Anda di halaman 1dari 20

MATERI VI

SIFAT-SIFAT KHUSUS HUKUM


ACARA PTUN (Sessi 2)
 Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
(HAPTUN) adalah Peraturan Hukum yang
mengatur proses penyelesaian perkara TUN
melalui pengadilan (hakim), sejak pengajuan
gugatan sampai keluarnya putusan
pengadilan (hakim).

 HAPTUN disebut juga hukum formil yang


berfungsi mempertahankan berlakunya HTUN
(HAN) sebagai hukum materil.
1. Subjek/pihak
HAPTUN : badan/Pejabat TUN lawan warga masyarakat
Hukum Acara Perdata : warga masyarakat lawan warga
masyarakat
2. Pangkal/sengketa
HAPTUN : ketetapan tertulis pejabat
Hukum Acara Perdata : kepentingan perdata warga
masyarakat
3. Tindakan
HAPTUN : perbuatan melawan hukum penguasa
Hukum Acara Perdata : perbuatan melawan hukum
masyarakat/wanprestasi
4. Peran Hakim
HAPTUN : Hakim aktif
Hukum Acara Perdata : Hakim pasif
5. Rekonvensi
HAPTUN : Tidak dikenal
Hukum Acara Perdata : Dikenal, diatur
 Terdapat perbedaan mendasar antara
Peradilan Tata Usaha Negara dan peradilan
lainnya terutama dalam hal hukum acaranya.
 Secara hukum acara diartikan sebagai hukum
formil yang bertujuan untuk
mempertahankan hukum materiil.
 Mengenai hukum formilnya juga diatur dalam
UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004
jo UU No. 51 Tahun 2009 mulai dari Pasal 53
hingga pasal 132.
a. Adanya tenggang waktu mengajukan gugatan
(Pasal 55).
b. Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam
petitum gugatan penggugat (Pasal 53).
c. Adanya proses dismisal (rapat permusyawaratan)
oleh Ketua PTUN (Pasal 62).
d. Dilakukannya pemeriksaan persiapan sebelum
diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum
(Pasal 63).
e. Peranan hakim TUN yang aktif (dominus litis)
untuk mencari kebenaran materiil (Pasal 63, 80,
85, 95 dan 103)
f. Kedudukan yang tidak seimbang antara penggugat
dan tergugat, oleh karenanya kompensasi perlu
diberikan karena kedudukan penggugat diasumsikan
dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan
tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
g. Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian
bebas yang terbatas ( Pasal 107).
h. Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda
pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
i. Putusan hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita
yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan
penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya
reformatio in peius (membawa penggugat pada
keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam
perundang-undangan.
j. Putusan hakim TUN yang bersifat Erga Omnes,
artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi
para pihak yang bersengketa, akan tetapi berlaku
juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
k. Berlakunya asas audit alteram partem, yaitu para
pihak yang terlibat dalam sengketa harus di dengar
penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Selain sifat-sifat khusus, perlu ditegaskan bahwa
peratun pada dasarnya menegakkan hukum publik,
yaitu hukum administrasi sebagaimana ditegakkan
dalam UU Peratun Pasal 47, bahwa sengketa termasuk
lingkup kewenangan Peratun adalah sengketa Tata
Usaha Negara. Hal ini ditegaskan dalam rumusan
tentang KTUN (Pasal 1 angka 9) yang mensyaratkan
juga tindakan Hukum Tata Usaha untuk adanya KTUN.
A. Pemeriksaan Administrasi
Pemeriksaan administrasi dilakukan oleh
Kepaniteraan, merupakan tahap pertama untuk
memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar
serta mendapat nomor register yaitu setelah
Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya
dengan membayar uang panjar perkara. (Pasal 62 ayat
1 huruf b UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun
2004).

B. Proses Dismissal
Setelah melakukan administrasi, ketua melakukan
proses dismissal, berupa proses untuk meneliti apakah
gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan
atau tidak. (Pasal 62 UU No. 5 Tahun 1986)
Pemeriksaan dismissal dilakukan secara singkat dalam
rapat permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat
menunjuk seorang hakim sebagai repourteur
(raportir).

C. Pemeriksaan Persiapan
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim
wajib mengadakan pemeriksaan persiapan untuk
melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan
pemeriksaan persiapan adalah untuk mematangkan
perkara. Segala sesuatu yang akan dilakukan yang
akan dilakukan dari jalan pemeriksaan tersebut
diserahkan kearifan dan kebijaksanaan ketua majelis.
(Pasal 63 UU No. 5 Tahun 1986).
D. Persidangan
Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara
biasa dan acara cepat (pasal 98 dan 99 UU No. 5 Tahun
1986 jo UU No. 9 Tahun 2004). Ketua Majelis/Hakim
memerintahkan Panitera memanggil para pihak untuk
pemeriksaan persidangan dengan surat tercatat.
Jangka waktu pemanggilan dan hari sidang tidak boleh
kurang dari 6 hari, kecuali dalam hal sengketa
tersebut harus diperiksan dengan acara cepat.
1. Pembacaan Gugatan (Pasal 74 ayat 1 UU No. 5
Tahun 1986)
Pemeriksaan sengketa dimulai dengan membacakan isi
gugatan dan surat yang memuat jawabannya oleh
Hakim Ketua Sidang, dan jika tidak ada surat jawaban,
pihak tergugat diberi kesempatan untuk mengajukan
jawabannya.

2. Pembacaan Jawaban (Pasal 74 Ayat 1 Undang –


Undang Nomor 5 Tahun 1986)
Pemeriksaan sengketa dimulai dengan
membacakan isi gugatan dan surat yang memuat
jawabannya oleh Hakim Ketua Sidang, dan jika
tidak ada surat jawaban, pihak tergugat diberi
kesempatan untuk mengajukan jawabannya.
3. Replik (Pasal 75 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1986)
Penggugat dapat mengubah alasan yang mendasari
gugatan hanya sampai dengan replik, asal disertai
alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan tergugat, dan hal tersebut harus
saksaina oleh Hakim.

4. Duplik (Pasal 75 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 5


Tahun 1986)
Tergugat dapat mengubah alasan yang mendasari
jawabannya hanya sampai dengan duplik, asal
disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan
kepentingan penggugat dan hal tersebut harus
dipertimbangkan dengan seksama oleh Hakim.
5. Pembuktian (Pasal 100 Undang – Undang Nomor 5
Tahun 1986)
Yang dapat dijadikan Alat bukti dalam Persidangan
adalah sebagai berikut :
 surat atau tulisan;
 keterangan ahli;
 keterangan saksi;
 pengakuan para pihak;
 pengetahuan Hakim.
5. Kesimpulan (Pasal 97 Ayat 1 Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986)
Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah
diselesaikan, kedua belah pihak diberi kesempatan
untuk mengemukakan pendapat yang terakhir
berupa kesimpulan masing-masing.

6. Putusan (Pasal 108 Undang – Undang Nomor 5 Tahun


1986)
Pembacaan PUTUSAN (Pasal 108 Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986)
 Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum.
 Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak
tidak hadir pada waktu putusan Pengadilan
diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang
salinan putusan itu disampaikan dengan surat
tercatat kepada yang bersangkutan.
 Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berakibat putusan
Pengadilan tidak sah dan tidak mempunyai
kekuatan hukum.
Materi Muatan Putusan (Pasal 109 Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986)
Kepala Putusan Yang Berbunyi : ”DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
 Nama, Jabatan, Kewarganegaraan, Tempat
Kediaman, atau Tempat Kedudukan Para Pihak
Yang Bersengketa.
 Ringkasan Gugatan dan Jawaban Tergugat Yang
Jelas.
 Pertimbangan dan Penilaian Setiap Bukti Yang
Diajukan dan Hal Yang Terjadi Dalam Persidangan
Selama Sengketa Itu Diperiksa.
Materi Muatan Putusan (Pasal 109 Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986)
Kepala Putusan Yang Berbunyi : ”DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
 Alasan Hukum Yang Menjadi Dasar Putusan.
 Amar Putusan Tentang Sengketa Dan Biaya
Perkara.
 Hari, Tanggal Putusan, Nama Hakim Yang
Memutus, Nama Panitera, Serta Keterangan
Tentang Hadir atau Tidak Hadirnya Para Pihak.
Amar Putusan (Pasal 97 ayat 7 Undang – Undang
Nomor 5 Tahun 1986)
 Gugatan Ditolak;
 Gugatan Dikabulkan;
 Gugatan Tidak Diterima;
 Gugatan Gugur.

Anda mungkin juga menyukai