Anda di halaman 1dari 75

1

BAB 1
BENTUK-BENTUK BADAN USAHA

Bagian ini menjelaskan :


1. Pengertian bisnis dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pengertian dan macam-macam badan hukum dan bukan badan hukum
sebagai pelaku dunia bisnis.
3. Aspek hukum pelaku bisnis menurut ketentuan yang berlaku.

A. Pendahuluan
Berbicara masalah bisnis seringkali diekspresikan sebagai suatu
urusan atau kegiatan dagang. Kata “bisnis” itu sendiri diambil dari bahasa
Inggris Business yang berarti kegiatan usaha. Secara luas, kata bisnis
sering diartikan sebagai keseluruhan kegiatan usaha yang dijalankan oleh
orang atau badan secara teratur dan terus-menerus, yaitu berupa kegiatan
mengadakan barang-barang atau jasa-jasa maupun fasilitas-fasilitas
untuk diperjualbelikan, dipertukarkan, atau disewagunakan dengan
tujuan mendapatkan keuntungan.
Secara garis besar, kegiatan bisnis dapat dikelompokkan atas 5
bidang usaha, yaitu sebagai berikut :
1. Bidang Industri. Misalnya pabrik radio, TV, motor, mobil, tekstil, dan
lain-lain.
2. Bidang Perdagangan. Misalnya agen, makelar, toko besar, toko kecil,
dan lain-lain.
3. Bidang Jasa. Misalnya konsultan, penilai, akuntan, biro perjalanan,
perhotelan, dan lain-lain.
4. Bidang Agraris. Misalnya pertanian, peternakan, perkebunan, dan
lain-lain.
5. Bidang Ekstraktif. Misalnya pertambangan, penggalian, dan lain-lain.
Jika ditelaah lebih dalam, ternyata kegiatan bisnis yang ada di
masyarakat sangat luas sekali yang bisa meliputi bidang-bidang usaha
seperti : pertanian, perhotelan, perikanan, pariwisata, perhutanan,
kesehatan, perkebunan, kecantikan, pertambangan, konsultan,
industri/produksi, pendidikan, konstruksi, perantaraan, keuangan/
perbankan, sewa-guna (leasing), asuransi, pergudangan, pengangkutan,
perdagangan, pelayaran, komunikasi, dan lain sebagainya.
Dalam kegiatan bisnis, ada pula yang membedakannya dalam 3
bidang usaha, yaitu sebagai berikut :
a. Bisnis dalam arti kegiatan perdagangan (Commerce), yaitu:
keseluruhan kegiatan jual beli yang dilakukan oleh orang-orang dan
badan-badan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri ataupun
antara negara untuk tujuan memperoleh keuntungan.
Contoh : Produsen (pabrik), dealer, agen, grosir, toko, dan
sebagainya.
b. Bisnis dalam arti kegiatan industri (Industry), yaitu kegiatan
memproduksi atau menghasilkan barang-barang yang nilainya lebih
berguna dari asalnya.
2

Contoh : Industri perhutanan, perkebunan, pertambangan,


penggalian batu, pembuatan gedung, jembatan, pabrik
makanan, pakaian, pabrik mesin, dan sebagainya.
c. Bisnis dalam arti kegiatan jasa-jasa (Service), yaitu kegiatan yang
menyediakan jasa-jasa yang dilakukan baik oleh orang maupun badan.
Contoh : Jasa perhotelan, konsultan, asuransi, pariwisata,
pengacara (Lawyer), penilai (Appraisal), akuntan, dan
lain-lain.

B. Badan Hukum
Bisnis yang dilakukan lazimnya bisa dilakukan oleh perseorangan
dan bisa juga dengan suatu perkumpulan dalam arti perkumpulan yang
berbentuk badan hukum maupun perkumpulan yang bukan berbentuk
badan hukum. Di sini akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan badan
hukum. Sebelum menjelaskan pada pengertian badan hukum, perlu
diketahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan perkumpulan.
Dikatakan perkumpulan berarti kumpulan tersebut terdiri dari
beberapa orang. Perkumpulan di sini mempunyai arti luas dan
mempunyai 4 unsur, yaitu :
1. adanya unsur kepentingan bersama,
2. adanya unsur kehendak bersama,
3. adanya unsur tujuan, dan
4. adanya unsur kerjasama yang jelas.
Keempat unsur tersebut selalu ada pada tiap perkumpulan baik
yang berbadan hukum maupun yang bukan badan hukum. Banyak
perkumpulan yang terjadi dalam dunia bisnis, dan merupakan badan
hukum yang paling populer sekarang ini adalan bentuk badan hukum
Perseroan Terbatas (PT) dan koperasi.
Mendirikan suatu badan hukum, mutlak diperlukan pengesahan
dari pemerintah, misalnya dalam hal mendirikan PT, mutlak diperlukan
pengesahan akta pendirian dan anggaran dasarnya oleh pemerintah
(Menteri Hukum dan HAM cq. Direktorat Perdata). Sedangkan dalam hal
mendirikan perkumpulan dan atau koperasi, mutlak diperlukan
pengesahan akta pendirian koperasi dari Menteri Koperasi dan
Pembinaan Pengusaha Kecil. Oleh karena itu pada bagian ini penulis lebih
banyak membahas badan hukum Perseroan Terbatas, sedangkan untuk
koperasi, disediakan bagian tersendiri.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1996, disebutkan
dengan jelas definisi dari Perseroan Terbatas (PT). Perseroan Terbatas
adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan
kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam
saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-
undang serta peraturan pelaksanaannya. Sedangkan menurut Prof.
Soekardono, Perseroan Terbatas adalah suatu perserikatan yang bercorak
khusus untuk tujuan memperoleh keuntungan ekonomis.
Oleh karena masalah Perseroan Terbatas seperti yang diatur dalam
Pasal 26 s.d. Pasal 56 KUHD sudah dicabut dengan Undang-Undang
3

Nomor 1 Tahun 1995, maka yang menjadi acuan dalam membahas


masalah Perseroan Terbatas adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1995 serta KUH Perdata sebagai suatu undang-undang yang bersifat
umum.
1. Pendirian PT
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 telah diatur
dengan jelas bahwa suatu perseroan hendaknya didirikan oleh 2 (dua)
orang atau lebih dengan suatu akta notaris yang dibuat dalam bahasa
Indonesia. Kata “orang” yang dimaksud adalah orang perseorangan
atau badan hukum. Dalam akta pendirian PT sekurang-kurangnya
harus memuat antara lain :
a. Nama lengkap, ternpat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal,
dan kewarganegaraan pendiri;
b. Susunan, nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan,
tempat tinggal, dan kewarganegaraan anggota direksi dan
komisaris yang pertama kali diangkat; dan
c. Nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham,
rincian jumlah saham, nilai nominal atau nilai yang diperjanjikan
dan saham yang telah ditempatkan dan disetor pada saat pendirian.
Selain itu ada 2 (dua) hal yang tidak boleh dimuat dalam akta
pendirian PT, yaitu :
a. Ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham; dan
b. Ketentuan tentang pemberian keuntungan pribadi kepada pendiri
atau pihak lain.
Untuk memperoleh pengesahan atas suatu PT, tentunya para
pendiri bersama-sama atau melalui kuasanya, mengajukan
permohonan secara tertulis dengan melampirkan akta pendirian
perseroan kepada Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan pengesahan
dapat diberikan dalam jangka waktu 60 hari terhitung sejak
permohonan yang diajukan telah memenuhi syarat dan kelengkapan
yang diperlukan. Apabila permohonan ditolak, maka akan
diberitahukan secara tertulis kepada pemohon disertai alasan-
alasannya.
Apabila ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri
sebelum perseroan disahkan, maka menurut Pasal 11 UU No. 1 Tahun
1995, perbuatan hukum tersebut akan mengikat perseroan setelah
perseroan menjadi badan hukum dengan 3 persyaratan, yaitu :
a. Perseroan secara tegas menyatakan menerima semua perjanjian
yang dibuat oleh pendiri atau orang lain yang ditugaskan pendiri
dengan pihak ketiga.
b. Perseroan secara tegas menyatakan mengambil alih semua hak dan
kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri atau
orang lain yang ditugaskan pendiri, walaupun perjanjian tidak
dilakukan atas nama perseroan.
c. Perseroan mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum
yang dilakukan atas nama perseroan.
Apabila perbuatan hukum seperti yang dimaksudkan di atas
tidak diterima, tidak diambil alih, atau tidak dikukuhkan oleh
4

perseroan, maka akibat hukumnya adalah masing-masing pendiri yang


melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara
pribadi atas segala akibat yang timbul.
Setelah perseroan sah berdiri, maka direksi perseroan
mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan perseroan tersebut dalam
daftar perseroan. Daftar perseroan adalah daftar perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982
tentang Wajib Daftar Perusahaan. Pendaftaran ini wajib dilakukan
dalam waktu paling lambat 30 hari setelah pengesahan atau
persetujuan diberikan atau setelah tanggal penerimaan laporan.
Perseroan yang telah didaftarkan tentunya akan diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
2. Direksi dan Komisaris
Dari sekian banyak masalah yang terdapat pada PT, hal penting
menurut penulis yang perlu dikemukakan dalam uraian ini adalah
mengenai kedudukan, peran, dan tanggung jawab dari direksi
(pengurus) dan komisaris, oleh karena kedua unit inilah yang
memegang peranan penting terhadap maju mundurnya suatu
perseroan.
Seperti kita ketahui bahwa kekuasaan tertinggi dari suatu PT
adalah RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Dalam RUPS
ditetapkan siapa-siapa yang menjadi direksi, kecuali direksi yang
pertama, yang telah ditetapkan dalam akta. Menurut Pasal 80 UU No.
1 Tahun 1995, direksi tidak boleh ditetapkan untuk waktu selama-
lamanya. Hal ini dimaksudkan apabila ternyata direksi yang telah
ditetapkan kurang cakap, sehingga dalam pengurusan perusahaan
mengalami kerugian, RUPS dapat menggantinya dengan direksi lain.
Namun demikian sekalipun direksi ditetapkan oleh RUPS,
adakalanya pengangkatan direksi sedikit banyaknya dipengaruhi oleh
alat perlengkapan perseroan yang lain, misalnya, dewan komisaris,
rapat pemegang saham prioritas atau badan lain. Ketentuan demikian
disebut dengan “Clausul Oligarkhi” atau “Otokrasi”, yang biasanya ada
pada akta pendirian sementara.
Tanggung jawab direksi sangat luas, karena direksi ber
tanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan
dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun
di luar pengadilan. Dalam undang-undang perseroan juga telah jelas
disebutkan bahwa dalam hal anggota direksi terdiri dari 1 orang, maka
yang berwenang mewakili perseroan adalah setiap anggota direksi,
kecuali ditentukan lain.
Namun demikian menurut Pasal 84 UU Perseroan Terbatas,
ada 2 (dua), hal di mana anggota direksi tidak berwenang mewakili
perseroan, yaitu dalam hal :
a. Terjadi perkara di depan pengadilan antara perseroan dengan
anggota direksi yang bersangkutan; dan
b. Anggota direksi yang bersangkutan mempunyai kepentingan yang
bertentangan dengan kepentingan perseroan.
5

Selain itu ada 4 (empat) kewajiban direksi yang telah


ditentukan undang-undang, yaitu sebagai berikut :
a. Wajib membuat dan memelihara daftar pemegang saham, risalah
RUPS, dan risalah rapat direksi.
b. Wajib menyelenggarakan pembukuan perseroan.
c. Wajib melaporkan kepada perseroan mengenai kepemilikan
sahamnya dan atau kehiarganya.
d. Wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau
menjadikan jaminan utang seluruh atau sebagian besar kekayaan
perseroan.
Dalam anggaran dasar perseroan biasanya juga dapat diadakan
pembatasan-pembatasan terhadap pelaksanaan tugas direksi. Artinya
dalam anggaran dasar ditentukan bahwa bila direksi mengadakan
transaksi-transaksi tertentu, mengajukan suatu perkara di muka
pengadilan dan lain-lain, maka direksi harus meminta persetujuan
terlebih dahulu dari dewan komisaris atau rapat umum pemegang
saham. Kembali diingatkan bahwa direksi hanya mempunyai
kewenangan pada hal-hal yang ditentukan dalam anggaran dasar saja.
Bila kewenangannya melampaui ketentuan yang telah digariskan,
maka perseroan tidak bertanggung jawab terhadap pihak ketiga.
Pembatasan-pembatasan lainnya sesuai dengan undang-undang
atau baham hukum umum ialah sesuai dengan tujuan perseroan, di
mana direksi hanyalah bertugas sekadar untuk mencapai tujuan
perseroan, jika terjadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan keluar
dari tujuan itu, maka direksi tidak berwenang. Yang menjadi masalah
sekarang adalah apakah suatu perbuatan itu akibat dari tujuan
perseroan? atau apakah perbuatan itu dalam kenyataannya termasuk
dalam tujuan perseroan?
Dalam anggaran dasar, pada umumnya perseroan menetapkan
adanya beberapa kewajiban sebagai berikut :
a. Menyusun anggaran perseroan untuk tahun yang akan datang yang
harus diselesaikan selambat-lambatnya 3 bulan sebelum tahun
buku baru mulai berlaku. Anggaran dasar perseroan ini sudah
harus direncanakan dan diajukan dalam rapat umum para
pemegang saham perseroan.
b. Menyusun laporan berkala mengenai pelaksanaan tugas direksi
perseroan yang harus dikirim kepada dewan komisaris, baik dalam
hal mengurus dan menguasai perusahaan, maupun membuat
neraca dan perhitungan laba rugi seperti disebutkan dalam Pasal 6
Ayat 2 KURD.
c. Membuat inventarisasi atas semua harta kekayaan perseroan serta
pelaksanaan pengawasannya, dan
d. Mengadakan rapat umum para pemegang saham sekali setahun
atau pada saat-saat yang sangat mendesak.
Selain direksi, alat perlengkapan lain dari perseroan yang
penting adalah komisaris. Masalah komisaris dalam suatu perseroan
adalah juga masalah yang menarik, karena dalam undang-undang
juga telah disebutkan adanya organ perseroan, yaitu komisaris.
6

Perkataan komisaris mengandung pengertian baik sebagai “organ’


maupun sebagai “orang perseorangan”. Sebagai organ, komisaris lazim
juga disebut “dewan komisaris”, sedangkan sebagai “orang
perseorangan” disebut “anggota komisaris” termasuk juga badan-
badan lain yang menjalankan tugas pengawasan khusus di bidang
tertentu.
Perseroan dalam melaksanakan kegiatan usahanya melakukan
pengerahan dana masyarakat, tentunya diperlukan pengawasan yang
lebih besar karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak.
Dalam hal terdapat lebih dari satu orang komisaris, mereka akan
merupakan sebuah majelis. Berbeda dengan direksi, maka sebagai
majelis, komisaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri untuk
mewakili perseroan.
Tugas komisaris secara umum adalah mengawasi kebijaksanaan
direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat
kepada direksi. Selain itu komisaris juga berkewajiban melaporkan
kepada perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan atau saham
keluarganya. Komisaris pun berdasarkan anggaran dasar perseroan
atau keputusan RUPS, dapat melakukan tindakan pengurusan
perseroan dalam keadaan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu,
dalam hal direksi tidak ada. Bagi komisaris yang dalam keadaan
tertentu untuk jangka waktu tertentu melakukan tindakan pengurusan
perseroan, maka semua ketentuan mengenai hak dan wewenang serta
kewajiban direksi akan berlaku terhadapnya.
Apakah suatu perseroan diharuskan mempunyai organ
komisaris? Tampaknya undang-undang tidak secara tegas
menyebutkannya. Undang-undang hanya menyebutkan: “Perseroan
memiliki komisaris yang wewenang dan kewajibannya ditetapkan
dalam anggaran dasar”. Kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa
dalam suatu perseroan tentu tidak diharuskan ada organ komisaris.
Oleh karenanya harus disebutkan secara tegas dan rinci dalam
anggaran dasarnya. Dalam Akta Pendirian tentu dapat ditentukan
bahwa direksi diharuskan memberikan kesempatan kepada komisaris,
baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk memeriksa buku
perusahaan, komisaris dapat memberikan teguran-teguran, nasihat-
nasihat atau petunjuk-petunjuk, tetapi tidak dapat meminta tanggung
jawab direksi. Setiap direksi hanya bertanggung jawab langsung
kepada RUPS.
Pasal 97 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tegas mengatur,
bahwa komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam
menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepada direksi.
Dalam melaksanakan tugasnya komisaris harus mempunyai itikad
baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan
dan usaha perseroan.
Bila ditilik dari ketetapan hukumnya, status dan atau
kedudukan komisaris itu ada 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut :
7

a. Komisaris yang diangkat tanpa upah dan bukan merupakan


pemegang saham, maka status hukummya adalah sebagai
pemegang kuasa perusahaan atau RUPS.
b. Komisaris yang diangkat dengan upah, dan bukan merupakan
pemegang saham, maka status hukumnya adalah buruh pemegang
saham.
c. Komisaris yang diangkat dengan diberi upah, maka status
hukumnya adalah buruh pemegang kuasa dan anggota RUPS.
Setelah kita simak bagaimana proses pendirian suatu PT serta
adanya organ perseroan yang sangat penting, direksi dan komisaris,
dapat disimpulkan adanya 3 (tiga) unsur yang merupakan satu
kesatuan bagi suatu perseroan hingga dikategorikan sebagai suatu
badan hukum. Unsur-unsur tersebut adalah :
a. Adanya kekayaan perusahaan yang terpisah dari kekayaan pribadi
masing-masing pesero. Hal ini mempunyai tujuan untuk
membentuk sejumlah dana sebagai suatu jaminan bagi semua
perjanjian (perikatan) yang akan dibuat oleh Perseroan Terbates
(PT), seperri dijelaskan juga dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132
KUHPerdata.
b. Adanya pesero atau pemegang saham yang bertanggung jawab
terbatas pada jumlah nominal saham yang dimilikinya. Sedangkan
dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), para pemegang
saham inilah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam PT yang
berwenang mengangkat dan memberhentikan direksi dan
komisaris; menetapkan garis-garis besar kebijaksanaan
menjalankan perusahaan; menetapkan hal-hal yang belum
ditetapkan dalam anggaran dasar; dan lain-lain.
c. Adanya pengurus (direksi dan komisaris) yang merupakan satu
kesatuan pengurusan dan pengawasan serta bertanggung jawab
terbatas pada tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan atau
Keputusan RUPS.
Untuk dapat membedakan suatu subjek hukum apakah dapat
dikategorikan sebagai badan hukum, maka ketiga unsur di atas harus
dipenuhi. Ketika unsur di atas merupakan satu kesatuan. Oleh karena
seperti kita ketahui yang dapat bertindak sebagai suatu subjek hukum
itu hanya dua, yaitu manusia dan badan hukum.

C. Bukan Badan Hukum


1. Firma dan CV
Bila kita memerhatikan dunia bisnis, tentunya bisnis yang
dilakukan tidak hanya dilakukan oleh bentuk usaha yang berbadan
hukum saja, tetapi juga oleh bentuk usaha yang bukan badan hukum.
Dalam literatur hukum, kita ketahui ada 3 (tiga) macam perkumpulan
yang tidak termasuk kategori sebagai badan hukum, (bukan badan
hukum), yaitu persekutuan perdata, persekutuan/ perusahaan firma
(Fa), dan persekutuan/perusahaan komanditer (CV).
Perbedaan yang sangat mencolok antara bentuk usaha yang
berbentuk badan hukum dan yang bukan badan hukum, tampak sekali
8

dari prosedur pendirian badan usaha tersebut. Bila seseorang akan


mendirikan perkumpulan/perusahaan yang bukan badan hukum,
maka syarat adanya pengesahan akta pendirian oleh pemerintah tidak
diperlukan. Misalnya untuk mendirikan sebuah bentuk persekutuan
perdata, tidak perlu adanya segala macam formalitas, cukup dengan
adanya kesepakatan para pihak, tanpa ada pendaftaran dan tanpa
perlu ada pengumuman.
Sedangkan untuk mendirikan sebuah perusahaan dengan
bentuk firma (Fa), walaupun didirikan dengan sebuah akta notaris,
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri, tetap tidak diperlukan
adanya pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM. Demikian
pula untuk mendirikan sebuah perusahaan dengan bentuk CV, cukup
bila dilakukan sebagaimana halnya dengan mendirikan firma.
Untuk mendirikan Persetukuan Perdata, menurut Pasal 1618
KUHPerdata harus didirikan atas dasar perjanjian yang bersifat
konsensual, yakni cukup dengan adanya persetujuan kehendak atau
kesepakatan (konsensus). Selain harus memenuhi syarat dalam Pasal
1320 KUHPerdata, harus pula memenuhi syarat-syarat seperti :
a. Tidak dilarang oleh hukum;
b. Tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum; dan
c. Harus merupakan kepentingan bersama yang dikejar, yaitu
keuntungan,
Sekarang kita tilik lebih lanjut apa yang dimaksudkan dengan
persekutuan firma. Dalam Pasal 16 KUHD disebutkan bahwa yang
dinamakan persekutuan firma ialah tiap-tiap persekutuan perdata
yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama bersama.
Jadi persekutuan firma adalah persekutuan perdata khusus. Mengapa
dikatakan khusus, oleh karena ada 3 unsur mutlak yang dipakai
sebagai tambahan pada persekutuan perdata, yaitu :
a. Unsur menjalankan perusahaan;
b. Unsur nama bersama atau firma; dan
c. Unsur pertanggungjawaban sekutu yang bersifat pribadi untuk
keseluruhan.
Nama bersama atau firma, yaitu nama orang (sekutu) yang
dipergunakan untuk menjadi nama perusahaan. Misalnya nama
seorang sekutu “Susan” akan dijadikan nama perusahaan (cq.
Persekutuan Firma) dengan nama “Firma Susan Indah”. Perkataan
firma sebenarnya berarti nama yang dipakai untuk berdagang secara
bersama-sama. Nama suatu firma adakalanya diambil dari nama
seorang yang turut menjadi usaha pada firma itu sendiri, tetapi dapat
juga diambil dari nama orang lain yang tidak turut dalam firma.
Dengan nama bersama itu juga dipakai untuk menandatangani
surat-menyurat perusahaan. Dan biasanya di belakang nama bersama
itu sering kita lihat kata “Co” atau “Cie”. Co merupakan singkatan dari
Compagnon yang berarti kawan dan yang dimaksud ialah orang yang
turut berusaha. Sedangkan Cie merupakan singkatan dari Compagnie
yang berarti kelompok, yaitu orang atau orang-orang yang bersama-
9

sama mempunyai perusahaan dengan kita. Misalnya Firma Amirullah


& Co.
Oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur masalah
Firma, CV, dan Persekutuan Perdata, maka kita kembali kepada Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang mengatur mengenai masalah tersebut.
Sekalipun untuk mendirikan firma tidak disyaratkan adanya
akta, tetapi menurut Pasal 22 KUHD diharuskan adanya akta otentik
(akta notaris), didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam
daerah hukum di mana firma berdomisili, dan harus diumumkan
dalam Berita Negara RI. Maksud pendaftaran dan pengumuman akta
pendirian ialah agar pihak ketiga yang mengadakan hubungan dengan
firma dapat mengetahui secara benar dengan siapa harus bekerja
sama.
Sesuai dengan bentuk usahanya, ada 2 (dua) kesulitan
(keberatan) peran dan tanggung jawab anggota firma, yaitu :
a. Setiap anggota firma selalu mempertaruhkan seluruh harta
kekayaan pribadinya. Untuk itu ia dapat kehilangan seluruh harta
bendanya sendiri, termasuk juga oleh tindakan sesama anggota-nya
terhadap siapa ia juga bertanggung jawab;
b. Kelangsungan hidup firma yang tidak terjamin, misalnya ada salah
seorang peserta keluar atau meninggal. Hal ini disebabkan oleh
karena keanggotaan firma bersifat persoonl. Hal mana
menyebabkan keanggotaan seorang peserta tidak dapat
dialihkan/dioperkan kepada pihak lain.
Bentuk usaha lain yang sering kita lihat dalam dunia bisnis yang
bukan merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum (bentuk usaha
bukan badan hukum) adalah perusahaan komanditer (CV =
Comanditaire Vennootschap).
Menurut Pasal 19 KUHD disebutkan bahwa perusahaan
komanditer (selanjutnya disebut CV) adalah suatu perseroan untuk
menjalankan suatu perusahaan yang dibentuk antara satu orang atau
beberapa orang pesero yang secara tanggung menanggung
bertanggung jawab untuk seluruhnya (tanggung jawab solider) pada
satu pihak, dan satu orang atau lebih sebagai pelepas uang pada pihak
yang lain.
Pengaturan lain masalah CV ada pada Pasal 20 dan Pasal 21
KUHD. Pengaturan masalah CV ini berada di dalam pengaturan
masalah firma. Sebab pada dasarnya CV juga merupakan firma dengan
bentuk khusus, kekhususannya terletak pada adanya sekutu
komanditer yang pada firma tidak ada. Pada firma hanya ada sekutu
kerja atau Firmant, sedangkan pada CV selain ada sekutu kerja juga
ada sekutu komanditer atau sekutu diam (sleepingpartner).
Dasar pikiran pembentukan CV ini adalah seorang atau lebih
mempercayakan uang atau barang untuk digunakan di dalam
perusahaan kepada orang lain yang akan menjalankan perusahaan.
Oleh karenanya si pengusaha bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
pihak ketiga.
10

Para pesero yang berada di belakang layar ini disebut


anggota/sekutu tak kerja atau sekutu pasif atau commanditaris (=
sleeping partners). Sedangkan yang mengurus disebut sekutu
kerja/sekutu komplementer. Dalam CV, hanya pesero-pesero pengurus
saja yang menjalankan perusahaan, bertindak keluar dan terikat
dengan pihak ketiga. Sebaliknya pesero commanditaris hanya
mempunyai kedudukan sebagai orang yang mempercayakan modal
dan tidak berhubungan dengan pihak ketiga.
Apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit, dan
apabila harta benda CV tidak mencukupi untuk pelunasan utang-
utangnya, maka harta benda oribadi pesero pengurus dapat
dipertanggungjawabkan untuk melunasi utang perusahaan. Sebaliknya
harta benda para pesero commanditaris tidak dapat diganggu-gugat
Adakalanya peran sleeping partners dalam CV merupakan satu
keuntungan, oleh karena memberikan satu kemungkinan untuk
mengumpulkan lebih banyak modal daripada sistem pada persekutuan
dengan nama firma.
2. Macam-macam CV
Dalam kepustakaan, dikenal ada 3 (tiga) macam CV, yaitu :
a. CV dengan diam-diam;
b. CV dengan terang-terangan; dan
c. CV dengan saham-saham.
CV dengan diam-diam adalah CV yang belum menyatakan
dirinya dengan terang-terangan kepada pihak ketiga sebagai CV. Bila
CV bertindak keluar, masih menyatakan diri sebagai firma, tetapi ke
dalam sudah menjadi CV. Karena salah seorang atau beberapa orang
sekutu sudah menjadi sekutu komanditer. Sebab menurut Pasal 19
Ayat 2 KUHD, CV pada saat yang sama dapat merupakan firma bagi
para sekutu kerja, juga dapat merupakan CV bagi sekutu kerja dengan
sekutu komanditer. CV dengan diam-diam tidak disinggung dengan
jelas pada Pasal 19 Ayat 2 KUHD.
Sebuah perusahaan akan tampak bagi pihak ketiga sebagai
perusahaan firma, yang dapat dilihat dari papan nama yang
terpampang di depan kantornya maupun pada kepala surat yang
keluar. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan adalah firma,
walaupun dalam kenyataannya perusahaan sudah menjadi CV karena
salah seorang atau beberapa orang sekutunya menjadi sekutu
komanditer. Persekutuan demikian disebut CV dengan diam-diam.
Disebut diam-diam karena bentuk komanditer tidak diberitahukan
kepada pihak ketiga.
Sedangkan CV dengan terang-terangan, yaitu CV yang dengan
terang-terangan menyatakan dirinya sebagai CV kepada pihak ketiga.
Hal ini misalnya dapat dilihat pada papan nama atau pada kepala surat
yang keluar dengan menggunakan nama “CV X”. Jadi istilah terang-
terangan tertuju pada pernyataan diri sebagai CV kepada pihak ketiga.
Untuk masalah CV dengan saham, sebenarnya merupakan CV
terang-terangan yang modalnya terdiri dari saham-saham. CV dengan
saham ini tidak diatur dalam KURD. Namun pada hakikatnya CV ini
11

sama dengan CV biasa (terang-terangan). Perbedaannya hanya terletak


pada pembentuk modalnya saja, yaitu dengan cara mengeluarkan
saham-saham. CV dengan saham ini sebenarnya hampir sama dengan
perseroan terbatas.
Kedua bentuk badan usaha ini (CV dan PT) mempunyai
perbedaan dan persamaan yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
Persamaan:
a. Modalnya sama-sama terdiri dari saham-saham, meskipun bagi
persekutuan komanditer dengan saham berbentuk saham atas
nama; sedangkan pada perseroan terbatas dapat berbentuk atas
nama atau atas pembawa;
b. Pengawasan, di mana pada CV dengan saham dapat ditetapkan
salah seorang dari sekutu komanditer sebagai komisaris, yang
bertugas untuk mengawasi pekerjaan sekutu kerja atau sekutu
komplementer. Meskipun sebagai pengawas (komisaris), tetapi
sebagai sekutu komanditer tetap tidak diperbolehkan mencampuri
urusan pengurusan, meskipun dalam perjanjian pendirian
persekutuan ditetapkan bahwa mengenai perbuatan-perbuatan
tertentu, sekutu kerja harus minta persetujuan lebih dahulu kepada
sekutu komanditer/pengawas tersebut.
Perbedaan:
a. Pada PT tidak ada sekutu kerja, yang bertanggung jawab penuh
secara pribadi untuk keseluruhan. Pertanggungjawaban semacam
itu dalam PT ada pada direksi (pengurus) yang telah melakukan
perbuatan hukum sebelum pendaftaran dan pengumuman PT yang
bersangkutan seperti dimaksud dalam Pasal 39 KUHD;
b. Direksi pada PT tidak boleh diangkat untuk waktu selama-lamanya,
sedangkan sekutu kerja pada CV dengan saham dapat diangkat
untuk selamanya.
Sebagaimana persekutuan firma, persekutuan (perseroan)
komanditer juga dapat didirikan atas perjanjian dengan lisan. Tetapi
dalam praktik di Indonesia menunjukkan adanya kebiasaan bahwa
orang mendirikan CV berdasarkan akta notaris, didaftarkan ke
Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang berwenang dan diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara RL.
3. Koperasi
Koperasi mempunyai arti bekerja sama. Adanya kerja sama
dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan yang semula sukar dicapai
oleh orang perseorangan, tetapi akan mudah dicapai bila dilakukan
kerja sama antara beberapa orang. Misalnya, pengumpulan sejumlah
uang tunai secara kooperatif yang dapat dipinjamkan kepada anggota-
anggota koperasi dengan suatu bunga yang lebih ringan daripada
orang meminjam pada bank atau pada seseorang yang meminjamkan
uangnya. Atau pembelian barang-barang konsumsi secara bersama-
sam \ dengan harg-a'yang lebih murah daripada membeli barang
tersebut secara sendiri-sendiri.
Dengan perkataan lain, yang dimaksud dengan koperasi adalah
suatu kerja sama antara orang-orang yang tidak bermodal untuk
12

mencapai suatu tujuan kemakmuran secara bersama, bukan untuk


mencari keuntungan, sebab wadah untuk mencapai keuntungan sudah
ada yaitu Firrria, CV dan PT.
Pengertian di atas sesuai dengan yang dijelaskan dalam
Undang-Undang Perkoperasian, yaitu badan usaha yang ber-
anggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Untuk mengetahui secara jelas perbedaan antara koperasi dan
bentuk usaha lainnya, dapat kita lihat dari unsur-unsur yang ada pada
koperasi dan bentuk usaha lainnya (Firma, CV, dan PT), yaitu sebagai
berikut.
a. Unsur para pihak
Pada koperasi, para pihak adalah orang-orang yang tidak
bermodal. Jadi untuk mendapatkan suatu jumlah modal yang
besar, haruslah para pihak banyak jumlahnya. Sedangkan pada
bentuk usaha lain, para pihak tidak perlu banyak jumlahnya, bisa
dua orang atau tiga orang saja sudah cukup, yang masing-masing
memiliki modal yang cukup.
b. Unsur tujuan
Pada koperasi, tujuannya adalah untuk kemakmuran
bersama, yakni pada kebutuhan kebendaan bagi masing-masing
anggota, Sedangkan pada bentuk usaha lainnya, tujuannya adalah
keuntungan bagi sekutu-sekutunya.
c. Unsur modal
Pada koperasi masalah modal dipupuk atau dikumpulkan
dari simpanan-simpanan, pinjaman-pinjaman, penyisihan-
penyisihan dari hasil usaha, termasuk dana cadangan, dan hibah
serta sumber lain yang sah, seperti dimaksud dalam Pasal 41 UU
Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Sedangkan pada
bentuk usaha lainnya, terdiri atas pemasukan-pemasukan dari para
sekutu yang dilakukan sekali saja dengan jumlah yang besar seperti
dimaksud Pasal 16 KURD.
d. Pembagian sisa hasil usaha
Pada koperasi, pembagian sisa hasil usaha akan dibagikan
kepada anggota sebanding dengan jasa usaha yang dilakukan oleh
masing-masing anggota setelah dikurangi dengan dana cadangan.
Sedangkan pada bentuk lain, keuntungannya akan dibagikan
sebanding dengan jumlah pemasukannya.
Saat ini, masalah perkoperasian telah diatur dalam Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1992 tanggal 21 Oktober 1992 sebagai
pengganti dari UU Nomor 12 Tahun 1967. Berbeda dengan UU No. 12
Tahun 1967, landasan koperasi menurut UU No. 25 Tahun 1992, yaitu
hanya berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, serta berasaskan
kekeluargaan.
Sedangkan tujuan koperasi adalah untuk memajukan kesejah-
teraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta
ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka
13

mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan


Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
a. Fungsi, Prinsip, dan Bentuk Koperasi
Menurut UU Koperasi, fungsi dan peran koperasi adalah :
1) Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan
ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan
sosialnya.
2) Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas
kehidupan manusia dan masyarakat.
3) Memperoleh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan
ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai
soko gurunya.
4) Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan
perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
Berdasarkan Pasal 5 UU Perkoperasian, pada dasarnya ada 6
(enam) prinsip koperasi yang merupakan esensi dan dasar kerja
koperasi sebagai badan usaha dan merupakan ciri khas dan jati diri
koperasi yang membedakannya dari badan usaha lain. Prinsip-
prinsip tersebut adalah:
1) Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
Kesukarelaan ini mengandung makna bahwa menjadi
anggota koperasi tidak boleh dipaksakan oleh siapa pun. Juga
mengandung makna bahwa seorang anggota dapat
mengundurkan diri dari koperasinya sesuai syarat yang
ditentukan dalam anggaran dasar koperasi. Sedangkan sifat
terbuka memiliki arti bahwa dalam keanggotaan koperasi tidak
dilakukan pembatasan atau diskriminasi dalam bentuk apa pun.
2) Pengelolaannya dilakukan secara demokratis.
Prinsip ini menunjukkan bahwa pengelolaan koperasi
dilakukan atas kehendak dan keputusan para anggota. Para
anggota itulah yang memegang dan melaksanakan kekuasaan
tertinggi dalari koperasi.
3) Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU)
Pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil
sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota.
Artinya pembagian sisa hasil usaha kepada anggota dilakukan
tidak semata-mata berdasarkan modal yang dimiliki seseorang
dalam koperasi, tetapi berdasarkan perimbangan jasa usaha
anggota terhadap koperasi. Ketentuan ini merupakan
perwujudan dari nilai kekeluargaan dan keadilan.
4) Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal.
Artinya modal dalam koperasi pada dasarnya
dipergunakan untuk kemanfaatan anggota dan bukan untuk
sekadar mencari keuntungan. Oleh karena itu balas jasa
terhadap modal yang diberikan kepada para anggota juga
terbatas, dan semata-mata tidak didasarkan atas besarnya
14

modal yang diberikan. Sedangkan yang dimaksud dengan


terbatas adalah wajar dalam arti tidak melebihi suku bunga yang
berlaku di pasar.
5) Kemandirian
Kemandirian di sini mengandung arti dapat berdiri
sendiri tanpa tergantung pada pihak lain yang dilandasi oleh
kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan
usaha sendiri. Selain itu terkandung pula pengertian pada arti
kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, berani
mempertanggungjawabkan perbuatannya sendiri, dan adanya
kehendak untuk mengelola diri sendiri.
6) Pendidikan perkoperasian dan kerja sama antar koperasi
Prinsip ini merupakan prinsip untuk mengembangkari
diri koperasi itu sendiri, melaltii penyelenggaraan pendidikan
perkoperasian dan kerja sama antarkoperasi dalam
meningkatkan kemampuan, memperluas wawasan anggota, dan
memperkuat solidaritas dalam mewujudkan tujuan koperasi.
Pertanyaannya sekarang, apakah koperasi merupakan
bentuk usaha yang berbadan hukum atau bukan? Untuk
mengetahui hal ini tentunya dapat diketahui bila kita lihat
ketentuan Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, di mana setelah akta
pendirian koperasi disahkan oleh pemerintah, maka koperasi akan
memperoleh status sebagai badan hukum. Untuk mendapatkan
pengesahannya, para pendiri tentu mengajukan permintaan tertulis
disertai akta pendirian koperasi. Akta pendirian ini akan disahkan
dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah diterimanya
permintaan pengesahan. Kemudian akta pendirian diumumkan
dalam berita negara RI.
Menurut undang-undang, bentuk koperasi ada 2 (dua)
macam, yaitu koperasi primer dan koperasi sekunder. Yang
dimaksud dengan koperasi primer adalah koperasi yang didirikan
oleh dan beranggotakan orang-seorang. Sedangkan yang dimaksud
dengan koperasi sekunder adalah koperasi yang didirikan oleh dan
beranggotakan koperasi.
Mengenai jenis koperasi biasanya didasarkan pada
kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Adapun
dasar untuk menentukan jenis koperasi adalah kesamaan aktivitas,
kepentingan dan kebutuhan ekonomi anggotanya, seperti antara
lain : koperasi simpan pinjam, koperasi konsumen, koperasi
produsen, koperasi pemasaran, dan koperasi jasa. Khusus untuk
koperan yang dibentuk oleh golongan fungsional seperti pegawai
negeri, anggota ABRI, karyawan, dan sebagainya bukanlah
merupakan jenis koperasi tersendiri.
b. Keanggotaan dan Perangkat Organisasi
Yang dapat menjadi anggota koperasi ialah setiap warga
negara Indonesia yang mampu melakukan tindakan hukum atau
koperasi yang memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan
dalam anggaran dasar koperasi yang bersangkutan. Hal ini tentu
15

dimaksudkan sebagai konsekuensi koperasi sebagai badan hukum.


Namun demikian khusus bagi pelajar, siswa dan/atau yang
dipersamakan dan dianggap belum mampu melakukan tindakan
hukum, dapat membentuk koperasi, tetapi koperasi tersebut tidak
disahkan sebagai badan hukum. Statusnya hanyalah sebagai
koperasi tercatat saja.
Selain keanggotaan biasa, koperasi juga memiliki anggota
luar biasa yang persyaratan, hak, dan kewajiban keanggotaannya
ditetapkan dalam anggaran dasar. Hal ini berarti koperasi memberi
peluang bagi penduduk bukan warga negara Indonesia, sepanjang
memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Tiap anggota dalam koperasi tentunya mempunyai hak
dan kewajiban yang secara jelas disebutkan dalam Pasal 20, yaitu
sebagai berikut.
Hak-hak anggota koperasi, yaitu :
1) Menghadiri, menyatakan pendapat, dan memberikan suara
dalam rapat anggota;
2) Memilih dan/atau dipilih menjadi anggota pengurus dan
pengawas;
3) Meminta diadakan rapat anggota menurut ketentuan dalam
anggaran dasar;
4) Mengemukakan pendapat atau saran kepada pengurus di luar
rapat anggota baik diminta maupun tidak diminta;
5) Memanfaatkan koperasi dan mendapatkan pelayanan yang
sama antara sesama anggota; dan
6) Mendapatkan keterangan mengenai perkembangan koperasi
menurut ketentuan dalam anggaran dasar.
Sedangkan kewajiban anggota koperasi adalah :
1) Mematuhi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga serta
keputusan yang telah disepakati dalam rapat anggota;
2) Berpartisipasi dalam kegiatan usaha yang diselenggarakan oleh
koperasi; dan
3) Mengembangkan dan memelihara kebersamaan berdasar atas
asas kekeluargaan.
Seperti halnya bentuk-bentuk badan usaha lainnya, menurut
Pasal 21, ada 3 (tiga) perangkat koperasi yang terdiri dari :
1) Rapat Anggota
2) Pengurus
3) Pengawas
Hal-hal yang biasanya akan ditetapkan dalam rapat anggota
adalah sebagai berikut :
1) Anggaran dasar.
2) Kebijaksanaan umum di bidang organisasi, manajemen, dan
usaha koperasi.
3) Pemilihan, pengangkatan, pemberhentian pengurus dan
pengawas.
4) Rencana kerja, rencana anggaran pendapatan dan belanja
koperasi, serta pengesahan laporan keuangan.
16

5) Pengesahan pertanggungjawaban pengurus dalam pelaksanaan


tugasnya.
6) Pembagian sisa hasil usaha, dan
7) Penggabungan, peleburan, pembagian, dan pembubaran
koperasi.
Rapat anggota ini juga biasanya diadakan paling sedikit
sekali dalam 1 (satu) tahun, dan rapat anggota untuk mengesahkan
pertanggungjawaban pengurus diselenggarakan paling lambat 6
(enam) bulan setelah tahun buku lampau. Selain rapat anggota
biasa, koperasi juga dapat melakukan rapat anggota luar biasa
apabila keadaan mengharuskan adanya keputusan segera yang
wewenangnya ada pada rapat anggota dan dapat diadakan atas
permintaan sejumlah anggota koperasi atau atas keputusan
pengurus yang tata cara dan pelaksanaannya diatur dalam
anggaran dasar koperasi.
Selanjutnya mengenai tugas dan wewenang pengurus
koperasi, telah dijelaskan dalam Pasal 30, yang berbunyi sebagai
berikut :
Tugas pengurus :
1) Mengelola koperasi dan usahanya.
2) Mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana
anggaran pendapatan dan belanja koperasi.
3) Menyelenggarakan rapat anggota.
4) Mengajukan laporan keuangan dan pertanggungjawaban
pelaksanaan tugas.
5) Menyelenggarakan pembukuan keuangan dan inventaris secara
tertib, dan
6) Memelihara daftar buku anggota dan pengurus.
Sedangkan wewenang pengurus adalah :
1) Mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan.
2) Memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta
pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam
anggaran dasar.
3) Melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan
kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan
keputusan rapat anggota, dan
4) Mengangkat pengelola koperasi yang diberi wewenang dan
kuasa untuk mengelola usaha koperasi.
Tugas pengawaAs, yaitu
1) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan
dan pengelolaan koperasi.
2) Membuat laporan tertulis tentang hasil pengawasannya.
Adapun wewenang pengawas :
1) Meneliti catatan yang ada pada koperasi.
2) Mendapatkan segala keterangan yang diperlukan.
3) Merahasiakan hasil pengawasannya kepada pihak ketiga.
17

c. Modal, SHU dan Pembubaran Koperasi


Menurut Pasal 41, modal koperasi terdiri atas 2 (dua)
macam, yaitu modal sendiri dan modal pinjaman. Yang dimaksud
dengan modal sendiri adalah modal yang menanggung risiko atau
disebut modal ekuiti. Modal sendiri ini berasal dari: Simpanan
pokok; simpanan wajib; dana cadangan; dan hibah. Sedangkan
modal pinjaman dapat berasal dari Anggota koperasi lainnya
dan/atau anggota; bank dan lembaga keuangan lainnya; penerbitan
obligasi dan surat utang lainnya; serta sumber lain yang sah.
Selain modal dimaksud di atas, koperasi dapat pula
melakukan pemupukan modal yang berasal dan modal penyertaan,
baik yang bersumber dari pemerintah maupun dari masyarakat
yang dilaksanakan dalam rangka memperkuat kegiatan usaha
koperasi terutama yang berbentuk investasi. Modal penyertaan ini
tentu ikut menanggung risiko koperasi.
Pemilik modal penyertaan tentu tidak mempunyai hak suara
dalam rapat anggota dan dalam menentukan kebijaksanaan
koperasi secara keseluruhan. Namun demikian, pemilik modal
penyertaan dapat diikutsertakan dalam pengelolaan dan
pengawasan usaha investasi yang didukung oleh modal
pernyataannya sesuai dengan perjanjian.
Seperti diketahui, bahwa usaha koperasi adalah usaha yang
berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk
meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota. Dengan perkataan
lain, usaha koperasi diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan
langsung dengan kepentingan anggota, baik untuk menunjang
usaha maupun kesejahteraannya. Dalam hubungan ini, maka
pengelolaan usaha koperasi harus dilakukan secara produktif,
efektif dan efisien dalam arti koperasi harus mempunyai
kemampuan mewujudkan pelayanan usaha yang dapat
meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya
pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh
sisa hasil usaha yang wajar.
Untuk mencapai kemampuan usaha tersebut di atas koperasi
dapat berusaha secara luwes baik di hulu maupun ke hilir serta
berbagai jenis usaha lainnya yang terkait. Mengenai pelaksanaan
usaha koperasi, dapat dilakukan di mana saja baik di dalam
maupun di luar negeri dengan mempertimbangkan kelayakan
usahanya.
Seperti halnya dengan badan-badan usaha lain, koperasi
dapat dibubarkan berdasarkan keputusan rapat anggota atau
berdasarkan keputusan pemerintah. Bila pembubaran berdasarkan
keputusan pemerintah, akan dilakukan bila terdapat 3 (tiga) alasan,
yaitu sebagai berikut.
1) Terdapat bukti bahwa koperasi yang bersangkutan tidak
memenuhi ketentuan undang-undang;
2) Kegiatan koperasi bertentangan dengan ketertiban umum dan/
atau kesusilaan; dan
18

3) Kelangsungan hidup koperasi tidak dapat lagi diharapkan.


Pembubaran yang dilakukan dengan alasan seperti butir 1)
dan 2) dapat dibuktikan setelah adanya keputusan pengadilan
negeri. Sedangkan pembubaran karena alasan kelangsungan
hidupnya tidak dapat lagi diharapkan, antara lain karena
dinyatakan pailit.
Untuk kepentingan kreditor dan para anggota koperasi,
tentunya terhadap pembubaran koperasi akan dilakukan
penyelesaian pembubaran yang selanjutnya disebut penyelesaian.
Untuk penyelesaian berdasarkan keputusan rapat anggota,
penyelesaiannya ditunjuk oleh rapat anggota. Sedangkan untuk
penyelesaian berdasarkan keputusan pemerintah, penyelesai
ditunjuk oleh pemerintah. Selama dalam proses penyelesaian,
biasanya koperasi tersebut tetap ada dengan sebutan “koperasi
dalam penyelesaian”.
Dalam melakukan penyelesaian, para penyelesai mempunyai
hak, wewenang, dan kewajiban seperti ditegaskan dalam Pasal 54,
yaitu sebagai berikut:
1) Melakukan segala perbuatan hukum untuk dan atas nama
“koperasi dalam penyelesaian”.
2) Mengumpulkan segala keterangan yang diperlukan.
3) Memanggil pengurus, anggota, dan bekas anggota tertentu yang
diperlukan, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
4) Memperoleh, memeriksa, dan menggunakan segala catatan dan
arsip koperasi.
5) Menetapkan dan melaksanakan segala kewajiban pembayaran
yang didahulukan dan pembayaran utang lainnya.
6) Menggunakan sisa kekayaan koperasi untuk menyelesaikan sisa
kewajiban koperasi.
7) Membagikan sisa hasil penyelesaian kepada anggota, dan
8) Membuat berita acara penyelesaian.
Dalam hal terjadi pembubaran koperasi, tentunya anggota
koperasi hanya menanggung kerugian sebatas simpanan pokok,
simpanan wajib, dan modal penyertaan yang dimilikinya.
Sedangkan yang merupakan modal pinjaman koperasi dan anggota
tidak termasuk. Dengan berakhirnya proses penyelesaian,
pemerintah akan mengumumkan pembubaran koperasi dalam
Berita Negara RI. Akhirnya, status badan hukum koperasi menjadi
hapus sejak tanggal pengumuman pembubaran koperasi tersebut
dalam Berita Negara RI.
4. Yayasan (Stichting)
Kalau selama ini pendirian suatu yayasan di Indonesia hanya
berdasar atas kebiasaan dalam masyarakat dan yurisprudensi
Mahkamah Agung, maka dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, berarti landasan hukum
pembentukan suatu yayasan telah jelas. Undang-undang ini mulai
berlaku 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan
(diundangkan tanggal 6 Agustus 2001). Undang-undang ini
19

mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2004 yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004.
Diundangkannya undang-undang ini tentu saja dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai
yayasan, menjamin kepastian dan ketertiban hukum serta
mengembalikan fungsi yayasan sebagai pranata hukum dalam rangka
mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan
kemanusiaan.
Mengenai pertanyaan pengertian dari yayasan itu sendiri, Pasal
1 menegaskan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan
tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak
mempunyai anggota. Pendirian suatu yayasan tentu dengan suatu akta
notaris dan yayasan akan memperoleh status sebagai badan hukum
setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman
(sekarang disebut Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia). Akta
pendirian yayasan yang telah disahkan wajib diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara Rl.
Sebagai badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan
yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yayasan
mempunyai organ yang terdiri dari pembina, pengurus, dan pengawas.
Seperti halnya badan hukum lain seperti PT, pembagian organ dalam
yayasan ini dimaksudkan untuk menghindari kemungkinan konflik
intern yayasan yang tidak hanya dapat merugikan kepentingan
yayasan melainkan juga pihak lain. Pasal 28 Ayat (1) menegaskan
bahwa pembina adalah organ yayasan yang mempunyai kewenangan
yang tidak diserahkan kepada pengurus atau pengawas oleh undang-
undang tentang yayasan atau anggaran dasar yayasan. Pembina
tersebut adalah perseorangan sebagai pendiri yayasan atau mereka
yang berdasarkan keputusan rapat anggota pembina dinilai
mempunyai dedikasi yang tinggi untuk mencapai maksud dan tujuan
yayasan. Pembina mempunyai kewenangan yang meliputi
a. Keputusan mengenai perubahan anggaran dasar;
b. Pengangkatan dan pemberhentian anggota pengurus dan anggota
pengawas.
c. Penetapan kebijakan umum yayasan berdasarkan anggaran dasar
yayasan.
d. Pengesahan program kerja dan rancangan anggaran tahunan
yayasan dan
e. Penetapan kepurusan mengenai penggabungan atau pembubaran
yayasan.
Sedangkan pengurus adalah perseorangan yang melaksanakm
kepengurusan yayasan dan yang mampu melakukan perbuatan
hukum. Pengurus ini biasanya terdiri dari sekurang-kurangnya
seorang ketua, seorang sekretaris, dan seorang bendahara. Seperti
halnya dalam Perseroan Terbatas, Pasal 35 Ayat (l) Undang-Undang
Yayasan menegaskan bahwa pengurus suatu yayasan bertanggung
jawab penuh atas kepengurusan yayasan untuk kepentingan dan
20

tujuan yayasan serta berhak mewakili yayasan baik di dalam maupun


di luar pengadilan. Bahkan setiap pengurus bertanggung jawab penuh
secara pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan
tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan anggaran dasar yang
mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga (Pasal 35 Ayat 3).
Organ yayasan yang terakhir adalah pengawas yang bertugas
melakukan pengawasan serta memberi nasihat kepada pengurus
dalam menjalankan kegiatan yayasan. Pengawas wajib dengan itikad
baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan
yayasan. Pengawas juga dapat memberhentikan sementara anggota
pengurus dengan suatu alasan yang jelas. Apabila pengawas lalai
dalam menjalankan tugasnya dan yayasan menjadi pailit (terjadi
kepailitan), dan kekayaan yayasan tidak cukup untuk menutupi
kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota pengawas
secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi.
Namun apabila dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaian pengawas, tanggung jawab renteng atas
kerugian tersebut tidak berlaku.
Hal kekayaan yayasan tentu berasal dari sejumlah kekayaan
yang dipisahkan dalam bentuk uang atau barang. Selain itu kekayaan
yayasan juga dapat diperoleh dari:
a. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat;
b. Wakaf;
c. Hibah;
d. Hibah wasiat; dan
e. Perolehan lain yang tidak bertentangan dengan anggaran dasar
yayasan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah
sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima yayasan baik dari
negara, masyarakat maupun dari pihak lain yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal demikian
umumnya sering terjadi dalam kegiatan suatu yayasan.
Selanjutnya suatu yayasan dapat bubar dengan beberapa alasan
seperti diatur dalam Pasal 62, yaitu karena:
a. Jangka waktu yang ditetapkan dalam anggaran dasar berakhir;
b. Tujuan yayasan yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah
tercapai atau tidak tercapai;
c. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
berdasarkan alasan :
1) Yayasan melanggar ketertiban umum dan kesusilaan;
2) Tidak mampu membayar utangnya setelah dinyatakan pailit;
atau
3) Harta kekayaan yayasan tidak cukup untuk melunasi utangnya
setelah pernyataan pailit tersebut.
Apabila suatu yayasan bubar, maka yayasan tidak dapat
melakukan perbuatan hukum kecuali untuk membereskan
kekayaannya dalam proses likuidasi oleh likuidator yang ditunjuk oleh
pembina dan bila pembina tidak menunjuk likuidator, maka pengurus
bertindak selaku likuidator. Apabila bubarnya karena putusan
pengadilan, maka pengadilan yang menunjuk likuidator. Likuidator
atau kurator wajib mengumumkan pembubaran yayasan dan proses
likuidasinya dalam surat kabar harian berbahasa Indonesia.
21

BAB 2
KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA

Bagian ini menjelaskan :


1. Syarat sahnya suatu kontrak
2. Masalah kontrak dan anatomi kontrak
3. Cara penyelesaian suatu kontrak
4. Bahasa Arbitrase Nasional Indonesia dan Masalah Putusan Arbitrase
Asing.

A. Pendahuluan
Pelaku bisnis seringkali melupakan betapa pentingnya kontrak
yang harus dibuat sebelum bisnis itu sendiri berjalan di kemudian hari.
Kita ketahui bahwa budaya (culture) tiap bangsa dalam menjalankan
bisnis memang diakui berbeda-beda, Ada bangsa yang senang berbisnis
dengan lebih mempercayai bahasa secara lisan, namun ada pula bangsa
yang senang dengan cara tertulis. Namun kecenderungan sekarang ini,
baik di Indonesia maupun di dunia internasional, kerja sama bisnis di
antara para pihak atau bangsa dirasakan lebih mempunyai kepastian
hukum bila diadakan dengan suatu kontrak secara tertulis.
Sebelum kontrak dibuat, biasanya akan didahului dengan suatu
pembicaraan pendahuluan serta pembicaraan-pembicaraan tingkat
berikutnya (komunikasi & negosiasi) untuk mematangkan kemungkinan-
keinungknjian yang terjadi, sehingga kontrak yang akan ditandatangani
telah berul-betul matang (lengkap dan jelas).
Sekalipun demikian selengkap-lengkapnya suatu kontrak atau
perjanjian, selalu saja ada kekurangan-kekurangan di sana-sini sehingga
benar bila ada ungkapan no body is perfect (tidak ada seorang pun yang
sempurna). Demikian pula halnya dengan si pembuat kontrak, selalu ada
pihak-pihak yang beritikad tidak baik, teqoeder trouw, yang
mengakibatkan terjadinya sengketa para pihak yang membuat kontrak.
Dengan adanya sengketa dalam bisnis tentunya harus diselesaikan
dengan segera, agar bisnis yang telah berjalan tidak mengalami kerugian
besar. Menurut jalur hukum, ada 2 (dua) kemungkinan/cara yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikannya, yaitu pertama, jalur pengadilan, dan
kedua, jalur arbitrase (perwasitan). Namun ada pula yang menambahkan
cara penyelesaian sengketa dengan cara yang ketiga, yaitu melalui jalur
negosiasi (perundingan).
Kedua jalur hukum ini sudah sering dipraktikkan dalam kehidupan
sehari-hari, maupun cara negosiasi seperti yang lazim dipergunakan, yang
akan diuraikan lebih lanjut pada bahasan berikut

B. Sahnya Suatu Kontrak


Sebelum bisnis berjalan, biasanya akan dibuat kontrak atau
perjanjian secara tertulis, yang akan dipakai sebagai dasar jalannya bisnis
yang akan dilaksanakan. Dalam setiap kontrak yang dibuat, tidak bisa
tidak, terlebih dahulu harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi,
22

agar kontrak yang akan atau telah dibuat secara hukum sah dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Adapun syarat-syarat sahnya kontrak tersebut adalah sebagai
berikut :
1. adanya kata sepakat di antara para pihak;
2. adanya kecakapan tertentu;
3. adanya suatu hal tertentu;
4. adanya suatu sebab yang halal.
Mengenai syarat kata sepakat dan kecakapan tertentu dinamakan
sebagai syarat-syarat subjektif, karena kedua syarat tertentu mengenai
subjeknya atau orang-orangnya yang mengadakan kontrak (perjanjian).
Sedangkan syarat mengenai suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal,
dinamakan sebagai syarat-syarat objektif, karena kedua syarat tersebut
isinya mengenai objek perjanjian dan perbuatan hukum yang dilakukan.
Adanya kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua belah pihak yang
mengadakan perjanjian setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal yang
pokok dari kontrak. Bila A menghendaki sesuatu, tentu B juga menyetujui
apa yang dikehendaki oleh A. Dengan perkataan lain, mereka saling
menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik.
Dalam kontrak juga dipenuhi syarat bahwa mereka yang
mengadakannya haruslah cakap menurut hukum. Apa yang dimaksud
dengan cakap menurut hukum pada asasnya adalah setiap orang yang
sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya. Ketentuan mengenai
seseorang yang sudah dewasa dampaknya berbeda menurut ketentuan
yang satu dengan ketentuan yang lainnya.
Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata
(KUHPerdata), seseorang dikatakan sudah dewasa adalah saat berusia 21
tahun bagi laki-laki dan 19 tahun bagi wanita. Sedangkan menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kedewasaan
seseorang adalah saat berusia 19 tahun bagi laki-laki, dan 16 tahun bagi
wanita.
Dasar hukum yang dapat kita pakai adalah KUHPerdata, karena
ketentuan ini masih berlaku secara umum. Sedangkan ketentuan lainnya
hanya berlaku secara khusus. Hal ini tidak berarti asas lex specialis
derogat lex generalis menjadi tidak berlaku. Sebab yang dimaksudkan di
sini adalah kedewasaan dalam arti umum.
Dalam KUHPerdata juga disebutkan adanya 3 (tiga) kelompok
orang yang tergolong tidak cakap untuk bertindak di dalam hukum.
Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini adalah seperti dimaksud
dalam Pasal 1330 KUHPerdata, yaitu:
1. orang-orang yang belum dewasa;
2. orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan; dan
3. orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan undang-
undang, dan semua orang kepada siapa UU telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Pentingnya arti kecakapan menurut hukum tentunya mempunyai 2
(dua) maksud, yaitu pertama, maksud yang dilihat dari sudut rasa
keadilan, yaitu perlunya orang yang membuat perjanjian mempunyai
23

cukup kemampuan untuk menginsyafi secara benar akan tanggung jawab


yang dipikulnya dengan perbuatan tersebut. Dan kedua, maksud yang
dilihat dari sudut ketertiban hukum, yang berarti orang yang membuat
perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya. Artinya orang
tersebut harus seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat atas
harta kekayaannya.
Orang yang tidak sehat pikirannya tentunya tidak mampu
menginsyafi tanggung jawab yang harus dipikulnya. Demikian pula
dengan orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, kedudu-kannya
sama dengan orang yang belum dewasa (walaupun kenyataannya sudah
dewasa). Khusus untuk golongan ketiga, orang orang perempuan yang
telah bersuami, kenyataannya sekarang ini dalam praktik sudah tidak
berlaku lagi.
Hal ini dapat dilihat dari sikap Mahkamah Agung (MA) dengan
Surat Edarannya Nomor 03/1963 tanggal 4 Agustus 1963, yang ditujukan
kepada ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh
Indonesia, yang menjelaskan bahwa Pasal 108 dan 110 KUHPerdata
tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum dan
untuk menghadap di pengadilan tanpa izin dan bantuan dari suaminya,
sudah tidak berlaku lagi.
Mengenai syarat ketiga, suatu hal tertentu, artinya apa yang telah
diperjanjikan dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau suatu
barang yang cukup jelas atau tertentu. Syarat ini perlu untuk dapat
menetapkan kewajiban si terutang jika terjadi sengketa. Barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya.
Sedangkan mengenai barang yang diperjanjikan itu harus ada atau sudah
ada di tangan si terutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan
oleh undang-undang.
Selanjutnya mengenai syarat keempat yang mengharuskan adanya
suatu sebab yang halal, dimaksudkan tidak lain pada isi perjanjian itu
sendiri. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata, suatu perjanjian yang tidak
memakai suatu sebab (causa) yang halal atau dibuat dengan suatu causa
yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan hukum. Adapun
causa yang tidak diperbolehkan ialah causa yang bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Dalam hal tidak dipenuhinya syarat objektif, maka perjanjian itu
batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu
perjanjian dan tidak pernah ada suatu perjanjian. Tujuan para pihak
untuk melahirkan suatu perjanjian adalah gagal.
Sedangkan dalam hal tidak dipenuhinya syarat subjektif perjanjian
bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk
meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak
cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas.
Dengan perkatan lain, perjanjian yang dibuat tetap mengikat selama tidak
dibatalkan oleh hakim atau atas permintaan pihak yang berhak meminta
pembatalan.
24

C. Kebebasan Berkontrak dan Masalahnya


Salah satu kegiatan penting yang senantiasa dilakukan dalam dunia
bisnis (usaha) adalah membuat beraneka ragam perjanjian (kontrak).
Wahana yang lazim dipakai untuk berusaha seperti Firma, CV, maupun
PT, pada dasarnya merupakan hasil perjanjian antara dua orang atau
lebih. Oleh karena itu, perlu diketahui adanya 3 (tiga) asas perjanjian dan
kekecualiannya. Ketiga asas perjanjian tersebut adalah asas kebebasan
berkontrak, asas kekuatan mengikat, dan asas bahwa perjanjian hanya
melahirkan ikatan antara para pihak yang membuatnya.
Asas kebebasan berkontrak yang dimaksud meliputi bentuk dan isi
dari perjanjian. Bentuk perjanjian berupa kata sepakat (konsensus) saja
sudah cukup, dan apabila dituangkan dalam suatu akta (surat) hanyalah
dimaksud sekadar sebagai alat pembuktian semata saja. Sedangkan
mengenai isinya, para pihak yang pada dasarnya bebas menentukan
sendiri apa yang mereka ingin tuangkan.
Namun demikian ada beberapa macam perjanjian yang hanya sah
apabila dituangkan dalam bentuk akta otentik yang dibuat di hadapan
pejabat umum atau notaris dan PPAT, misalnya akta perjanjian
menghibahkan saham, akta pendirian PT, dan lain-lain. Agar perjanjian
hibah tersebut sah, pembuat undang-undang sengaja mengharuskan
dipatuhinya bentuk akta otentik guna melindungi kepentingan para pihak
terhadap perbuatan dengan buruh-buruh yang dapat merugikan mereka
sendiri. Dan untuk pendirian PT diwajibkan guna melindungi
kepentingan pihak ketiga seperti dimaksud dalam UU PT No. 1 Tahun
1995.
Dalam asas kebebasan berkontrak, pembuat undang-undang yang
memberikan asas ini kepada para pihak yang berjanji sekaligus
memberikan kekuatan hukum yang mengikat kepada apa yang telah
mereka perjanjikan (pacta sunt servanda), seperti dimaksud Pasal 1338
Ayat 1 KUHPerdata. Perlu diingat bahwa hanya perjanjian yang sah saja
yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti dimaksud
dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perjanjian yang cacat karena tidak adanya
sebab yang halal atau karena tidak ada kata sepakat, tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.
1. Hukum Kebiasaan
Seperti kita ketahui bersama, bahwa salah satu fungsi hukum
adalah untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat dan untuk
mengarahkan suatu masyarakat ke suatu tujuan yang diinginkan.
Tetapi dalam kenyataannya seringkali masalah hukum tertinggal oleh
kebutuhan masyarakat itu sendiri. Masalah ini dapat dilihat pada
negara-negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia.
Untuk mengantisipasi masalah ini, ada 2 (dua) jalan yang dapat
dilakukan, yaitu pertama, dengan membuat undang-undang dan
peraturan-peraturan yang baru untuk mengisi kekosongan hukum
maupun untuk mengganti undang-undang yang sudah tidak sesuai
lagi. Kedua, dengan mengakui hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan
yang dimaksud dalam hal ini adalah hukum kebiasaan yang tumbuh
dalam rangkaian keputusan-keputusan hakim yang tetap dalam
25

perkara yang sejenis, atau hukum kebiasaan yang telah dikembangkan


dalam praktik para praktisi, seperti notaris, pengacara dalam hukum
kontrak sebagai suatu sumber hukum.
Namun demikian adanya keleluasaan yang diperoleh para pihak
berdasarkan asas kebebasan berkontrak, telah banyak dimanfaatkan
oleh para pihak yang terkait untuk mengisi kekosongan hukum yang
timbul. Hal ini dapat terlihat dalam kontrak atau akta notaris yang
dalam klausula-klausula perjanjiannya sebenarnya belum ada
pengaturannya dalam perundang-undangan nasional.
Sebagai contoh dapat kita lihat dengan adanya penemuan suku
bunga bank dengan standar SIBOR atau LIBOR yang sudah menjadi
hal yang biasa dalam suatu kontrak atau akta notaris untuk
pengambilan kredit dalam mata uang dollar di Indonesia. Begitu pula
dengan perjanjian pemberian agunan dalam bentuk penyerahan
tagihan piutang, yang lazim dikenal di negara Anglo Saxon, juga sudah
dipergunakan dalam praktik perbankan, walau belum ada
pengaturannya dalam perundang-undangan kita.
Agar asas kebebasan berkontrak dapat berfungsi sebagai pengisi
kekosongan hukum, peran profesi hukum sangat diperlukan sekali.
Peran mereka diperlukan dalam mengusahakan suatu penilaian
terhadap klausula-klausula yang akan dimasukkan dalam kontrak,
sehingga tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
Penggunaan hukum kebiasaan yang berlaku dalam praktik
bisnis sehari-hari tentunya tetap dapat digunakan, karena memiliki
landasan konstitusional sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan
UUD 1945, yaitu bahwa di samping terdapat UUD sebagai hukum
dasar yang tertulis, juga terdapat hukum dasar yang tidnk tertulis,
yaitu hukurn kebiasaan.
2. Masalah Kontrak
Sebagaimana lazimnya dalam pembuatan suatu kontrak
tentunya akan dimulai dengan hal-hal yang bersifat fundamental. Para
pihak biasanya akan melakukan pembicaraan satu sama lain. Misalnya
seorang pengusaha lokal dengan mitra usahanya (baik pihak asing
maupun pihak lokal). Pembicaraan-pembicaraan ini dimaksudkan
untuk mengumpulkan informasi sebanyak mungkin untuk
menampung hal-hal apa saja yang nantinya akan dituangkan dalam
kontrak.
Sebuah kontrak mestinya dibuat secara detail dan
komprehensif, dan tidak mengandung perumusan-perumusan yang
mengundang keraguan. Sebab kalau umpamanya dalam suatu kontrak
tidak secara jelas didefinisikan sesuatu yang dimaksud, bisa jadi akan
menimbulkan persoalan-persoalan baru. Jika ingin melakukan joint
venture dengan mitra usaha asing untuk mendirikan sebuah pabrik,
perlu diperhatikan pihak mana yang nantinya akan menguasai
perusahaan. Karena kadang-kadang pihak asing menguasai
perusahaan tersebut sampai 80% dan pihak lokal hanya 20%. Hal ini
misalnya bisa berakibat pihak asing-lah yang memasukkan presiden
direktur perusahaan atau finance director. Bahkan bisa jadi mereka
26

(pihak asing) yang akan mengimpor bahan baku produksi sampai


kepada masalah pemasarannya.
Bila kita lihat sebuah kontrak, baik yang bertaraf nasional
maupun yang bertaraf internasional, lazimnya akan dicantumkan
aspek pemecahan masalah (dispute resolution). Karena bagaimanapun
bagusnya sebuah kontrak tidak bisa dijamin akan terhindar dari
adanya sengketa pada masa-masa mendatang. Permasalahan dapat
timbul karena biasanya pihak asing enggan menggunakan hukum
Indonesia, sebab khawatir akan dirugikan kalau memilih pengadilan
(litigasi) di Indonesia.
Permasalahan lain dalam sebuah kontrak yang harus dibahas
adalah jika sebuah kontrak telah dirumuskan dengan konsep standar.
Konsep standar pihak asing maupun konsep standar pihak lokal
berbeda, sehingga perlu dilakukan pembahasan bersama. Dalam
sebuah kontrak standar, secara umum pasti memiliki standar yang
sama, yaitu adanya judul kontrak (Heading), subjek dan objek,
domisili, tujuan pembuatan kontrak, dan susunan pengurus.
Dalam praktik, kebanyakan keberatan timbul dari salah satu
pihak atas isi kontrak yang menyangkut susunan pengurus
perusahaan, seperti presiden direktur dan direktur-direkturnya, tetapi
bisa juga karena masalah keuangannya. Permasalahan-permasalahan
lain yang cukup penting adalah penggunaan bahasa hukum yang harus
baik dan benar, serta mudah dipahami kalangan non-hukum, baik
penggunaan dalam bahasa Inggris maupun penggunaan dalam bahasa
Indonesia, yang sebisa mungkin harus dihindari kesan bahasa yang
complicated dan membingungkan.
Perlu kiranya direnungkan apa yang dikemukakan oleh salah
seorang pakar hukum bisnis, DR. Prajudi Atmosudirdjo, saat
mengadakan Seminar Lokakarya Business Law. Beliau mengemukakan
betapa pentingnya memahami kontrak dalam suatu bisnis. Sebab
banyak BUMN yang mengalami kerugian miliaran rupiah dari
kesepakatan kontrak kerja sama yang dilakukan, akibat para
pemimpinnya tidak memahami seluk beluk kontrak dalam bisnis
(Bisnis Indonesia, 16 Nopember 1993).

D. Anatomi Suatu Kontrak


Setiap akta perjanjian/kontrak, baik yang dibuat di bawah tangan
maupun akta otentik biasanya akan terdiri dari bagian-bagian sebagai
berikut :
1. Judul;
2. Kepala;
3. Komparisi;
4. Sebab/ dasar;
5. Syarat-syarat;
6. Penutup; dan
7. Tanda tangan.
Sebab atau dasar dalam suatu akta harus jelas disebutkan. Hal ini
perlu kita ingat kembali bahwa dalam teori hukum perjanjian, salah satu
27

syarat supaya sah suatu perjanjian ialah adanya sebab/dasar agar


perjanjian itu halal (tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan).
Singkatnya, dalam suatu perjanjian harus disebutkan dasar yang
menunjukkan identitas barang, dasar pemilikannya, kemudian disusul
dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Mengenai syarat-syarat dalam suatu akta perjanjian dapat dibagi
atas 3 (tiga) syarat, yaitu :
1. Syarat Esensialia;
2. Syarat Naturalia; dan
3. Syarat Aksidentalia.
Syarat esensialia adalah syarat yang harus ada dalam perjanjian,
kalau syarat ini tidak ada, maka perjanjian tersebut cacat (tidak
sempurna). Artinya tidak mengikatpara pihak. Misalnya dalam perjanjian
sewa menyewa di atas, syarat esensialianya adalah syarat tentang barang
dan harga sewa. Kalau dalam akta tidak dirumuskan barangnya, artinya
tidak ada yang disewakan, maka tidak ada perjanjian sewa menyewa.
Demikian pula jika dirumuskan barangnya tetapi tidak ada harga sewa,
maka tetap tidak ada perjanjian sewa menyewa.
Contoh lain misalnya dalam perjanjian jual beli, esensialianya
adalah syarat tentang barang dan syarat tentang harga. Pada perjanjian
kerja, esensialianya adalah syarat tentang pekerjaan dan upah. Pada
perjanjian kerjasama, esensialianya adalah syarat tentang objek kerja
sama, modal yang dimasukkan masing-masing dan pembagian
keuntungan dan rugi.
Mengenai syarat naturalia adalah syarat yang biasa dicantumkan
dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak ada, maka perjanjian tidak akan
cacat tapi tetap sah. Syarat naturalia mengenai suatu perjanjian terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan kebiasaan. Oleh sebab itu,
kalau para pihak tidak mengatur syarat naturalia dalam perjanjian, maka
yang berlaku ialah yang diatur dalam peraturan perundang-undangan
atau kebiasaan. Tanpa ada syarat naturalia dalam perjanjian, perjanjian
itu tetap sah dan tidak cacat.
Misalnya dalam perjanjian sewa menyewa, bila tidak diatur syarat
bahwa kalau menyewa memasang pompa air listrik ia boleh mengambil
pornpa air jika ia meninggalkan rumah setelah masa sewa berakhir.
Tetapi dalam hal ini berlaku Pasal 1567 KUHPerdata yang mengatur
bahwa pompa air boleh dibongkar dan dibawa penyewa.
Sedangkan mengenai syarat aksidentalia adalah merupakan syarat-
syarat yang bersifat khusus. Syarat aksidentalia ini biasanya tidak mutlak
dan tidak biasa, tetapi apabila para pihak menganggap bagian tersebut
perlu dimuat dalam akta bisa dicantumkan dalam akta.
Selanjutnya, penutup. Suatu akta di bawah tangan akan dimulai
dengan kalimat “Demikianlah akta ini dibuat.......... dan seterusnya”,
sedangkan akta notaris dimulai dengan kalimat: “Demikianlah akta ini
dibuat dalam minuta ......... dan seterusnya.”
Yang terakhir yang harus ada dalam suatu akta adalah adanya
tanda tangan dari para pihak beserta saksi-saksinya. Dengan
membubuhkan tanda tangan berarti para pihak telah menyetujui atau
mengikatkan dirinya dalam kontrak dan akan melaksanakan kontrak yang
telah dibuat.
28

E. Penyelesaian Sengketa Kontrak


Hampir setiap hari kita mendengar adanya kegiatan bisnis dan
melakukan transaksi yang dilakukan oleh para usahawan baik yang
dilakukan di dalam satu negara maupun yang dilakukan antarnegara.
Kegiatan bisnis ini tentunya diharapkan akan mendatangkan keuntungan
para pihak sesuai dengan asas kesepakatan. Dalam hukum perdata,
kesepakatan yang telah disetujui para pihak tentunya akan mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya (Pasal 1338 Ayat
1 KUHPerdata).
Namun demikian apa yang telah mereka sepakati itu, kerapkali
menimbulkan sengketa yang tentunya akan mendatangkan kerugian salah
satu pihak. Untuk menegakkan hak-hak para pihak tersebut, maka dua
jalan yang dapat ditempuh, yaitu melalui jalur pengadilan atau melalui
jalur musyawarah. Tetapi ilmu hukum mempunyai alternatif lain yaitu
melalui suatu lembaga yang dinamakan Arbitrase (= Pewasitan).
Bila kita melakukan suatu bisnis dengan melakukan suatu
transaksi dengan pihak lain atau dalam suatu kontrak yang telah
ditandatangani bersama, maka dalam kontrak yang telah ditandatangani
bersama itu biasanya selalu ada disebutkan dalam suatu pasal tersendiri
yang menyatakan cara bagaimana melakukan suatu penyelesaian atas
suatu perselisihan atau sengketa yang timbul.
29

BAB 3
HUBUNGAN-HUBUNGAN BISNIS

Bagian ini menjelaskan :


1. Pentingnya hubungan bisnis dalam kegiatan bisnis sehari-hari
2. Bentuk hubungan bisnis berupa keagenan/distributor
3. Bentuk hubungan bisnis berupa franchising (hak monopoli)
4. Bentuk hubungan bisnis berupa penggabungan usaha; dan
5. Bentuk hubungan bisnis berupa bangun guna serah atau Built Operate
and Transfer (BOT)

A. Pendahuluan
Kegiatan bisnis sehari-hari ternyata dapat dilakukan dengan
berbagai macam cara. Ada yang melakukannya dengan bekerja sama
dengan pihak lokal dan ada pula yang melakukannya dengan pihak asing.
Ada yang melakukannya untuk pribadi, dan ada pula yang melakukannya
untuk kepentingan perusahaan.
Hubungan-hubungan bisnis demikian tentunya dilakukan karena
mempunyai kepentingan dan tujuan sendiri-sendiri. Secara pasti, tujuan
mereka melakukan hubungan bisnis tidak lain dimaksudkan untuk saling
mencari keuntungan satu sama lain. Selain itu ada tujuan lain seperti
untuk mempercepat proses pemasaran produknya ke masyarakat luas.
Ada pula yang bertujuan membantu pihak lain karena tidak diizinkannya
pihak lain memasarkan produknya secara langsung di suatu negara.
Namun ada pula yang melakukannya karena ketidakmampuannya untuk
berbisnis, ataupun masalah permodalannya, serta tujuan-tujuan lainnya.
Sebagai contoh dalam bisnis franchise, para pihak berhubungan
dengan maksud selain untuk memasarkan produk bisnis franchise, juga
di lain pihak karena adanya pihak lain yang tidak mempunyai modal.
Dernikian pula dengan hubungan bisnis yang berbentok joint venture,
Bisnis ini merupakan kerja sama antara dua pihak karena adanya saling
kepentingan masing-masing pihak.
Untuk memperjelas arti hubungan bisnis dan beragamnya bentuk
hubungan bisnis, pada bab ini akan diuraikan beberapa hubungan bisnis
yang cukup menarik dan selalu menjadi pembicaraan masyarakat luas
serta sering menjadi telaah lebih lanjut, yaitu hubungan bisnis dalam
bentuk keagenan/distributor, franchise, joint venture, dan usaha bangun
guna serah atau yang lebih dikenal dengan nama BOT (Built Operate and
Transfer).

B. Keagenan/Distributor
Latar belakang terjadinya hubungan bisnis keagenan ini
disebabkan oleh adanya pihak luar negeri yang tidak diperbolehkan untuk
menjual barangnya (produknya) secara langsung, baik ekspor dari
Indonesia maupun impor ke Indonesia. Untuk itu pihak asing yang biasa
disebut dengan prinsipal harus menunjuk agen-agennya atau
perwakilannya di Indonesia untuk memasarkan produknya.
30

Hubungan bisnis dengan nama keagenan dan dengan nama


distributor adalah berbeda. Namun dalam praktik bisnis sehari-hari
keduanya biasa digabungkan. Bila seseorang/badan bertindak sebagai
agen, berarti ia bertindak untuk dan atas nama prinsipal. Sedangkan bila
seseorang/badan bertindak sebagai distributor, berarti ia bertindak untuk
dan atas nama dirinya sendiri.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu
hubungan hukum di mana seseorang/pihak agen diberi kuasa bertindak
untuk dan atas nama orang/pihak prinsipal untuk melaksanakan
transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat
dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya wewenang yang
dipunyai oleh agen tadi yang bertindak untuk dan atas nama prinsipal.
Prinsipal akan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh seorang agen, sepanjang hal tersebut dilakukan dalam
batas-batas wewenang yang diberikan kepadanya. Dengan perkataan lain,
bila seorang agen ternyata bertindak melampaui batas wewenangnya,
maka agen itu sendiri yang bertanggung jawab atas tindakan-tindakannya
tadi.
Sedangkan seorang distributor tidak bertindak untuk dan atas
nama pihak yang menunjuknya sebagai distributor (biasanya supplier,
atau manufacture). Seorang distributor bertindak untuk dan atas nama
sendiri. Oleh karena itu, biasanya dalarn perjanjian distributor secara
tegas akan dinyatakan dengan kalimat sebagai berikut: Except as
expressly provided for in this agreement, nothing here in shall be deemed
to create an agency, joint venture, partnership or employment
relationship or employment between the parties here to, deemed or
constried as granting to distributor any right or authority to assume or
to create any obligation or responsibility, express or implied, for on
behalft of, or in the name of X, or to bind X in any way or manner
whatsoever.
Pertanyaan berikutnya adalah apakah perbedaannya antara
agen/distributor dengan makelar dan komisioner? Makelar (broker)
adalah seseorang yang pekerjaannya adalah bertindak sebagai perantara
dalam suatu transaksi bisnis antara pihak-pihak yang tersangkut Makelar
di sini tidak mempunyai wewenang untuk bertindak dan atas nama salah
satu pihak dalam suatu transaksi. Sedangkan apabila seseorang ingin
melaksanakan jual beli, baik jual beli barang ataupun jasa melalui seorang
perantara, dengan memberikan kuasa kepada perantara tadi untuk
bertindak atas namanya tapi atas tanggung jawab sendiri dengan
menerima komisi atas jasa-jasanya, perantara tadi disebut dengan
komisioner.
Dalam perjanjian bisnis yang diadakan antara agen/distributor
dengan prinsipalnya, biasanya dilakukan dengan membuat suatu kontrak
tertulis yang isinya ditentukan oleh para pihak sesuai dengan kepentingan
para pihak tersebut, asal saja tidak bertentangan dengan hukum dan
kesusilaan sesuai Pasal 1388 KUHPerdata.
Seorang prinsipal, misalnya, dapat menunjuk seseorang untuk
menjadi agennya dengan hanya berisi beberapa baris kalimat saja. Si agen
31

kemudian membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda telah


mengetahui dan menerima adanya penunjukan dirinya sebagai agen dari
prinsipal tersebut.
Adakalanya antara prinsipal dan agen dibuat suatu perjanjian yang
sederhana yang memuat pokok-pokok tentang apa-apa yang menjadi hak
dan kewajiban para pihak. Tetapi tidak sedikit yang membuat
perjanjiannya dengan ketentuan-ketentuan secara terperinci. Tentu saja
membuat perjanjian secara teperinci tidaklah mudah. Tetapi dengan
perjanjian yang terperinci, akan semakin kecil kemungkinan untuk salah
menafsirkan isi perjanjian.
Bila pihak asing ingin menunjuk seorang agen/distributor di
Indonesia, maka menurut Surat Keputusan Menteri Perdagangrn Nomor
77/Kp/III/78, tanggal 9 Maret 1978 ditentukan lamanya perjanjian harus
dilakukan untuk jangka waktu 3 tahun. Sekalipun ketentuan di atas
merupakan pedoman bagi perjanjian keagenan/ distributor di mana
prinsipnya bukanlah perusahaan di Indonesia, tetapi dalam praktiknya
tetap dipakai sebagai pedoman bagi perjanjian keagenan/distributor di
mana prinsipalnya adalah perusahaan di luar negeri. Diadakannya jangka
waktu minimal dimaksudkan untuk rnelindungi kepentingan perusahaan
nasional Indonesia dari tindakan-tindakan yang tidak sewajarnya dari
pihak prinsipal.
Apabila agen/distributor ingin mengalihkan haknya kepada pihak
lain baik sebagian maupun seluruhnya, tentu dibolehkan sesuai dengan isi
Pasal 1338 KUHPerdata mengenai hal kebebasan berkontrak. Di sini para
pihak bebas menentukan apakah hak dan kewajiban mereka akan
dialihkan atau tidak.
Dalam praktik perjanjian yang diadakan antara para pihak ternyata
terdapat 3 (tiga) kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu sebagai berikut :
kemungkinan pertama, dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik
prinsipal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan sebagian atas
seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya persetujuan dari pihak lain.
Kemungkinan kedua, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak
dan kewajibannya kepada pihak ketiga, tetapi agen tidak, dan
kemungkinan ketiga, prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak
dan kewajibannya kepada pihak ketiga, akan tetapi agen hanya
diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan kewajibannya apabila
diperoleh persetujuan untuk itu dari pihak prinsipal.
Dalam perjanjian juga para pihak biasanya akan merumuskan
secara jelas peristiwa apa-apa saja yang menjadi perselisihan (events of
defaults) yang memberikan dasar bagi masing-masing pihak untuk
mengurus perjanjian keagenan/distributor di antara mereka. Biasanya
yang dikategorikan sebagai events ofdefauls antara lain adalah :
1. Apabila agen distributor lalai melaksanakan kewajibannya,
sebagaimana tercantum pada perjanjian keagenan/distributor
termasuk kewajiban melakukan pembayaran.
2. Apabila agen/distributor melaksanakan apa yang sebenarnya tidak
boleh dilakukan.
3. Apabila para pihak jatuh pailit;
32

4. Keadaan-keadaan lain yang menyebabkan para pihak tidak dapat


melaksanakan apa yang menjadi kewajiban-kewajibannya.
Bila para pihak ingin memutuskan perjanjian, tetap harus
diperhatikan ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata yang pada dasarnya
menyatakan bahwa pembatalan suatu perjanjian hanya dapat dilakukan
setelah adanya keputusan pengadilan. Dengan perkataan lain, prinsipal
yang bermaksud memutuskan perjanjian keagenan dengan agennya, tidak
cukup hanya dengan mengirimkan pemberitahuan secara tertulis saja
akan maksudnya itu. Prinsipal harus mengajukan gugatan ke pengadilan
negeri yang berwenang dan menunggu adanya keputusan pengadilan yang
membenarkan dilakukannya pemutusan perjanjian keagenan.
Oleh karena sistem hukum perjanjian kita menganut sistem
terbuka, maka dalam praktik untuk menghindari prosedur tadi, para
pihak dengan tegas menyatakan di dalam salah satu pasal perjanjiannya
bahwa untuk perjanjian keagenan, mereka setuju untuk
mengenyampingkan berlakunya ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata.
Dengan mengenyampingkan Pasal 1266 ini, para pihak dapat melakukan
pemutusan perjanjian keagenan sesuai dengan ketentuan-ketontuan yang
mereka perjanjikan dalam perjanjiannya.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam suatu perjanjian
keagenan/distributor adalah adanya pilihan hukum yang akan dipakai
para pihak. Sebab dalam hukum international kita kenal adanya asas
pilihan hukum (choice of law).

C. Franchising (Hak Monopoli)


Franchise pada mulanya dipandang bukan sebagai suatu usaha
(bisnis), melainkan sebagai suatu konsep, metode ataupun sistem
pemasaran yang dapat digunakan oleh suatu perusahaan (franchisor)
untuk mengembangkan pemasarannya tanpa melakukan investasi
langsung pada outlet (tempat penjualan), melainkan dengan melibatkan
kerja sama pihak lain (franchisee) selaku pemilik outlet. Sosok ini
merupakan konsep tradisional.
Kata franchise sebenarnya berasal dan bahasa Francis yang berarti
bebas, atau lebih lengkap lagi bebas dari perhambaan (free from
sewitude). Dalam bidang bisnis franchise berarti kebebasan yang
diperoleh seorang wirausaha untuk menjalankan sendiri suatu usaha
tertentu di wilayah tertentu.
Franchise ini merupakan suatu metode untuk melakukan bisnis,
yaitu suatu metode untuk memasarkan produk atau jasa ke masyarakat.
Lebih spesifik lagi, franchising adalah suatu konnep pemasaran.
Sedangkan pakar lain melihat franchise tidak hanya sekadar suatu
metode atau konsep tetapi lebih merupakan suatu sistem. Suatu metode
atau konsep yang dapat dioperasionalkan dalam kerangka atau tatanan
yang membuat hubungan lebih teratur dan terarah, antarsubsistem yang
satu dengan subsistem yang lain. Oleh karenanya franchise diartikan
sebagai suatu sistem pemasaran atau sistem usaha untuk memasarkan
produk atau jasa tertentu.
33

Dapat juga disebutkan bahwa franchise adalah hubungan


berdasarkan kontrak lisensi yang menimbulkan cara memasarkan barang
atau jasa dengan memberi unsur kontrol tertentu kepada pemasok
(franchisor) sebagai imbalan bagi yang diperoleh oleh pihak yang
mendapat hak (franchisee) untuk menggunakan merek dan nama barang
franchisor.
Perusahaan yang memberikan lisensi disebut franchisor dan
penyalurnya disebut franchisee. Perusahaan kecil mendefinisikan
franchising sebagai suatu sistem dan distribusi di mana suatu perusahaan
yang dirniliki oleh seseorang diselenggarakan seolah-olah merupakan
bagian dan suatu rangkaian yang besar, lengkap dengan nama produk,
merek dagang, dan prosedur penyelenggaraan standar.
Ada 4 (empat) hal yang menonjol dalam hal pemasaran konsep
franchise yaitu product, price, place/distribution dan promotion (4P).
Keempat hal yang spesifik ini terutama tampak pada aspek distribusinya
yang dalam operasionalnya melibatkan kerja sama dengan pihak lain yang
independen.
Franchise dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pemasaran atau
distribusi barang dan jasa, di mana sebuah perusahaan induk (franchisor)
memberikan kepada individu atau perusahaan lain yang berskala kecil
dan menengah (franchisee), hak-hak istimewa untuk melaksanakan suatu
sistem usaha tertentu dengan cara yang sudah ditentukan, selama waktu
tertentu, di suatu tempat tertentu.
British Franchise Association (BFA) mendefinisikan franchise
sebagai berikut franchise adalah contractual licence yang diberikan oleh
suatu pihak (franchisor) kepada pihak lain (franchisee) yang:
1. Mengizinkan franchisee untuk menjalankan usaha selama periode
franchise berlangsung, suatu usaha tertentu yang menjadi milik
franchisor.
2. Franchisor berhak untuk menjalankan kontrol yang berlanjut selama
periode franchise.
3. Mengharuskan franchisor untuk memberikan bantuan pada
franchisee dalam melaksanakan usahanya sesuai dengan subjek
franchise-nya (berhubungan dengan pemberian pelatihan,
merchandising atau lainnya).
4. Mewajibkan franchisee untuk secara periodik selama periodik
franchise berlangsung/membayar sejumlah uang sebagai pembayaran
atas franchise atau produk atau jasa yang diberikan oleh franchisor
kepada franchisee.
5. Bukan merupakan transaksi antara perusahaan induk (holding
company) dengan cabangnya atau antara cabang dan perusahaan
induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang
dikontrolnya.
Franchise diartikan sebagai suatu sistem pemasaran atau sistem
usaha untuk memasarkan produk atau jasa tertentu, selain spesifik juga
memiliki karakteristik dasar :
1. Harus ada suatu perjanjian (kontrak) tertulis, yang mewakili
kepentingan yang seimbang antara franchisor dengan franchisee. Isi
34

kontrak pada dasarnya dapat dinegosiasi. Isi kontrak hendaknya


didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
2. Franchisor harus memberikan pelatihan dalam segala aspek bisnis
yang akan dimasukinya. Juga memelihara kelangsungan usaha
franchise dengan memberikan dukungan dalam berbagai aspek bisnis
(misalnya periklanan, supervisi, dan sebagainya).
3. Franchisee diperbolehkan dalam kendali franchisor beroperasi dengan
menggunakan nama/merek dagang, format dan atau prosedur, serta
segala nama (reputasi) baik yang dimiliki franchisor.
4. Frachisee harus mengadakan investasi yang berasal dan sumber
dananya sendiri atau dengan dukungan sumber dana lain (misalnya
kredit perbankan). Pada outlet (tempat penjualan) yang dikelola
franchisee, tidak ada investasi langsung dari franchisor. Yang lazim
adalah pengadaan peralatan dengan fasilitas leasing atau barang
dagangan secara cicilan oleh frachisor, atau pengadaan gedung oleh
franchisor yang disewakan kepada franchisor ke dalam unit usaha
yang dikelola franchisee.
5. Franchisee berhak secara penuh mengelola bisnisnya sendiri.
6. Franchisee membayar fee dan atau royaiti kepada franchisor atas hak
yang didapatnya dan atas bantuan yang terus-menerus diberikan oleh
franchisor. Royalti umumnya hanya dikenakan oleh franchisor
tertentu yang sudah memiliki merek dagang yang terkenal. Sedangkan
fee merupakan bentuk beban (charge) yang umum dikenakan oleh
franchisor.
7. Franchisee berhak memperoleh daerah pemasaran tertentu di mana ia
adalah satu-satunya pihak yang berhak memasarkan barang atau jasa
yang dihasilkannya
8. Transaksi yang terjadi antara franchisor dengan franchisee bukan
merupakan transaksi yang terjadi antara cabang dari perusahaan
induk yang sama, atau antara individu dengan perusahaan yang
dikontrolnya.
Dari karakteristik di atas, asosiasi nasional dan pengusaha
franchise menghimpun pengaduan-pengaduan dari franchisee dan
menerbitkan suatu daftar petunjuk untuk membuat kontrak-kontrak
franchise. Persyaratan yang terperinci dari kontrak-kontrak franchise
berbeda-beda tetapi secara umum kontrak tersebut meliputi ketentuan-
ketentuan berikut :
Franchissor setuju untuk:
1. Memberikan suatu wilayah penjualan yang berdiri sendiri kepada
franchisee.
2. Menyediakan suatu jumlah tertentu dari latihan dan bantuan
manajemen.
3. Memberikan barang-barang dagangan kepada franchisee dengan
harga yang bersaing.
4. Memberikan nasihat kepada franchisee tentang lokasi perusahaan dan
desain dari bangunan.
5. Memberikan bantuan finansial tertentu atau nasihat finansial kepada
franchisee.
35

Franchisee setuju untuk :


1. Menyelenggarakan perusahaan sesuai dengan peraturan-peraturan
yang diajukan oleh franchisor.
2. Menginvestasikan suatu jumlah minimum tertentu dalam perusahaan.
3. Membayar kepada franchisor suatu jumlah tertentu (biasanya sebagai
suatu honorarium dalam perusahaan yang tetap).
4. Membangun atau bila tidak, menyediakan suatu fasilitas perusahaan
seperti yang disetujui oleh franchisor.
5. Membeli persediaan dan material standar lainnya dari franchisor atau
dari leveransir yang telah disetujui.
Bila kita lihat contoh yang paling terkenal dari bisnis franchising
ini adalah hal industri makanan yang disajikan dengan cepat, misalnya
Mac Donald's, Kentucky Fried Chicken, Pizza HUT, Texas Fried Chicken,
Ponderosa, Es Teller 77, usaha persewaan mobil seperti Hertz, Avis; usaha
bidang pendidikan seperti INLINGUA (di Seatle AS), Indonesia European
University; usaha di bidang rumah seperti House 21, dan lain-lain. Pada
lampiran 8 (hlm. 280) dapat dilihat adanya 100 usaha bidang franchise
terkemuka di dunia. Kita tentu mengharapkan agar usaha franchise dari
Indonesia bisa masuk dalam daftar tersebut.
Seperti telah dikemukakan, bahwa dalam franchise, dasar hukum
dari penyelenggaraannya adalah kontrak antara kedua pihak. Kontrak
franchise biasanya menyatakan bahwa franchisee adalah kontraktor
independen dan bukannya agen atau pegawai franchisor. Namun
demikian, perusahaan induk dapat membatalkan franchise tersebut, bila
franchisee melanggar persyaratan-persyaratan dalam persetujuanitu.
Setiap hubungan bisnis yang ada selalu saja ada faktor kerugian
dan keuntungannya. Demikian juga dengan bisnis franchise ada
keuntungan dan kerugian yang terjadi di dalamnya. Keuntungan dari
bisnis franchise dapat dilcemukakan sebagai berikut
1. Diberikannya latihan dan pengarahan yang diberikan oleh franchisor.
Latihan awal ini diikuti oleh pengawasan yang berlanjut.
2. Diberikannya bantuan finansial dari franchisor. Biaya permulaan
tinggi, dan sumber modal dari pengusaha sering terbatas. Bila prospek
usaha dianggap suatu risiko yang baik, franchisor sering memberikan
dukungan finansial kepada franchisee.
3. Diberikannya penggunaan nama perdagangan, produk atau merek
yang telah dikenal. Nama-nama seperti Wendy's, Perwakilnn
Walgreen, Dairy Queen, Holiday Inn, Me Donald's dan NAPA tentu
dikenal secara luas.
Selangkan kerugian dalam bisnis franchise antara lain sebagai
berikut.
1. Adanya program latihan yang dijanjikan oleh franchisor kadangkala
jauh dari apa yang diinginkan oleh franchisee.
2. Perincian setiap hari tentang penyelcnggaraan perusahaan sering
diabaikan.
3. Hanya sedikit sekali kebebasan yang diberikan kepada franchisee
untuk menjalankan akal budi mereka sendiri. Mereka mendapatkan
36

diri mereka terikat pada suatu kontrak yang melarang untuk membeli
baik peralatan maupun perbekalan dari tempatkan.
4. Pada bisnis franchise jarang mempunyai hak untuk menjual
perusahaan kepada pihak ketiga tanpa terlebih dahulu
menawarkannya kepada franchisor dengan harga yang sama.

D. Penggabungan Perseroan Terbatas (Joint Venture)


Kata joint-venture kalau diterjemahkan dapat berarti berusaha
secara bersama-sama. Usaha bersama tersebut dapat mencakup semua
jenis kerja sama. Seorang ahli bernama Friedman membedakan adanya
dua macam joint-venture, yaitu :
1. Joint-venture yang tidak melaksanakan penggabungan modal,
sehingga kerja sama tersebut hanya terbatas pada know-how yang
dibawa ke dalam Joint Venture. Know-how di sini mencakup “tech-
nical service agreements, franchise and brand use agreement,
construction and other job performance contracts, management
contracts and rental agreements.” Menurut Friedman, penggabungan
know-how ke dalam joint venture biasanya merupakan babak pertama
menuju kerja sama yang lebih permanen, yang pada saatnya akan
beralih pada kerja sama berdasarkan penggabungan modal
2. Jenis kedua adalah joint venture yang ditandai oleh partisipasi modal.
Untuk membedakan jenis pertama dengan jenis kedua, Friedman
menggunakan istilah joint venture untuk yang pertama, dan equity
joint venture untuk jenis yang kedua.
Bila kita lihat pengertian joint venture seperti yang dikemukakan,
tampaknya Friedman agak berlainan dengan yang dikenal dalam praktik
sehari-hari, karena partisipasi sesuatu perusahaan dalam usaha
perusahaan sudah digolongkan pada joint venture.
Dalam pengertian sehari-hari, jomt venture seringkali merupakaii
suatu perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa
perusahaan yang berdiri sendiri dengan menggabungkan potensi usaha
termasuk know-how dan modal, dalam perbandingan yang telah
ditetapkan menurut perjanjian atau kontrak yang telah sama-sama
disetujui.
Istilah joint venture sering juga dinyatakan dengan istilah lain
seperti Foreign Collaborations, International Enterprise, dan sebagainya.
Pada hakikatnya istilah tersebut ialah usaha joint venture seperti yang
disebut di atas, walaupun multinational enterprises mencakup negara-
negara yang lebih besar jumlahnya, seperti perusahaan-perusahaan
raksasa Amerika, Eropa, dan Jepang, yang berkerja sama dengan modal-
modal domestik di mana-mana. Misalnya General Motors Ford Motors,
Standard Oil, General Electric, Hitachi, dan sebagainya.
Dari pengertian di atas, dapat disebutkan bahwa usaha joint
venhtre memiliki tanda-tanda sebagai berikut.
1. Adanya perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa
perusahaan lain.
2. Adanya modal perusahaan joint venture yang terdiri dan know-how
dan modal saham yang disediakan oleh perusahaan-perusahaan
37

pendiri. Kekuasaan dalam joint venture sesuai dengan banyaknya


saham yang ditanam oleh masing-masing perusahaan pendiri.
3. Bahwa perusahaan-perusahaan pendiri joint venture tetap memiliki
eksistensi dan kemerdekaan masing-masing.
4. Khusus untuk Indonesia seperti yang kita kenal sampai sekarang, joint
venture merupakan kerja sama antara perusahaan domestik dan
perusahaan asing, tidak menjadi soal apakah modal pemerintah atau
modal swasta.
Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan mengapa perlu
dilakukan usaha penggabungan suatu perseroan. Alasan-alasan dimaksud
antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengambil alih suatu perusahaan yang sedang berjalan untuk
memperluas suatu pasaran.
2. Untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pajak.
3. Untuk mendapatkan sumber-sumber baru bagi barang-barang.
4. Untuk memperoleh cadangan uang tunai.
Bentuk usaha joint venture ini memiliki kedudukan yang unik,
karena di satu pihak perusahaan Joint Venture secara mutlak menurut
ketentuan harus memiliki bentuk hukum perseroan terbatas (PT)
terutama sekali akibat ketentuan hukum antara pihak-pihak yang
membentuk usaha joint venture tersebut yang mensyaratkan adanya
perimbangan kekuatan modal yang jelas. Hal ini sesuai dengan kenyataan
dan kelaziman bahwa sesuatu perseroan terbatas terdiri dari beberapa
pemilik saham.
Tambahan lagi sudah menjadi pengalaman, bahwa perusahaan-
perusahaan yang tergabung dalam suatu usaha joint venture terdiri dari
perusahaan-perusahaan yang kebangsaannya berlainan. Terlebih di
Indonesia bentuk usaha joint venture seperti yang kita alami sekarang
hanya dikenal dalam rangka kerja sama perusahaan domestik dengan
perusahaan-perusahaan asing.
Perlu pula dikemukakan bahwa penggabungan joint venture
berbeda dengan teori yang ada pada literatur yang menyebutkan adanya 3
(tiga) bentuk penggabungan usaha suatu badan hukum, yaitu konsolidasi,
merger, dan akuisisi.
Konsolidasi berarti bergabungnya dua atau lebih suatu badan
usaha menjadi suatu badan usaha baru. Misalnya: PT A, PT B, PT C
dilebur menjadi satu perseroan yang baru misalnya menjadi PT D.
Sedangkan merger berarti penggabungan beberapa badan usaha, di mana
sampai saat ini peraturan mengenai merger hanya ada untuk usaha di
bidang perbankan saja, sesuai dengan SK Menteri Keuangan Nomor:
278/KMK.01/1989 tanggal 25 Maret 1989 dan SuratEdaran Bank
Indonesia Nomor: 21/15/BPPD. Contoh : PT Bank A, PT Bank B, dan PT
Bank C bergabung dengan PT Bank A. PT Bank B, dan PT Bank C
dibubarkan/dimatikan (dissolve). Dan terakhir adalah akuisisi yang
berarti pengambilalihan suatu badan usaha oleh badan usaha lain dengan
tetap menggunakan nama badan usaha lama.
Dari keempat model penggabungan usaha seperti dijelaskan di
atas, tentu saja akan mempunyai akibat aspek hukum yang berbeda.
38

Ketentuan hukum mengenai hal ini jelas dapat dilihat dalam Pasal 102
sampai dengan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas. Sebab segala sesuatunya harus mendapat pengesahan
dari Menteri Hukum dan HAM seperti dimaksud pada Pasal 106 undang-
undang tersebut di atas.

E. Bangun Guna Serah (Build, Operate and Transfer = BOT)


Lembaga BOT sebagai bentuk hubungan bisnis yang terakhir ini
tampaknya masih jarang dikenal oleh masyarakat luas. Namun dalam
praktik bisnis sehari-hari bentuk lembaga BOT sudah mulai berjalan dan
menjadi perhatian yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh.
Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 248 / KMK.04/
1995 tanggal 2 Juni 1995, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan
bangun guna serah adalah suatu bentuk perjanjian kerja sama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada
investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun
guna serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut
kepada pemegang hak atas tanah setelah masa bangun guna serah
berakhir.
Hubungan bisnis bangun guna serah ini akan membawa
keuntungan bagi kedua belah pihak. Di satu pihak si pemilik tanah tidak
mempunyai modal untuk membangun di atas tanah tersebut. Sedangkan
si pemilik modal (investor) mempunyai dana, namun tidak memiliki
tanah untuk membangun. Dengan demikian lembaga ini membawa
kepentingan yang sama-sama baik bagi kedua helah pihak. Hal ini tentu
saja harus jelas disebutkan klausula-klausula perjanjian bangun guna
serah yang akan mereka buat Dan perjanjian yang akan dibuat oleh si
pemilik tanah maupun si investor tentunya akan berpedoman pada
ketentuan hukum yang berlaku seperti KUHPerdata serta adanya itikad
baik untuk melaksanakannya.
Bila ditilik dari sudut perpajakannya, ternyata hubungan bisnis
bangun guna serah telah diatur secara jelas dalam SK menteri di atas.
Misalnya dapat disebutkan bahwa biaya mendirikan bangunan di atas
tanah yang dikeluarkan oleh investor merupakan nilai perolehan investor
untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak mengusahakan
bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh
investor diamortisasi (disusutkan) dalam jumlah yang sama besar setiap
tahunnya selama masa perjanjian bangun guna serah.
Berdasarkan Pasal 4 Ayat (1) UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan,
maka bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas
tanah setelah masa perjanjian berakhir adalah merupakan penghasilan
bagi pemegang hak atas tanah tersebut. Atas penghasilan tersebut, maka
akan terutang pajak sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai yang
tertinggi antara nilai pasar dengan nilai jual objek pasar (NJOP)
bangunan yang bersangkutan. Atas pembayaran pajak penghasilan yang
dilakukan oleh orang pribadi adalah bersifat final, sedangkan bagi wajib
pajak badan adalah merupakan pembayaran pajak penghasilan Pasal 25
yang dapat diperhitungkan dengan pajaknya penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan.
39

BAB 4
HAK MILIK INTELEKTUAL

Bagian ini menjelaskan:


1. Arti dan peranan hak milik intelektual,
2. Pembagian hak milik intelektual menurut teori;
3. Berbagai permasalahan yang timbul dalam hal hak cipta, paten, dan hak
atas merek, serta ketentuan yang berlaku;
4. Lain-lain.

A. Pendahuluan
Salah satu aspek hukum bisnis yang perlu mendapat perhatian
adalah apa yang dinamakan dengan hak milik intelektual (intelectual
property right), Karena hak milik intelektual (HMI) ini berkaitan erat
dengan aspek hukum lainnya seperti aspek teknologi maupun aspek
ekonomi, maupun seni. Bahkan beberapa waktu yang lalu seorang
perancang model Italia bernama Piere Cardin, datang ke Indonesia untuk
memohon kepada Pemerintah Indonesia agar lebih memehatikan hasil
karya seseorang untuk tidak melakukan pembajakan karyanya secara
“semau gue”.
Hal ini menunjukkan bahwa pada dasawarsa terakhir ini, HMI
terus dibicarakan tidak hanya di Indonesia saja, tetapi juga bangsa-bangsa
dan negara-negara lain yang mempunyai masalah yang sama. Dalam
konteks hubungan antara negara, HMI telah menjadi salah satu isu yang
terus menarik perhatian kalangan bisnis.
Kita ketahui bahwa HMI timbul atau lahir karena adanya
intelektualitas seseorang sebagai inti atau objek pengaturannya. Oleh
karenanya pemahaman terhadap hak ini pada dasarnya merupakan
pemahaman terhadap hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari
intelektualitas manusia.
Banyak karya-karya yang lahir atau dihasilkan oleh manusia
melalui kemampuan intelektualitasnya, baik melalui daya cipta, rasa
maupun karsanya. Perlindungan hukum terhadap hasil intelektualitas
manusia seperti di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, sastra, dan
lain-lain perlu diperhatikan dengan serius. Sebab karya manusia ini telah
dihasilkan dengan suatu pengorbanan tenaga, pikiran, waktu, bahkan
biaya yang tidak sedikit
Pengorbanan demikian tentunya menjadikan karya yang dihasilkan
memiliki nilai yang patut dihargai. Ditambah lagi dengan adanya manfaat
yang dapat dinikmati yang dari sudut ekonomi karya-karya seperti itu
tentunya memiliki nilai ekonomi yang tinggi.
Dengan adanya konsepsi berpikir eperti di atas, timbul
kepentingan untuk menumbuhkan dan mengembangkan sistem
perlindungan hukum atas kekayaan (hak intelektualitas) tersebut. Sebagai
karya yang dihasilkan dari intelektualitas manusia, HMI hanya dapat
diberikan kepada penciptanya atau penemunya untuk menik-mati atau
40

memetik manfaat sendiri selama jangka waktu tertentu, atau memberi


izin kepada orang lain guna melakukannya.
Dalam sejarahnya memang harus diakui, bahwa konsep
perlindungan hukum HMI bukanlah merupakan hal yang timbul dalam
sistem hukum kita. Konsep ini pertama tumbuh dan dikembangkan oleh
bangsa asing. Namun begitu budaya penghargaan terhadap jerih payah
atas hasil karya dan hak seseorang juga telah merupakan bagian dari
budaya kita, sekalipun sikap dan budaya demikian dahulu berakar tanpa
hukum tertulis yang mengaturnya.
Untuk memperjelas jenis-jenis HMI, maka secara umum HMI
dapat dikelompokkan atas 2 (dua) jenis, yaitu :
1. Hak milik industri (industrial property), yang terdiri atas :
a. Paten (Patent);
b. Merek (Merk); dan
c. Desain produk industri (industrial design).
2. Hak cipta (copyrights).
Pengelompokan di atas dikatakan secara umum sebab
pengelompokan seperti itulah yang ada dan berkembang sejak awal
Menurut teorinya, hak cipta dapat dibagi atas :
a. Hak moral (moral right), yaitu hak dari seorang pencipta yang
tidak dapat diambil sedemikian rupa tanpa izin dari pemegang hak
cipta. Artinya hak untuk pemakaian, untuk mengubah isi/
nama/judul dari ciptaannya, untuk mengumumkan ciptaannya,
melekat pada penciptaannya. Orang lain dilarang untuk
mengumumkan, memakai atau mengubah hasil ciptaan seseorang.
Moral right ini tidak dapat lepas atau dirampas dari penciptanya.
Bila dikaitkan dengan universal Declaration of Human Right,
moral right jelas dipegang oleh penciptanya dan tidak bisa
dirampas pihak lain.
b. Hak ekonomi (economic right), yaitu hak yang berkaitan dengan
masalah yang bersangkut-paut dengan keuangan dan penjualan
hasil ciptaannya. Di sini pencipta dapat melisensikannya kepada
pihak lain dengan menerima royalti.
Dua macam hak cipta yang dapat diserahkan kepada pihak lain
yang disebut dengan lisensi dan assignment, Lisensi adalah suatu
pemberian hak kepada orang lain oleh si pemegang hak untuk dapat
melaksanakan haknya tadi. Sedangkan assignment adalah penyerahan
untuk keseluruhannya, sehingga dapat mencetak, menjual, memfilm-
kan, dan sebagainya. Penyerahan ini bisa kepada pemerintah atau
kepada seseorang. Tetapi moral right-nya tetap dimiliki pencipta.
Menurut undang-undang, ada 3 {tiga} sifat hukum hak cipta,
yaitu :
a. Hak cipta dianggap sebagai benda yang bergerak dan immaterial,
yang dapat dialihkan kepada pihak lain;
b. Hak cipta harus dialihkan dengan suatu akta tertulis, baik akta
notaris maupun akta di bawah tangan. Peralihan hak cipta baik
sebagian maupun seluruhnya ini dapat terjadi karena 5 (lima) hal,
41

yaitu : pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara, dan


perjanjian.
Catatan : Khusus peralihan yang terjadi karena pewarisan menurut
penulis tentunya akan terjadi secara otomatis, oleh karena
ketentuan undang-undang tentang waris yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Hal ini bisa dimengerti oleh
karena orang yang meninggal dunia tentu tidak dapat membuat
akta.
c. Hak cipta tidak dapat disita, alasannya adalah berhubung sifat
ciptaan merupakan hak pribadi yang manunggal dengan diri
pencipta itu sendiri, sekalipun penciptanya telah meninggal dunia
dan menjadi milik ahli warisnya atau penerima wasiat.
d. Pembatasan dan Masa Berlaku Hak Cipta
Dalam pemberitaan di media massa seringkali kita mendengar
adanya pelanggaran terhadap hak cipta yang dilakukan oleh sese-
orang secara pribadi maupun oleh badan hukum. Untuk itu perlu
diketahui adanya suatu pembatasan perbuatan mana yang
digolongkan sebagai pelanggaran hak cipta dan mana yang bukan
merupakan pelanggaran hak cipta. Pasal 14 Undang-Undang Hak
Cipta menegaskan bahwa tiga hal di bawah ini bukan dikategorikan
sebagai pelanggaran hak cipta, yaitu :
1) pengumuman dan/atau perbanyakan.lambang negara dan lagu
kebangsaan menurut sifatnya yang aslinya;
2) pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang
diumumkan dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama
pemerintah, kecuali apabila hak cipta itu dinyatakan dilindungi,
baik dengan peraturan perundang-undangan maupun dengan
pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau ketika ciptaan itu
diumumkan dan/atau diperbanyak; atau
3) pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian
dari kantor berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar atau
sumber sejenis lain, dengan ketentuan sumbernya harus
disebutkan secara lengkap.
Selain itu, ada pula perbuatan yang tidak dianggap sebagai
pelanggaran hak cipta dengan syarat menyebutkan atau
mencantumkan sumbernya, yaitu tindakan berupa:
1) penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dengan tidak
merugikan kepentingan yang wajar dan pencipta;
2) pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun
sebagian, guna keperluan pembelaan di dalam atau di luar
pengadilan;
3) pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun
sebagian, guna keperluan ceramah yang semata-mata untuk
tujuan pcndidikan dan ilmu pengetahuan; ataupertunjukan atau
pementasan yang tidak dipungut bayaran dengan ketentuan
tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta;
42

4) perbanyakan suatu ciptaan bidang ilmu pengetahuan, seni, dan


sastra dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra,
kecuali jika perbanyakan itu bersifat komersial;
5) perbanyakan suatu ciptaan selain program komputer, secara
terbatas dengan cara atau alat apa pun atau proses yang serupa
oleh perpustakaan umum, lembaga ilmu pengetahuan atau
pendidikan, dan pusat dokumentasi yang nonkomersial semata-
mata imtuk keperluan aktivitasnya;
6) perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan
pelaksanaan teknis atas karya arsitektur; seperti ciptaan
bangunan;
7) pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh
pemilik program komputer yang dilakukan semata-mata untuk
digunakan sendiri.
Selain pembatasan perbuatan atau tindakan terhadap hak
cipta, maka perbuatan terhadap pengumuman suatu ciptaan yang
diselenggarakan oleh pemerintah untuk kepentingan nasional
melalui radio, televisi, dan/atau sarana lain dapat dilakukan
dengan tidak meminta izin kepada pemegang hak cipta dengan
ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari pemegang
hak cipta, dan kepada pemegang hak cipta diberikan imbalan yang
layak. Yang dirnaksud dengan kepentingan yang wajar dari
pencipta atau pemegang hak cipta adalah suatu kepentingan yang
didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi
atas suatu ciptaan. Oleh karenanya Pasal 18 Ayat (2) menegaskan
bahwa lembaga penyiaran yang mengumumkan ciptaan berwenang
mengabadikan ciptaan itu semata-mata untuk lembaga penyiaran
itu sendiri dengan ketentuan bahwa untuk penyiaran selanjutnya,
lembaga penyiaran tersebut harus memberikan imbalan yang layak
kepada pemegang hak cipta bersangkutan.
Selain pembatasan tindakan terhadap hak cipta, maka
tindakan terhadap pengumuman suatu ciptaan melalui siaran radio
atau televisi yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk
kepentingan nasional, maupun yang dilakukan oleh pihak swasta,
dapat dilakukan tanpa perlu izin terlebih dahulu dari pemegang hak
cipta, dengan ketentuan pemegang hak cipta akan mendapat ganti
rugi yang layak.
Sekarang ini kita lihat pula adanya pemegang hak cipta atas
potret seseorang, untuk memperbanyak atau mengumumkan
ciptaarmya harus mendapat izin terlebih dahulu dari orang yang
dipotret. Namun, jika suatu potret memuat 2 (dua) orang atau
lebih, maka untuk memperbanyak atau mengumumkan masing-
masing yang dipotret, harus terlebih dahulu mendapat izin dari
masing-masing orang dalam potret tersebut, atau dalam jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun sesudah yang bersangkutan meninggal
dunia dengan mendapat izin dari ahli waris masing-masing. Oleh
karena tidak setiap orang yang dipotret akan setuju bahwa
potretnya boleh diumumkan tanpa persetujuannya terlebih dahulu.
43

Tetapi perlu diketahui bahwa potret seseorang dalam


keadaan bagaimanapun juga dapat diperbanyak dan diumumkan
oleh instansi yang berwenang, bila dilakukan untuk kepentingan
umum dan untuk keperluan proses peradilan pidana.
Selain itu kita lihat bahwa masa berlaku suatu hak cipta atas
ciptaan berupa buku, pamflet dan karya tulis lainnya, seni tari, seni
lukis, seni pahat, seni patung, seni batik, ciptaan lagu atau musik,
dan karya arsitektur oleh undang-undang diberikan selama hidup si
pencipta ditambah 50 (lima puluh) tahun setelah pencipta
meninggal dunia. Bila ciptaan tersebut dimiliki oleh 2 (dua) orang
atau lebih, maka masa berlakunya adalah selama hidup si pencipta
yang teriama hidupnya ditambah 50 (lima puluh) tahun sesudah si
pencipta yang terima hidupnya meninggal dunia.
Untuk ciptaan berupa karya pertunjukkan seperti musik,
karawitan, drama, tari pewayangan, pantomin, dan karya siaran
untuk media radio, televisi, film dan video, ceramah, kuliah, pidato,
peta, karya sinematografi, karya rekaman suara atau bunyi, dan
terjemahan atau tafsir, mempunyai masa berlaku selama 50 (lima
puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan.
Sedangkan ciptaan berupa karya fotografi, program
komputer atau komputer program, saduran dan penyusunan bunga
rampai, mempunyai masa berlaku selama 25 (dua puluh lima)
tahun sejak pertama kali diumumkan.
Bila suatu ciptaan diumumkan bagian demi bagian, maka
jangka waktu berlakunya hak cipta dihitung mulai tanggal
pengumuman yang terakhir. Misalnya cerita atau karangan yang
bersambung dalam majalah dan surat kabar, baru dianggap selesai
diumumkan setelah pengumuman bagian yang terakhir.
e. Pendaftaran Ciptaan dan Sanksi Hukum
Untuk memudahkan pembuktian dalam suatu sengketa
mcngenai hak cipta, undang-undang telah mengatur mengenai
pendaftarannya, Pendaftaran suatu ciptaan ini tidaklah mutlak,
karena tanpa pendaftaran pun hak cipta seseorang tetap dilindungi.
Hanya saja mengenai ciptaan yang tidak didaftarkan akan lebih
sukar dan akan memakan waktu untuk pembuktiannya. Dengan
kata lain pendaftaran suatu ciptaan bukanlah untuk mendapatkan
hak cipta. Pendaftaran tidak lain dimaksudkan semata-mata hanya
untuk memudahkan pembuktiannya saja.
Apabila ciptaan didaftarkan, maka orang yang mendaftarkan
dianggap sebagai penciptanya sampai dapat dibuktikan sebaliknya
di muka pengadilan negeri bahwa si pendaftar bukan penciptanya.
Pendaftaran ciptaan dalam undang-undang hak cipta dilakukan
secara pasif. Artinya bahwa semua permohonan pendaftaran
diterima dengan tidak terlalu mengadakan penefitian mengenai hak
pemohon kecuali jika sudah jelas ada pelanggaran hak cipta. Sistem
pendaftaran demikian disebut dengan sistem deklaratif
Pendaftaran suatu ciptaan diselenggarakan oleh Departemen
Kehakiman cq. Direktorat Jenderal Hak Cipta Paten dan Merek,
44

dan diumumkan dalam suatu daftar umum ciptaan yang dapat


dilihat oleh setiap orang tanpa dipungut biaya. Perlu diperhatikan,
bahwa adanya pendaftaran ciptaan dalam daftar umum ciptaan
tidaklah mengandung arti seperti pengesahan atas isi, arti atau
bentuk dan ciptaan. Pejabat yang bertugas mengadakan
pendaftaran hak cipta tidak bertanggung jawab atas isi, arti atau
bentuk dari ciptaan yang terdaftar.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor : M.01-HC.03.01
Tahun 1987 diatur bahwa permohonan pendaftaran ciptaan
diajukan kepada Menteri Kehakiman melalui Direktur Paten dan
Hak Cipta dengan surat rangkap dua, ditulis dalam bahasa
Indonesia di atas kertas folio berganda. Pada surat permohonan
harus diisikan hal-hal seperti :
1) Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta.
2) Nama, kewarganegaraan dan alat pemegang hak cipta.
3) Nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa.
4) Jenis dan judul ciptaan.
5) Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali.
6) Uraian ciptaan dibuat rangkap tiga.
Pendaftaran suatu ciptaan dianggap telah dilakukan pada
saat diterimanya permohonan pendaftaran secara lengkap, dan
terhadap pendaftaran yang telah dilakukan akan diumumkan
dalam Tambahan Berita Negara.
Apabila pemohon tidak bertempat tinggal di dalam wilayah
Republik Indonesia, maka untuk keperluan permohonan
pendaftaran ciptaan, ia harus memilih tempat tinggal dan
menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah Republik Indonesia.
Terhadap suatu permohonan pendaftaran ciptaan yang ditolak,
pemohon dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dalam waktu 3 (tiga) bulan setelah
diterimanya penolakan pendaftaran dengan. suatu surat gugatan
agar ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya didaftarkan dalam
daftar umum ciptaan di Direktorat Paten dan Hak Cipta.
Perlu ditambahkan bahwa undang-undang hak cipta juga
memberikan perlindungan hukum terhadap ciptaan bukan warga
negara Indonesia, bukan penduduk Indonesia, atau bukan badan
hukum Indonesia, sejauh ciptaan tersebut diumumkan untuk
pertama kali di Indonesia, atau sejauh negara dan warga negara
atau penduduk atau badan hukum tersebut mengadakan perjanjian
bilateral mengenai perlindungan hak cipta dengan Indonesia, atau
menjadi peserta perjanjian multilateral yang sama di bidang hak
cipta yang diikuti pula oleh Indonesia.
Selanjutnya adanya kemajuan di bidang teknologi dan
kreativitas atas hak cipta tentunya akan menimbulkan dampak
negatif yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi si
pencipta. Bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta ini antara lain
dapat berupa mengambil, mengutip, menyiarkan, memperbanyak,
atau mengumumkan ciptaan milik orang lain baik sebagian
45

maupun seluruhnya yang dilakukan tanpa izin si pencipta atau


pemegang hak cipta, yang tentunya bertentangan dengan undang-
undang hak cipta.
Sanksi-sanksi yang dapat dikenakan oleh undang-undang
hak cipta adalah secara perdata dan secara pidana. Jika ciptaan
dalam bidang ilmu, sastra dan seni yang telah dilindungi oleh
undang-undang hak cipta dilanggar, maka pemegang hak cipta
berhak mengajukan gugatan untuk menuntut ganti rugi ke
pengadilan negeri, dengan tidak mengurangi hak negara untuk
melakukan tuntutan pidana terhadap pelanggaran hak cipta
tersebut.
Berdasarkan pertimbangan ini, maka untuk mencegah
kerugian yang lebih besar pada pihak yang haknya dilanggar, pada
saat pemeriksaan perkara, hakim diberi kewenangan untuk
memerintahkan pelanggar untuk segera menghentikan segala
kegiatan pembuatan, perbanyakan, penyiaran, pengedaran, dan
penjualan ciptaan atau barang yang merupakan hasil pelanggaran
hak cipta, sesuai dengan keyakinan yang diperolehnya selama
pemeriksaan.
Mengenai ancaman hukuman pidana atas pelanggaran hak
cipta diatur dalam Pasal 72 Undang-Undang Hak Cipta yang
mengelompokkannya atas 9 (sembilan) kelompok, yaitu sebagai
berikut :
1) Terhadap mereka yang dengan sengaja melakukan perbuatan
membuat, memperbanyak atau menyiarkan suatu ciptaan
berupa rekaman suara dan/atau gambar pertunjukan, akan
dipidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda
paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juga rupiah) atau pidana
penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
2) Terhadap mereka yang dengan sengaja menyiarkan,
memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu
ciptaan atau barang basil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
seperti butir 1 di atas, akan dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
3) Terhadap mereka yang dengan sengaja memperbanyak
penggunaan untuk kepentingan komersial suatu program
komputer, akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah).
4) Terhadap mereka yang dengan sengaja melanggar Pasal 17
Undang-Undang Hak Cipta (pasal tersebut menyatakan
“Pemerintah melarang pengumuman setiap ciptaan yang
bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang
agama, pertahanan, dan keamanan negara, kesusilaan, seria
ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan dewan hak
cipta”) akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
46

(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,-


(satu miliar rupiah).
5) Terhadap mereka yang dengan sengaja melanggar hak cipta atas
potret seperti diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 20 dan juga yang
membuat, memperbanyak, dan/atau menyiarkan ulang karya
siarannya melalui transmisi dengan atau tanpa kabel, atau
melalui sistem elektromagnetik lain, tanpa ada persetujuan dari
lembaga penyiaran yang telah memiliki hak eksklusif, akan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah).
6) Terhadap mereka yang dengan sengaja melanggar Pasal 24 yaitu
suatu ciptaan yang tidak boleh diubah walaupun hak ciptaannya
telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan
penciptaan atau ahli warisnya, atau melanggar Pasal 55, yaitu
perbuatan yang tanpa persetujuan meniadakan nama pencipta
yang tercantum pada ciptaan, mengganti atau mengubah judul
ciptaan atau mengubah isi ciptaan, akan dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta
rupiah).
7) Terhadap mereka yang dengan sengaja melanggar Pasal 25,
yaitu mengenai informasi elektronik tentang informasi
manajemen hak pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah,
maka akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus
lima puluh juta rupiah).
8) Terhadap mereka yang dengan sengaja melanggar Pasal 27
(pasal tersebut menyatakan “Kecuali atas izin pencipta, sarana
kontrol teknologi sebagai pengaman hak pencipta tidak
diperbolehkan dirusak, ditiadakan, atau dibuat tidak berfungsi”)
akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima
puluh juta rupiah).
9) Terhadap mereka yang dengan sengaja melanggar Pasal 28
(pasal tersebut menyatakan “Ciptaan-ciptaan yang
menggunakan sarana produksi berteknologi tinggi, khususnya di
bidang cakram optik, wajib memenuhi semua peraturan
perizinan dan persyaratan produksi yang ditetapkan oleh
instansi yang benvenang”), akan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.500.000.000,- (satu miliar lima ratus juta rupiah).
47

BAB 5
LEMBAGA-LEMBAGA PEMBIAYAAN

Bagian ini menjelaskan :


1. Pengertian dari lembaga pembiayaan
2. Macam-macam lembaga pembiayaan
3. Manfaat dan peran lembaga pembiayaan dalam bisnis sehari-hari
4. Permasalahan yang terjadi atas lembaga pembiayaan

A. Pendahuluan
Dengan semakin maraknya dunia bisnis,. tidak bisa kita elakkan
lagi adanya kebutuhan dana yang diperlukan baik oleh kalangan
usahawan perseorangan maupun usahawan yang tergabung dalam suatu
badan hukum di dalam mengembangkan usahanya maupun di dalam
meningkatkan mutu produknya, sehingga dapat dicapai suatu keuntungan
yang memuaskan maupun tingkat kebutuhan bagi kalangan lainnya.
Untuk membutuhkan dana tersebut, saat ini semakin banyak orang
yang mendirikan suatu lembaga pembiayaan yang bergerak di bidang
penyediaan dana ataupun barang yang akan dipergunakan oleh pihak lain
di dalam mengembangkan usahanya.
Awal mula keberadaan dibutuhkannya lembaga pembiayaan,
pertama kali disebutkan di dalam Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun
1988 tanggal 20 Desember 1988, dan dijabarkan lebih lanjut melalui
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tanggal 20
Desember 1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan.
Menurut Pasal I Keppres di atas dijelaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan Lembaga Pembiayaan adalah suatu badan usaha
yang di dalam melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan
dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari
masyarakat.
Adapun bidang-bidang usaha yang dilakukan oleh lembaga
pembiayaan antara lain meliputi bidang-bidang seperti :
1. Sewa guna usaha;
2. Modal ventura (venture capital);
3. Perdagangan surat berharga;
4. Anjak piutang (factoring);
5. Usaha kartu kredit; dan
6. Pembiayaan konsumen.
Di dalam melakukan bidang-bidang usaha tersebut, tentunya akan
dilakukan oleh suatu badan usaha, yang biasanya dilakukan oleh
perusahaan dengan bentuk PT (Perseroan Terbatas). Untuk itu perlu
diketahui satu per satu apa arti dari perusahaan yang bergerak pada
masing-masing usaha di atas. Pengertian dari masing-masing bidang
usaha tersebut adalah sebagai berikut:
48

1. Perusahaan sewa guna usaha (leasing company) adalah badan usaha


yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang
modal baik secara finance lease maupun operating lease untuk
digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu
berdasarkan pembayaran secara berkala.
2. Perusahaan modal ventura (venture capital company) adalah badan
usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk penyertaan
modal ke dalam suatu perusahaan yang menerima bantuan
pembiayaan (investee company) untuk jangka waktu tertentu.
3. Perusahaan perdagangan surat berharga (securities company) adalah
badan usaha yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk
perdagangan surat berharga.
4. Perusahaan anjak piutang (factoring company) adalah badan usaha
yang melakukan usaha pembiayaan dalam bentuk pembelian dan/atau
pengalihan serta pengurusan piutang atau tagihan jangka pendek
suatu perusahaan dan transaksi perdagangan dalam atau luar negeri.
5. Perusahaan kartu kredit (credit card company) adalah badan usaha
yang melakukan usaha pembiayaan untuk membeli barang dan jasa
dengan menggunakan kartu kredit.
6. Perusahaan pembiayaan konsumen (consumers finance company)
adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan pengadaan barang
untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau
berkala.
Dari pengertian-pengertian di atas, maka dalam bab ini akan
diuraikan bagaimana aspek hukum dari tiap-tiap lembaga pembiayaan
yang terjadi dalam praktik bisnis sehari-hari, juga kaitannya dengan
aspek ekonomi maupun aspek-aspek lainnya yang terkait erat, kecuali
mengenai lembaga perdagangan surat berharga, karena telah banyak
buku yang membahasnya.

B. Sewa Guna Usaha (Leasing)


1. Pengertian
Kata leasing sebenarnya berasal dari kata to lease (bahasa
Inggris) yang berarti menyewakan. Leasing sebagai suatu jenis
kegiatan dapat dikatakan masih baru atau muda dalam kegiatan yang
dilakukan di Indonesia, yaitu baru dipakai pada tahun 1974. Di
Indonesia sendiri sudah ada beberapa perusahaan leasing yang
statusnya sebagai suatu lembaga keuangan non-bank.
Fungsi leasing sebenarnya hampir setingkat dengan bank, yaitu
sebagai suatu sumber pembiayaan jangka menengah (dari satu tahun
hingga lima tahun). Ditinjau dari segi perekonomian nasional, leasing
telah memperkenalkan suatu metode baru untuk memperoleh capital
equipment dan menambah modal kerja.
Sampai saat ini belum ada undang-undang khusus yang
mengatur tentang leasing. Namun demikian, praktik bisnis leasing
telah berkembang dengan cepat, dan untuk mengantisipasi kebutuhan
49

agar secara hukum mempunyai pegangan yang jelas dan pasti, pada
tahun 1971 telah dikeluarkan Surat KeputusanBersama Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan
Koperasi Nomor : Kep-122/MK/IV/l/1974; No. 32/M/SK/2/1974; dan
No. 30/Kpb/I/1974, tertanggal 7 Pebruari 1974.
Menurut keputusan bersama di atas, yang dimaksudkan dengan
leasing adalah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk
penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu peru-
sahaan, untuk suatu jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran
secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan
tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau
memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang
telah disepakati bersama.
Seperti diuraikan di atas, kegiatan leasing dapat dilakukan
secara finance maupun secara operating lease. Finance Lease artinya
kegiatan sewa guna usaha di mana penyewa guna usaha pada akhir
masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna
usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama. Sedangkan
operating lease adalah kegiatan sewa guna usaha di mana penyewa
guna usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna
usaha.
Sebelum memulai kegiatan usaha di bidang leasing ini akan
didahului dengan suatu kontrak antara pihak penyewa dan pihak yang
menyewa. Dengan demikian dalam usaha leasing tentunya terdapat
beberapa pihak yang bersangkutan dalam perjanjian l leasing yang
terdiri dari:
a. Pihak yang disebut lessor, yaitu pihak yang menyewakan barang,
dapat terdiri dari beberapa perusahaan. Pihak penyewa ini disebut
juga sebagai investor, equity-holders, owner-participants atau
trus-ters-ouners.
b. Pihak yang disebut lesee, yaitu pihak yang menikmati barang
tersebut dengan membayar sewa guna yang mempunyai hak opsi.
c. Pihak kreditur atau lender atau disebut juga debt-holders atas loan
participants dalam transaksi leasing. Mereka umumnya terdiri dari
bank, insurance company (perusahaan asuransi), trusts, yayasan.
d. Pihak supplier, yaitu penjual dan pemilik barang yang disewakan.
Supplier ini dapat terdiri dari perusahaan (manufacturers) yang
berada di dalam negeri atau yang mempunyai kantor pusat di luar
negeri.
2. Manfaat Leasing
Apabila seorang pengusaha tidak mempunyai modal atau hanya
mempunyai modal terbatas, tetapi ingin mendirikan sebuah pabrik, ia
dapat memperolehnya dengan cara leasing. Misalnya, pengusaha
tersebut hanya mempunyai tanah dan bangunan, maka untuk membeli
mesinnya, pengusaha tersebut dapat melakukannya dengan cara
leasing atau menyewa dari suatu leasing company. Karena leasing
company merupakan salah satu sumber dana bagi pengusaha yang
50

membutuhkan barang modal, selama jangka waktu tertentu dengan


membayar sewa.
Dengan leasing, perusahaan dapat memperoleh barang modal
dengan jalan sewa beli, yang dapat diangsur setiap bulan atau setiap
triwulan kepada lessor. Usaha pembiayaan melalui leasing ini dapat
diperoleh dalam waktu yang cepat. Bagi perusahaan yang modalnya
lernah, dengan perjanjian leasing akan memberikan kesempatan pada
perusahaan tersebut untuk bernafas dan perusahaan tersebut juga
dapat memiliki barang modal yang bersangkutan.
Bagi suatu perusahaan yang memerlukan sebagian barang
modal tersebut dalam suatu proses produksi yang secara tiba-tiba
tetapi tidak mempunyai dana tunai yang cukup, dapat mengadakan
perjanjian leasing untuk mengatasi masalahnya. Dengan perjanjian
leasing, suatu perusahaan akan terasa lebih menghemat dalam hal
pengeluaran dana tunai dibanding dengan membeli secara tunai.
Antara lesee dan lessor di dalam perjanjian leasing dapat
mengadakan kesepakatan dalam hal menetapkan besar dan banyaknya
angsuran sesuai dengan kemampuan lesse. Dalam hal kredit, besar dan
banyaknya angsuran ditenrukan oleh kreditor, berdasarkan perkiraan
dari hal analisis bank.
Dalam Hukum Perdata, ada 3 (tiga) bentuk ikatan yang mirip
satu sama lainnya, namun berlainan dalam hukumnya, yaitu antara
sewa guna usaha (leasing), sewa beli, dan jual beli secara angsuran.
Ketiga bentuk ikatan ini berbeda satu dengan yang lainnya, yang dapat
diuraikan sebagai berikut.
Baik perjanjian sewa beli maupun jual beli dengan angsuran
ketentuannya belum diatur dalam KUHPerdata. Maka dengan
Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 34/KP/II/ 80
tanggal 1 Pebruari 1980 tentang Perizinan Kegiatan Usaha Sewa Beli
(hire purchase), jual beli dengan angsuran (credit sale) dan sewa
(renting), diberikan definisi-definisi sebagai berikut.
a. Sewa beli (hire purchase) adalah : jual beli barang di mana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara memperhitungkan
setiap pembayaran yang dilakukan oleh pembcli yang dengan
pelunasan atas harga barang yang telah disepakati bersama dan
yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang
tersebut baru beralih dari penjual kepada pembeli setelah jumlah
harganya dibayar lunas oleh pembcli kepada penjual.
b. Jual beli secara angsuran adalah jual beli di mana penjual
melaksanakan penjualan barang dengan cara menerima pelunasan
pembayaran yang dilakukan oleh pembeli dalam beberapa kali
angsuran atas harga barang yang telah disepakati bersama dan
yang diikat dalam suatu perjanjian, serta hak milik atas barang
tersebut bcralih dari penjual kepada pembeli pada saat barangnya
diserahkan oleh penjual kepada pembeli.
Persamaan antara perjanjian leasing dengan kedua perjanjian
di atas adalah bahwa pada perjanjian leasing, lesee membayar imbalan
jasa kepada lessor dalam waktu tertentu. Sedangkan pada perjanjian
51

sewa beli dan jual beli dengan angsuran, pembeli membayar angsuran
kepada penjual dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian.

Sedangkan perbedaannya dapat diuraikan sebagai berikut :

Perjanjian Sewa Beli dan Jual


Perjanjian Leasing
Beli Secara Angsuran
1 Lessor adalah pihak yang 1 Harga pembelian barang
menyediakan dana dan sebagian kadang-kadang
membiayai seluruh pembelian dibayar oleh pembeli. Jadi
barang penjual tidak membiayai
tersebut. seluruh harga beli barang yang
bersangkutan.
2 Masa leasing biasanya 2 Jangka waktu tidak
ditetapkan sesuai dengan memperhatikan baik pada
perkiraan umur; kegunaan perkiraan umur kegunaan
barang. barang maupun kemampuan
pembeli mengangsur harga
barang.
3 Pada akhir masa leasing, lesse 3 Pada akhir masa perjanjian,
dapat menggunakan hak hak milik atas barang dengan
opsinya untuk membeli barang sendirinya beralih pada
yang bersangkutan, sehingga pembeli. Hak milik atas
hak milik atas barang beralih barang beralih dari penjual
pada lesse pada pembeli pada saat
barang diserahkan oleh
penjual.

3. Mekanisme Leasing
Untuk mengetahui bagaimana mekanisme penggunaan lembaga
leasing, secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:
a. leasing bebas memiiih dan menentukan peralatan yang
dibutuhkan, mengadakan penawaran harga dan menunjuk supplier
peralatan dimaksud.
b. Setelah lesse mengisi formulir permohonan lesse, mengirimkan
kepada lessor disertai dokumen pelengkap.
c. Lessor mengevaluasi kelayakan kredit dan memutuskan untuk
memberikan fasilitas lease dengan syarat dan kondisi yang
disetujui lesse (lama kontrak pembayaran sewa lease), maka
kontrak lease dapat ditandatangani.
d. Pada saat yang sama, lease dapat menandatangani kontrak asuransi
untuk peralatan yang dilease dengan perusahaan asuransi yang
disetujui leasor, seperti yang tercantum pada kontrak lease. Antara
lessor dan perusahaan asuransi terjalin perjanjian kontrak utama.
e. Kontrak pembelian peralatan akan ditandatangani lessor dengan
supplier peralatan tersebut.
52

Gambar 1 : Skema Prosedur Mekanisme Lieasing

f. Supplier dapat mengirim peralatan yang dilease ke lokasi lesse,


Untuk mempertahankan dan memelihara kondisi peralatan
tersebut, supplier akan menandatangani perjanjian pelayanan
purna jual.
g. Lease menandatangani tanda terima peralatan dan menyerahkan
kepada supplier.
h. Supplier menyerahkan surat tanda terima (yang diterima dari
lesse), bukti pemilikan dan pemindahan pemilikan kepada lessor
i. Lessor membayar harga peralatan yang dilease kepada supplier
j. Lesse membayar sewa lease secara periodik sesuai denganjadwal
pembayaran yang telah ditentukan kontrak lease.
4. Pertumbuhan Usaha Leasing
Pada hakikatnya leasing merupakan salah satu cara
pembiayaan yang mirip dengan kredit bank. Hanya bedanya leasing
memberikan bantuan dalam bentuk barang modal, sedangkan bank
memberikan bantuan berupa permodalan.
Leasing sudah berkembang di banyak negara dengan amat
bervariasi. Bank-bank besar di luar negeri maupun di dalam negeri
dengan jeli telah melibatkan diri dalam bisnis ini. Sebagian besar
dilakukan oleh pihak bank, baik secara patungan maupun pemilikan
total leasing bahkan telah berkembang menjadi bisnis transnasional.
Di Indonesia, bisnis leasing masih terbilang baru. Pemerintah baru
pertama kali membuka izin bisnis ini pada tahun 1974, dengan
mengundang para investor menanamkan modalnya. Waktu itupun
jenis usaha ini belum dikenal luas, kecuai lembaga ini baru dikenal
terbatas pada masyarakat pengusaha yang menghadapi masalah
pemenuhan kebutuhan usahanya.
Bila dilihat dan prospek kebutuhan pembangunan, usaha
leasing jelas dapat berkembang pesat dan memainkan peranan aktif
sebagai lembaga keuangan baru, yang khusus bergerak dalam
penyediaan barang modal, sebagai alternatif sumber pembiayaan
53

suatu perusahaan bisnis dan mempunyai harapan untuk memenuhi


kebutuhan pasarnya yang luas.
Pada pokoknya ada dua jenis leasing, yaitu direct financing
lease (penyewaan untuk pembiayaan langsung) dan operasing lease
(penyewaan untuk operasi). Pada direct financing lease, perusahaan
leasing bertindak sebagai lembaga keuangan dan memilih penyewa
untuk menggunakan peralatan khusus tertentu yang dimilikinya.
Perusahaan itu membayar keseluruhan pembiayaan. Modal kemudian
akan dilunasi secara angsuran oleh penyewa dalam waktu sewa yang
telah ditentukan.
Suatu perusahaan leasing yang murni mernanfaatkan dana dari
lembaga-lembaga keuangan (bank) yang seterusnya membeli sebagian
peralatan (assets) yang didaftarkan sebagai pemiliknya, kemudian
disewakan kepada penyewa. Dalam kontrak dapat sah jika perusahaan
leasing mengajukan asset yang dimilikinya kepada penyewa dan
disetujui penggunaannya. Jika kontrak berakhir dan peralatan telah
habis masa berlakunya, penyewa mempunyai hak pilih untuk
membelinya atau dapat juga barang itu mereka kembalikan lagi
kepada perusahaan leasing.
Sedangkan operating lease, merupakan penyewaan yang tidak
memenuhi kriteria untuk pembiayaan langsung. Umumnya berlaku
dalam jangka pendek. Pemakai barang diperbolehkan menggunakan
suatu barang modal selama sebagian waktu dari masa barang itu
berlaku. Bentuk operating lease hampir sama dengan cara populer
dalam penjual barang industri. Pada cara ini pengaturan penjualan
kepada langganan menggunakan cara menyewa (leasing) yang
frekuensi keduanya bertalian satu sama lain dalam bentuk credit
finance. Metode ini antara lain dipakai dalam sistem penjualan
XEROX, mesin-mesin komputer, dan lain-lainnya.
Potensi bisnis leasing di Indonesia sudah lama diamati oleh
para penanam modal. Sebelum tahun 1980 jumlah perusahaan leasing
yang beroperasi 5 buah. Kemudian melalui kampanye penggalakan
usaha di bidang leasing oleh pemerintah, animo investor terus
meningkat. Tahun 1988 di Jakarta saja sudah tercatat 83 buah
perusahaan leasing yang sudah menjalankan operasinya, bahkan
sudah dibentuk Assosiasi Leasing Indonesia (ALI).
a. Sistem leasing memberikan peluang menarik bagi pengusaha,
karena mempunyai keunggulan-keunggulan sebagai alternatif baru
bagi pembiayaan di luar sistem perbankan, misalnya: Proses
pengadaan peralatan modal relatif lebih cepat dan tidak
memerlukan jaminan kebendaan, prosedurnya sederhana dan tidak
ada keharusan melakukan studi kelayakan yang memakan waktu
lama.
b. Pengadaan kebutuhan modal alat-alat berat dan mahal dengan
teknologi tinggi amat meringankan terhadap kebutuhan cashflow-
nya mengingat sistem pembayaran cicilan berjangka panjang.
c. Posisi cashflow perusahaan akan lebih baik dan biaya-biaya modal
menjadi lebih murah dan menarik.
54

d. Perencanaan keuangan perusahaan lebih mudah dan sederhana.


Batasan perbedaan usaha leasing dengan lembaga keuangan
bank atau non-bank sebenarnya jelas. Pada leasing hanya
menyediakan barang modal, sedangkan yang lainnya menyediakan
dana untuk membeli barang modal tersebut. Fungsi itu sekaligiis
menentukan daerah operasi masing-masing jenis usaha. Namun dalam
praktik sering garis pemlsah daerah operasi itu dilanggar,
Lembaga leasing lebih banyak bersifat perantara dalam
mencarikan barang-barang modal dan bukan penyedia dana. Jika
suatu perusahaan leasing juga menyediakan pinjaman dana, berarti
sudah melanggar daerah operasi lembaga keuangan lainnya. Dan ini
banyak terjadi dalam praktik, sehingga seringkali dikritik sebagai
usaha leasing yang tidak murni lagi.
Misalnya saja penyediaan dana untuk membeli gedung, mobil,
dan peralatan kantor atau barang-barang modal lainnya, perusahaan
leasing telah bertindak sebagai kreditur dan bukan sebagai lessor.
Selama ini ada semacam dualisme, di mana kegiatan operasional lea-
sing diawasi oleh Departemen Keuangan, sementara dalam hal
penarikan dana dari luar negeri diawasi oleh Bank Indonesia.
Dualisme ini dapat menyulitkan kalau timbul permasalahan. Kalau
statusnya dipertegas menjadi LKBB, maka pengawasan semata-mata
akan dilakukan oleh BI.
Catatan : Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, maka tidak dikenal lagi istilah LKBB.
Oleh karena menurut jenisnya bank hanya dapat
dikategorikan atas dua jenis, yaitu Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat.

C. Modal Ventura (Venture Capital)


Dengan banyaknya paket deregulasi yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah dewasa ini, pada dasarnya mempunyai inti untuk
memudahkan dan memberi peluang untuk mengembangkan
perekonomian dan memacu pertumbuhan ekonomi dalam segala sektor
terutama sektor-sektor yang menurut pengamatan pemerintah cukup
produktif untuk dimanfaatkan.
Salah satu dari sekian banyak deregulasi adalah munculnya satu
lembaga pembiayaan baru dengan nama modal ventura (venture capital).
Modal Ventura merupakan salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan
oleh suatu perusahaan, karena seperti diketahui bahwa pemerintah sudah
membuat suatu komitmen dan rencana yang menyangkut pembangunan
jangka panjang (PJPT tahap II), yang selalu dan senantiasa berupa
mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi. Hal ini sejalan
dengan asas trilogi pembangunan yang menekankan kepada
pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas nasional, karenanya segala
sarana penyediaan dana terus diperluas termasuk mengoptimalkan
peranan dan lembaga pembiayaan.
55

1. Pengertian dan Landasan Hukum


Secara resmi, lembaga modal ventura baru ada di Indonesia
sejak adanya Keppres No. 61 Tahun 1988 tentang Lembaga
Pembiayaan, yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata
Cara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan. Ketentuan di atas merupakan
landasan berpijak yang cukup kuat dan merupakan satu-satunya
peraturan pelaksanaan yang ada bagi para pemodal (invester) yang
ingin melakukan usaha atau bisnisnya.
Yang dimaksud dengan perusahaan modal ventura (venture
capital company) adalah suatu badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu
perusahaan pasangan usaha (invester company) untuk jangka waktu
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan pasangan
usaha (PPU) adalah suatu perusahaan yang memperoleh pembiayaan
dalam bentuk penyertaan modal dari perusahaan modal ventura
(PMV).
Lembaga modal ventura juga merupakan suatu alternatif
lembaga pembiayaan lain di luar bank. Dikatakan demikian karena
memang lembaga ini di dalam memberikan dananya bagi pihak lain
berbeda dengan bank. Lembaga modal ventura tidak memerlukan
benda jaminan (collateral) untuk dapat mengeluarkan dananya.
Sedangkan bank dalam memberikan kreditnya mewajibkan
nasabahnya untuk memberikan jaminan yang diperlukan sebagai
suatu syarat yang wajib.
Seperti diketahui tidak semua pihak dapat dan selalu mudah
menyediakan benda jaminan (collateral) untuk bisa mendapatkan
dananya di dalam mengembangkan usahanya terlebih para pengusaha
menengah dan kecil.
Jenis pembiayaan yang dilakukan modal ventura dapat
dibedakan atas 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut :
a. Conventional Loan. Pinjaman jenis ini bisa diberikan tanpa
jaminan dan bisa pula disertai dengan jaminan.
b. Conditional Loan. Dalam model ini, modal ventura turut
menikmati laba, bila proyek yang dibiayai menanggung
keuntungun dan turut pula menanggung rugi seandainya
perusahaan yang dibiayai ternyata mengalami kerugian.
c. Equity-Investment. Yaitu modal ventura yang menyertakan saham
untuk mendukung kegiatan perusahuan yang baru berdiri dan
antara modal ventura dengan perusahaan yang dibiayai terjalin
kerja sama di bidang manajemen.
Untuk Indonesia tampaknya saat ini belum ada perbedaan yang
jelas dari ketiga jenis modal ventura tersebut. Selain itu jangka
waktunyapun masih dibatasi sampai 10 tahun saja.
Hubungan antara perusahaan modal ventura dan perusahaan
pasangan usaha ini sebenarnya juga merupakan hubungan
kepercayaan (trust) antara kedua belah pihak. Kepercayaan ini
56

merupakan landasan yang kuat dari segala kerja sama untuk mencapai
rujuan yang diinginkan.
2. Potensial Usaha
Jika kita teliti dan simak keputusan Menteri Keuangan tersebut,
terlihat bahwa hanya sedikit diatur mengenai kegiatan usaha modal
ventura. Disebutkan bahwa kegiatan modal ventura hanya dilakukan
dalam bentuk penyertaan modal ke dalam suatu perusahaan pasangan
usaha untuk hal-hal seperti :
a. pengembangan suatu penemuan baru;
b. pengembangan perusahaan yang pada tahap awal usahanya
mengalami kesulitan dana;
c. membantu perusahaan yang berada pada tahap pengembangan;
d. membantu perusahaan yang berada dalam tahap kemunduran
usaha;
e. pengembangan proyek penelitian dan rekayasa;
f. pengembangan pelbagai penggunaan teknologi baru dan alih
teknologi baik dan dalam maupun luar negeri;
g. membantu pengalihan pemilikan perusahaan.
Selain itu di dalam menyertakan modalnya ke dalam
perusahaan pasangan usahanya, perusahaan modal ventura
melakukannya hanya bersifat sementara yaitu dalam jangka waktu
tidak boleh melebihi batas 10 (sepuluh) tahun.
Apabila perusahaan modal ventura tersebut ingin melakukan
penarikan kembali penyertaan modalnya dalam segala bentuknya,
haruslah melaporkannya kepada Menteri Keuangan selambat-
lambatnya tiga bulan setelah dilaksanakan.
Selain perusahaan swasta nasional dan koperasi, pihak bank
pun dapat menjalankan usaha di bidang modal ventura dengan
terlebih dahulu membentuk perusahaan pembiayaan yang bergerak di
bidang modal ventura dan telah memperoleh izin usaha dari Menteri
Keuangan. Sedangkan mengenai jumlah modal disetor atau disimpan
pokok dan simpanan wajib, diterapkan sebesar 3 miliar (untuk
perusahaan swasta dan koperasi) dan 10 miliar (untuk perusahaan
patungan Indonesia dan asing).
Agar bisa diperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan, maka
surat permohonan yang ditujukan ke Menteri Keuangan dilampiri
dengan berikut ini :
a. Akte pendirian perusahaan yang telah disahkan menurut ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Bukti pelunasan modal disetor (untuk PT) atau simpanan pokpk
dan simpanan wajib (untuk koperasi) pada salah satu bank di
Indonesia.
c. Daftar susunan pengurus perusahaan-perusahaan pembiayaan.
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
e. Neraca pembukuan.
f. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia
bagi perusahaan patungan yang di dalamnya tercermin arah
Indonesianisasi dalam pemilikan saham.
57

Lembaga modal ventura sudah dikenal dan dipraktikkan di


Amerika Serikat sejak tahun 1910-an, sedangkan di Indonesia baru
dikenal sejak tahun 1970-an dengan didirikannya PT Bina Usaha In-
donesia (PT Banana). Perusahaan milik pemerintah ini sengaja
diciptakan untuk membantu dan membina dunia usaha, khususnya
usaha-usaha yang potensial tetapi kokurangan dana.
Sebagai contoh, misalkan seseorang memiliki sebuah usaha
yang menghasilkan produk bermutu, laku dijual, memiliki prospek
yarg cerah ke depan, dikelola dengan manajemen yang baik, tapi dana
pengelolaannya tidak memadai, maka perusahaan modal ventura
mampu memberikan kontribusinya terhadap usaha tersebut tanpa
perlu adanya jaminan yang diminta. Atau bila seseorang memiliki
suatu penemuan yang cemerlang dan orisinil di bidang iptek,
menghasilkan produk yang dibutuhkan oleh masyarakat, layak dan
jelas pemasarannya, tetapi tidak punya dana yang cukup untuk
merealisasi penemuan tersebut, maka institusi mod.il venture patut
dilirik untuk mendapatkannya.
58

BAB 6
PERIZINAN DUNIA BISNIS

Bagian ini menjelaskan :


1. Arti dan makna perizinan dalam dunia terns
2. Macam-macam perizinan yang sering timbul dalam dunia bisnis
3. Akibat-akibat hukum yang terjadi karena adanya perizinan

A. Pendahuluan
Peranan perizinan dalam era pembangunan yang terus-menerus
berlangsung ternyata amatlah penting untuk terus ditingkatkan, apalagi
dalam era globalisasi dan industrialisasi. Kita melihat bahwa semua
pembangunan yang dijalankan tiada maksud lain selain untuk membawa
perubahan dan pertumbuhan yang fundamental di mana sektor industri
akan menjadi dominan yang ditunjang oleh sektor pertanian yang
tangguh.
Demikian pula dalam dunia bisnis atau dunia usaha, perizinan jelas
memegang peranan yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan perizinan
dan pertumbuhan dunia usaha bisa dikatakan merupakan dua sisi mata
uang yang saling berkaitan/berhadapan. Dunia usaha tidak akan
berkembang tanpa adanya izin yang jelas menurut hukum, dan izin
berfungsi karena dunia usaha membutuhkannya. Dengan perkataan lain,
dunia usaha akan berkembang bila izin yang diberikan mempunyai satu
kekuatan yang pasti, sehingga perizinan dan dunia usaha dapat bekerja
dalam kondisi yang nyaman.
Dalam proses industrialisasi sekarang ini, minimal ada 5 (lima)
peran yang menjadi prioritas agar dunia bisnis dapat berkembang dengan
cepat dan mantap, yakni Pertama, untuk meningkatkan laju pertumbuhan
ekonomi; Kedua, meningkatkan lapangan kerja dan nilai tambah; Ketiga,
meningkatkan ekspor; Keempat, menghemat devisa; Kelima, mendorong
penggunaan teknologi.
Masalah perizinan dan pemberian kemudahan dalam berusaha
harus mampu menciptakan iklim usaha yang bergairah. Kebijaksanaan
deregulasi dan debirokratisasi yang dilakukan terhadap dunia usaha
merupakan salah satu cara, maka salah satu langkah yang cukup
menunjang adalah dengan diberlakukannya Surat Izin Usaha
Perdagangan (SIUP) seperti yang diingatkan dalam UU No. 3 Tahun 1982
tentang Wajib Daftar Perusahaan.
Masalah perizinan seringkali menjadi sorotan masyarakat bila
dirasa mengalami kesulitan dan hambatan dalam mengembangkan
usahanya. Seperti diketahui, prinsip dasar yang perlu dipegang dalam
masalah perizinan dan kewajiban dunia usaha adalah bahwa dalam setiap
kegiatan usaha diperlukan adanya izin. Dengan adanya izin, seseorang
atau badan hukum dapat mempunyai serangkaian hak dan kewajiban
yang membuatnya dapat menikmati dan mengambil manfaat untuk
keuntungan usahanya. Namun demikian pemerintah dapat pula
mengambil langkah pertimbangan keterbatasan dan jasa kestabilan untuk
59

memelihara persaingan usaha yang sehat dengan membatasi pemberian


izin usaha. Di sini tampak adanya hukum permintaan dan penawaran
(supply and demand) berlaku.
Dengan adanya keterbatasan peluang yang diberikan berikut
pertimbangan kestabilan ekonomi untuk menjaga terselenggaranya
persaingan yang sehat, maka penerbitan izin dibatasi, walaupun
permintaan izin terus meningkat. Hal ini berakibat harga izin pun
meningkat.
Akan lebih parah lagi dengan izin tersebut prospek keuntungan
yang akan diperoleh cukup besar dan meyakinkan, apalagi jika dengan
pemberian izin dapat diciptakan kedudukan monopoli/oligopoli bagi
pemilik izin tersebut. Sebagai kompensasi atas izin yang diperoleh karena
kenikmatan bagi keuntungan usahanya, kaum usahawan akan dibebani
dengan seperangkat kewajiban seperti pemenuhan persyaratan yang
harus dipatuhi, persyaratan menyampaikan informasi, dan persyaratan
laporan tentang kemajuan usahanya, dan seterusnya.

B. Masalah Pengaturan Perizinan


Masalah perizinan dalam dunia bisnis, bisa meliputi perizinan di
sektor pemerintahan umum, sektor agraria/pertanahan, sektor
perindustrian, sektor usaha/perdagangan, sektor pariwisata, sektor
pekerjaan umum, sektor pertanian, sektor kesehatan, sektor sosial dan
sektor-sektor lainnya.
Banyaknya perizinan di berbagai sektor yang harus dimiliki oleh
setiap pengusaha sebelum memulai menjalankan bisnisnya, tentu tidak
dapat diperinci satu per satu dalam bab ini. Yang ingin dikemukakan
adalah beberapa perizinan yang dipandang perlu diketahui dan hanya
yang terkait dengan bab-bab sebelumnya.
Begitu peliknya masalah perizinan, pemerintah telah
mengeluarkan peraturan, yaitu Inpres No. 5 Tahun 1984 tanggal 11 April
1984 tentang Pedoman Penyelenggaraan dan Pengendalian Perizinan, di
bidang usaha. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan
sistem perizinan yang begitu banyak berikut pelaksanaannya.
Dikeluarkannya pedoman ini dimaksudkan guna menunjang
berhasilnya pelaksanaan pembanbunan yang bertumpu pada trilogi
pembangunan, yaitu pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, stabilitas
nasional yang sehat dan dinamis, serta pemerataan pembangunan dan
hasil-hasilnya. Lampiran Inpres No. 5 Tahun 1984 terdiri dari 9
(sembilan) pasal, dan terdapat 7 (tujuh) hal penting yang menjadi tolok
ukur setiap perizinan yang akan dikeluarkan, yaitu :
1. Perlunya dikurangi jumlah perizinan yang harus dimiliki pengusaha,
sehingga yang benar-benar diperlukan saja diberikan izin.
2. Perlu disederhanakan persyaratan administratif dengan mengurangi
jumlah dan menghindari pengurangan persyaratan yang sealur dalam
rangkaian perizinan yang bersangkutan.
3. Perlu diberikan jangka waktu yang cukup panjang, sehingga dapat
memberi jaminan bagi kepastian dan kelangsungan usaha.
60

4. Perlu dikurangi bila perlu meringankan dan menghilangkan sama


sekali biaya pengurusan perizinan.
5. Perlu disederhanakan tata cara pelaporan, sehingga satu laporan dapat
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan berbagai
departemen/instansi pemerintah, baik di pusat maupun di daerah.
6. Perlu dilakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perizinan di
bidang usaha, dan ditekankan agar penerima izin dapat diwajibkan
untuk memberikan laporan paling banyak satu kali setiap satu
semester (enam bulan).
7. Perlu dilakukan penerbitan terhadap pelaksanaan perizinan yang
menyangkut personel sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
kepegawaian, termasuk tuntutan ganti rugi, disiplin pegawai negeri
dan tuntutan pidana.
Dalam masalah perizinan dunia bisnis, secara umum dapat
dikatakan ada 4 (empat) masalah yang terkait, yaitu sebagai berikut :
1. Adanya bentuk dan jenis izin yang diselenggarakan umumnya secara
bertahap, yang diawali dengan letter of intent untuk mendapatkan izin
prinsip yang kemudian dikenal dengan adanya izin sementara, izin
tetap, dan izin perluasan.
2. Adanya badan hukum yang dipersyaratkan dalam perizinan sehingga
terdapat berbagai kemungkinan badan hukum berdasar-kan ketentuan
hukum yang berbeda seperti, KUHD, UUPMA, UUPMDN, dan
sebagainya.
3. Adanya bidang kegiatan industri yang dalam pemberian izinnya
dibedakan antara bidang yang dikelola oleh departemen-departemen
seperti perindustrian, pertanian, pertambangan dan energi, serta
departemen-departemen lainnya.
4. Di bidang perdagangan pada dasarnya izin diterbitkan oleh
departemen perdagangan, namun dipersyaratkan pula untuk
mendapat rekomendasi dan departemen terkait, sehingga jalurnya
menjadi lebih panjang.
Berkaitan dengan masalah perizinan di atas, maka untuk
memperoleh izin itu sendiri, biasanya diperlukan persyaratan yang selalu
mengacu pada 5 (lima) hal seperti;
1. syarat untuk mendapat izin;
2. bobot kegiatan usaha yang dikaitkan dengan izin yang diberikan;
3. berbagai persyaratan penopangnya yang terkait dengan dampak
pemberian izin bersangkutan;
4. berbagai hak dan manfaat yang dapat digunakan oleh penerima izin;
dan
5. penerima izin diharuskan untuk memenuhi kewajiban, sesuai dengan
pengarahan pemerintah, misalnya untuk peningkatan ekspor,
penyediaan lapangan kerja, menjadi bapak angkat, mendorong
golongan ekonomi lemah, koperasi, pencegahan pencemaran, dan
sebagainya.
Dalam lapangan perizinan, seringkali ditemui adanya masalah
yaitu antara pihak pemberi izin yang membebani berbagai persyaratan
dan kewajiban serta sangsi yang diberikan oleh pemerintah, dengan pihak
61

yang meminta izin yang harus memenuhi syarat dan memenuhi


kewajiban.
Sebagaimana diketaliui banyak izin yang memberi peluang bagi
pemilik izin untuk mendapatkan keuntungan besar. Misalnya izin menjadi
pcnyalur produk tertentu pada pemerintah atau izin mendiri-kan badan
usaha tertentu yang dapat memungkinkan mendapatkan kedudukan
monopoli/olipologi. Untungnya, tidak semua bidang usaha diperlukan
adanya izin.
Menurut Keppres No. 53 Tahun 1988, disebutkan adanya beberapa
kegiatan usaha yang tidak dikenakan ketentuan wajib daftar perusahaan,
yaitu sebagai berikut;
1. Usaha atau kegiatan yang bergerak di luar bidang perekonomian dan
sifat serta tujuannya tidak semata-mata mencari keuntungan dan/atau
laba.
2. Bidang-bidang usaha seperti :
a. pendidikan formal dalam segala jenis dan jenjang yang
diselenggarakan oleh siapa pun;
b. pendidikan non-formal yang dibina oleh pemerintah dan
diselenggarakan bersama oleh masyarakat serta dalam bentuk
badan usaha;
c. notaris;
d. penasihat hukum;
e. praktik perorangan dokter dan praktik berkelompok dokter;
f. rumah sakit;
g. klinik pengobatan.

C. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)


Surat Izin Usaha Perdagangan atau disingkat SIUP adalah surat
Izin untuk dapat melaksanakan kegiatan perdagangan. Dasar hukum
untuk mendapatkan SIUP adalah UU No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib
Daftar Perusahaan, yang menyebutkan bahwa suatu perusahaan wajib
didaftarkan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah perusahaan mulai
menjalankan usahanya.
Untuk melaksanakan ketentuan di atas, khususnya ketentuan
mengenai izin, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Perdagangan
Nomor: 1458/Kp/XII/84 tanggal 19 Desember 1984 tentang Surat Izin
Usaha Perdagangan (SIUP). Dalam Keputusan Menteri tersebut
disebutkan bahwa setiap perusahaan yang melakukan kegiatan
perdagangan diwajibkan memiliki SIUP. Untuk memperoleh SIUP ini,
perusahaan terlebih dahulu wajib mengajukan Surat Permohonan Izin
(SPI) yang dapat diperoleh secara cuma-cuma pada kantor Wilayah
Departemen Perdagangan atau Kantor Perdagangan setempat.
Ketentuan perusahaan yang harus memiliki SIUP dibedakan atas 3
(tiga) kelompok, yaitu :
1. Perusahaan kecil, yaitu perusahaan yang mempunyai modal dan
kekayaan bersih (netto) di bawah Rp 25.000.000;
62

2. Perusahaan menengah, yaitu perusahaan yang mempunyai modal dan


kekayaan bersih (netto) Rp 25.000.000 sampai dengan Rp
100.000.000.
3. Perusahaan besar, yaitu perusahaan yang mempunyai modal dan
kekayaan bersih di atas Rp 100.000.000.
SIUP perusahaan kecil dan menengah mempunyai masa berlaku
yang tidak terbatas selama perusahaan yang memilikinya masih
menjalankan kegiatan usahanya. Sedangkan SIUP perusahaan besar
mempunyai masa berlaku lima tahun dan dapat diperpanjang.
Sekalipun SIUP merupakan persyaratan pokok, ada perusahaan-
perusahaan yang dibebaskan dari kewajihan untuk memiliki SIUP, yang
terdiri dari:
1. Cabang/perwakilan perusahaan yang dalam menjalankan kegiatan
perdagangan mempergunakan SIUP kantor pusat perusahaan.
2. Perusahaan yang telah mendapat izin usaha dari departemen teknis
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan tidak
melakukan kegiatan perdagangan.
3. Perusahaan produksi yang didirikan dalam rangka Undang-Undang
No. 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.
4. Perusahaan Jawatan (Perjan) dan Perusahaan Umum (Perum); dan
5. Perusahan kecil perorangan.
Yang dimaksud dengan perusahan kecil perorangan adalah
perusahaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. tidak merupakan badan hukum atau persekutuan;
2. diurus, dijalankan atau dikelola oleh pemiliknya atau dengan
mempekerjakan anggota keluarganya yang terdekat;
3. keuntungan perusahaan benar-benar hanya sekadar untuk memenuhi
keperluan nafkah hidup sehari-hari pemiliknya; dan
4. setiap usaha dagang berkeliling, pedagang pinggir jalan atau pedagang
kaki lima.
Perusahaan yang memiliki SIUP mempunyai 3 (tiga) kewajiban
yang harus dilaksanakan, yaitu sebagai berikut:
1. Wajib lapor apabila tidak melakukan lagi kegiatan perdagangan atau
menutup perusahaan disertai dengan pengembalian SIUP, mengenai
pembukuan cabang/perwakilan perusahaan, atau mengenai
penghentian kegiatan atau penutupan cabang/ perwakilan perusahaan,
2. Wajib memberikan data/informasi mengenai kegiatan usahanya
apabila diperlukan oleh menteri atau pejabat yang bewenang, dan
3. Wajib membayar uang jaminan dan biaya administrasi perusahaan
sesuai ketentuan yang berlaku.

D. Perizinan Lembaga Pembiayaan


Beberapa harian yang terbit di Jakarta, seringkali menyajikan
informasi bisnis yang berkaitan dengan lembaga pembiayaan. Oleh
karenanya masalah ataupun tata cara pendirian dan perizinan lembaga
pembiayaan ini cukup menarik untuk dikaji.
Ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pendirian dan
perizinan mengenai lembaga pembiayaan ini telah diatur dalam
63

Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/KMK.013/1988. Untuk


memperoleh izin usaha dan lembaga pembiayaan di atas, terlebih dahulu
harus meminta izin dengan suatu permohonan kepada Menteri Keuangan
dengan melampirkan hal-hal sebagai berikut :
1. Akta pendirian perusahaan pembiayaan yang telah disahkan menurut
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Bukti pelunasan modal disetor untuk perseroan terbatas atau
simpanan pokok dan simpanan wajib untuk koperasi, pada salah satu
bank di Indonesia.
3. Contoh perjanjian pembiayaan yang akan digunakan.
4. Daftar susunan pengurus perusahaan pembiayaan.
5. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan.
6. Neraca pembukuan perusahaan pembiayaan.
7. Perjanjian usaha patungan antara pihak asing dan pihak Indonesia,
bagi perusahaan pembiayaan patungan yang di dalamnya tercermin
arah Indonesianisasi dalam pemilikan saham.
Pemberian izin usaha ini diberikan selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap dan izin
usaha akan berlaku selama perusahaan masih menjalankan usahanya.
Pemberian izin usaha untuk lembaga pembiayaan ternyata tidak
dikenakan biaya.
Apabila lembaga pembiayaan melakukan kegiatan yang
bertentangan dengan bidang usahanya, jelas akan mengakibatkan sanksi
dengan mencabut izin yang diberikan. Penghentian atau pencabutan izin
usaha tersebut dilakukan setelah diberikan peringatan secara tertulis
kepada yang bersangkutan sebanyak 3 kali berturut-turut dengan
tenggang waktu 1 bulan dan telah dilakukan pembekuan kegiatan atas izin
usaha untuk jangka waktu 6 bulan sejak pernyataan terakhir.

E. Perizinan di Bidang Industri


Perizinan di bidang industri telah diatur secara khusus dengan
Peraturan Pemerintah No. 13 tahun 1987 tentang Izin Usaha Industri, di
mana pada penjelasannya disebutkan bahwa dalam rangka pencapaian
pertumbuhan industri, aspek perizinan akan ikut memainkan peranan
yang amat penting. Dengan menyadari akan peranannya, aspek perizinan
harus mampu memberikan motivasi yang dapat mendorong dan menarik
minat para investor untuk menanamkan modalnya di sektor industri.
Industri yang dimaksud menurut UU No. 5 tahun 1984 tentang
Perindustrian adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah,
bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang
dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan
rancang bangun dan perekayasaan industri.
Perizinan memang merupakan salah satu alat kebijaksanaan yang
apabila dipergunakan secara efisien akan merupakan alat yang efektif
untuk menggerakkan perkembangan dunia usaha di bidang yang benar-
benar mendukung pembangunan. Karenanya sistem perizinan dapat
dimanfaatkan antara lain untuk menghindari pemborosan atau
penyalahgunaan dana.
64

Ada 2 (dua) macam izin usaha industri, yaitu sebagai berikut:


1. Izin Tetap, yaitu izin usaha industri yang diberikan secara definitif
kepada perusahaan industri yang telah berproduksi secara komersial.
Izin tetap ini berlaku untuk seterusnya selama perusahaan industri
yang bersangkutan berproduksi.
2. Izin Perluasan, yaitu izin usaha industri yang diberikan kepada
perusahaan industri yang melakukan penambahan kapasitas dari/ atau
jenis produk atau komiditi yang telah diizinkan.
Perusahaan yang telah memperoleh izin usaha industri, dibebani 3
(tiga) kewajiban, yaitu sebagai berikut:
1. Melaksanakan upaya keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam
serta pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap
lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang dilakukan.
2. Melaksanakan upaya yang menyangkut keamanan dan keselamatan
alat, proses serta hasil produksinya termasuk pengangkutannya, dan
keselamatan kerja.
3. Melaksanakan upaya hubungan dan kerja sama antar para pengusaha
nasional untuk mewujudkan keterkaitan yang saling menguntungkan.
Izin usaha industri inipun dapat dicabut apabila perusahaan
melakukan hal-hal seperti:
1. melakukan perluasan, tanpa memiliki izin perluasan;
2. tidak menyampaikan informasi atau informasi tersebut tidak
mengandung kebenaran;
3. melakukan pemindahtanganan hak dan pemindahan lokasi usaha
industri tanpa persetujuan dari Menteri Perindustrian atau menteri
lainnya yang mempunyai kewenangan pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan industri;
4. tidak dipenuhinya ketentuan dalam perizinan.
Berdasarkan Keppres No. 16 tahun 1987 tentang Penyederhanaan
Pemberian Izin Usaha Industri, kewenangan pengaturan, pembinaan, dan
pengembangan termasuk pemberian izin usaha industri atas kelompok
industri, jenis industri, dan komoditi industri, adalah sesuai dengan
kewenangan masing-masing sektor, yaitu sektor pertanian, pertambangan
dan energi, perindustrian, dan kesehatan.
Lingkup kewenangan menteri dalam masing-masing sektor sesuai
dengan ketentuan dalam PP No. 17 Tahun 1986, yaitu sebagai berikut :
1. Kewenangan Menteri Pertambangan dan Energi:
a. penyulingan minyak bumi;
b. pencairan gas alam;
c. pengolahan bahan gahan bukan logam tertentu;
d. pengolahan bijih timah menjadi ingot timah;
e. pengolahan bauksit menjadi alumina;
f. pengolahan bijih logam mulia menjadi logam mulia;
g. pengolahan bijih tembaga menjadi ingot tembaga;
h. pengolahan bahan galian logam mulia lainnya menjadi ingot
logam;
i. pengolahan bijih nikel menjadi ingot nekel.
65

2. Kewenangan Menteri Pertanian:


a. gula pasir dari tebu;
b. ekstraksi kelapa sawit;
c. penggilingan padi dan penyosohan beras;
d. pengolahan ikan di laut;
e. teh hitam dan teh hijau;
f. vaksin, serta dan bahan-bahan diagnostika biologis untuk hewan.
3. Kewenangan Menteri Kesehatan :Industri bahan obat dan obat jadi
termasuk obat asli Indonesia,
4. Kewenangan Menteri Perindustrian : Industri lainnya termasuk
industri kecil, kecuali yang tersebut dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c di atas.

F. Perizinan Menurut Undang-Undang Gangguan (UUG)


Salah satu izin yang sering menjadi problema dunia usaha adalah
mengenai izin Undang-Undang Gangguan. yang diatur dalam Statsblaad
tahun 1926 Nomor 226. Izin UUG sebetulnya bertujuan untuk
memberikan perlindungan kepada warga/penghuni di sekitar lokasi suatu
usaha. Sebab tidak jarang terjadi suatu tempat usaha ditutup oleh
pemerintah (pemerintah daerah) hanya karena usaha tersebut diprotes
oleh warga masyarakat sekitarnya. Masyarakat tidak pernah memberikan
persetujuan kepada pengelola tempat usaha tersebut.
Masih banyak masyarakat yang belum mengetahui adanya izin
UUG ini. Bahwa pemikiran usaha yang dijalankan berskala kecil, tidak
diperlukan adanya izin, adalah tidak benar. Izin UUG ini sangat
diperlukan untuk kelangsungan usaha secara aman. Hal ini tampak jelas
bila kita berusaha di wilayah DKI Jakarta.
Khusus di wilayah DKI Jakarta, Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 1641 Tahun
1987 tanggal 28 Agustus 1987 yang menugaskan seluruh walikota untuk
melaksanakan pemberian izin UUG.
Jenis-jenis usaha yang diberikan izin UUG oleh walikota, terdiri
atas 54 jenis usaha atau dapat dibagi atas 3 (tiga) kelompok besar, yaitu:
1. Kelompok usaha dagang, bengkel, warung, yang terdiri dari;
1) dagang oli eceran;
2) dagang eceran minyak tanah, gas elpiji;
3) tempat penyimpanan/garasi/pool kendaraan angkutan jenis IV dan
kendaraan roda empat maksimal 10 buah;
4) bengkel las;
5) dagang bahan kimia dan tempat penyimpanannya;
6) dagang karbit dan tempat penyimpanannya;
7) bengkel sepeda, sepeda motor;
8) warung nasi, mi bakso, sate, dan sejenisnya;
9) perbaikan/ servis aki dan strum aki, dinamo, termasuk meng-
gulung dinamo;
10) tempat pemotongan/penampunganunggas/ayam;
11) penjualan dan tempat penampungan kertas, besi, kayu, plastik dan
barang bekas lainnya;
66

12) usaha rumah tangga dalam bidang perdagangan kebutuhan sehari-


hari;
13) peternakan unggas, sapi perah/ kerbau, dan sejenisnya;
14) tempat penimbunan tulang;
15) pengepakan barang-barang, perusahaan ekspedisi, sortasi, dan
sejenisnya.
2. Kelompok Industri Rumah Tangga, terdiri dari:
1) membuat tahu, tempe, dan lainnya;
2) bengkel bubut dengan jumlah karyawan tidak lebih dari lima
orang;
3) percetakan pres tangan dengan jumlah mesin tidak lebih dari tiga
buah;
4) membuat air aki dan tempat penyimpanannya;
5) membuat cat, minyak cat, tenner, plinkut dan tempat
penyimpanannya;
6) penggilingan bakso/daging, mie;
7) membuat barang dari bahan kulit;
8) membuat kecap/taoge dan taoco;
9) pengecoran timah, alumunium dan sejenisnya;
10) membuat bataco, ubin, teraso, loster dan sejenisnya yang
dikerjakan dengan tangan manusia;
11) membuat krupuk;
12) pengalengan cat, oli, alkohol, dan sejenisnya;
13) membuat jok motor, mobil, dan sejenisnya;
14) pengeringan, penyamakan, dan penyimpanan kulit;
15) kue-kue makanan kecil dan sejenisnya;
16) obat nyamuk;
17) karet busa;
18) lem sepatu dan karet;
19) membuat transformator;
20) membuat kompor dengan tenaga manual;
21) tepung bahan-bahankue/roti;
22) membuat essence;
23) alat-alat sembahyang antara lain dupa/hio/ him dan tikar;
24) petimati;
25) membuat sabun colek;
26) kantong plastik;
27) membuat pupuk kompos.
3. Jenis usaha lain terdiri dari:
1) penjahit pakaian jadi;
2) pemangkas rambut;
3) salon kecantikan;
4) bahan bangunan;
5) tempat penampungan jenazah;
6) bengkel mobil dengan luas lokasi maksimal 200 m2
7) terasi;
8) membuat balon;
9) tempat pengeringan ikan;
67

10) tempat pencucian mobil;


11) bengkel knalpot; dan
12) usaha olahan udang.
Mengenai pengurusan izin UUG untuk jenis perusahaan yang lebih
besar selain 54 jenis usaha di atas, izinnya dikeluarkan oleh Pemerintah
DKI sendiri. Sedangkan ketentuan dan persyaratan hampir tidak jauh
berbeda.
Untuk mendapatkan izin UUG, pemohon berkewajiban mengisi
formulir yang telah disediakan dengan dilampiri beberapa jenis dokumen,
seperti: gambar situasi; gambar ruangan; surat bukti pemilikan tanah dan
bangunan atau persetujuan pemilik; Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
dan Izin Penggunaan Bangunan (IPB); akta badan hukum (bila
diperlukan); tanda bukti WNI dan ganti nama (bila diperlukan);
rekomendasi analisis dampak lingkungan (Amdal) bila perlu; surat
persetujuan tetangga; akta jual beli perusahaan/
penyerahan/hibah/warisan (bila diperlukan); Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP); Pengantar dari lurah setempat yang diketahui camat.
Setelah berkas permohonan lengkap diisi dan dilampiri dengan
dokumen yang diperlukan, berkas diajukan kepada Kepala Bagian
Ketertiban Pemda Jakarta. Izin UUG dapat diberikan selambat-lambatnya
35 hari sejak permohonan diajukan. Menurut ketentuan bahwa izin UUG
harus didaftarkan ulang setiap 5 (lima) tahun sekali.
68

BAB 7
KEPAILITAN

Bagian ini menjelaskan


1) Pengertian dan dasar hukum mengenai kepailitan.
2) Prosedur pengajuan kepailitan.
3) Tentang Kurator.
4) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
5) Tentang Pengadilan Niaga.

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan


Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak dijelaskan apa yang
dimaksud dengan kepailitan tetapi hanya menyebutkan bahwa debitur
yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit
dengan putusan pengadilan baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permintaan seorang atau lebih krediturnya.
Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa kepailitan
berarti suatu keadaan debitur berhenti membayar, baik karena keadaan
tidak mampu membayar atau karena keadaan tidak mau membayar.
Debitur sebagai pihak yang dinyatakan pailit akan kehilangan hak
penguasaan atas harta bendanya dan akan diserahkan penguasaannya
kepada kurator dengan pengawasan seorang hakim pengadilan yang
ditunjuk.
Para pihak yang dapat mengajukan kepailitan ada beberapa, yaitu
sebagai berikut :
1. atas permohonan debitur sendiri;
2. atas permintaan seorang atau lebih kreditur;
3. oleh kejaksaan untuk kepentingan umum;
4. Bank Indonesia dalam hal debitur merupakan bank;
5. Oleh Badan Pengawas Pasar Modal dalam hal debitur merupakan
perusahaan efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring. dan Penjaminan,
Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
6. Menteri Keuangan dalam hal debitur Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Masalah kepailitan telah diatur sejak tahun 1905 dengan
dikeluarkannya Undang-Undang tentang Kepailitan yaitu Staatsblad
Tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348.
Namun dengan adanya gejolak moneter di Indonesia sejak pertengahan
Tahun 1997 yang telah memberi pengaruh yang tidak menguntungkan
ekonomi nasional dan menimbulkan kesulitan dunia usaha untuk
meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajibannya
kepada kreditur, maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Kepailitan (Perpu 1 Tahun 1998) yang kemudian ditetapkan lebih
lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 yang diundangkan
69

pada tanggal 9 September 1998. Selanjutnya, sejak tahun 2004 berlaku


UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Dalam penjelasan undang-undang tersebut antara lain disebutkan
bahwa upaya penyelesaian masalah utang piutang dunia usaha perlu
segera diberi kerangka hukumnya agar perusahaan-perusahaan dapat
segera beroperasi secara normal. Dengan demikian selain aspek ekonomi,
berjalannya kembali kegiatan ekonomi akan mengurangi tekanan sosial
yang disebabkan oleh hilangnya banyak lapangan dan kesempatan kerja.

B. Prosedur Pengajuan Kepailitan


Para pihak yang dapat mengajukan kepailitan sebagaimana telah
disebut di atas, diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
daerah kedudukan hukum debitur. Apabila debitur telah meninggalkan
wilayah RI, maka pengadilan yang berwenang adalah pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitur,
sedangkan dalam hal debitur tidak bertempat kedudukan dalam wilayah
RI tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah RI, diajukan
ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum
kantor debitur menjalankan profesi atau usahanya.
Lazimnya permohonan kepailitan dimaksud diajukan oleh seorang
penasihat hukum yang memiliki izin praktik. Penulis melihat ketentuan
yang mengharuskan memakai jasa seorang Penasihat Hukum yang
memiliki izin praktik tampaknya agar proses dapat berjalan lebih lancar
dan cepat selesai karena pada umumnya dalam praktik sehari-hari yang
terjadi adalah pernyataan pailit suatu badan hukum dengan pihak
kreditur yang juga badan hukum, misalnya bank atau perusahaan-
perusahaan yang cukup besar.
Pengadilan yang dimaksud dalam undang-undang kepailitan
adalah Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum.
Ditegaskan lagi dalam Pasal 281 Perpu 1 Tahun 1998 bahwa untuk
pertama kali Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat Tentang Pengadilan Niaga ini akan diuraikan lebih lanjut pada
bagian selanjutnya.
Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum
ditetapkan, kreditur atau kejaksaan, bank Indonesia, Bapepam atau
Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan
untuk :
1. Meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan
debitur; atau
2. menunjuk kurator sementara untuk :
a. mengawasi pengelolaan usaha debitur; dan
b. mengawasi pembayaran kepada kreditur, pengadilan atau
penggunaan kekayaan debitur yang dalam rangka kepailitan
memerlukan perse tujuan kurator.
Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit dapat
dilakukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Dengan kata lain
terhadap putusan pengadilan di tingkat pertama tidak dapat diajukan
70

upaya hukum banding, tetapi langsung upaya kasasi. Putusan atas


permohonan kasasi diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
Selanjutnya terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung.
Dalam putusan pernyataan pailit, maka akan diangkat seorang
hakim pengawas yang ditunjuk dari hakim pengadilan dan kurator yang
akan bertugas untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan harta
pailit meskipun terhadap putusan tersebut diajukan kasasi atau
peninjauan kembali. Dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari
sejak tanggal putusan pernyataan pailit, kurator akan mengumumkan
dalam Berita Negara RI serta dalam sekurang-kurangnya 2 (dua) surat
kabar harian yang ditetapkan oleh hakim pengawas hal-hal sebagai
berikut :
1. ikhtisar putusan pernyataan pailit;
2. idenritas, alamat, dan pekerjaan debitur;
3. identitas, alamat, dan pekerjaan anggota panitia sementara kreditur
apabila telah ditunjuk;
4. tempat dan waktu penyelenggaraan rapat pertama kreditur; dan
5. identitas hakim pengawas.

C. Akibat Hukum Pernyataan Pailit


Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada
saat pernyataan pailit itu dilakukan beserta semua kekayaan yang
diperoleh selama kepailitan. Dengan pernyataan pailit, debitur pailit demi
hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus kekayaannya
yang dimasukkan dalam kepailitan, terhitung sejak tanggal kepailitan itu.
Pasal 25 Undang-Undang Kepailitan menegaskan bahwa semua perikatan
debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit tidak dapat
dibayar dan harta pailit kecuali bila perikatan-perikatan tersebut
mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Oleh karenanya
gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta
kekayaan debitur pailit harus diajukan terhadap atau oleh kurator. Begitu
pula segala gugatan hukum dengan tujuan untuk memenuhi perikatan
dari harta pailit selama dalam kepailitan, walaupun diajukan kepada
debitur pailit sendiri, hanya dapat diajukan dengan laporan atau
pencocokannya.
Akibat hukum lain yang juga amat penting dari pernyataan pailit
adalah seperti yang ditegaskan dalam Pasal 41, yaitu bahwa untuk
kepentingan harta pailit dapat dimintakan pembatalan atas segala
perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan
kepentingan kreditur, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit
ditetapkan. Pembatalan inipun hanya dapat dilakukan apabila dapat
dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum tersebut dilakukan debitur
dan pihak dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau
sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditur, kecuali perbuatan hukum yang
dilakukan debitur wajib dilakukan berdasarkan perjanjian dan atau
71

karena undang-undang, misalnya kewajiban pembayaran pajak. Bahkan


atas hibah yang dilakukan debitur pun dapat dimintakan pembatalannya
apabila kurator dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut
dilakukan debitur mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan
tersebut akan mengakibatkan kemgian bagi kreditur (Pasal 43).
Khusus terhadap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak
gadai atau hak agunan atau kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi
haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Yang dimaksud dengan
pemegang hak tanggungan adalah pemegang hipotik yang berhak untuk
segera mengeksekusi haknya sebagaimana diperjanjikan sesuai Pasal 1178
KUHPerdata dan berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 20 Ayat (1) UU Nomor 4
tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. atas Tanah beserta benda-benda
yang berkaitan dengan tanah. Pemegang hak tersebut di atas tentunya
wajib memberikan pertanggungjawaban kepada kurator tentang basil
penjualan barang yang menjadi agunan dan menyerahkan kepada kurator
sisa hasil penjualan setelah dikurangi jumlah utang, bunga dan biaya.
Apabila hasil penjualan dimaksud tidak cukup untuk melunasi piutang
yang bersangkutan, maka pemegang hak tersebut dapat mengajukan
tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai
kreditur konkuren, setelah mengajukan permintaan pencocokan utang.
Akibat hukum lain adalah bila sudah ada putusan pernyataan
pailit, maka akan berakibat bahwa segala pelaksanaan Pengadilan
terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitur yang telah dimulai sebelum
kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu
putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera
Debitur. Bahkan, semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus
dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan
pencoretannya, dan Debitur yang sedang dalam penahanan harus
dilepaskan seketika setelah putusan pernyataan pailit diucapkan (Pasal
31).
Demikian pula apabila terjadi suatu tuntutan hukum di Pengadilan
yang diajukan terhadap Debitur sejauh bertujuan untuk momperoleh
pemenuhan kewajiban dari harta pailit dan perkaranya sedang berjalan,
maka tuntutan hukum tersebut gugur demi hukum dengan diucapkannya
putusan pernyataan pailit terhadap debitur.
Dalam hal hibah juga demikian, bahwa hibah yang dilakukan
debitur dapat dimintakan pembatalan kepada Pengadilan, apabila kurator
dapat membuktikan bahwa pada saat hibah tersebut dilakukan Debitur
mengetahui atau patut mengetahui bahwa tindakan tersebut akan
mengakibatkan kerugian bagi Kreditor. Penjelasannya (Pasal 43)
menegaskan sebaliknya, yaitu Kurator tidak perlu membuktikan bahwa
penerima hibah tersebut mengetahui atau patut mengetahui bahwa
tindakan tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi Kreditor.
Lalu bagaimana halnya atas pembayaran suatu utang yang sudah
dapat ditagih? Hal demikian ditegaskan dalam Pasal 45-nya bahwa
pembayaran suatu utang yang sudah dapat ditagih hanya dapat
dibatalkan apabila dibuktikan bahwa penerima pembayaran mengetahui
bahwa permohonan pernyataan pailit Debitur sudah didaftarkan, atau
72

dalam hal pembayaran tersebut merupakan akibat dari persekongkolan


antara Debitur dan kreditur dengan maksud menguntungkan Kreditur
tersebut melebihi Kreditur lainnya.
Akibat hukum lainnya adalah adanya hak retensi yang diatur dalam
Pasal 61, yaitu hak kreditur untuk menahan barang-barang kepunyaan
debitur hingga dibayarnya suatu utang tidak kehilangan hak untuk
menahan barang dengan diucapkanny perrnyataan pailit. Apabila kurator
bermaksud untuk menebus barang-barang tersobut, maka kurator wajib
melunasi utang debitur pailit tersebut terlebih dahulu.
Pada prinsipnya kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada
saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang
diperoleh selama kepailitan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak
berlaku terhadap harta-harta seperti dimaksud dalam Pasal 22, yaitu :
1. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh Debitur
sehubungan dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis
yang dipergunakan untuk kesehatan, ternpat tidur dan
perlengkapannya yang dipergunakan oleh Debitur dan keluarganya,
dan bahan makanan untuk 30 (tiga puluh) hari bagi Debitur dan
keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
2. segala sesuatu yang diperoleh Debitur dari pekerjaannya sendiri
sebagai penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun,
uang tunggu, atau uang tunjangan, sejauh yang ditentukan oleh Hakim
Pengawas; atau
3. uang yang diberikan kepada Debitur untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.
73

HUKUM
dalam
BiSNIS
74

DAFTAR ISI

BAB 1 BENTUK-BENTUK BADAN USAHA ............................................... 1


D. Pendahuluan................................................................................ 1
E. Badan Hukum ............................................................................. 2
3. Pendirian PT .......................................................................... 3
4. Direksi dan Komisaris ........................................................... 4
F. Bukan Badan Hukum.................................................................. 7
5. Firma dan CV ......................................................................... 7
6. Macam-macam CV ................................................................ 10
7. Koperasi .................................................................................. 11
8. Yayasan (Stichting) ............................................................... 18

BAB 2 KONTRAK DAN PENYELESAIANNYA ........................................... 21


F. Pendahuluan................................................................................ 21
G. Sahnya Suatu Kontrak ................................................................ 21
H. Kebebasan Berkontrak dan Masalahnya ................................... 24
3. Hukum Kebiasaan ................................................................. 24
4. Masalah Kontrak.................................................................... 25
I. Anatomi Suatu Kontrak .............................................................. 26
J. Penyelesaian Sengketa Kontrak ................................................. 28

BAB 3 HUBUNGAN-HUBUNGAN BISNIS .................................................. 29


F. Pendahuluan................................................................................ 29
G. Keagenan/Distributor................................................................. 29
H. Franchising (Hak Monopoli) ..................................................... 32
I. Penggabungan Perseroan Terbatas (Joint Venture) ............. 36
J. Bangun Guna Serah
(Build, Operate and Transfer = BOT)...................................... 38

BAB 4 HAK MILIK INTELEKTUAL ............................................................. 39


A. Pendahuluan................................................................................ 39

BAB 5 LEMBAGA-LEMBAGA PEMBIAYAAN ............................................ 47


D. Pendahuluan ............................................................................... 47
E. Sewa Guna Usaha (Leasing) ...................................................... 48
5. Pengertian .............................................................................. 48
6. Manfaat Leasing .................................................................... 49
7. Mekanisme Leasing............................................................... 51
8. Pertumbuhan Usaha Leasing................................................ 52
F. Modal Ventura (Venture Capital) ............................................. 54
3. Pengertian dan Landasan Hukum ....................................... 55
4. Potensial Usaha ..................................................................... 56
75

BAB 6 PERIZINAN DUNIA BISNIS ............................................................. 58


G. Pendahuluan................................................................................ 58
H. Masalah Pengaturan Perizinan .................................................. 59
I. Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) ...................................... 61
J. Perizinan Lembaga Pembiayaan ................................................ 62
K. Perizinan di Bidang Industri ...................................................... 63
L. Perizinan Menurut Undang-Undang Gangguan
(UUG) ........................................................................................... 65

BAB 7 KEPAILITAN...................................................................................... 68
D. Pengertian dan Dasar Hukum Kepailitan ................................. 68
E. Prosedur Pengajuan Kepailitan ................................................. 69
F. Akibat Hukum Pernyataan Pailit ............................................... 70

Anda mungkin juga menyukai