Anda di halaman 1dari 20

MAK 325

RINGKASAN MATERI KULIAH (RMK) dan


RINGKASAN REVIEW ARTIKEL (RRA)
RISET AKUNTANSI KEUANGAN DAN PENGAUDITAN

Fair Value Accounting


“PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar”

DOSEN PENGAMPU:
Dr. Dewa Gede Wirama, SE., M.SBA., Ak., CA.

OLEH
KELOMPOK 9

Ni Putu Pebriani Diah Pratiwi (2081611013) (13)


Ni Made Astini Rahayu (2081611015) (15)
Putu Eka Mas Pratiwi (2081611016) (16)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2021
DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................................... 1


Daftar Isi .............................................................................................................................. 2
A. Fair Value Accounting “PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar” ....... 3
1. Sekilas ED PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar ................................. 4
2. Ruang Lingkup .............................................................................. 5
3. Perubahan Signifikan Nilai Wajar................................................................ 6
4. Konsep Pengukuran Nilai Wajar .................................................................. 7
5. Harga Keluaran (Exit Price) .......................................................................... 7
6. Hirarki Nilai Wajar ......................................................................................... 8
7. Dampak Penerapan PSAK 68....................................................................... 9
8. Kendala Penerapan PSAK 68 ....................................................................... 10
9. Perkembangan Pembahasan Standar Penilaian Indonesia ........................ 12
B. Fair Value Accounting and Its Usefulness to Financial Statement
Users (Vera, 2014) ............................................................................... 14
1. Fenomena ............................................................................ 14
2. Masalah ............................................................................... 15
3. Tujuan Penelitian ........................................................................... 15
4. Research Gap ................................................................................ 15
5. Kerangka Konseptual .................................................................... 16
6. Metode Penelitian .......................................................................... 17
7. Hasil Penelitian .............................................................................. 17
8. Implikasi Penelitian ....................................................................... 18
9. Kesimpulan Penelitian ................................................................... 18
Daftar Rujukan.................................................................................................................... 20

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
1. Kerangka Konseptual Fair Value Accounting and Its Usefulness to
Financial Statement Users (Vera, 2014)........................................................... 16

3
A. Fair Value Accounting “PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar”
1. Sekilas ED PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar
Pada rapat pleno Dewan Standar Akuntansi Keuangan tanggal 22
Nopember 2013, DSAK IAI memutuskan untuk menunda pengesahan
PSAK 68: Pengukuran Nilai Wajar. Dasar pertimbangan penundaan adalah
perlunya melakukan amandemen terlebih dahulu atas PSAK dan ISAK yang
terkena dampak pemberlakuan standar akuntansi nilai wajar ini, sebelum
PSAK 68 disahkan. DSAK IAI memutuskan bahwa PSAK 68 tetap akan
berlaku efektif 1 Januari 2015, sebagaimana telah ditetapkan di ED PSAK
68 yang telah diterbitkan pada pertengahan tahun 2013 ini. Dalam
menunggu proses amandemen atas PSAK dan ISAK yang terkena dampak
perubahan, diharapkan publik dapat mempelajari PSAK 68 dari konsep
yang telah disampaikan di ED PSAK 68, yang sepenuhnya mengadopsi
konsep IFRS 13: Fair Value Measurement. (IAI:2013).
Sebagai dampak dari penundaan ini, pengesahan PSAK 65: Laporan
Keuangan Konsolidasian, PSAK 66: Pengaturan Bersama, PSAK
67: Pengungkapan Kepentingan Dalam Entitas Lain, revisi PSAK
1: Penyajian Laporan Keuangan, PSAK 4: Laporan Keuangan Tersendiri,
PSAK 15: Investasi pada Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama dan PSAK
24: Imbalan Kerja ditunda hingga PSAK 68 disahkan.
IFRS dan FASB (yang selama ini menggunakan GAAP sebagai
pedoman dalam menyusun Laporan Keuangan) menyepakati definisi ‘Fair
Value’ (atau Nilai Wajar) yang dituangkan dalam standar baru yang diberi
kode IFRS 13, Fair Value Measurement. Lain daripada itu, kedua dewan
pengatur Akuntansi paling berpengaruh ini juga menyepakati beberapa hal
terkait dengan persayaratan yang harus dipenuhi dalam pengungkapan ‘nilai
wajar (fair value)’ pada Laporan Keuangan. Berikut adalah esensi dari IFRS
13 dengan persyaratan baru:
a. Nilai wajar diukur dengan menggunakan harga di pasar utama bagi
aktiva atau kewajiban (yaitu pasar dengan volume terbesar dan tingkat
aktifitas untuk aktiva atau kewajiban) atau, dalam hal tidak adanya pasar

4
utama maka yang dipakai adalah pasar yang paling menguntungkan bagi
aktiva atau kewajiban tersebut.
b. Rincian pedoman untuk mengukur nilai wajar suatu kewajiban,
termasuk deskripsi kompensasi yang oleh dibutuhkan oleh pelaku pasar.
IFRS 7, Instrumen Keuangan: Pengungkapan, adalah Standar
Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS) yang diterbitkan oleh Dewan
Standar Akuntansi Internasional (IASB). Itu membutuhkan entitas untuk
memberikan kepastian pengungkapan mengenai instrumen keuangan dalam
laporan keuangan mereka. Standar ini awalnya dikeluarkan pada Agustus
2005 dan mulai berlaku pada 1 Januari 2007, menggantikan standar
sebelumnya IAS 30, Pengungkapan dalam Laporan Keuangan Bank dan
Lembaga Keuangan Sejenis, dan mengganti persyaratan pengungkapan IAS
32.
Standar Akuntansi Keuangan 157 (FAS 157) menetapkan kerangka
kerja tunggal yang konsisten untuk mengestimasi nilai wajar tanpa adanya
kuotasi harga, berdasarkan gagasan "harga keluar" dan hierarki 3 tingkat
untuk mencerminkan tingkat pertimbangan yang terlibat dalam
mengestimasi wajar. nilai-nilai, mulai dari harga berbasis pasar.

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup digunakan sebagai acuan tunggal atas pengukuran nilai
wajar ketika pernyataan lain mensyaratkan atau mengizinkan pengukuran
atau pengungkapan nilai wajar. Hal ini tidak berlaku bagi: Transaksi
pembayaran berbasis saham dalam ruang lingkup PSAK 53: Pembayaran
Berbasis Saham; Transaksi sewa dalam ruang lingkup PSAK 30: Sewa; dan
Pengukuran yang memiliki beberapa keserupaan dengan nilai wajar tetapi
bukan merupakan nilai wajar, seperti nilai realisasi neto (net realisable
value) dalam PSAK 14: Persediaan atau nilai pakai (value in use) dalam
PSAK 48: Penurunan Nilai Aset. Pernyataan ini diterapkan ketika
Pernyataan lain mensyaratkan atau mengizinkan pengukuran atau
pengungkapan mengenai nilai wajar (dan pengukuran, seperti nilai wajar
setelah dikurangi biaya untuk menjual (fair value less costs to sell),

5
berdasarkan nilai wajar atau pengungkapan mengenai pengukuran tersebut),
kecuali sebagaimana dijelaskan dalam paragraf 06 dan 07.
Ruang Lingkup – Pengecualian
Pengukuran dan pengungkapan:
a. Transaksi pembayaran berbasis saham dalam ruang lingkup PSAK 53:
Pembayaran Berbasis Saham;
b. Transaksi sewa dalam ruang lingkup PSAK 30: Sewa; dan
c. Pengukuran yang memiliki beberapa keserupaan dengan nilai wajar
tetapi bukan merupakan nilai wajar, seperti nilai realisasi neto (net
realisable value) dalam PSAK 14: Persediaan atau nilai pakai (value in
use) dalam PSAK 48: Penurunan Nilai Aset.
Pengungkapan:
a. Aset program yang diukur pada nilai wajar sesuai PSAK 24:
b. Investasi program manfaat purnakarya yang diukur pada nilai wajar
sesuai dengan PSAK 18
c. Aset yang jumlah terpulihkannya adalah nilai wajar setelah dikurangi
biaya pelepasan sesuai dengan PSAK 48

3. Perubahan Signifikan Nilai Wajar


Nilai wajar sebagai harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset atau harga
yang akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam transaksi teratur antara
pelaku pasar pada tanggal pengukuran.
“...the price that would be received to sell an asset or transfer a liability in an
orderly transaction between market participants at the measurement date.”
IFRS 13
Adapun perubahan definisi nilai wajar pada PSAK 68 yang sebelumnya
tertuang pada PSAK 16: Aset Tetap adalah sebagai berikut:
Sebelumnya PSAK 16: Aset Tetap PSAK 68
Jumlah suatu aset dipertukarkan antara Harga yang akan diterima untuk
pihak-pihak yang berkeinginan dan menjual suatu aset atau harga yang
memiliki pengetahuan memadai dalam akan dibayar untuk mengalihkan suatu
suatu transaksi yang wajar liabilitas dalam transaksi teratur antara
pelaku pasar pada tanggal pengukuran

6
4. Konsep Pengukuran Nilai Wajar
Dalam konsep pengukuran bilai wajar, adapun tujuan dari PSAK 68
adalah sebagai berikut:
a. Mendefinisikan nilai wajar (fair value)
b. Menetapkan suatu kerangka pengukuran nilai wajar
c. Mensyaratkan pengungkapan mengenai pengukuran nilai wajar
Nilai wajar adalah pengukuran berbasis pasar, bukan pengukuran spesifik
atas suatu entitas. Untuk beberapa aset dan liabilitas, transaksi pasar atau informasi
pasar yang dapat diobservasi dapat tersedia. Untuk aset dan liabilitas lain, hal
tersebut mungkin tidak tersedia. Akan tetapi, tujuan pengukuran nilai wajar dalam
kedua kasus tersebut adalah sama – untuk mengestimasi harga dimana suatu
transaksi teratur (orderly transaction) untuk menjual aset atau mengalihkan liabilitas
akan terjadi antara pelaku pasar (market participants) pada tanggal pengukuran
dalam kondisi pasar saat ini (yaitu harga keluaran (exit price) pada tanggal
pengukuran dari perspektif pelaku pasar yang memiliki aset atau liabilitas).
Ketika harga untuk aset atau liabilitas yang identik tidak dapat diobservasi,
entitas mengukur nilai wajar menggunakan teknik penilaian lain yang
memaksimalkan penggunaan input yang dapat diobservasi (observable inputs)
yang relevan dan meminimalkan penggunaan input yang tidak dapat diobservasi
(unobservable inputs). Karena nilai wajar merupakan pengukuran berbasis pasar,
maka nilai wajar diukur menggunakan asumsi yang akan digunakan pelaku pasar
ketika menentukan harga aset atau liabilitas, termasuk asumsi mengenai risiko.
Sebagai hasilnya, intensi entitas untuk memiliki suatu aset atau untuk
menyelesaikan atau memenuhi suatu liabilitas menjadi tidak relevan ketika
mengukur nilai wajar.

5. Harga Keluaran (Exit Price)


Sebagaimana disebutkan, nilai wajar harus merupakan nilai keluar,
yaitu harga pasar dari perspektif pelaku pasar pada tanggal pengukuran.
Sistem pelaporan keuangan yang menggunakan harga jual pasar untuk
mengukur posisi keuangan dan kinerja keuangan suatu perusahaan disebut
akuntansi harga keluar

7
Nilai wajar adalah harga yang akan diterima untuk menjual suatu aset
atau harga yang akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas dalam
transaksi teratur di pasar utama (atau pasar yang paling menguntungkan)
pada tanggal pengukuran berdasarkan kondisi pasar saat ini (yaitu harga
keluaran) terlepas apakah harga tersebut dapat diobservasi secara langsung
atau diestimasi menggunakan teknik penilaian lain. Harga transaksi (harga
masukan / entry price) = Nilai wajar (harga keluaran / exit price), kecuali
a. Transaksi terjadi di pasar yang berbeda
b. Transaksi untuk unit akun yang berbeda
c. Penjual dalam kondisi keterpaksaan
d. Transaksi antara pihak yang berelasi
Nilai wajar difokuskan pada asumsi pasar dan tidak spesifik entitas.
Oleh karena itu, ini memperhitungkan asumsi apa pun tentang risiko. Ini
diukur dengan menggunakan asumsi yang sama dan dengan
mempertimbangkan karakteristik aset atau liabilitas yang sama seperti yang
dilakukan pelaku pasar. Karakteristik tersebut termasuk kondisi dan lokasi
aset dan setiap pembatasan penjualan atau penggunaannya.
Prinsip dasar tetap sama dengan IFRS saat ini, tetapi jika entitas tidak
menggunakan prinsip-prinsip ini sebelum IFRS 13, hal itu dapat
mengakibatkan perubahan yang signifikan. Sebagai contoh, jika pandangan
entitas tentang nilai wajar tidak memperhitungkan penggunaan tertinggi dan
terbaik dari aset saat menilai kembali aset tetap, maka IFRS 13 dapat
menghasilkan nilai wajar yang lebih tinggi.

6. Hirarki Nilai Wajar


Hierarki nilai wajar memberikan prioritas tertinggi kepada harga
kuotasian (tanpa penyesuaian) di pasar aktif untuk aset atau liabilitas yang
identik (input Level 1) dan prioritas terendah untuk input yang tidak dapat
diobservasi (input Level 3). IFRS 13 menetapkan hierarki nilai wajar yang
mengkategorikan ke dalam tiga tingkat masukan untuk teknik penilaian
yang digunakan untuk mengukur nilai wajar.

8
a. Input Level 1 adalah harga kuotasian (tanpa penyesuaian) di pasar aktif
untuk aset atau liabilitas yang identik yang dapat diakses entitas pada
tanggal pengukuran.
b. Input Level 2 adalah input selain harga kuotasian yang termasuk dalam
Level 1 yang dapat diobservasi untuk aset atau liabilitas, baik secara
langsung maupun tidak langsung.
c. Input Level 3 adalah input yang tidak dapat diobservasi untuk aset atau
liabilitas.

7. Dampak Penerapan PSAK 68


a. Perpajakan
Kaitan antara konsep nilai wajar dalam proses revaluasi, dan pemahaman
perpajakan atas konsep nilai wajar tersebut.
b. Jasa Penilai Persamaan persepsi dan pemahaman antara akuntan dan
penilai, terutama dalam konteks penggunaan nilai wajar dalam pelaporan
keuangan. Kesiapan penilai sebagai profesi pendukung
c. Akuntan Publik
Penggunaan konsep nilai wajar yang baru dan dampaknya terhadap
informasi dalam laporan auditan
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia
(DSAK IAI) menyadari bahwa pandemi Covid-19 telah memengaruhi
volatilitas dan volume transaksi di bursa efek di seluruh dunia, tidak
terkecuali dengan bursa efek di Indonesia. Ketidakpastian akibat pandemi
Covid19 ini dapat secara signifikan memengaruhi pertimbangan
(judgement) entitas dalam menyusun laporan keuangan khususnya dalam
hal menentukan nilai wajar dari instrumen keuangan. DSAK IAI
memutuskan untuk menerbitkan publikasi ini, tanpa bermaksud untuk
mengubah isi PSAK 68, sebagai petunjuk (guidance) bagi entitas dalam
mengaplikasikan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang berbasis prinsip
untuk penyusunan laporan keuangannya. SAK yang berbasis prinsip
tersebut memberikan ruang bagi entitas dalam menggunakan
pertimbangannya untuk menyelesaikan permasalahan akuntansi yang

9
timbul akibat pandemi Covid-19. Entitas menggunakan pertimbangan yang
tepat sesuai dengan fakta dan keadaan untuk menghasilkan laporan
keuangan yang merepresentasikan secara tepat posisi dan kinerja keuangan
entitas yang sebenarnya. Entitas diingatkan untuk dapat membuat
pernyataan secara eksplisit dan tanpa kecuali tentang kepatuhan terhadap
SAK, hanya apabila entitas telah patuh terhadap seluruh persyaratan dalam
SAK termasuk PSAK 68

8. Kendala Penerapan PSAK 68


Kendala-kendala yang timbul dalam menerapkan nilai wajar adalah
bagaimana memperoleh data yang andal dan relevan, memastikan data pendukung
tersedia, apakah profesi penilai siap, dan memilih teknik pengukuran nilai wajar
mana yang paling tepat. Persepsi dan pemahaman antara akuntan publik, penilai,
dan perpajakan juga harus sama mengenai nilai wajar. Tujuan pengukuran nilai
wajar adalah untuk menentukan harga di mana transaksi teratur (orderly
transaction) akan terjadi antara pelaku pasar (market participants) dalam kondisi
pada tanggal pengukuran. PSAK 68 mengatur hirarki pengukuran nilai wajar yakni
pengukuran dengan input informasi yang dapat diobservasi (harga kuotasian di
pasar aktif – Level 1), dan pengukuran dengan teknik valuasi lainnya (Level 2 dan
Level 3). Nilai wajar diukur dengan mempertimbangkan informasi pada tanggal
pelaporan dan tidak memasukkan informasi yang memuat prediksi masa depan.
PSAK 68 paragraf 77 mensyaratkan bahwa harga kuotasian (quoted price)
di pasar aktif adalah bukti yang paling andal dari nilai wajar dan digunakan tanpa
penyesuaian apapun untuk mengukur nilai wajar. Sehingga, jika harga kuotasian
tersedia, maka tidaklah tepat untuk melakukan penyesuaian atas harga kuotasian
atau mengabaikan transaksi yang menghasilkan harga kuotasian, kecuali jika
transaksi tersebut ditentukan sebagai transaksi tidak teratur (not orderly). Namun
demikian, ketika volume transaksi atau tingkat aktivitas perdagangan di bursa
menurun secara signifikan, tidak mudah untuk menentukan apakah suatu transaksi
termasuk dalam suatu transaksi yang teratur atau tidak. Tidak tepat bagi entitas
untuk menyimpulkan bahwa seluruh transaksi di pasar yang mengalami penurunan
volume atau tingkat aktivitas sebagai transaksi tidak teratur. Transaksi semacam itu

10
dianggap teratur hampir di semua situasi. Entitas juga harus mempertimbangkan
apakah suatu transaksi adalah teratur atau tidak untuk setiap transaksi pada level
instrumen per instrumen karena setiap instrumen dapat memiliki kesimpulan
analisis yang berbeda sekalipun diperdagangkan di bursa yang sama dengan
kecenderungan umum menurun.
PSAK 68 paragraf PP43 memberikan contoh keadaan yang
mengindikasikan bahwa transaksi tidak teratur, di antaranya, penjual sedang
mengalami atau di ambang kebangkrutan atau dalam pengawasan kurator, penjual
disyaratkan untuk menjual secara paksa untuk memenuhi persyaratan regulasi atau
hukum, atau keadaan di mana harga transaksi merupakan suatu outlier
dibandingkan dengan harga pada transaksi terkini lain untuk aset atau liabilitas yang
sama atau serupa. Secara umum, sangat tidak mudah untuk menyimpulkan bahwa
suatu transaksi bukanlah merupakan transaksi teratur menurut PSAK 68. Walaupun
PSAK 68 paragraf PP43 menjelaskan keadaan yang dapat mengindikasikan bahwa
transaksi adalah tidak teratur, namun secara implisit terdapat anggapan yang tidak
terbantahkan bahwa transaksi yang dapat diobservasi antar pihak yang tidak
berelasi adalah transaksi teratur.
PSAK 68 tidak mensyaratkan entitas untuk mengerahkan segala daya upaya
yang berlebihan untuk mengumpulkan informasi dalam memutuskan apakah suatu
transaksi adalah teratur atau tidak. Apabila entitas adalah salah satu pihak yang
melakukan transaksi, maka entitas diasumsikan memiliki informasi yang memadai
untuk menentukan apakah transaksi tersebut adalah termasuk transaksi teratur atau
tidak. Sebaliknya, bila entitas bukan merupakan salah satu pihak yang melakukan
transaksi, dan informasi mengenai transaksi yang terjadi di bursa tidak mencukupi,
maka menjadi sulit untuk menentukan apakah harga dihasilkan dari transaksi yang
teratur atau tidak. Memahami kendala ini, maka PSAK 68 telah mencakup
suatu panduan dalam paragraf PP44(c) apabila entitas tidak memiliki
informasi yang memadai untuk menyimpulkan apakah suatu transaksi
adalah teratur.
Paragraf PP44(c) menjelaskan bahwa entitas tidak dapat mengabaikan
informasi yang dapat diobservasi pada tanggal pelaporan, namun entitas
harus memberikan bobot pertimbangan yang lebih rendah untuk harga pasar

11
yang terjadi ketika suatu transaksi dianggap tidak teratur, bila dibandingkan
dengan harga pasar yang telah terjadi sebelumnya di saat transaksi tersebut
dianggap teratur. Dengan demikian, nilai wajar aset keuangan di pasar aktif akan
terus dihitung sebagai hasil dari perkalian antara harga kuotasian aset keuangan
tersebut dan kuantitas yang dimiliki (biasanya disebut sebagai "harga dikalikan
kuantitas"), bahkan pada saat terjadi volatilitas pasar yang signifikan. Dalam hal
otoritas pemerintah telah menetapkan adanya kegentingan dan memberikan
panduan model yang dikembangkan sendiri dengan dukungan informasi yang
memadai, entitas dapat mempertimbangkan hal tersebut sebagai salah satu input
dalam penentuan nilai wajar pada level transaksi individual.
DSAK IAI dan otoritas pemerintah selalu saling berkonsultasi dalam
kebijakan yang berkaitan dengan pelaporan keuangan dengan mengedepankan
akuntabilitas dan transparansi. Jika entitas menyimpulkan bahwa tepat untuk
menggunakan teknik valuasi untuk mengukur nilai wajar suatu aset atau liabilitas,
maka entitas dapat mempertimbangkan dampak dari pandemi Covid-19 untuk
menyesuaikan berbagai asumsi penilaian, termasuk suku bunga, credit spread,
risiko kredit penerbit instrumen, dan sebagainya. Terlepas dari apapun teknik
valuasi yang digunakan, entitas harus mempertimbangkan penyesuaian yang
diharapkan oleh pelaku pasar akibat ketidakpastian pandemi Covid-19. Akibat
risiko yang meningkat, pelaku pasar dapat mengharapkan tingkat pengembalian
yang lebih besar sebagai kompensasi dari ketidakpastian arus kas yang melekat
pada instrumen keuangan.

9. Perkembangan Pembahasan Standar Penilaian Indonesia


Perkembangan KEPI dan SPI terus berkembang sesuai dengan
pertumbuhan kebutuhan akan penilai profesional untuk mendukung
perekonomian yang berbasis pasar, mulai dari SPI 2002, SPI 2007, sampai
saat ini baru saja diresmikan SPI 2013. KEPI dan SPI juga terus mengikuti
standar internasional yaitu International Valuation Standard (IVS) yang
disusun oleh IVS. Dari awal, SPI 2013 memang disusun agar bisa sejajar
dengan standar penilaian dari internasional dan negara lain, sehingga
filosofi penyusunan dan strukturnya juga diubah menjadi lebih berbasis

12
prinsip (principle-based) dan terhubung antara satu dengan lainnya
(interconnected), dengan diharmonisasi dengan kebutuhan penilai
Indonesia pada umumnya. SPI juga dikembangkan sesuai dengan isu dan
jenis pekerjaan yang disyaratkan oleh Undang-Undang, misalnya untuk
pembebasan tanah untuk kepentingan umum dengan tujuan agar dapat
menaungi penilai yang melakukan pekerjaan di bidang tersebut.
KEPI dan SPI yang sebelumnya menjadi satu dokumen, sekarang
dilepaskan menjadi dua dokumen yang berbeda, sehingga dapat
dimuktahirkan masing-masing. Namun untuk saat ini, KEPI dan SPI masih
dijilid menjadi satu buku. Struktur dan penomoran SPI juga berubah yang
tadinya menggunakan prefiks SPI, PPI, dan PPPI diubah menjadi semuanya
SPI tapi dengan kode-kode 1, 2, dan 3. SPI 1xx adalah padanan SPI di SPI
2007. SPI 2xx adalah padanan PPI, dan SPI 3xx adalah padanan
PPPI. Berarti semua panduan yang ada SPI sebelumnya sekarang sudah
menjadi standar. Nilai Pasar juga berubah definisinya untuk bisa mencakup
semua jenis penilaian baik penilaian properti maupun penilaian bisnis.
Selain itu, di Standar Umum (SPI 1xx), ditambahkan SPI 104
Implementasi, yang merupakan proses kerja penilaian yang
menghubungkan SPI 103 Lingkup Penugasan dengan SPI 105 Pelaporan
Penilaian. Sehingga penilai saat ini perlu lebih berpikir mengenai proses
penilaian dan bukan hanya tentang pelaporannya. Begitu juga diperkenalkan
istilah yang sama sekali baru dalam dunia penilaian Indonesia, yaitu
investigasi, yang memiliki arti dan batasan khusus dalam penilaian. Nilai
yang sebelumnya dikenal sebagai Nilai Jual Paksa, dikembalikan istilah
utamanya menjadi Nilai Likuidasi, namun di laporan dihimbau untuk ditulis
Indikasi Nilai Likuidasi karena kurangnya data pembanding yang sesuai
untuk menentukan Nilai Likuidasi dan lebih merupakan perkiraan atau
indikasi dari suatu faktor tertentu. Beberapa jenis nilai selain nilai pasar juga
ditambahkan seperti Nilai Penggantian Wajar, dan Nilai Sinergis yang
masing-masing tentu memiliki aplikasi yang khusus.

13
B. Fair Value Accounting and Its Usefulness to Financial Statement Users
(Vera, 2014)
1. Fenomena
Krisis keuangan baru-baru ini telah mengalihkan perhatian pada pelaporan
nilai wajar dan telah menjadi yang utama debat kebijakan yang melibatkan
antara lain Kongres AS dan Komisi Eropa regulator perbankan dan
akuntansi di seluruh dunia. Kritikus berpendapat bahwa pelaporan nilai
wajar memiliki kontribusi signifikan terhadap krisis keuangan dan
memperburuk kondisi lembaga keuangan di seluruh dunia. Para penentang
mengklaim bahwa nilai wajar tidak relevan dan berpotensi menyesatkan aset
yang dimiliki untuk jangka waktu yang lama dan khususnya hingga jatuh
tempo; harga itu bisa terdistorsi oleh inefisiensi pasar, irasionalitas investor
atau masalah likuiditas; nilai-nilai yang adil berdasarkan model tidak dapat
diandalkan; dan bahwa pelaporan nilai wajar berkontribusi pada
prosiklikalitas sistem keuangan (Barth 2004, Penman 2007, Benston 2008,
dan Ryan 2008). Para pendukung pelaporan nilai wajar mengklaim bahwa
nilai wajar untuk aset atau kewajiban mencerminkan kondisi pasar saat ini
dan karenanya memberikan informasi yang tepat waktu, dengan demikian
meningkatkan transparansi dan mendorong tindakan korektif yang cepat.
The recent financial crisis has shifted attention to fair value reporting and has
been in the center of policy debates involving, among others, the US Congress
and the European Commission.banking and accounting regulators around the
world. Critics argue that fair value reporting has contributed significantly to
the financial crisis and worsened the condition of financial institutions around
the world. Opponents claim that fair value is irrelevant and has the potential
to mislead assets held for a long period of time and in particular to maturity;
they can be distorted by market inefficiencies, investor irrationality or liquidity
problems; fair values based on unreliable models; and that fair value reporting
contributes to the procyclicality of the financial system (Barth 2004, Penman
2007, Benston 2008, and Ryan 2008) …… [Page 2]

14
2. Masalah
Masalah yang terkait dengan akuntansi nilai wajar dan berkontribusi pada
perdebatan pengaturan standar pada sistem pengukuran yang optimal, latar
belakang teoritis nilai wajar untuk adopsi, dan menyediakan bukti
kegunaannya bagi investor, dan menyoroti masalah kontroversial. Hal ini
menuju pada bagaimana kontribusi pelaporan nilai wajar terhadap kualitas
informasi keuangan?
Issues associated with fair value accounting and contributing to the debate on
standard setting on the optimal measurement system, theoretical background
for fair value adoption, and providing evidence of its usefulness for investors,
and highlighting controversial issues. This leads to how the contribution of fair
value reporting to quality of financial information? [Page 2]

3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dari artikel ini adalah untuk membahas kontribusi
pelaporan nilai wajar terhadap kualitas informasi keuangan.
The research objective of this article is to discuss the contribution of fair value
reporting to the quality of financial information. [Page 2]

4. Research Gap
Adapun research gap pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Relevansi nilai wajar dan kaitannya dengan Kerangka Konseptual IASB
1) Barth (1994) dan Ahmed dan Takeda (1995) meneliti implikasi harga
pengungkapan keuntungan dan kerugian bank atas sekuritas investasi
mereka. Sebagian besar sekuritas investasi bank cukup likuid,
sehingga nilai wajar cenderung relevan dengan nilai dalam pengaturan
ini.
2) Ahmed dan Takeda (1995) berpendapat bahwa kelemahan temuan
Barth sebagian disebabkan oleh perubahan nilai aktiva bersih lain
yang dihilangkan akibat pergerakan suku bunga.
3) Menurut studi anomali (Lee 2001 untuk tinjauan), ketika harga saham
salah harga relatif terhadap harga yang akan mereka dapatkan jika
pasar sepenuhnya efisien, pelaporan keuangan mendorong harga ke
arah nilai-nilai fundamental.

15
b. Kegunaan nilai wajar untuk instrumen keuangan
1) Nelson (1996), Barth et al. (1996) dan Eccher et al. (1996), misalnya,
meneliti berbagai jenis instrumen keuangan bank komersial pada
tahun 1992 dan 1993, secara umum menunjukkan bahwa nilai wajar
memberikan informasi di luar biaya diamortisasi untuk sekuritas ini.
2) Barth et al. (1996) menemukan bahwa nilai wajar pinjaman relevan
dengan nilai, dan Eccher et al. (1996) menemukan relevansi nilai
pinjaman hanya dalam pengaturan terbatas. Akhirnya, Venkatachalam
(1996) meneliti relevansi nilai dari nilai wajar derivatif dan
menemukan bahwa nilai wajar tersebut berhubungan positif dengan
nilai pasar ekuitas
Empirical Evidence On Fair Value Usefulness. Fair value relevance and the
link with the IASB’s Conceptual Framework. Fair value usefulness for
financial instruments. [Page, 9-12]

5. Kerangka Konseptual
Adapun kerangka konseptual dan model penelitian dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Fair Value Accounting and Its Usefulness to Financial Statement Users
(Vera, 2014)

Fenomena/Research
Gap

Pokok Masalah
Kajian Empiris:
1) Barth (1994)
Metodelogi Penelitian 2) Ahmed dan
Grand Teori: Takeda (1995)
Efficient Market 3) Lee (2001)
Hypothesis Pembahasan
4) Nelson (1996)
5) Barth et al. (1996)
6) Eccher et al.
(1996)
Kesimpulan, 7) Venkatachalam
Keterbatasan dan Saran (1996)

Sumber: Page, 9-12

16
6. Metode Penelitian
Dapat dikatakan penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Dalam
penelitian ini tidak ada hipotesis tertentu yang dijabarkan karena pada
Makalah ini bertujuan untuk membahas akuntansi nilai wajar dan
kegunaannya bagi keuangan. Makalah ini berusaha mengulas dengan
pendekatan yang menggambarkan latar belakang teoritis untuk akuntansi
nilai wajar, yang disediakannya bukti empiris tentang kegunaannya, ini
menyoroti beberapa masalah kontroversial dan membuat beberapa proposal
untuk diskusi pengaturan standar. Sistem pengukuran dan pelaporan ganda
dapat menjadi solusi untuk kontroversi tersebut, karena biaya historis dan
nilai wajar memberikan dua jenis informasi berbeda yang keduanya berguna
bagi investor.
This paper delineates the theoretical background for fair value accounting, it
provides empirical evidence on its usefulness, it highlights some controversial
issues and makes some proposals for standard setting discussion (page 1)

7. Hasil Penelitian
Adapun hasil analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Makalah ini mengklaim bahwa biaya historis dan nilai wajar tidak boleh
dianggap sebagai pesaing dan keduanya harus disediakan. Upaya untuk
memilih salah satu akan menghilangkan akses pengguna laporan keuangan
ke informasi yang lengkap dan berguna untuk pengambilan keputusan.
Untuk alasan ini, model pengukuran dan pelaporan ganda harus menjadi
solusi yang baik. Model pengukuran dan pelaporan ganda bisa lebih efektif
untuk menilai keberhasilan investasi. Membandingkan peristiwa yang
diharapkan (yaitu nilai wajar) dengan peristiwa masa lalu (yaitu biaya
historis) akan meningkatkan kemampuan pengguna laporan keuangan untuk
mengevaluasi kinerja masa lalu, sehingga memenuhi tujuan penatalayanan,
dan untuk memprediksi kinerja masa depan, sehingga memenuhi tujuan
pengambilan keputusa.
As a result, this paper claims that historical cost and fair value should not be
considered as competitors and both of them should be provided. An attempt to
choose either one would deprive financial statement users of access to
complete and useful information for decision-making (page 18)

17
8. Implikasi Penelitian
Makalah ini memberikan pembaca gambaran komprehensif tentang utama
masalah yang terkait dengan akuntansi nilai wajar dan berkontribusi pada
perdebatan pengaturan standar pada sistem pengukuran yang optimal.
Makalah ini juga menyarankan bahwa debat semacam itu harus dibingkai
ulang, dan tidak lagi dipertimbangkan dalam istilah pilihan antara nilai
wajar dan biaya historis. Memilih antara biaya historis dan nilai wajar
berarti mengorbankan salah satu dari dua tujuan ini, yang keduanya
termasuk dalam Kerangka Konseptual IASB.
This paper provides the reader with a comprehensive picture of the main issues
related to fair value accounting and contributes to the standard setting debate
on the optimal measurement system. This paper suggests that such a debate
should be reframed, and no longer considered in terms of the choice between
fair value and historical cost. Choosing between historical cost and fair value
implies sacrificing one of these two objectives, which are both included in the
IASB’s Conceptual Framework. (page,16-17)

9. Kesimpulan Penelitian
Makalah ini berpendapat bahwa biaya historis dan nilai wajar tidak boleh
dianggap sebagai pesaing, sebagai mereka melayani tujuan yang berbeda.
Biaya historis memberi investor biaya investasi, sedangkan nilai wajar
memberikan ukuran tentang apa yang diharapkan manajemen sebagai
imbalan darinya. Pengetahuan tentang nilai wajar itu penting, meski tidak
cukup. Pengguna juga perlu mengetahui biayanya dari investasi. Padahal,
mengetahui berapa banyak sumber daya yang telah dikorbankan untuk
mendapatkan yang adil itu nilai, mereka dapat secara efektif mengevaluasi
penatalayanan, yang juga merupakan tujuan pelaporan keuangan. Oleh
karena itu, makalah ini menyimpulkan bahwa biaya historis dan nilai wajar
harus disediakan, sebagaimana adanya bersama-sama mereka dapat
menyampaikan informasi yang lengkap dan berguna kepada investor.
Akibatnya, file adopsi pengukuran ganda dan sistem pelaporan harus
dipertimbangkan dan didiskusikan di tingkat pengaturan standar.
This paper argues that historical cost and fair value should not be considered
as competitors, as they serve different purposes. Historical cost provides

18
investors with the cost of an investment, while fair value gives a measure of
what the management expect to get in return from it. Knowledge of fair value
is important, although it is not enough. Users also need to know the cost of the
investment. In fact, knowing how many resources have been sacrificed to
obtain that fair value, they could effectively evaluate stewardship, which is also
an objective of financial reporting. This paper therefore concludes that both
historical cost and fair value should be provided, as only together can they
deliver complete and useful information to investors. As a consequence, the
adoption of a dual measurement and reporting system should be considered
and discussed at a standard setting level. (page, 19)

19
DAFTAR RUJUKAN

Ikatan Akuntansi Indonesia. ED PSAK 68 tentang Pengukuran Nilai Wajar – edisi


exposure draft. Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan
Indonesia.

Palea, Vera. 2014. Fair Value Accounting and Its Usefulness to Financial Statement
Users. Journal of Financial Reporting and Accounting, page 1-22.

20

Anda mungkin juga menyukai