Anda di halaman 1dari 114

HUKUM ACARA

Tata Usaha Negara


S1 /2022
BUKU BACAAN

• [B1] Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang


peradilan Tata Usaha Negara, Buku I dan II, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1993
• [B2] Marbun; 2011, Peradilan Administrasi Negara dan
Upaya Administratif di Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta
• [B3] Ali Abdullah M; 2015; Teori dan Praktek Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara Pasca Amandemen, Prenada
Media, Jakarta.
• [B4] R. Wiyono, 2008; Hukum Acara Peradilan Tata Usaha
Negara, Sinar Grafika, Jakarta
• [B5] W. Riawan Tjandra; 2011, Teori dan Praktek Peradilan
Tata Usaha Negara, Cahaya Utama Pustaka, Yogyakarta
Materi ke I

PENGERTIAN
 Pengertian Tentang HAN
PENGADILAN
PERADILAN
KWASI PERADILAN / UPAYA
ADMINISRASI
PERADILAN ADMINISTRASI
Pasal 1 UU No. 51 Tahun 2009
HUKUM ADMINISTRASI
NEGARA:

• Hukum Administrasi
Negara dalam arti
MATERIIL

• Hukum Administrasi
Negara dalam arti FORMIL
HAN dalam arti meteriil HAN dalam arti formil
Pengertian semua peraturan yang semua peraturan yang mengatur
mengatur mengenai mengenai tata cara untuk
tindakan-tindakan menegakkan HAN Materiil.
pemerintah (eksekutif) dalam
menyelenggarakan sebuah
negara.
Tujuan Mewujudkan walfare stae Sebagai sarana kontrol terhadap
(negara kesejahteraan), penyelenggaraan negara oleh
negara tidak dalam posisi pemerintah, sehingga terhindar dari
“Nachtwakerstaat” “abuse of power”

Fungsi Memberikan kewenangan Memberikan hak untuk menggugat


“Freies Ermessen”  ke pengadilan kepada pihak yang
Mengeluarkan “Beschikking” merasa dirugikan oleh Beschikking
untuk kepentingan umum (KTUN) yang dikeluarkan oleh
(KTUN) pemerintah
PENGERTIAN PERADILAN ADMINISTRASI

1. PENGADILAN /RECHTBANK/COURT
(WADAH, INSTITUSI, BADAN)
2. PERADILAN/ RECHTPRAAK/ YUDICIARY (FUNGSI,
PROSES, CARA MENGADILI)

 PERADILAN ADMINISTRASI:

1. EIGENLIJKE ADMINISTRATIEVE
RECHTSPRAAK ( PERADILAN
ADMINISTRASI MURNI)
2. ADMINISTRATIEVE
BEROEP/ONEIGENLIJKE
ADMINISTRATIEVE RECHTSPRAAK / QUASI
RECHTSPRAAK(PERADILAN
ADMINISTRASI TIDAK MURNI)
ELEMEN PERADILAN:

1. ADA PERATURAN HUKUM


ABSTRAK
2. ADA PERSELISIHAN HUKUM
KONKRET
3. MINIMUM DUA FIHAK
4. ADA APARATUR YANG BERWENANG
5. ADA ATURAN HUKUM FORMIL
CIRI PERADILAN ADMINISTRASI:

1. YANG MEMUTUS HAKIM


2. PENELITIAN NYA
RECHTSMATIGE
3. BERSIFAT MENIADAKAN KTUN
4. BERDASAR FAKTA, KEADAAN
HUKUM PADA SAAT KTUN
DIBUAT
ADMINISTRATIEVE
BEROEP/ONEIGENLIJKE
ADMINISTRATIEVE RECHTSPRAAK /
QUASI RECHTSPRAAK (PERADILAN
ADMINISTRASI TIDAK MURNI)
CIRI:
1. YANG MEMUTUS APARAT BIROKRASI
2. PENELITIAN NYA RECHTSMATIGE
HEID DAN DOELMATIGEHEID?
3. BERSIFAT MENIADAKAN KTUN
4. BERDASAR FAKTA, KEADAAN HUKUM
PADA SAAT KTUN DIBUAT ATAU
SETELAHNYA
Sudut Pandang Pemeriksaan

Rechtmatigheid  Apa yang menjadi dasar hukum dikeluarkannya keputusan


( Asas yang TUN;
mengedepankan
aspek hukum yang  Apakah badan atau pejabat TUN pada saat mengeluarkan
diteapkan secara keputusan TUN memang mempunyai wewenang untuk
konkrit dalam hal tersebut?;
suatu kasusu-
kepastian hokum –
Prinsip keabsahan  Apakah tata cara (formalitas) pengeluaran suatu
artinya tindakan keputusan TUN telah ditempuh terlebih dahulu oleh
pemerintah harus badan atau pejabat TUN yang mengeluarkannya?
sesuai dengan
hokum positif)

Dolematigheid  Alasan mengapa suatu keputusan TUN dikeluarkan;


(prinsip
kemanfaatan,
kegunaan dan  Apa yang menjadi pertimbangan badan atau pejabat TUN
tujuan artinya dalam mengeluarkan keputusan TUN?
PASAL 1 uu NO. 51 Tahun 2009
1. Pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata
usaha negara di lingkungan peradilan tata usaha negara.
2. Hakim adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara dan hakim pada
pengadilan tinggi tata usaha negara.
3. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya
dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada
di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
6. Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-
undang.
7. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah.
8. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
9. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata
usaha negara yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum
bagi seseorang atau badan hukum perdata.
10. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau
pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat
tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan
12. Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
PERTEMUAN KE IX
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA
BIASA
PEMERIKASAAN DENGAN ARA BIASA

ACARA BIASA

SIDANG PEMERKS. PEMERKS.


DISMISAL PERSIAPAN DIMUKA SIDANG PUTUSAN

- GUGATAN
- JAW. GUG
- REPLIK
- DUPLIK
- PEMBUKTIAN
- KESIMPULAN
- RAAD KAMER
Pasal 63 uu No. 5 Tahun 1986
(1) Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang
kurang jelas.
(2) Dalam pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) Hakim:
a. wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki
gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam
jangka waktu tiga puluh hari;
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata usaha
Negara yang bersangkutan.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a penggugat belum menyempurnakan gugatan, maka hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima.
(4) Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
digunakan upaya hukum, tetapi dapat diajukan gugatan baru.
Pemeriksaan Persiapan

1. Memberi Nasehat penggugat untuk memperbaiki


surat Gugat

• Alasan dan dasar gugatan


• Keput instansi Banding
• Berhubungan pasal 60, 67

2. Minta penjelasan pejabat TUN

3. Waktu 30 hari  gugatan dapat dinyatakan


tidak diterima
4. Terhadap putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(3) tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat
diajukan gugatan baru.
SEMA NO II TAHUN 1991
III. PEMERIKSAAN PERSIAPAN (PASAL 63)
1. Tujuan pemeriksaan persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Segala
sesuatu yang akan dilakukan dari jalan pemeriksan persiapan tersebut
diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan Ketua Majelis. Oleh karena itu
dalam pemeriksaan persiapan memanggil Penggugat untuk menyempurnakan
gugatannya dan/atau tergugat untuk dimintai keterangan/penjelasan tentang
keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara terpisah (pasal 63
ayat 2a dan b).
2. a. Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang
tertutup untuk umum, tidak harus diruangan sidang, bahkan dapat pula
dilakukan di dalam kamar kerja Hakim tanpa memakai toga.
b. Pemeriksaan persiapan dapat pula dilakukan oleh Hakim Anggota yang
ditunjuk oleh Ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanan yang ditetapkan oleh
Ketua Majelis.
c. Maksud pasal 63 ayat (2) b tidak terbatas hanya kepada Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara yang digugat, tetapi boleh juga terhadap siapa saja yang
bersangkutan dengan data-data yang diperlukan untuk mematangkan perkara
itu.
3. a. Dalam tahap pemeriksaan maupun selama pemeriksaan di muka
persidangan yang terbuka untuk umum dapat dilakukan pemeriksaan
setempat.
b. Dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak perlu harus dilaksanakan
oleh Majelis lengkap, cukup salah seorang Hakim Anggota yang khusus
ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat. Penugasan tersebut
dituangkan dalam bentuk Penetapan.
c. Apabila dipandang perlu untuk menentukan dikabulkan atau tidaknya
permohonan penundaan itu, oleh Majelis yang bersangkutan dapat pula
mengadakan pemeriksaan setempat.
4. Majelis Hakim yang menangani suatu perkara berwenang sepenuhnya untuk
memberi putusannya terhadap perkara tersebut, termsuk pemberian putusan
menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet onvankelijk
verklaard) untuk seluruhnya atau sebagaian gugatan, meskipun perkara itu
telah lolos dari dismissal proses.
PEMERIKSAAN DIMUKA SIDANG
1. Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara
dengan tiga orang Hakim. ( Ps. 68)
2. Setiap orang wajib mentaati tata tertib (Ps 69)
3. Sidang terbuka untuk umum kecuali Majelis Hakim memandang
bahwa sengketa yang sedang disidangkan menyangkut ketertiban
umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan
tertutup untuk umum (Ps. 70)
4. Kewajiban hadir bagi penggugat atau kuasanya (Ps. 71)
5. Kewajiban Hadir bagi Tergugat atau Kuasanya (Ps 72 dan 73)
6. Pembacaan surat gugat dan jawaaban gugatan oleh Hakim Ketua
sidang (Ps. 74)
7. Perubahan alasan gugatan dan alasan jawaban gugatan (Ps. 75)
8. Pencabutan Gugatan (ps. 76)
9. Tentang Eksepsi (Pasal 77)
Intervensi (Ps 83)

Intervensi dapat dilakukan Maksimum


Sampai Pemeriksaan Persiapan.

Dapat dilakukan:
1. Atas Kehendak Hakim Voeging

2. Atas kehendak sendiri Tussenkomt


SANGKALAN (Ps. 84)
Pasal 84
(1) Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan
tindakan yang melampaui batas wewenangnya pemberi kuasa
dapat mengajukan sangkalan secara tertulis disertai tuntutan
agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan.
(2) Apabila sangkalan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dikabul-kan maka Hakim wajib menetapkan dalam putusan
yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa tindakan kuasa
itu dinyatakan batal dan selanjutnya dihapus dari berita acara
pemeriksaan.
(3) Putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibacakan dan
atau diberitahukan kepada para pihak yang bersangkutan.
Pasal 85
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dan apabila Hakim Ketua Sidang
memandang perlu ia dapat memerintahkan pemeriksaan terhadap
surat yang dipegang oleh Pejabat Tata Usaha Negara, atau pejabat
lain yang menyimpan surat, atau meminta penjelasan dan keterangan
tentang sesuatu yang bersangkutan dengan sengketa.
(2) Selain hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Hakim Ketua
Sidang dapat memerintahkan pula supaya surat tersebut
diperlihatkan kepada Pengadilan dalam persidangan yang akan
ditentukan untuk keperluan itu.
(3) Apabila surat itu merupakan bagian dari sebuah daftar, sebelum
diperlihatkan oleh penyimpannya, dibuat salinan surat itu sebagai
ganti yang asli selama surat yang aslli belum diterima kembali dari
Pengadilan.
(4) Jika pemeriksaan tentang benarnya suatu surat menimbulkan
persangkaan terhadap orang yang masih hidup bahwa surat itu
dipalsukan olehnya, Hakim Ketua Sidang dapat mengirimkan surat
yang bersangkutan kepada penyidik yang berwenang, dan
pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dapat ditunda dahulu
sampai putusan perkara pidananya dijatuhkan.
PERTEMUAN KE VIII
PEMERIKSAAN DENGAN ACARA
SINGKAT
DAN
ACARA CEPAT
Pasal 62 ayat (1&2) UU No. 5 Tahun 1986
(1) Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memutuskan
dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-
pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima
atau tidak berdasar, dalam hal:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu dan diperingatkan;
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
(2) a. Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diucapkan dalam rapat
permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan memanggil
kedua belah pihak untuk mendengarkannya;
b. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan.
SIDANG DISMISAL
 DIPIMPIN KETUA PERATUN, KEMUNGKINAN PENETAPAN NYA:

1. PENGGUGAT DIBERI KESEMPATAN MENYEMPURNAKAN


GUGATAN
2. GUG. TD. DITERIMA  KRN TD. MENDASAR
3. GUG. DITERIMA  DITUNJUK HAKIM
4. GUG. DITERIMA  PERM. AC. CEPAT:
 DITERIMA - DITUNJUK HAKIM
 TD. DITERIMA - AC. BIASA

5. GUG. DITERIMA:
 GEVOEGD – KUMULASI SUBYEKTIF
 GESPLITST – KUMULASI SUBYEKTIF
- KUMULASI OBYEKTIF
6. DIKABULKAN / TD PERMOHONAN:
 Ps. 67
 Ps. 60
Acara Singkat (ps 62)

Sidang Dismissal  Ketua Peratun berwenang


memutus Penetapan Gugatan td diterima / td
mendasar:

1. Di luar kompetensi
2. Syarat ps. 56 td dipenuhi
3. Dasar dan alasan gugatan
4. Tuntutan telah dipenuhi
5. Diajukan sbl/telah lewat waktu

Penetapan td diterima/ td mendasar  14 Hari  dpt


diajukan Perlawanan  Dibenarkan Peratun
Penetapan gugur demi hukum  Tidak ada upaya
hukum
Pasal 60 UU No. 5 Tahun 1986
(1) Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk
bersengketa dengan cuma-cuma.
(2) Permohonan diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatan-nya disertai
surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat kediaman
pemohon.
(3) Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa pemohon itu betul-betul
tidak mampu membayar biaya perkara.
Pasal 67 UU No. 5 Tahun 1986
(1) Gugatan tidak menunda atau mengahalangi dilaksanakannya Keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang digugat.
(2) Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan Keputusan tata
Usaha Negara itu ditunda selama pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat diajukan sekaligus
dalam gugatan dan dapat diputus terlebih dahulu dari pokok sengketannya.
(4) Permohonan penundaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2):
a. dapat dikabulkan hanya apabila terdapat keadaan yang sangat mendesak yang
mengakibatkan kepentingan penggugat sangat dirugikan jika Keputusan Tata
Usahan Negara yang digugat itu tetap dilaksanakan;
b. tidak dapat dikabulkan apabila kepentingan umum dalam rangka pembangunan
mengharuskan dilaksanakannya keputusan tersebut.
SEMA NO. II TAHUN 1991
TENTANG PENUNDAAN PELAKSANAAN KTUN
1. Setiap tindakan prosesual persidangan dituangkan dalam betuk “
Penetapan” kecuali putusan akhir yang harus berkepala “ Putusan” .
2. Penundaan yang dimaksud dalam pasal 67 ayat (4) sub a dan b dapat
dikabulkan dalam 3 (tiga) tahapan prosesual, yaitu :
a. Selama permohonan penundaan tersebut masih ditangan Ketua, Penetapan
Penundaan dilakukan oleh Ketua da ditandatangani oleh Ketua dan
Panitera/Wakil Panitera.
b. Setelah berkas perkara diserahkan kepada Majelispun dapat mengeluarkan
Penetapan penundaan tersebut baik selama proses berjalan – setelah
mendengar kedua belah pihak -, maupun pada putusan akhir,
ditandatangani oleh Ketua Majelis dan Panitera, kecuali pada putusan
akhir harus ditandatangani oleh Majelis lengkap.
c. Pencabutan Penetapan penundaan yang dimaksud, dapat dilakukan : ·
Selama perkara masih di tangan Ketua, dilakukan oleh Ketua sendiri,
kecuali putusan akhir yang harus ditandatangani oleh Ketua Majelis dan
Panitera Pengganti. · Apabila perkara sudah di tangan Majelis, pencabutan
dapat dilakukan oleh Majelis yang bersangkuatan.
d. Baik pengabulan penundaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat
maupun pencabutannya dilakukan dengan menuangkannya dalam bentuk
Penetapan kecuali yang dituangkan dalam putusan akhir.
e. Di dalam formulir Penetapan pengabulan Penundaan yang dilakukan oleh
Ketua tersebut ditambahkan anak kalimat : “ kecuali ada Penetapan lain di
kemudian hari” .
3. Cara penyampaian Penentapan Penundan tersebut, mengingat sifatnya yang
sangat mendesak itu dapat dilakukan dengan cara pengiriman yang sangat
mendesak itu dapat dilakukan dengan cara pengiriman telegram/telex
ataupun dengan kurir agar secepatnya sampai kepada yang bersangkuatan.
Hal ini adalah perkecualian dari maksud pasal 116. dalam hal ini
pengiriman dengan telegram/telex, cukup extract. Penetapannya saja yang
kemudian harus disusul dengan pengiriman Penetapan selengkapnya via
pos.
4. Apabila ada penetapan penundaan dimaksud yang tidak dipatuhi oleh
Tergugat, maka ketentuan pasal 116 ayat (1), (5) dan (6) dapat dijadikan
pedoman dan dengan menyampaikan tembusannya kepada : Ketua
Mahkamah Agung RI, Menteri Kehakiman RI, Menteri Pendayaguanaan
Aparatur Negara RI. (surat Menpan. Nomor B.471/1/1991 tanggal 29 Mei
1991 tetang Pelaksanaan Putusan Tata Usaha Negara).
GUGATAN PERLAWANAN

Pasal 62 ayat (4,5 dan 6) UU No. 5 Tahun 1986


(3) a. Terhadap penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang
waktu empat belas hari setelah diucapkan;
b. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
(4) Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa
dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
(5) Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan,
maka penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) gugur
demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan
diselesaikan menurut acara biasa.
(6) Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat
digunakan upaya hukum
JUKLAK MA NO. 224/Td/TUN/X/1993
1. Yang memeriksan gugatan perlawanan adalah Majelis Hakim dengan
penetapan Ketua Pengadilan
2. Pemeriksaan terhadap Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62
ayat (3 – 6) UU No. 5 Tahun 1986 tidak perlu sampai memeriksa materi
gugatan seperti memeriksa bukti-bukti, saksi, ahli, dsb.
3. Pemeriksaan gugatan perlawaanan dilakukan secara tertutup, sedangkan
pembacaan penetapanya dilakukan secara terbuka
4. Setelah gugatan perlawanan dinyatakan benar maka dilanjutkan ke
pemerikasaan poko perkaranya denag acara biasa
5. Terhadap penetapan gugatan perlawanan tidak tersedia upaya hukum
apapun, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa
6. Dalam hal pihak penggugat perlawanan mengajukan permohonan upaya
hukum banding atau upaya hukum lainnya maka Panitera berkewajiban
membuat akta penolakan.
JUKLAK MA NO. 222/Td/TUN/X/1993
1. Dalam proses perlawanan terhadap penetapan dismissal, setidak-tidaknya
Penggugat Perlawanan (Pelawan) maupun Terlawan (Tergugat
Perlawanan) didengar dalam persidangan tanpa memeriksa pokok gugatan
2. Terhadap penetapan gugatan perlawanan tidak tersedia upaya hukum
apapun, baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa
3. Dalam hal pihak penggugat perlawanan mengajukan permohonan upaya
hukum banding atau upaya hukum lainnya maka Panitera berkewajiban
membuat akta penolakan.
4. Nomor perkara dalam gugatan perlawanan adalah sama dengan nomor
gugatan asal dengan ditambah kode Plw

CATATAN
Palawan = Penggugat Perlawanan
Terlawan = Ketua pengadilan TUN
PERSIDANGAN DENGAN ACARA CEPAT

ACARA CEPAT

SIDANG PEMERKS.
DISMISAL DIMUKA SIDANG PUTUSAN

- GUGATAN
- JAW. GUG
- REPLIK
- DUPLIK
- PEMBUKT
IAN
- KESIMPU
LAN
Acara Cepat (Ps 98-99)

• Ada kepentingan penggugat yang mendasar

• 14 hari stl diterima permohonan  Menetapkan dikabulkan /


tidak

• Hakim Tunggal

• 7 hari stlnya menetapkan  ditentukan pelaks sidang

• Tenggang waktu jawaban & pembuktian td lebih 14 hari


PERTEMUAN KE VII
ALUR PENYELESAIAN
SENGKETA TUN
UPAYA ADMINISTRASI
ALUR PENYELESAIAN SENGKETA TUN

Upaya Keberatan PT TUN


Administrasi (Ps. (Tingkat I, Ps
48 uu no. Banding 51 (3) uu. No.
5/1986) Administrasi 5/1986

SENGKE
TA TUN MA
Kasasi/PK
PTUN
PT. TUN
(tingkat I )
(tingkat banding)
Ps. 50
Pasal 51 (1)
UPAYA ADMINISTRASI
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/administratif yang tersedia.

(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan


menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif
yang bersangkutan telah digunakan.
PENJELASAN PASAL 48 UU NO. 5 TAHUN 1986
Ayat (1)
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau
badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata
Usaha Negara, Prosedur tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan
sendiri dan terdiri atas dua bentuk. Dalam hal penyelesaian-nya itu harus
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan
keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan “banding
administratif”.
Contoh banding administratif antara lain:
Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan Ketentuan-ketentuan dalam
Staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo
Undangundang No. 5 Tahun 1959 tentang perubahan “Regeling van het beroep
in belastings zaken”.
Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat berdasarkan
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan
Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta.
Keputusan Gubernur berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang Gangguan
Staatsblad 1926 Nr. 226.
Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus
dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan keputusan itu, maka prosedur yang ditempuh tersebut
disebut “keberatan”.
Contoh Pasal 25 Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
ketentuan Umum Perpajakan. Berbeda dengan prosedur di peradilan Tata
Usaha Negara, maka pada prosedur banding administratif atau prosedur
keberatan dilakukan penilaian yang lengkap, baik dari segi penerapan
hukum maupun dari segi kebijaksanaan oleh instansi yang memutus.
Dari ketentuan dalamperaturan perundang-undangan yang menjadi dasar
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dapat
dilihat apakah terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara itu terbuka
atau tidak terbuka kemungkinan untuk ditempuh suatu upaya administratif.
Ayat (2)
Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1)
telah ditempuh, dan pihak yang ber-sangkutan masih tetap belum merasa
puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke
Pengadilan.
SEMA NO. 2 TAHUN 1991

• Sehubungan dengan keracunan pengunaan istilah “ keberatan” dalam beberapa


peraturan dasar dari instansi/lembaga bersangkutan perlu dijelaskan sebagai
berikut :
1. Yang dimaksud upaya administratif adalah :
• a. Pengajuan surat keberatan (bezwaarschrift) yang ditujukan kepada
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
(penetapan/beschikking) semula.
• b. Pengajuan surat banding administratif (administratief beroep) yang ditujukan
kepada atasan pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan,
2. a. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif
berupa pengajuan suarat keberatan, maka guagatan terhadap Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara.
• b. Apabila peraturan dasarnya menetukan adanya upaya administratif berupa
pengajuan surat keberatan dan/atau mewajibkan pengajuan surat banding
administratif, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah
diputus dalam tingakat banding administratif diajukan langsung kepada
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.
Pasal 51 UU. No. 5 Tahun 1986

(1) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang


memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara di tingkat banding.

(2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang
memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa
kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam
daerah hukumnya.

(3) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang


memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
(4) Terhadap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) dapat diajukan permohonan kasasi.
UPAYA ADMINISTRATIF
Pasal 75

(1) Warga Masyarakat yang dirugikan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan


dapat mengajukan Upaya Administratif kepada Pejabat Pemerintahan atau
Atasan Pejabat yang menetapkan dan/atau melakukann Keputusan dan/atau
Tindakan.

(2) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. keberatan; dan
b. banding.
(3) Upaya Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
menunda pelaksanaan Keputusan dan/atau Tindakan, kecuali:

a. ditentukan lain dalam undang-undang; dan


b. menimbulkan kerugian yang lebih besar.

(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib segera menyelesaikan Upaya


Administratif yang berpotensi membebani keuangan negara.

(5) Pengajuan Upaya Administratif tidak dibebani biaya.


Pasal 76
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berwenang
menyelesaikan keberatan atas Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan yang diajukan oleh Warga Masyarakat.

(2) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian


keberatan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Warga Masyarakat dapat mengajukan banding
kepada Atasan Pejabat.
(3) Dalam hal Warga Masyarakat tidak menerima atas penyelesaian banding
oleh Atasan Pejabat, Warga Masyarakat dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan.

(4) Penyelesaian Upaya Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat


(2) berkaitan dengan batal atau tidak sahnya Keputusan dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan tuntutan administratif.
Keberatan
Pasal 77

(1) Keputusan dapat diajukan keberatan dalam waktu paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak diumumkannya Keputusan tersebut
oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.

(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diajukan secara tertulis


kepada Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menetapkan
Keputusan.
(3) Dalam hal keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima,
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan sesuai
permohonan keberatan.

(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan keberatan paling


lama 10 (sepuluh) hari kerja.

(5)Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan


keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Keberatan yang dianggap dikabulkan, ditindaklanjuti dengan penetapan
Keputusan sesuai dengan permohonan keberatan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan.

(7) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan Keputusan


sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah
berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Banding
Pasal 78

(1) Keputusan dapat diajukan banding dalam waktu paling lama 10


(sepuluh) hari kerja sejak keputusan upaya keberatan diterima.

(2) Banding sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diajukan secara tertulis


kepada Atasan Pejabat yang menetapkan Keputusan.
(3) Dalam hal banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikabulkan, Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan sesuai dengan permohonan banding.
(4) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan menyelesaikan banding paling
lama 10(sepuluh) hari kerja.

(5) Dalam hal Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menyelesaikan


banding dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
keberatan dianggap dikabulkan.
(6) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan
Keputusan sesuai dengan permohonan paling lama 5 (lima) hari
kerja setelah berakhirnya tenggang waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
Paling Lambbbat 21 hhari sejak
UPAYA ADMINISTRASI diumumkan
(KTUN/TIDAKAN)
Pasal 87 UU No. 30/2014 Ditujukan pada Pejaat Pembuat Keputusan

Apabila Diterima Pemeritah Wajib Membuat


Keberatan Keputusan
(Pasal 77)
Pemerintah Wajib Menyelesaikan Mak. 10
hari

Apabila dlm 10 hr td diselesaikan Keberatan


dianggap DIKABULKAN

Teggang Waktu 10 hari

Ditujukan Pada Atasa Pejaat Penilai

BANDING
(Pasal 78) Apabila dikabukan Pem. Wajib Membuat Putusan

APP Wajib Menyelesaikan Dalam Waktu 10 hari

Apabilla Dalam Waktu 10 hari Td diselesaikan


Dianggap DIKABULKAN
PERTEMUAN KE VI
GUGATAN/ PERMOHONAN

TENGGANG WAKTU MENGGUGAT


DASAR GUGATAN
ALASAN GUGATAN
PERIHAL SURAT GUGATAN
PERMA NO. 4 TAHUN 2015
TENGGANG WAKTU MENGGUGAT
ps 55 UU. No. 5/1986

TENGGANG WAKTU GUGAT 90 HARI SEJAK DITERIMA

DIUMUMKANN

SE. MA. NO.2 / 1991  FIHAK KE 3 SEJAK DIKETAHUI


SEMA NO. 2 TAHUN 1991
V. TENGGANG WAKTU (PASAL 55).
1. Penghitungan tengang waktu sebagaimana dimaksud pasal 55
terhenti/ditunda (geschorst) pada waktu gugatan didaftarkan
di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
berwenang.
2. Sehubungan dengan pasal 62 ayat (6) dan pasal 63 ayat (4)
maka gugatan baru hanya dapat diajukan dalam sisa tenggang
waktu sebagaimana dimasksud pada butir 1.
3. bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara tetapi yang merasa kepentingannya dirugikan
maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud pasal 55
dhitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya
dirugikan oleh Keputusan Tata Usaha Negara dan mengetahui
adanya keputusan tersebut.
GUGATAN PRO FORMA

GUGATAN PRO FORMA P. 55


PEMERKS PERSIAPAN

 IDENTITAS PARA FIHAK

 DASAR GUGATAN

 ALASAN GUGATAN

 PETITUM
DASAR GUGATAN
• GUGATAN
Ps.1(5) UU.5/1986  Ps. 1(11) UU.No.51/2009
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap
badan atau pejabat tata usaha negara dan diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan putusan.
• DASAR GUGATAN (Pasal 53 ayat (1))
Orang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau direhabilitasi.
Hak Menggugat:

DASAR GUGATAN
DASAR GUGATAN
1. ORANG  KEPENTINGANNYA DIRUGIKAN

 FIHAK II  DITUJU LANGSUNG KTUN.

 FIHAK III  TERKENA SECARA TD LANGSUNG.

 BERTENTANGAN.

 PARALEL.

 INDIVIDU FIHAK III ?

 ORG. KEMASY ?

 Badan / Pejabat TUN yang lain?

2. BADAN HUKUM PERDATA  KEPENT. DIRUGIKAN.


KEPENTINGAN.

1. NILAI YG HRS DILIND. HUKUM:

 ADA HUB DNG PENGGUGAT SENDIRI.

 BERSIFAT PRIBADI.

 BERSIFAT LANGSUNG.

 SECARA OBYEKTIF DPT DITENTUKAN.

2. BERPROSES:

POINT D’ INTERET – POINT POINT D’ ACTION” ( BILA ADA KEPENT,

MAKA BARU BOLEH BERPROSES).

KERUGIAN:  MATERIIL, IMATERIIL, INDIVIDUAL, KOLEKTIF.

“ DE MINIMIS NON CURAT PREATOR”?

PENGGANTIAN HAK / RECHTSOPVOLGING:

 TITEL UMUM ?

 TITEL KHUSUS ?.
ALASAN GUG

 UU. NO. 5 TAHUN 1986

1. BERTENT. DG UU YG BERLAKU
- PROSEDUR
- MATERI
- WEWENANG
2. PENGALAHGUNAAN WEW.
- MAKSUD & TUJUAN
3. SEWENANG-WENANG
- PERTIMB. NALAR.
4. AUPB
- P.14 UU.No. 14/70 IUS CURIA NOVIT
- P. 27 ,,  HAKIM WAJIB
MENGGALI.......

 UU. No. 9 TAHUN 2004

1. BERTENTANGAN ATURAN PERUNDANGAN


YANG BERLAKU
2. BERTENTANGAN DENGAN AZAS UMUM
PEMERINTAHAN YANG BAIK
UU. No.5/1986 Alasan Gugatan Digantikan Pasal 53 UU. No. 9/2004

(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana


dimaksud dalam ayat (1) adalah :

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan


peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan


keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan
wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang
tersebut;

c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau
tidakmengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan
keputsan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak
pengambilan keputusan tersebut
Pasal 53 UU. No. 9/2004

Dasar

(1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh
suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.

Alasan Gugatan

(2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah:

a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
ISI SURAT GUGATAN

Pasal 56 UU. No. 5/1986

(1) Gugatan harus memuat :

a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan


penggugat, atau kuasanya;
b. nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
Pengadilan.

(2) Apabila gugatan dibuat dan ditandatangani oleh seorang


kuasa penggugat, maka gugatan harus disertai surat kuasa
yang sah.

(3) Gugatan sedapat mungkin juga disertai Keputusan Tata Usaha


Negara. Yang disengketakan oleh penggugat.
ISI SURAT GUGAT

ISI SURAT GUGAT

1. IDENTITAS PARA FIHAK


2. DASAR GUGATAN
3. ALASAN GUGATAN
4. P ETITUM
5. PENUTUP

CATATAN:  TERTULIS
 BHS. INDONESIA
 TANDA TANGAN
 DAPAT DISERTAKAN:
 PERMOHONAN AC. CEPAT
 PERMOHONAN BERACARA CUMA-CUMA
 PERMOHONAN PENUNDAAN PELAKSANA
AN KETETAPAN
Surat gugat: (ps.56)
1. Tanggal Surat Gugat (pasal 55)
2. Alamat gugatan (Ps 48; 51)
3. Identitas penggugat (Ps.1(5)
4. Identitas Tergugat (Ps. 1(6)
5. Dasar gugatan (Ps 53(1)
6. Alasan gugatan (Ps 53(2)
7. Petitum( Cont: pasal 97)
8. Petitum tambahan (cont: pasal 60; 67;ganti rugi; rehabilitasi)
9. Penutup
10. Tanda tangan penggugat
PERMOHONAN

• Pasal 21 UU no. 30 Tahun 2014


(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada
unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau
Tindakan.
(3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja
sejak permohonan diajukan).

Pedoman beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalah gunaan


Wewenang diatur di PERMA NO. 4 Tahun 2015 (Terlampir)
PERTEMUAN KE V
SUBYEK DAN OBYEK
SENGKETA TUN
PENGGUGAT
Dalam UU Peratun tidak ada ketentuan yang menyebutkan siapa
yang dimaksud dengan PENGGUGAT, akan tetapi dari ketentuan
Pasal 1 angka 10 UU no. 51 Tahun 2009 dan Pasal 53 ayat (1)
dapat diketahui siapa yang dimaksud penggugat

Pasal 1 angka 10 UU no. 51 Tahun 2009


Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul
dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara,
baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
• Pasal 53 ayat (1) UU No. 9 Tahun 2004
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat disimpulkan;
1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 10 UU No. 51 Tahun 2009, maka
hanya orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat menjadi subyek
hukum yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN
2. Badan/Pejabat TUN tidak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan TUN
3. Hanya orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh KTUN yang dapat mengajukan Gugatan
• Pasal 21 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2014
Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan
ORANG / BADAN HUKUM PERDATA

ONBEKWAAM:
 BELUM DEWASA
 DIBAWAH PENGAMPUAN
 DINYATAKAN PAILIT

BADAN HUKUM:
 PUBLIK
 PERDATA

CIRI:
 HAK KEBENDAAN
 DAPAT MENJADI PIHAK DALAM PROSES PERDATA
 ADA LAPISAN ANGGOTA
 ORGANISASI DENGAN TUJUAN TERTENTU
 IKUT DALAM PERGAULAN HUKUM
 CATATAN
1. UU Peradilan TUN tidak menganut prinsip actio popularis,
yaitu prinsip yang memberikan hak menggugat kepada setiap
orang
2. Terkait dengan kedudukan hukum penggugat UU peradilan
TUN juga tidak mengatur secara spesifik, untuk itu maka
menurut Indroharto menggunakan parameter Hukum Perdata,
yaitu Penggugat harus memenuhi syarat sebagai;
a. Subyek hukum
b. adanya Kepentingan, dan
c. adanya Kerugian
Tergugat:

1. Badan / Pejabat TUN


2. Yang Mengeluarkan KTUN
3. Berdasar wewenang yang ada

• Badan / Pejabat TUN  Badan atau siapa saja yang berdasar peraturan per-
undangan melaksanakan urusan/ fungsi pemerintahan (public services)

• Tidak mungkin ada rekonpensi dalam kasus Onrechtmatige overheidaad

• Wewenang  dalam urusan Pemerintahan  Urusan dibawah Presiden


selaku kepala Pemerintahan/ Fungsi Pemerintahan
Badan / Pejabat TUN

1. Instansi Resmi Pemerintah Berada Dibawah


Presiden Sebagai Kepala Eksekutif

2. Instansi Diluar Eksekutif Berdasar Pert. Per-UU-an


Melaksanakan Urs Pem-an

3. Badan Hk. Pedata yg Didirikan Pem. Unt


Melaksanakan urs. Pemerintah (Cont: PLN, PAM,
PJKA, Yayasan Supersemar)
4. Instansi hasil kerjasama Pem+Swasta unt. Melaks. Tugas
Pemerintah

• Bersifat Hk Perdata (saham terbagi ant Pem + Swasta),Cont:


PT, Firma, Yayasan

• Bersifat Hk Publik (Bd Hk Perd berdasar Pert per-uu.an


diikut sertakan), cont: PT. Caltex, PT. Pembangunan Jaya)

• Badan Swasta murni oleh Pert Per uu an diberi wewenang


Urs. Pem-an

5. Lembaga Hk. Swasta yg melaks. Tugas Pem.


GUGATAN KELOMPOK (CLASS ACTION)
Dalam UU Peratun tidak mengatur adanya gugatan kelompok, namun gugatan
kelompok sudah diakui dalam beberapa peraturan perundang-undangan di
Indonesia yaitu;
1. Undang-undang no. 32 Tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup
pada Pasal 91 (1); Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan
kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan
masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup.
2. Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen; Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan
oleh: lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhisyarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang
dalamanggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa
tujuandidirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan
perlindungankonsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan
anggarandasarnya
3. UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
 Pasal 71 ayat (1); (1) Masyarakat berhak mengajukan gugatan
perwakilan ke pengadilan dan atau melaporkan ke penegak hukum
terhadap kerusakan hutan yang merugikan kehidupan masyarakat.
 Pasal 73
(1) Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab pengelolaan hutan,
organisasi bidang kehutanan berhak mengajukan gugatan
perwakilan untuk kepentingan pelestarian fungsi hutan.
(2) Organisasi bidang kehutanan yang berhak mengajukan gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. organisasi tersebut dalam anggaran dasarnya dengan tegas
menyebutkan tujuan didirikannya organisasi untuk kepentingan
pelestarian fungsi hutan; dan
c. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya
PASAL 1 Perma No. 1 Tahun 2002
a. Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara
pengajuan gugatan, dalam mana satu orang atau lebih yang
mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk diri atau diri-
diri sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar
hukum antara wakil kelompok dan anggota kelompok
dimaksud.
b. Wakil kelompok adalah satu orang atau lebih yang menderita
kerugian yang mengajukan gugatan dan sekaligus mewakili
kelompok orang yang lebih banyak jumlahnya;
c. Anggota kelompok adalah sekelompok orang dalam jumlah
banyak yang menderita kerugian yang kepentingannya
diwakili oleh wakil kelompok di Pengadilan ;
SYARAT GUGATAN KELOMPOK DI PERATUN
Dalam kasus gugatan LSM lingkungan terhadap Kepres No. 42
Tahun 1994 Tentang Bantuan Pinjaman Kepada PT IPTN
yang lebih terkenal dengan “Dana Reboisasi” yang telah
diputus dalam Putusan No. 088/G/1994/Piutang/PTUN
Jakarta, dapat disimpulkan bahwa Organisasi Lingkungan
dapat bertindak sebagai penggugat dengan syarat;
1. Tujuan dari organisasi tersebut memang melindungi
lingkungan hidup atau menjaga kelestarian alam, tujuan
tersebut harus tertuang dalam AD-ART Organisasi
2. Berbentuk Badan Hukum,
3. Organisasi tersebut secara berkesinambungan menunjukkan
adanya kepedulian terhadap lingkungan hidup secara nyata
4. Organisasi tersebut harus cukup representatif
PEMOHON
UU. No. 30 Tahun 2014
Pasal 17(1): Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Wewenang.

Pasal 21(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada


atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat
Pemerintahan.

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan


permohonan kepada Pengadilan untuk menilai ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.

(3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud pada


ayat (2) paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja sejak
permohonan diajukan.

4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat


diajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus
permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
lama 21 (dua puluh satu)hari kerja sejak permohonan banding
diajukan.

(6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.

Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2015


(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan
ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam
Keputusan atau Tindakan Pejabat pemerintahan sebelum adanya
proses Pidana
(2) Pengadilan baru berwenang menerima, memeriksa dan memutus
penilaian permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah
adanya hasil pengawasan aparat pengawas interen pemerintah
Pasal 3 Perma No. 4 Tahun 2015
Badan dan/atau pejabat pemerintahan yang merasa
kepentinganya dirugikan oleh hasil pengawasan
aparat pengawasan intern pemerintah dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan yang
berwenang berisi tuntutan agar keputusan dan/atau
tindakan pejabat pemerintahan dinyatakan ada atau
tidak ada unsur penyalahgunaan wewenang

CATATAN
 UNTUK HUKUM ACARA DALAM PENILAIAN UNSUR
PENYALAHGUNAAN WEWENANG SILAHKAN
DIPELAJARI PERMA NO. 4 TAHUN 2015
OBYEK GUGATAN/ PERMOHONAN
1. KTUN (Pasal 1 angka 9 UU No. 51 Tahun 2009) termasuk
Tindakan Faktual (Pasal 87 UU No. 30 Tahun 2014) kecuali
KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004
2. KTUN Yang berlaku bagi Masyarakat (Pasal 87 huruf F jo.
Pasal 76 ayat (3) UU No. 30 Tahun 2014
3. Tentang ada tidaknya penyalahgunaan wewenang
sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UU no. 30 Tahun 2014 jo
Pasal 2 Perma No. 4 Tahun 2015)( Selanjutnya Tentang “Tata
Cara Beracara Dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan
Wewenang” – Baca Perma No. 4 Tahun 2015)
SEMA NO. 4 Tahun 2016
OBYEK GUGATAN/PERMOHONAN
1. Objek gugatan pada Pengadilan Tata Usaha Negara meliputi:
a. Penetapan tertulis dan/atau tindakan faktual.
b. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat Pemerintahan.
c. Diterbitkan berdasarkan peraturan perundang undangan
dan/atau asas-asas umum pemerintahan yang baik
(keputusan tata usaha negara dan/atau Tindakan yang
bersumber dari kewenangan terikat atau kewenangan
bebas).
d. Bersifat: Konkret-Individual (contoh: keputusan izin
mendirikan bangunan, dsb)., Abstrak-Individual (contoh:
keputusan tentang syarat-syarat pemberian perizinan, dsb),
Konkret-Umum (contoh: keputusan tentang penetapan upah
minimum regional, dsb).
e. Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan yang bersifat
Final dalam arti luas yaitu Keputusan Tata Usaha Negara yang
sudah menimbulkan akibat hukum meskipun masih memerlukan
persetujuan dari instansi atasan atau instansi lain (contoh:
perizinan tentang fasilitas penanaman modal oleh Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Izin Lingkungan, dsb).
f. Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan yang berpotensi
menimbulkan akibat hukum (contoh: LHP Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dsb).
2. Keputusan Tata Usaha Negara dan/atau Tindakan FiktifPositif.
3. Keputusan Lembaga Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP)
permohonan pengujian penyalahgunaan wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Undang-Undang 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
MATERI KE III DAN IV
KOMPETENSI PERATUN
1. KOMPETENSI ABSOLUT
2. KOMPETENSI RELATIF
Pasal 47
Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.
Pasal 21 UU no. 30 Tahun 2014
(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan
memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan
Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan

Pasal 1 angka 1 UU no. 51 Tahun 2009


Pengadilan adalah pengadilan tata usaha negara dan
pengadilan tinggi tata usaha negara di lingkungan peradilan
tata usaha negara
Pasal 1 angka 18 UU no. 30 Tahun 2014
Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara
SENGKETA TUN
(Ps. I (10) UU. No 51/2009)
SENGKETA TUN

DALAM BID. TUN

ANTARA ORANG/BADAN HK PERDATA 


BADAN/PEJABAT TUN

AKIBAT DIKELUARKAN KTUN

KTUN ???
PASAL 1(3) UU. No5/1986 - PASAL 2 UU No.9/2004 + PASAL 3 UU No.5/1986 +
+ Ps 1(9) UU No. 51/2009
Pasal 1(9) UU No. 51/2009 – Pasal 2 UU. No. 9/2004 +
Pasal 3 UU. No. 5/ 1986 + Pasal 21(1) UU. No.30/2014
(Sengketa yang masuk Kompetensi Absolut Peratun)

Ps1(4) UU.5/1986  Ps. I (10) UU. No 51/2009.


• Sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara
• antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik di pusat maupun di daerah,
• sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku

(KTUN umum yang masuk Kompetensi absolut)

Ps 1(3) UU No.5/1986  Ps. 1(9) UU. No. 51/2009

• Penetapan tertulis yang


• dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang
• berisi tindakan hukum tata usaha negara
• yang berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku,
• yang bersifat konkret, individual, dan final,
• yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Pasal 2 UU.No.9/2004/ Perkecualian

KTUN khusus Tidak masuk Kompetensi absolut Peratun:

a. KTUN Perdata
b. KTUN bersifat umum
c. KTUN yang masih memerlukan persetujuan
d. KTUN Pidana
e. KTUN Put Peradilan
f. KTUN TNI
g. Keput KPU pusat atau daerah mengenai hasil pemilu
PENJELASAN PASAL 2 UU NO. 9 TAHUN 2004

• Pasal ini mengatur pembatasan terhadap pengertian Keputusan


Tata Usaha Negara yang termasuk dalam ruang lingkup
kompetensi mengadili dari Peradilan Tata Usaha Negara.
Pembatasan ini diadakan oleh karena ada beberapa jenis
Keputusan yang karena sifat atau maksudnya memang tidak
dapat digolongkan dalam pengertian Keputusan Tata Usaha
Negara menurut Undang-Undang ini.
• Huruf a
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan
hukum perdata, misalnya keputusan yang menyangkut masalah
jual beli yang dilakukan antara instansi pemerintah dan
perseorangan yang didasarkan pada ketentuan hukum perdata.
• PROBLEMATIK
Bagaimana jika timbulnya sengketa TUN adalah karena KTUN yang
melaksanakan perbuatan perdata atau perbuatan Perdata yang didahului
oleh KTUN yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN. Apakah
kompetensi Peradilan Perdata atau Peradilan TUN
CONTOH
1. Perkara Dana Reboasasi ( Putusan PTUN No. 088/G/1994/ Piutang/
PTUN Jakarta)
2. Kasus Pemandian Ubalan di Mojokerto (Putusan PTUN No.
20/TUN/1991/PTUN. SBY)

Berdasarkan 2 yurisprodensi tersebut diatas maka jawaban atas problematik


tersebut adalah dengan cara “Meleburkan Diri” yaitu suatu teori yang
mengatakan; KTUN yang dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN untuk
melakukan perbuatan perdata atau perbuatan perdata yang dikuti dengan
dikeluarkanya KTUN, maka KTUN itu dianggap melebur ke dalam
perbuatan perdatanya
• huruf b
Yang dimaksud dengan “pengaturan yang bersifat umum” ialah pengaturan
yang memuat norma-norma hukum yang dituangkan dalam bentuk
peraturan yang kekuatan berlaku-nya mengikat setiap orang.
• huruf c
Yang dimaksud dengan “Keputusan Tata Usaha Negara yang masih
memerlukan persetujuan” ialah keputusan yang untuk dapat berlaku masih
memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain.
Dalam kerangka pengawasan administratif yang bersifat preventif dan
keseragaman kebijaksanaan sering kali peraturan yang menjadii dasar
keputusan menentukan bahwa sebelum berlakunya Keputusan Tata Usaha
Negara diperlukan persetujuan instansi atasan lebih dahulu.
Ada kalanya peraturan dasar menentukan bahwa persetujuan instansi lain
itu diperlukan karena instansi lain tersebut akan terlibat dalam akibat
hukum yang akan ditimbulkan oleh keputusan itu.
Keputusan yang masih memerlukan persetujuan tetapi sudah menimbulkan
kerugian dapat digugat di pengadilan negeri.
CATATAN
Terkait dengan Pembahasan Pasal 2 UU No. 9 Tahun 2004 silahkan membaca
Buku Hukum acara peradilan TUN yang di tulis oleh R. Wiyono SH.
Halaman 31-57 tentang PERKECUALIAN
KTUN Fiktif
Pasal 3
(1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, hal itu menjadi
kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.

(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan yang dimohon, sedangkan
jangka waktu sebagaimana ditentukan peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka
Badan atau Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang
dimaksud.

(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentuka jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak
diterimnya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap
telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Pasal 87 UU. No. 30 Tahun 2014

Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara


sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan
eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
Ps.1(9) UU. 51/2009- ps.2 UU. 9/2004
+ Ps. 3 UU. No.5/1986

KTUN +Tindakan Faktual

KTUN Dilingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif,


dan penyelenggara negara lainnya

KTUN berdasarkan ketentuan perundang-


KOMPETENSI ABSOLUT undangan dan AUPB
PERATUN BERDASAR
Ps. 87 UU. 30/2014
bersifat final dalam arti lebih luas

Keputusan yang berpotensi meimbulkan


akibat Hukum

Keputusan yang berlaku bagi warga


masyarakat
LARANGAN PENYALAHGUNAAN
WEWENANG
Pasal 17 UU. No.30 Tahun 2014

(1)Badandan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang


menyalahgunakan Wewenang.

(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. larangan melampaui Wewenang;

b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau

c. larangan bertindak sewenang-wenang.


Pasal 18

(1)Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui


Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a
apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

a.masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;

b.melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau

c.bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan.


(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan
mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:

a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan;


dan/atau

b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.


(3)Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak
sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2)
huruf c apabila Keputusan dan/atauTindakan yang dilakukan:

a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau

b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang

berkekuatan hukum tetap.


Pasal 19

(1)Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau


dilakukan dengan melampaui Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18
ayat(1) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat(2)huruf c dan
Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada
Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
(2)Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan

dengan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b dan Pasal 18 ayat (2)

dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan


Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 20
(1) Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat
pengawasan intern pemerintah.

(2) Hasil pengawasan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. tidak terdapat kesalahan;


b. terdapat kesalahan administratif; atau
c. terdapat kesalahan administratif yang
menimbulkan kerugian keuangan negara.
UU. No. 30 Tahun 2014
Pasal 17(1): Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Wewenang.

Pasal 21(1) Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan.

(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan untuk
menilai ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan.

(3) Pengadilan wajib memutus permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 21 (dua
puluh satu) hari kerja sejak permohonan diajukan.

4) Terhadap putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
(5) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara wajib memutus
permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling
lama 21 (dua puluh satu)hari kerja sejak permohonan banding
diajukan.

(6) Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagaimana


dimaksud pada ayat (5) bersifat final dan mengikat.
Bd/ Pej Pemerintah
DILARANG Waktu
Menyalahgunaan Melampaui W
Kekuasaan
UU. No.30/2014 Wilayah
Ps. 17 s/d 21

Perundang-
undangan
Mencampur Pengawasan
adukkan W Diluar materi/ Internal
Cakupan

Bertindan Se Bertentangan
wenang- Weweang Diberikan
Td. Ada
Wenang
Pengadilan Kesakahan
Berwenang
Mengadili Kesalahan
Tanpa Dasar Administratif

Bertentangan
Badan/Pejabat Pem. Dng Put. Kes. Admint +
Dapat Memohon Ke Pengadilan Merugikan L
Keuangan Neg
PTUN Untuk Menilai
ada / Td nya?
Banding ke
PT.TUN
(Final + Mengikat)
KOMPETENSI RELATIF
Pasal 54 uu No. 5 Tahun 1986
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum pengadilan, gugatan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah
satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum
pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat untuk
selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang
bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.
PERTEMUAN KE II
DASAR-DASAR PERADILAN TUN
1. DASAR KONSTITUSIONAL
2. URGENSI DAN TUJUAN PEMBENTUKAN
PERATUN
3. DASAR HUKUM
4. CIRI DASAR PERADILAN TUN
DASAR KONSTITUSIONAL
PENJELASAN UUD 1945 TENTANG SISTEM
PEMERINTAHAN NEGARA
Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) , tidak
berdasarkan kekuasaan belak ( Machtsstaat)
PASAL 1 AYAT (3) UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
Negara Indonesia adalah negara hukum
Pasal 24 ayat (2) UUD NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 1945
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.’’
UNSUR-UNSUR NEGARA HUKUM
MENURUT F.J. STAHL

1. MENGAKUI DAN MELINDUNGI HAM


2. PEMISAHAN KEKUASAAN
3. PEMERINTAHAN BERDASARKAN UU
4. ADANYA PERADILAN ADMINISTRASI
WELFARE STATE

FREIES ERMESSEN

BESCHIKKING

MERUGIKAN ORANG/BADAN HK. PERDATA

PERATUN

KTUN BATAL / TIDAK SAH


TUJUAN DIBENTUKNYA PERATUN

PENJELASAN UMUM UU NO. 5 Tahun 1986


Peradilan Tata Usaha Negara itu diadakan dalam rangka
memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan, yang
merasa dirinya dirugikan akibat suatu Keputusan Tata Usaha
Negara`
KETERANGAN PEMERINTAH DALAM SIDANG
PARIPURNA TANGGAL 29 APRIL 1986
1. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang
bersumber dari hak-hak individu
2. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang
didasarkan kepada kepentingan bersama dari individu yang
hidup dalam masyarakat tersebut
DASAR HUKUM PERATUN

UU. NO. 5 /1986 TENTANG PERADILAN TATA USAHA


NEGARA
UU NO. 9/ 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
UU. NO. 51/ 2009 PERUBAHAN KEDUA ATAS
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1986 TENTANG
PERADILAN TATA USAHA NEGARA
UU. NO. 30/ 2014 TENTANG ADMINISTRAS
PEMERINTAHAN.
SEMA NO. 2 TAHUN 1991
CIRI DASAR HK. ACARA TUN.

1. POKOK MASALAH => WEWENANG BADAN / PEJABAT TUN.

2. PETITUM => SAH / TIDAKNYA KTUN.

 TD. KENAL REKONPENSI

 TD KENAL SAMENLOOP VAN VERORDENINGEN.

3. KESERAGAMAN DAN KESEDERHANAAN PROSES:

1. AC. BIASA.

2. AC KHUSUS:

- AC CEPAT. (PS 98)

- AC SINGKAT.(PS 62)
(UU. NO.5/ 1986)
- DISMISAL / PERLAWANAN (PS 62, 118)

- PENUNDAAN PELAKSANAAN KTUN (PS 67)

- PERMOHONAN AC CUMA-CUMA (PS 60)


4. Pemeriksaan  Contradictoir + unsur Inquisitoir.

5. Asas Rechtmatigeheid

- Penggugat hrs mengajukan Adstruksi.

- ps 67(1): Gug. td menundan pelaksanaan KTUN.

UU. 5/1986 +??


6. Asas Pembuktian Bebas Terbatas.

- Alat pembuktian  Bebas Terbatas. (ps 100).

- Sahnya pembukt  minim 2 alat bukti + keyakinan hakim. (1007)

- Hakim  Apa, beban siapa, penilaian pembuktian. (107)

7. Hakim  “intra Petita” >< “ Ultra Petita” atau “ultra passé non protest

esse, et vice versa” atau “reformation in peius”

8. Putusan peratun secara doktriner “interpatise” tetapi kenyataan “ Erga

omnes”= Yurisprodensi .

Anda mungkin juga menyukai