperpanjang jika kedua belah pihak berkehendak, hak lainnya yakni perusahaan
tempat bekerja tidak membeda-bedakan dengan pekerja yang setara ataupun
dalam hal ini disebutkan sebagai diskriminasi, tetap memperoleh HAM nya secara
utuh, serta setiap pekerja diberlakukan adil dan/ atau kepastiankepastian dalam
penjamin kontrak kerja yang telah berjalan sampai kegiatan tersebut usai.
Berkenaan dengan pelanggaran yang telah dilakukan oleh pekerja
Outsourcing maka dalam hal ini adanya sistem PHK oleh perusahaan
penerima jasa (Vendor) terhadap pekerjanya yang telah berkontak kerja,
baik hal tersebut diutus dari perusahaan itu sendiri karena adanya
konflik yakni terdapatnya penipuan, kecurangan yang berdampak
mengacaukan kegiatan usaha bisnis perusahaan seperti pencurian,
adanya keterangan atau datadata palsu, pekerja memiliki naluri sebagai
penjahat baik secara nyata maupun naluri seperti pecandu narkotika atau
zat-zat berbahaya lain, terjadinya tindakan asusila oleh keperja yang
merugikan perusahaan. PHK Dilihat juga dari aspek-aspek lain yakni
bisa saja dari keinginan pekerja itu sendiri, dan atas tidak adanya
kelanjutan dari kontrak kerja ataupun disebut sebagai perpanjangan
kontrak kerja.
Aturan yakni UU Ketenagakerjaan yang salah satu perannya berfungsi sebagai
perlindungan terhadap pekerja Outsourcing yang telah menjalankan kegiatan di
perusahaan dimana pekerja tersebut telah menyetujui perikatan kontrak kerja.
Beberapa hal yang tertuang didalamnya yakni : Perlindungan secara bentuk
ekonomisnya, yakni disebutkan sebagai penghasilan yang didapatkan kepada
pekerja baik sesuai kontrak maupun pembiayaan tambahan terhadap pekerja yang
telah melakukan pekerjaannya sesuai dengan kelebihan kerja dalam bentuk
positif kepada perusahaannya dan memperoleh hak lebih untuk bonus yang
didapatkan. Perlindungan secara bentuk sosiologisnya, yakni adanya suatu
jaminan-jaminan yang berhak didapatkan selama menjadi pekerja kontrak
Outsourcing yang memungkinkan sarana khusus untuk perlindung baik dalam
bentuk fisik ataupun batin seperti kesehatan serta keselamatan bekerja.
Perlindungan dalam bentuk teknisnya, yakni memperoleh keamanan dan
kenyamanan utuh dari setiap bahayanya pekerjaan yang dilakukan pekerja,
dimaksudkan dalam hal ini sebagai perlengkapan yang sesuai standar didapatkan
untuk melaksanakan pekerjaan..
Upaya hukum yang dapat
ditempuh oleh pekerja
outsourcing yang di phk

Jika terdapat kasus akan pekerja yang tidak terima di PHK karena berbagai alasan,
hal tersebut telah diproses oleh hukum dan termuat juga dalam UU
Ketenagakerjaan serta PERMEN. Berkenaan dengan upaya-upaya yang dapat
dilakukan pekerja untuk menyeleksi apakah memang harus di PHK atau tidak
dapat dilihat dari aspek hukum, disebutkan jika PHK dalam setiap kontrak kerja
yang diberikan langsung oleh pekerja yang telah melanggar kontraknya tersebut
harus diserahkan data-data PHK ke P4D yakni Panitia Daerah guna diberikannya
izin untuk putusannya dari PHK yang diberikan. Jika izin tidak diberikan maka
PHK batal demi hukum, hal tersebut menjadikan salah satu upaya dalam setiap
pekerja agar tidak adanya tindakan semenamena dari perusahaan untuk memecat
pekerja demi memperoleh keuntungan pribadi dan berdampak langsung ke setiap
pekerja didalamnya. Selain itu terdapat Penyelesaian yang dapat dilakukan pekerja
untuk mendapatkan haknya kembali dalam prosesnya terkena PHK yakni diluar
pengadilan seperti Arbitrasi, Bipartit, Mediasi, dan Konsiliasi
Bidang dan Jenis Hak Asasi Manusia
dalam Kaitan dengan Outsourching
Dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur
perlindungan terhadap hak-hak pekerja antara lain:

• 1. Hak atas upah yang layak;


• 2. Hak perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, termasuk
hak istirahat dan cuti;
• 3. Hak atas PHK;
• 4. Hak untuk mogok kerja dan sebagainya.
• Hak-hak buruh Outsourcing yang dituangkan dalam UU
Ketenagakerjaan relatif sangat banyak. Beberapa hak yang diperoleh
adalah hak non diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan terdapat
dalam pasal 5, hak memperoleh perlakuan dan hak-hak yang sama di
tempat kerja terdapat dalam pasal 6 jo pasal 65 ayat (4) dan pasal 66
ayat (2) huruf C, memperoleh upah lembur apabila dipekerjakan
melebihi waktu kerja normal terdapat dalam pasa 1 angka 30 dan
pasal 78 ayat (2) jo pasal 77 ayat (2), hak dan perlindungan atas
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) terdapat dalam pasal 86 ayat
(1) jo pasal 2 ayat (1).
Buruh Outsourcing mendapatkan upah yang lebih kecil dibandingkan
dengan buruh tetap maupun pekerjaan yang mereka lakukan sama hal ini
bertentangan dengan pasal 23 (2) Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) yang menetapkan “everyone without any discrimination, has the
right to equal pay for equal work” dan pada pasal 7 International Covenant
on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) menetapkan dimana
pekerja memilki hak untuk mendapatkan remunerasi (equal remuneration
for work of equal value) atau imbalan atas jasa yang dilakukan yang setara
untuk pekerjaan yang nilainya setara tanpa pembedaan apapun.
Kerangka umum yang digunakan ILO sebagaiprinsip dan hak-hak dasar di
tempat kerja yang berkaitan dengan Outsourcing adalah:

• a. Konvensi ILO no. 111 (1958) (Discrimination Employment and


Occupation) tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi tenaga kerja
(equality and non discrimination).Kovensi ini melindungi hak- hak tenaga
kerja dari diskriminasi langsung maupun tidak langsung. Konvensi ini
telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1999.
• b. Konvensi ILO no. 87 (1948) (Freedom of Association and Protection of
the right to Organise) tentang kebebasan untuk berserikat dan pengakuan
untuk melakukan perundingan bersama. Konvensi ini menetapkan bahwa
“all workers have the rights without any distinction to join a organization
of their own choosing without previous authorisation.”. Konvensi ini telah
diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 83 Tahun 1998.

Anda mungkin juga menyukai