NPM : 6051901125
Kelas : A
4. Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
A. Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
B. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
C. Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. (Pasal 1 butir 10
jo Pasal 77 KUHAP);
D. Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP).
Prosedur pemeriksaan Pra Peradilan :
1) Pra peradilan dipimpin oleh Hakim Tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan
Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera (Pasal 78 ayat (2) KUHAP).
2) Pada penetapan hari sidang, sekaligus memuat pemanggilan pihak pemohon dan
termohon pra peradilan.
3) Dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung permohonan pra peradilan diperiksa,
permohonan tersebut harus diputus.
4) Pemohon dapat mencabut permohonan¬nya sebelum Pengadilan Negeri
menjatuhkan putusan apabila disetujui oleh termohon. Kalau termohon menyetujui
usul pencabutan permohonan tersebut, Pengadilan Negeri membuat penetapan
tentang pencabutan tersebut.
5) Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan sedangkan
pemeriksaan pra peradilan belum selesai maka permohonan tersebut gugur. Hal
tersebut dituangkan dalam bentuk penetapan.
Gugurnya gugatan praperadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat 1 huruf d
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam pasal itu menyatakan
gugatan praperadilan dapat dinyatakan gugur secara hukum jika sidang pokok perkara
telah dimulai.
6. A. Alat bukti
Dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan
bahwa alat bukti yang sah adalah:
1) keterangan saksi
2) keterangan ahli
3) surat, petunjuk dan
4) keterangan terdakwa
Dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief
wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan
untuk pembuktian.
B. Barang Bukti
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana memang tidak menyebutkan secara jelas
tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam Pasal 39 ayat (1)
KUHAP disebutkan mengenai apa-apa saja yang dapat disita, yaitu:
1) benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga
diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana
2) benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana
atau untuk mempersiapkannya;
3) benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyelidikan tindak pidana;
4) benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
5) benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang
dilakukan.
Dengan kata lain benda-benda yang dapat disita seperti yang disebutkan dalam Pasal
39 ayat (1) KUHAP dapat disebut sebagai barang bukti.
C. Kekuatan Pembuktian
Suatu alat bukti maupun barang bukti akan mempunyai kekuatan hukum pembuktian
yang sempurna apabila alat maupun barang bukti itu memang berasal dari terdakwa.
sebagai contoh alat dan barang bukti yang sudah pasti kekuatan hukumnya sempurna
adalah keterangan terdakwa yang disertai keterangan yang jelas berkaitan dengan tindak
pidana yang dilakukannya, akta otentik, dan pengakuan di muka hakim.
7. KUHAP di Indonesia menganut sistem negatief wettelijke yakni sistem menurut undang-
undang sampai suatu batas yang tersebut dalam pasal 183, yang berbunyi : ”hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwa yang bersalah melakukannya”
Dalam Pasal 183 KUHAP telah diatur syarat-syarat hakim untuk menghukum terdakwa
yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang syah yang ditetapkan oleh undang-undang
disertai keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang melakukannya. Kata-kata sekurang-
kurangnya dua alat bukti yang sah, memberikan limit dari bukti yang minimum yang
harus digunakan dalam membuktikan suatu tindak pidana.
Selain itu terdapat juga Pasal 184 KUHAP tentang alat bukti sah di persidangan yang
juga menunjukan bahwa KUHAP di Indonesia menganut sistem negatief wettelijke. Pasal
ini memberi pedoman untuk alat bukti apa saja yang berlaku di pengadilan sehingga
apabila ada alat bukti diluar ketentuan ini dianggap tidak berlaku dalam
membuktikan suatu tindak pidana.
10. Upaya hukum adalah suatu tindakan atau suatu usaha yang dilakukan oleh terdakwa atau
Jaksa atau pihak ketiga untuk memperoleh hak-haknya kepada pejabat yang berwenang.
Hak yang dimaksud adalah hak untuk mencari dan mendapatkan kepastian hukum yang
mengandung keadilan dan kebenaran. Bagi jaksa, upaya hukum bertujuan untuk lebih
menjamin keberhasilan tuntutannya.
Upaya hukum dibagi menjadi dua yaitu :
a. Upaya hukum biasa
terdiri dari banding (Pasal 233-234 KUHAP) dan kasasi (Pasal 244-259 KUHAP)
b. Upaya hukum luar biasa
disebut luar biasa karena didalamnya ada hal yang bersifat tidak umum. Upaya hukum
luar biasa terdiri dari Peninjauan kembali dan Kasasi demi kepentingan umum.
Putusan bebas pengaturannya terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP sebagai
berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”
Dalam penjelasan Pasal 191 ayat (1) KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan meyakinkan”
adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan
menggunakan alat bukti menurut ketentuan hukum acara pidana.
Pada putusan bebas (vrijspraak) tindak pidana yang didakwakan jaksa/penuntut umum
dalam surat dakwaannya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Dengan kata lain, tidak dipenuhinya ketentuan asas minimum pembuktian (yaitu dengan
sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah) dan disertai keyakinan hakim.
Terhadap putusan bebas dapat dilakukan kasasi. Mahkamah Konstitusi
melalui Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 114/PUU-X/2012 melegalkan praktik
pengajuan kasasi atas vonis bebas. Jadi, putusan bebas bisa dilakukan upaya hukum kasasi
berdasarkan Pasal 244 KUHAP jo. Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 114/PUU-
X/2012 dan kasasi demi kepentingan hukum yang diajukan oleh Jaksa Agung (Pasal 259
KUHAP).