Penggugat:
Subyek Hukum (orang atau badan hukum) yang “merasa” haknya dilanggar oleh pihak lain. Kalau
subyek hukum tidak “merasa” ada haknya yang terganggu, maka dia tidak akan mengajukan gugatan
terhadap pihak lain.
Tergugat:
Subyek Hukum (orang atau badan hukum) yang dianggap melakukan pelanggaraan terhadap hak-hak
pihak lain atau tidak memenuhi kewajiban kepada pihak lain, baik itu berdasarkan perjanjian maupun
berdasarkan undang-undang.
2. Permohonan (Voluntaria)
Ada Sengketa
Satu pihak
Produk Hukum berupa Penetapan
Tidak ada tahap jawaban, replik, duplik dan kesimpulan
Keputusan Hakim hanya bersifat deklaratoir
Tidak Mengenal asas nebis in indem
Ditangani Hakim Tunggal
Pengajuan Gugatan
1. Secara Tertulis (Pasal 118 HIR)
2. Secara Lisan (Pasal 120 HIR)Ketua Pengadilan Negeri membuat atau menyuruh dibuat
gugatan dimaksud
Kompetensi Pengadilan :
1. Kompetensi Absolut
Berkaitan dengan pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan
Contoh :
a. Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara perdata dan
pidana sesuai ketentuan perundang-undangan.
b. Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara antara orang-
orang yang beragama islam
c. Peradilan militer berwenang memutus perkara tindak pidana militer
d. Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili dan memutus sengketa
tata usaha negara.
2. Kompetensi Relatif
Berkaitan dengan pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa.
Contoh:
Berdasarkan Reglemen indonesia yang Diperbarui:
a. Tempat tinggal Tergugat (Pasal 118 ayat 1 HIR);
b. Tempat tinggal salah satu Tergugat (jika terdapat beberapa Tergugat) yang dipilih oleh
Penguggat (Pasal 118 ayat 2 HIR);
c. Tempat tinggal Penggugat atau salah satu Penggugat, jika tempat tinggal Tergugat tidak
diketahui (Pasal 118 ayat 3 HIR);
d. Tempat benda tidak bergerak terletak, apabila perkara mengenai sengketa atas benda
tidak bergerak (Pasal 118 ayat 3 HIR);
e. Tempat kedudukan yang dipilih oleh para pihak, bila atas perkara tersebut telah
ditentukan pilihan hukum (Pasal 118 ayat 4 HIR)
Kumulasi Gugatan dan Penggabungan perkara (voeging van zaken) tidak diatur dalam HIR akan tetapi
dalam Pasal 134 dan 135 RV
Penggabungan gugat hanya diperkenankan sepanjang masih dalam batas-batas tertentu, yaitu
apabila pihak penggugat dan tergugat masih itu-itu juga orangnya.
Tidak diperkenankan apabila gugatan diajukan terhadap seseorang dalam dua kualitas
Untuk menggabungkan perkara dijatuhkan putusan sela, yang disebut putusan insidentil
2. Hakim Pasif
Hakim dalam memeriksa perkara bersifat pasif
Ruang Lingkup atau Luas Pokok Sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada
asasnya ditentukan oleh pihak-pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim
Hakim mengejar kebenaran formal, yakni kebenaran yang hanya didasarkan bukti-bukti yang
diajukan di depan persidangan, tanpa harus disertai keyakinan hakim.
3. Hakim Aktif
Dalam beracara dengan HIR/RBg. Hakim harus aktif sejak perkara dimasukkan ke pengadilan,
memimpin sidang, melancarkan jalannya persidangan, membantu para pihak dalam mencari
kebenaran, penjatuhan putusan sampai dengan pelaksanaan putusan (eksekusi)
Karena dalam HIR/Rbg. Tidak ada keharusan menunjuk kuasa hukum.
Yang dapat dituntut kreditur, apabila debitur lalai (Pasal 1246 KUHPer)
1. Ganti Rugi
2. Biaya
3. Bunga
Pasal 126 HIR memberi kebebasan kepada hakim, apabila ia menganggap perlu, untuk apabila pada
sidang pertama baik penggugat maupun tergugat kesemuanya atau salah satu dari mereka tidak
datang, mengundurkan sidang dan memerintahkan lagi untuk memanggil pihak atau pihak-pihak yang
tidak datang sekali lagi.
Kebebasan yg diberikan kepada Hakim berdasarkan Pasal 126 HIR tersebut berarti bahwa tidak ada
keharusan untuk menjatuhkan suatu putusan perstek atau putusan gugur, meskipun pihak tergugat
kesemuanya atau penggugat kesemuanya tidak datang
Mediasi (Perdamaian)
Pasal 130 ayat 1 HIR : Hakim sebelum memeriksa perkara perdata harus berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak, malahan usaha perdamaian itu dapat dilakukan sepanjang
proses berjalan, juga dalam taraf banding
Apabila hakim berhasil untuk mendamaikan kedua pihak maka dibuat akta perdamaian dari kedua
belah pihak dihukum untuk mentaati isi dari akta perdamaian tersebut.
Akta perdamaian mempunyai kekuatan seperti suatu putusan hakim yang biasa yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht van gewijsde)
Pasal 130 ayat 3 HIR terhadap putusan perdamaian tidak diperkenankan untuk mengajukan
banding atau kasasi.
Seandainya suatu waktu diajukan kembali persoalan yang sama (yang sudah dibuat akta
perdamaian) oleh salah satu pihak atau ahli warisnya maka gugatan akan dinyatakan “nebis in
idem” dan karenanya dinyatakan tidak dapat diterima
Hak tergugat untuk mengajukan bantahan terhadap gugatan, dapat diajukan melalui :
1) Eksepsi, yaitu tangkisan tergugat atas surat gugatan penggugat, baik yang bersifat prosesuil
maupun materiil;
2) Konvensi (Jawaban), yaitu jawaban tergugat atas pokok/ fundamentum petenti gugatan
penggugat;
3) Rekonvensi, yaitu gugatan balik dari tergugat kepada penggugat
Eksepsi
Eksepsi prosesuil :
a. eksepsi terkait kompetensi absolut pengadilan negeri
b. eksepsi terkait kompetensi relatif pengadilan negeri
Eksepsi kekuasaan relatif tidak diperkenankan diajukan setiap waktu, melainkan harus diajukan
pada permulaan sidang, yaitu sebelum tergugat menjawab pokok perkara.
Eksepsi kekuasaan absolut dapat diajukan setiap waktu selama pemeriksaan perkara berlangsung
Apabila Eksepsi ditolak karena tidak beralasan maka dijatuhkan putusan sela dan dalam putusan
tersebut sekalian diperintahkan agar supaya kedua belah pihak melanjutkan perkara tersebut.
Menurut Pasal 136 HIR eksepsi selain yang menyangkut kekuasaan hakim absolut dan relatif, harus
dibahas dan diputuskan bersama-sama dengan pokok perkara
Konvensi (Jawaban)
Konvensi dalam jawaban atas pokok perkara dapat dilakukan dalam 3 hal yaitu:
1. Pengakuan, baik atas sebagian atau seluruh gugatan
2. Membantah dalil gugatan, yang mencakup:
a. Bantahan atas kebenaran dalil gugatan;
b. Bantahan atas kejadian atau fakta;
c. Melumpuhkan kekuatan pembuktian.
3. Tidak memberi pengakuan maupun bantahan
Rekonvensi
Gugatan Rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam
sengketa yang sedang berjalan diantara mereka
Gugatan Rekonvensi diajukan bersama-sama dengan jawaban.
Guagatan Rekonvensi dapat diajukan dalam setiap perkara, pengecualiannya adalah 4 hal dalam
pasal 132a HIR:
1) Jika penggugat dalam gugat asal mengenai sifat, sedang gugat balasan itu mengenai dirinya
sendiri dan sebaliknya;
2) Jika pengadilan negeri kepada siapa gugat asal itu dimasukkan, tidak berhak, oleh karena
berhubungan dengan pokok perselisihan, memeriksa gugat balasan;
3) Dalam perkara perselisihan tentang menjalankan putusan;
4) Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak dimasukkan gugat balasan, maka dalam tingkat
banding tidak boleh memajukan gugatan balasan
Gugat asal maupun gugat balasan pada umumnya diselesaikan secara sekaligus dengan satu
putusan
Sehubungan dengan putusan gugat balasan, permohonan pemeriksaan banding kepada
pengadilan tinggi dapat diajukan oleh pihak-pihak yang bersangkutan terhadap putusan
pengadilan negeri yang telah memutus perkara itu, baik untuk putusan dalam konvensi maupun
dalam rekonvensi
Fungsi Gugat Rekonvensi :
1) Menghemat ongkos perkara;
2) Mempermudah pemeriksaan;
3) Mempercepat penyelesaian sengketa;
4) Menghindari putusan yang saling bertentangan
PERIHAL PEMBUKTIAN
Hal-hal atau keadaan-keadaan yang telah diketahui khalayak ramai tidak harus dibuktikan (fakta
notoir)
Pasal 163 HIR : “Barang siapa mengatakan mempunyai barang suatu hak, atau mengatakan suatu
perbuatan untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah hak orang lain, haruslah
membuktikan hak itu atau adanya perbuatan itu” asas “siapa yang mendalilkan sesuatu dia
harus membuktikannya”
5 macam alat bukti (Pasal 164 HIR):
1) bukti surat;
2) bukti saksi
3) persangkaan
4) pengakuan
5) sumpah
Bukti Surat :
3 macam surat :
a) surat biasa
surat biasa dibuat tidak dengan maksud untuk dijadikan bukti
b) akta otentik
akta dibuat dengan sengaja, untuk dijadikan bukti
akta otentik, yaitu surat yang diperbuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang
berkuasa akan membuatnya.
c) akta di bawah tangan
Akta di bawah tangan kebalikan dari akta otentik, mis:surat perjanjian hutang-
piutang
Akta Otentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian:
a) Kekuatan pembuktian formil membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah
menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut.
b) Kekuatan pembuktian materiil membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar
peristiwa yang tersebut dalam akta itu telah terjadi
c) Kekuatanmengikat membuktikan antara pihakdan pihak ketiga, bahwa pada tanggal
tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap kepada pegawai umum tadi
dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut
Bukti Saksi :
Pasal 171 ayat 2 HIR : yang dapat diterangkan oleh saksi hanyalah apa yang ia lihat, dengar
atau rasakan sendiri, lagipula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya,
dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya, perasaaan atau
sangka yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian.
Seorang saksi dilarang untuk menarik kesimpulan
Anak yang belum mencapai umur 15 tahun dilarang didengar sebagai saksi, kecuali telah
menikah
Keterangan anak belum 15 tahun dan keterangan orang gila yang kadang terang ingatannya
hanya dapat dipakai untuk menyusun persangkaan
Persangkaan :