Anda di halaman 1dari 16

PEMILIHAN BENTUK USAHA

Latar Belakang

Salah satu faktor yang paling mempengaruhi faktor awal pendirian suatu perusahaan atau
bisnis yaitu pada saat pemilihan bentuk perusahaan tersebut. Oleh karena itu pemilihan bentuk
perusahaan adalah tahap awal dari pendirian suatu perusahaan harus dengan benar demi
kemajuan perusahaan tersebut. Untuk memilih bentuk perusahaan, tentunya harus melalui
pertimbangan yang matang dan perlu diperhatikan dengan cermat bagaimana bentuk perusahaan
tersebut.

Bentuk-bentuk usaha di Indonesia sendiri terdiri dari 3 macam yaitu BUMN, Koperasi
dan Swasta. Namun yang tentunya menjadi objek pajak penghasilan adalah bentuk usaha Swasta,
yang mana hal itu bertujuan semata-mata untuk mencari keuntungan dan menambah kekayaan.
Bentuk usaha Swasta terbagi 5 yaitu perseorangan, CV (Persekutuan Komanditer), Firma, PT
(Perseroan Terbatas) dan Yayasan. Di antara semua itu tentunya memiliki perlakuan pajak yang
berbeda-beda. Perusahaan perseorangan yang pemiliknya hanya satu orang tentu akan mendapat
pemungutan pajak yang berbeda dengan perusahaan yang pemiliknya lebih dari satu orang
seperti CV, Firma, PT dan Yayasan.

Selain itu dalam memungut pajak juga ditentukan dari omzet yang didapat. Semakin
besar omzet/penghasilan yang didapat maka semakin besar pula pajak yang dikenakan. Karena
kondisi itulah menyebabkan terjadi cara-cara yang dilakukan Wajib pajak untuk menghindari
pajak atau meringankan beban pajak pajak yang didapat dengan cara-cara yang tidak melanggar
hukum. Sehingga perencanaan perpajakan (tax planning) dapat digunaan oleh badan usaha
tersebut dalam melakukan kewajiban perpajakannya.

Pembahasan

Memilih bentuk usaha yang tepat merupakan hal pertama yang harus diperhatikan oleh
investor atau pengusaha, selain untuk menentukan bentuk usaha apa yang dapat memberikan
kontribusi profit paling besar dengan tingkat risiko yang paling rendah. Terkait ketentuan
perpajakan yang berlaku, investor atau pengusaha juga harus menentukan bentuk usaha yang
mana yang memberikan kontribusi profit yang paling besar namun dengan beban pajak yang
paling kecil, dan yang paling penting dari pemilihan bentuk usaha adalah tentu saja untuk
mempertimbangkan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang.

Pohan (Zain, 2003:97) memberikan faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam


pemilihan bentuk usaha, diantaranya:

1. bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif pajak
penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang mengatur hal itu
2. pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha, maupun
penghasilan dari pembagian keuntungan (dividen) kepada para pemegang sahamnya
3. kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif pajak penghasilan lebih
kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang terdapat pada tarif pajak
penghasilan dari akumulasi penghasilan perusahaan
4. adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha neto (kompensasi kerugian) dan kredit
investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu
5. kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi laba, pajak atas
penghasilan personal, holding company, dan seterusnya
6. liberalisasi ketentuan yang mengatur fringe benefit dan atau payment in kind.

Secara umum terdapat empat bentuk usaha yang legal, yaitu:

1. partnership yang berupa persekutuan perdata (maatschap), persekutuan komanditer


(commanditaire vennootschap = CV), dan firma;
2. perseroan terbatas (PT)
3. koperasi, asosiasi, yayasan, dan badan usaha lain
4. usaha orang pribadi/individual basis

Fokus saat ini hanya akan menekankan pada pemilihan badan usaha berbentuk usaha
berdasarkan orang pribadi (individual basis), CV dan PT. Banyak pilihan bentuk usaha yang
dapat dipertimbangkan investor, salah satu faktor kunci dalam pengambilan keputusan yaitu pada
besarnya biaya pajak yang akan ditanggung.

1. Perseroan Terbatas (PT)


2. Persekutuan
1. Persekutuan Perdata
Menurut Pasal 1618 KUH Perdata, perseroan perdata adalah suatu persetujuan
antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam
perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu
dibagi di antara mereka.
Menurut Pasal 1619 KUHP, semua perseroan perdata harus ditunjukkan pada
sesuatu yang halal dan diadakan untuk kepentingan bersama para anggotanya.
Masing-masing anggota wajib memasukkan uang, barang atau usaha ke dalam
perseroan itu. Adapun pemasukan yang dimaksud antara lain:
- Uang
- Benda-benda yang layak sebagai pemasukan (kendaraan bermotor, alat
perlengkapan kantor, dll)
- Tenaga kerja, baik secara fisik maupun pikiran.

Pada dasarnya persekutuan perdata mempunyai tujuan yang jelas yaitu


diperuntukan terhadap kegiatan yang bersifat komersial, untuk membagi keuntungan
atau kemanfaatan dari hasil usaha yang dilakukan secara bersama-sama, dan
merupakan persekutuan yang menjalankan kegiatan profesi. Contoh profesi yang
sering membuat persekutuan dan telah diketahui masyarakat luas adalah para akuntan
dan pengacara atau yang biasa kita kenal dengan associate, rekanan, ataupun partner.

Adapun jenis persekutuan perdata menurut Pasal 1620 – 1623 KUHP :

a. Persekutuan Perdata Umum/Penuh


Persekutuan perdata dimana para sekutu memasukkan seluruh hartanya atau
bagian yang sepadan dengannya tanpa adanya suatu perincian apapun.
Persekutuan yang demikian dilarang undang-undang, kecuali diperjanjikan
masing-masing sekutu akan mencurahkan segala kekuatan kerjanya untuk
mendapatkan laba yang bisa dibagi antara sekutu (Persekutuan Perdata
Keuntungan)
b. Persekutuan Perdata Khusus
Persekutuan perdata dimana para sekutu menjanjikan pemasukan benda
-benda tertentu atau sebagian tenaga kerjanya.

Dalam pasal 1628 sampai dengan 1631 KUH Perdata, terdapat asas yang
mengatur persekutuan perdata yang intinya adalah sebagai berikut :

- Kewajiban pemberian ganti rugi untuk kesalahan yang dilakukan sekutu.


- Aturan untuk sekutu yang memasukkan sesuatu dalam bentuk barang.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM No 17 Tahun 2018 tentang
Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata
untuk menjamin kepastian hukum bagi para sekutu, pemerintah telah mewajibkan
pendirian persekutuan perdata harus dilakukan dengan akta tertulis yang dibuat
dihadapan notaris. Berikut adalah tahapan mengenai pendirian persekutuan perdata :

- Pendaftaran Persekutuan Perdata


Tahapan pendaftaran meliputi beberapa hal seperti melakukan pendaftaran akta,
pendaftaran perubahan anggaran dasar, dan juga pendaftaran perubahan.
- Pemilihan dan Pemakaian Nama Persekutuan Perdata
Dalam tahapan pengajuan penggunaan nama, salah satu syarat yang harus
dipenuhi adalah nama yang akan diajukan harus belum dipakai secara sah oleh
persekutuan perdata lain. Jika sudah pernah diajukan oleh persekutuan perdata
yang lain maka nama tersebut tidak boleh diajukan kembali.
- Pencatatan Pendaftaran Persekutuan Perdata
Dalam tahap ini dijelaskan bahwa dalam jangka waktu satu tahun sejak disahkan,
persekutuan perdata yang telah melakukan pendaftaran di pengadilan negeri wajib
melakukan suatu pencatatan pendaftaran.

Dalam Pasal 1646 KUHP telah diatur ketentuan dan peraturan yang menyebabkan
berakhirnya persekutuan perdata, antara lain adalah :

- Perijinan telah berakhir


- Tugas pokok persekutuan perdata terlah terselesaikan
- Salah satu sekutu meninggal dunia atau dinyatakan mengalami pailit
- Keinginan membubarkan persekutuan perdata dari keseluruhan anggota
persekutuan

2. Persekutuan Firma
Firma artinya nama bersama, yakni nama sekutu yang dijadikan menjadi nama
perusahaan. Persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan
dengan nama bersama (pasal 16 KUHD).
Unsur-Unsur Pokok Firma:
- Persekutuan Perdata (pasal 1618 KUHP)
- Menjalankan perusahaan perusahaan (pasal 16 KUHD)
- Menggunakan nama bersama (pasal 16 KUHD)
- Tanggungjawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan (pasal 18 KUHD)

Akta Pendirian Firma:

- Nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal para sekutu


- Penetapan nama bersama atau firma
- Firma bersifat umum atau terbatas pada menjalankan perusahaan bidang
tertentu
- Nama-nama sekutu yang tidak diberi kuasa untuk menandatangani perjanjian
bagi firma
- Saat mulai dan berakhirnya firma
- Ketentuan-ketentuan lain mengenai terkait pihak ketiga dan sekutu.

Tanggung jawab Persekutuan Firma :

- Sekutu yang ditunjuk atau diberi kuasa untuk menjalankan tugas pengurus
ditentukan dalam akta pendirian firma.
- Jika belum ditentukan, pengurus harus ditentukan dalam akta tersendiri dan di
daftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat dan diumumkan dalam
Berita Negara Republik Indonesia (BNRI)  supaya pihak ketiga mengetahui
siapa yang menjadi pengurus yang berhubungan dengannya.
Jika tidak ditentukan, maka semua anggota dianggap dapat dan dibolehkan
bertindak keluar atas nama firma, seorang anggota dapat mengikat anggota
lainnya. Semua anggota dianggap berhak untuk menerima dan mengeluarkan
uang atas nama dan untuk kepentingan firma.

Sekutu firma bertanggung jawab secara:

a) Intern
Tanggung jawab yang seimbang dengan inbreng
b) Ekstern
Tanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan atas semua perikatan
persekutuan.

Berakhirnya Berakhirnya Persekutuan Persekutuan Dengan Firma :

1. Lampaunya waktu yang diperjanjikan

2. Pengakhiran oleh salah seorang sekutu

3. Kematian salah seorang sekutu

4. Adanya kepailitan

5. Menjalankan usaha yang tidak sesuai dengan akta pendirian, melanggar


kesusilaan atau ketertiban umum berdasarkan dengan putusan hakim.

Setiap pembubaran firma memerlukan pemberesan, dimana firma yang bubar


dianggap masih tetap ada apabila masih ada hak dan kewajiban yang belum
diselesaikan. Pemberesan dilakukan oleh mereka yang ditetapkan di anggaran
dasar. Jika dalam anggaran dasar tidak ditentukan, maka pemberes adalah sekutu
pengurus atau dapat juga menunjuk sekutu bukan pengurus dengan suara
terbanyak. Apabila suara terbanyak tidak tercapai, maka pemberes ditetapkan oleh
Pengadilan Negeri.

Tugas pemberes adalah menyelesaikan semua utang firma dengan menggunakan


uang kas firma.
- Jika masih ada sisa/saldo  dibagi untuk para sekutu
- Jika ada kekayaan berupa barang  seperti pembagian warisan (pasal 1652
KUHPerdata)
- Jika ada kekurangan berlaku pasal 18 KUHD.

3. Persekutuan Komanditer (CV)


CV merupakan suatu persekutuan yang didirikan oleh seorang atau beberapa
orang yang mempercayakan uang atau barang kepada seorang atau beberapa orang
yang menjalankan perusahaan dan bertindak sebagai pemimpin. Dalam pendiriannya,
CV cukup didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara RI, namun tidak perlu disahkan oleh Kementerian Hukum
dan HAM.

Atau Persekutuan Komanditer (CV) atau Firma pada dasarnya adalah bentuk
usaha yang didirikan oleh dua orang atau lebih yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham. Atas bentuk usaha tersebut dan bentuk usaha lain yang modalnya tidak
terbagi atas saham-saham mempunyai perlakuan yang sama dari sudut perpajakan.
Anggota perseroan komanditer ada dua golongan:

1) Persero Pengusaha atau persero aktif/bekerja. Persero ini selain menyerahkan


modal ke dalam perseroan, jika perseroan jatuh pailit atau bangkrut, persero
pengusaha bertanggungjawab penuh atas seluruh harta-harta pribadinya terhadap
hutang-hutang perusahaan.
2) Persero Kommanditer atau pesero diam. Pesero ini hanya menyerahkan modal ke
dalam perseroan dan tidak bertanggung jawab tentang jalannya perseroan. Jika
perseroan jatuh pailit/bangkrut, pesero ini hanya bertanggungjawab sebesar modal
penyertaannya.

Kelebihan dan kekurangan bentuk usaha CV, sebagaimana diuraikan Santoso dan
Rahayu, (2013:91) antara lain:

- Kelebihan
1) relatif mudah dalam proses pendirianny
2) kebutuhan akan modal dapat lebih dipenuhi
3) cenderung lebih mudah memperoleh kredit
4) dari segi kepemimpinan, CV relatif lebih baik
5) lebih fleksibel karena bagi sekutu pasif akan lebih mudah untuk
menginvestasikan maupun mencairkan kembali modalnya
6) tidak ada ketentuan memakai nama CV seperti halnya dengan PT
7) Anggaran dasar tidak perlu mendapat pengesahan dari Kementerian Hukum
dan HAM
- Kekurangan:
1) kelangsungan hidup tidak menentu karena banyak tergantung dari sekutu aktif
yang bertindak sebagai sekutu pemimpin CV
2) tanggung jawab para sekutu komanditer yang terbatas dapat berpengaruh
terhadap semangat untuk memajukan perusahaan
3) kewajiban sekutu yang tidak terbatas
4) perlindungan hukumnya masih dianggap minim

Sebagai sebuah badan usaha maka CV atau Firma berkewajiban untuk


mendaftarkan NPWP yang terpisah dengan kewajiban para pemiliknya.
Keuntungan usaha merupakan penghasilannya CV atau Firma yang akan dikenai
pajak dan dilaporkan oleh CV atau Firma sebagai Wajib Pajak. Sedangkan
penghasilan seorang investor dari penanaman modal di CV atau Firma adalah
penghasilan berupa pembagian laba. Jika seorang investor juga aktif menjalankan
usaha, investor dapat saja menerima tambahan penghasilan lain berupa gaji dan
tunjangan-tunjangan lainnya.

Dalam ketentuan perpajakan, bergesernya aliran penghasilan dari CV atau


Firma kepada pemilik tidak dianggap sebagai terjadinya aliran penghasilan,
sehingga pajak tidak mengakui adanya pengurangan berupa biaya gaji pemilik di
CV atau Firma. Sebaliknya penerimaan berupa gaji oleh pemilik tidak dianggap
sebagai adanya penghasilan bagi si pemilik. Demikian juga atas pembagian laba
yang diterima oleh pemilik.
Pajak memandang bahwa antara anggota atau pemilik dengan CV atau
Firma diperlakukan sebagai satu kesatuan dalam penghitungan PPh atas keuntungan
usaha. Satu kesatuan dalam hal ini adalah tambahan kemampuan ekonomis dari
usaha CV atau Firma hanya akan dikenai PPh satu kali yaitu di CV atau Firma. Ini
yang membuat pendirian CV di Indonesia sebenarnya lebih menguntungkan
dibandingkan PT. Hal ini dikarenakan, pengenaan pajak CV hanya dikenakan satu
kali saja, yaitu pada saat CV memperoleh laba. Saat laba tersebut dibagikan kepada
sekutu sebagai prive, dikecualikan dari objek pajak yang diatur pada UU mengenai
PPh di pasal 4 ayat 3 (i). Berbeda dengan PT, saat laba dibagikan dalam bentuk
deviden, maka akan dikenai lagi PPh, baik PPh Pasal 23 apabila penerimanya
badan, maupun PPh Pasal 4 ayat (2) apabila penerima devidennya adalah orang
pribadi, atau PPh Pasal 26 apabila penerima penghasilannya berada di luar negeri.

Dengan demikian antara CV dengan usaha perorangan memiliki persamaan


perlakuan perpajakan yaitu keuntungan usaha sama-sama diperlakukan sebagai satu
kesatuan dengan penghasilan pemiliknya. Hanya bedanya keuntungan usaha
perorangan dikenai pajak di sisi perorangan sebagai WPOP sedangkan keuntungan
usaha CV dikenai pajak di sisi CV sebagai WP badan.

Keduanya sama-sama tidak diperkenankan memperhitungkan pengurangan


biaya berupa gaji pemilik dan pembagian keuntungannya. Dipandang dari sudut
penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan usaha
perorangan yaitu dari sisi tarif pajak. Sebagaimana dijelaskan di atas, tarif pajak
bagi CV adalah 25% sedangkan tarif pajak perorangan tertinggi adalah 30%.
Dengan demikian dengan membentuk CV dapat timbul penghematan pada
perhitungan tarif pajak sebesar 5%.

Dipandang dari sudut penghematan pajak, CV memiliki keunggulan jika


dibandingkan dengan usaha perorangan yaitu dari sisi tarif pajak. Secara umum
ketentuan perpajakan terkait CV diantaranya:

1) CV merupakan subjek pajak badan dalam negeri. Dalam UU PPh dijelaskan


pengertian subjek pajak badan, bahwa subjek pajak badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang 13 merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha
maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas,
perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan
usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan
lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
2) Karena CV merupakan subjek pajak badan, maka CV harus mendaftarkan diri
untuk memperoleh NPWP dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
(PKP).
3) Atas keuntungan CV dikenakan pajak penghasilan badan dengan tarif pasal 17
undang-undang Pajak Penghasilan (sama dengan PT).
4) Selain harus mendaftarkan NPWP dan/atau PKP atas nama CV, CV juga harus
menyelenggarakan pembukuan.
5) Laba yang didistribusikan kepada sekutu tidak dikenai pajak. Hal ini
sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang menyebutkan bahwa
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi
kolektif dikecualikan sebagai objek pajak.
6) Gaji yang dibebankan oleh CV kepada para sekutu tidak dapat menjadi
pengurang sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UU PPh.
7) Dalam mengitung PPh nya CV menggunakan tarif tunggal 25% atau 12,5%
(25% x 50%) apabila memenuhi ketentuan Pasal 31E UU PPh

3. Perseorangan / Usaha Orang Pribadi


Seseorang tidak memerlukan izin khusus dalam pendiriannya dalam melakukan usaha
secara pribadi, karena bukan berupa badan usaha atau badan hukum. Usaha perseorangan ini
bisa dijalankan dengan membuat usaha dagang (UD) atau usaha lainnya, tanpa harus
memiliki nama usaha. Contoh usaha yang dijalankan pun bisa beragam, dari berdagang,
manufaktur skala kecil, jasa, dsb.
Keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha yang dijalankan secara perorangan
seluruhnya akan dinikmati dan masuk ke kantong pribadi perorangan. Keuntungan tersebut
akan dikenai pajak sesuai dengan lapisan tarif pajak perorangan. Jika keuntungan yang
diperoleh di atas Rp500.000.000 kelebihannya akan dikenai tarif tertinggi perpajakan sebesar
30%.
Keuntungan usaha berupa selisih penerimaan dengan biaya dihitung berdasarkan
pembukuan yang diselenggarakan oleh perorangan. Dalam usaha perorangan tidak dikenal
adanya pemisahan harta usaha dengan harta pribadi perorangan, keseluruhannya adalah harta
miliknya perorangan. Namun demikian untuk keperluan penghitungan keuntungan usaha
tetap harus dibedakan antara harta untuk usaha dengan harta bukan untuk usaha, sehingga
dapat dipisahkan biaya penyusutan harta yang berhubungan dengan usaha. Karena tidak
adanya pemisahan antara harta usaha dengan harta pribadi maka dari sudut perpajakan
kewajiban mendaftar NPWP hanya melekat pada diri perorangannya. Begitu pula dengan
kewajiban melaporkan pajaknya.
Pengeluaran-pengeluaran untuk kepentingan pribadi tidak diperkenankan, seperti
biaya gaji pemilik, pengeluaran berupa prive dan sebagainya. Bagi perorangan yang omzet
setahunnya belum melebihi Rp4.800.000.000 tidak wajib menyelenggarakan pembukuan,
sehingga keuntungan dihitung dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto.
Konsekuensi menggunakan norma penghitungan penghasilan neto adalah tidak pernah diakui
adanya kerugian usaha.
Usaha perseorangan tentunya memiliki kelemahan dan kekurangan dalam pembentukannya.
Keuntungannya adalah:
1. Mudah dan murah dalam proses pembentukannya
2. Pemilik perusahaan mengendalian secara langsung perusahaannya, yang dengan
demikian memungkinkan pengusaha untuk bertindak lanjut cepat
3. Tidak terlalu dipengaruhi oleh peraturan pemerintahan
4. Pemilik menerima semua keuntungan dan menanggung semua kerugian usaha.
5. Bebas dari pajak penghasilan apabila penghasilannya masih dibawah PTKP
Sedangkan kelemahan dari usaha perseorangan yaitu keterbatasan dalam
mendapatkan modal.

Dalam melaksanakan hak dan menjalankan kewajiban perpajakannya, syarat dari usaha
perseorangan adalah:

1. Menggunakan nomor pokok wajib pajak (NPWP) orang pribadi, yaitu pemilik
yang sebenarnya dari usaha tersebut untuk keperluan perpajakan.
2. Pengusaha wajib menjalankan pembukuan dalam menjalankan kegiatan usahanya,
namun dalam hal peredaran usaha pengusaha dalam satu tahun pajak tidak
melebihi Rp 4,8 miliar, pengusaha boleh tidak melakukan pembukuan, namun
wajib membuat pencatatan. Dalam menghitung penghasilan neto untuk keperluan
perpajakan, pengusaha menggunakan norma. Ketentuan mengenai pembukuan
diatur dalam Pasal 28 UU KUP, ketentuan mengenai norma penghitungan
penghasilan neto diatur dalam Pasal 14 UU PPh dan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak nomor PER-17/PJ/2015.
3. Selain boleh dikurangkan dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan sesuai
ketentuan UU PPh, pengusaha juga boleh mengurangkan penghasilan netonya
dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dihitung berdasarkan
keadaan/status perkawinan Wajib Pajak dan jumlah tanggungannya. Ketentuan
mengenai biaya yang dapat dikurangkan diatur dalam Pasal 6 UU PPh, ketentuan
mengenai PTKP diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
4. Dalam penghitungan pajak terutang, berlaku tarif pajak progresif, yaitu tarif pajak
yang semakin meningkat seiring besarnya penghasilan kena pajak. Ketentuan
mengenai tarif pajak diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
5. Apabila usaha yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2018, bagi pengusaha yang dalam satu
tahun pajak peredaran usahanya tidak lebih dari Rp 4,8 miliar, pengusaha wajib
menghitung pajaknya secara final dengan tarif 0.5% dari peredaran usaha setiap
bulannya.

Terkait dengan ketentuan perpajakan, ada beberapa hal yang menjadi


pertimbangan dalam memilih bentuk usaha Perseorangan dalam pengambilan adalah:
1. Tarif PPh untuk Wajib Pajak Perseorangan

2. Penghasilan Tidak Kena Pajak

Pertimbangan memilih bentuk usaha perseorangan adalah adanya


pengurangan penghasilan kena pajak yang hanya diberikan kepada wajib pajak
perseorangan.

a. Laki-laki/Perempuan Lajang
Status wanita yang bekerja meskipun sudah kawin, tetap mempunyai PTKP
tidak kawin kecuali dapat membuktikan bahwa suami tidak bekerja (dari
Instansi terkait/kelurahan). Pengenaan PTKP dapat dijelaskan sebagai berikut:

b. Laki-laki Kawin
Hal ini diperuntukkan untuk laki-laki kawin dan istri tidak bekerja. Pengenaan
PTKP dapat dijelaskan sebagai berikut:
c. Suami dan Istri Digabung
PTKP untuk istri yang bekerja pada satu pemberi kerja tidak digabung dengan
suami. PTKP gabung dengan suami hanya yang bekerja pada lebih dari satu
pemberi kerja dan/atau istri yang memiliki usaha (penghasilan digabung
dengan penghasilan suami). Pengenaan PTKP dapat dijelaskan sebagai
berikut:

3. Pertimbangan Kewajiban Pembukuan


Pembukuan adalah salah satu cara yang dipergunakan oleh wajib pajak untuk
dapat mnghitung penghasilan neto yang berkaitan dengan perhitungan besarnya PPh
terutang atas kegiatan usahanya. Selain menggunakan pembukuan, untuk menghitung
penghasilan neto juga dapat menggunakan norma perhitungan penghasilan neto. Bagi
wajib pajak badan, pembukuan adalah kewajiban. Untuk wajib pajak pribadi dengan
peredaran usaha sampai dengan 4.800.000.000 diberi pilihan untuk menghitung
besarnya penghasilan neto dapat menggunakan pembukuan atau menggunakan norma
perhitungan penghasilan. Kewajiban pembukuan merupakan beban tersendiri bagi
wajib pajak, apalagi jika wajib pajak tidak mempunyai karyawan yang khusus
menangani pembukuan tersebut secara khusus. Biasanya untuk menghindari
kewajiban melaksanakan pembukuan maka wajib pajak biasanya menggunakan
bentuk orang pribadi, yang cukup dilakukan dengan mencatat peredaran bruto setiap
bulan tanpa harus membuat laporan keuangan. Wajib pajak pribadi yang memiliki
omset diatas 4.800.000.000 wajib melakukan pembukuan, jika wajib pajak tersebut
tidak menyelenggarakan pembukuan dengan benar maka penghasilan netonya akan
dihitung dengan norma khusus dan dikenakan sanksi kenaikan yang dijelaskan KUP
sebesar 50% dari PPh yang kurang atau tidak dibayar.
4. Pertimbangan kewajiban pemungutan pajak
Wajib pajak badan yang bergerak dibidang industri semen, rokok, kertas, baja,
dan otomotif ditunjuk sebagai pemungut PPh pasal 22 atas penjualan produknya.
Namun pemungutan PPh Pasal 22 tersebut tidak dikenakan kepada wajib pajak
perorangan yang mempunyai industri diatas.
5. Pertimbangan Pertanggungjawaban Utang Pajak

Aktiva yang dimiliki oleh wajib pajak perseorangan tidak terpisahkan dengan
aktiva dari kegitan usahanya, sehingga keuntungan yang didapat dari semua kegiatan
usaha dalam bentuk perseorangan itu akan diakuinya sendiri. Sebaliknya untuk
kerugian, semua kesulitan dalam kegiatan usaha dari bentuk perseorangan
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pribadi wajib pajak. Berbeda halnya dengan
badan usaha yang harus memisahkan aktiva yang dimiliki oleh pemilik dan aktiva
yang dimiliki perusahaan berbentuk badan usaha dimana keuntungan maupun
kerugian akan diakui sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati baik yang
dimasukkan kedalam anggaran dasar atau tidak.

Namun dalam ketentuan perpajakan ada beberapa tanggung jawab bagi badan
usaha yang tidak dapat dipisahkan dengan tanggung jawab pemiliknya yaitu utang
pajak. Harta pemilik modal badan usaha merupakan barang yang dapat disita apabila
terdapat utang pajak dari wajib pajak badan yang tidak dibayar walaupun telah
dilakukan tindakan surat paksa oleh juru sita pajak Negara.

Jika seseorang ingin memutuskan untuk menanamkan modal pada badan


usaha atau berusaha sendiri melalui bentuk perseorangan, selain mempertimbangkan
kemungkinan besarnya laba yang akan diterima juga harus mempertimbangkan
seandainya terjadi kerugian atau mempunyai utang pajak.
Penanggung utang pajak tetap harus dilakukan walaupun pemilik modal badan
usaha tersebut bersifat pasif. Kalau terjadi perrmasalahan dengan utang pajak,
hartanya dapat diminta untuk membayar utang pajak dari badan usah dimmana dia
menanamkan modalnya.

Contoh:

Tuan Anas memiliki usaha perdagangan bahan-bahan bangunan. Selama tahun


2019 laporan laba/rugi usaha Tuan Anas tersebut adalah:

Anda mungkin juga menyukai