Masalah Pembuktian merupakan titik sentral dari hukum acara pidana.
Tujuan pembuktian adalah untuk mancari dan mendapatkan kebenaran yang materiil dan untuk mencari kesalahan seseorang.
Pembuktian terdiri dari :
1. menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh pancaindra. 2. memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima tersebut. 3. menggunakan pikiran logis.
SISTEM ATAU TEORI PEMBUKTIAN :
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka Menurut teori ini hakim dianggap cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinannya dengan tidak terikat pada suatu aturan hukum, hingga dengan teori ini hakim dapat mencari dasar putusannya itu menurut perasaannya semata-mata. b. Sistem atau Teori Pembuktian menurut UU yang Positif Teori pembuktian ini disebut juga “positief wettelijk bewij theorie” atau juga dikenal dengan teori pembuktian formil (foemale bewijstheorie). Di dalam sistem ini atau teori ini UU telah menentukan alat bukti yang hanya dapat dipakai oleh hakim, dan asal alat bukti telah dipakai secara yang telah terbukti atau tidaknya perkara yang diperiksanya itu, meskipun barangkali hakim sendiri belum bagitu yakin atas kebenaran dalam putusannya itu.
Dapat disimpulkan di sini bahwa persamaan antara teori “negatif
wettelijk” dengan teori pembuktian bebas (vrije bewijstheori) ialah keduanya sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa terdakwalah yang bersalah. Sedangkan perbedaannya adalah bahwa dalam teori alat-alat pembuktian yang secara limitatif telah ditentukan oleh UU. D. Hal-Hal yang Berkaitan Dengan Pembuktikan a. Alat-alat pembuktian (bewijsmiddelen). Perihal pembuktian di dalam KUHAP diatur pada Bab XVI Bagian ke empat dari Pasal 183 sampai dengan Pasal 189.
Di dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP dinyatakan alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat d. petunjuk e. keterangan terdakwa
b. penguraian pembuktian (bewijsvoering).
Penguraian pembuktian ialah cara-cara dalam mempergunakan alat-alat bukti tersebut dalam suatu perbuatan yang telah dilakukan terdakwa. c. kekuatan pembuktian (bewijskracht). Kekuatan pembuktian ini artinya adalah pembuktian dari masing-masing alat bukti. Dalam pembuktian, maka hakim sangat terikat pada kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. \ d. dasar pembuktian (bewujsground). Dasar pembuktian adalah isi dari alat bukti. Misalnya keterangan seorang saksi bahwa ia telah melihat sesuatu, disebut alat bukti, tapi keadaan apa yang dilihatnya, yang didengar atau dialaminya dengan disertai alasan-alasan mengapa ia melihat, mendengar atau mengalami itu yangditerangkannya dalam kesaksiannya, disebut dasar pembuktian. e. beban pembuktian (bewijslast). Dalam hubungannya dengan ini, maka perlu diingat adanya asas praduga tak bersalah tak bersalah (presumtion of innocence), yang menyatakan bahwa seseorang yang diadili wajib dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dapat dibuktikan di muka hakim. Asas ini disebut dalam UU Kekuasaan Kehakiman (UU No 14 Tahun 1970) dan juga dinyatakan dalam penjelasan umum KUHAP.