Anda di halaman 1dari 35

Analisa Kasus Kejahatan Perang Sudan terhadap

Pertanggungjawaban Pemimpin Negara


Dalam Yuridiksi ICC
(Studi Kasus Omar Al-Bashir Presiden Sudan)
(Disusun untuk memenuhi UAS Mata Kuliah Hukum Pidana Internasional dengan tema
Kasus Kejahatan Perang Terkait Yuridiksi ICC)

Hukum Pidana Internasional Kelas H

Disusun oleh :
Nama : Salsalina Karina Br Tarigan
NIM : 11000119120097

Dosen Pengampu :
Dr. Nuswantoro Dwiwarno,S.H.,M.H.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...............................................................................………………….i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………..ii

BAB A PENDAHULUAN……………………………………………………………………….3

BAB B PERMASALAHAN……………………………………………………………………..7

BAB C ANALISA KASUS DAN PEMBAHASAN

 C.1. Asas-Asas Dalam Hukum Pidana

Internasional……………………………….8

 C.2. Kejahatan-Kejahatan Internasional (Tindak Pidana Internasional)

………….8

 C.3. Peranan International Criminal Court (Icc) Dalam Penegakan Hukum

Pidana

Internasional………………………………………………………………………….13

 C.4 Yurisdiksi Mahkamah Pidana

Internasional…………………………………..14

 C.5. Prinsip - Prinsip Dasar Mahkamah Pidana Internasional…………………..17

 C.6. Pertanggungjawaban Pemimpin Negara Terkait Dengan Kejahatan Perang

Dalam Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasioal…………………………………

21

 C.7. Proses Penanganan dan Hambatan Mahkamah Pidana Internasional/ICC

dalam Mengadili Omar Al Bashir……………………………………………………

28

BAB D PENUTUP

 D.1. Kesimpulan…………………………………………………………………32

 D.2. Saran/Rekomendasi…………………………………………………………….33

2
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................………….34

BAB A

PENDAHULUAN

Eksistensi hukum pidana internasioal tidak mungkin dipisahkan dengan

keberadaan kejahatan internasional sebagai substansi dari hukum pidana internasional

itu sendiri. Keberadaan kejahatan internasional berawal dari kebiasaan yang terjadi

dalam praktek hukum internasional. Kejahatan perang, adalah salah satu bentuk

kejahatan internasional tertua di dunia yang lahir dari hukum kebiasaan internasional.

Kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter van Hagenbach di

Breisach, Jerman pada tahun 1474. Hagenbach diadili di Austria oleh 18 hakim dari

persekutuan negara kerajaan suci Roma dan dinyatakan bersalah atas pembunuhan,

pemerkosaan, sumpah palsu, dan kejahatan lain yang melawan hukum Tuhan dan

manusia pada saat ia melakukan pendudukan militer dalam persidangan Internasional

tersebut kesatriaan Hagenbach dilucuti dan ia dijatuhi hukuman mati.1

Kejahatan internasional lainnya yang turut mempengaruhi hukum pidana

internasional adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Genosida baru muncul pada dekade 40an, upaya penuntutan terhadap kejahatan

genosida sudah dimulai sejak tahun 1918, saat itu dalam pertemuan Imperial War

Cabinet, 20 November 1918, Lord Curzon dari Inggris menekankan upaya penuntutan

1
Hiariej, Eddy O.S. 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit
Erlangga.hlm 11.

3
terhadap para pemimpin Jerman dan para Turki Muda yang melakukan pembersihan

terhadap etnis minoritas Armenia di Turki.2

Keberadaan hukum pidana internasional semakin sempurna dengan

ditandatanganinya Statuta Roma 1998 untuk membentuk Mahkamah Pidana

Internasional yang mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB

di Roma, Italia, sejak 15 Juni sampai dengan 17 Juli 1998, dengan hasil perhitungan

suara di mana terdapat 120 suara yang mendukung, 7 suara yang menentang, dan 21

suara yang abstain, para peserta menyetujui statuta yang akan membentuk suatu

pengadilan terhadap tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian

internasional, yakni agresi, genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan

perang.3

Kejahatan perang diatur dalam Statuta Roma 1998 Pasal 8. Garis besarnya

tersirat bahwa ICC mempunyai jurisdiksi berkenaan dengan kejahatan perang pada

khususnya apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau

sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut,

“kejahatan perang” berarti:

Pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa tertanggal 12 Agustus 1949,

yaitu masing-masing dari perbuatan berikut ini terhadap orang-orang atau hakmilik

yang dilindungi berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa yang bersangkutan:

1). Pembunuhan yang dilakukan dengan sadar;

2). Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk percobaan biologis;

3). Secara sadar menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan

atau kesehatan;

4). Perusakan meluas dan perampasan hakmilik, yang tidak dibenarkan oleh

kebutuhan militer dan dilakukan secara tidak sah dan tanpa alasan;

2
Ibid.hlm 12.
3
Ibid.hlm 16.

4
5). Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas

dalam pasukan dari suatu Angkatan Perang lawan;

6). Secara sadar merampas hak-hak seorang tawanan perang atau orang lain yang

dilindungi atas pengadilan yang jujur dan adil;

7). Deportasi tidak sah atau pemindahan atau penahanan tidak sah;

8). Menahan sandera.

Kejahatan perang, diatur secara khusus dalam Hukum Humaniter Internasional 4

Presiden memiliki hak kekebalan atau Immunity Right merupakan bagian dari

kebebasan yang diberikan oleh pemerintah negara untuk bertindak dalam mengambil

kebijakan. Hak kekebalan yang dimaksud bertujuan agar pejabat tersebut

melaksanakan kewajibannya secara bebas. Kebebasan ini merupakan salah satu

cermin bahwa sang pejabat tidak selalu bergantung pada pemerintah di negara

tersebut, karena ketergantungan dapat berdampak buruk bagi kelancaran pelaksanaan

tugas khususnya saat pengambilan keputusan. Kekebalan hukum itu tidak dapat

berfungsi jika dalam pelanggaran hukum yang diperbuat seorang pejabat negara

tersebut hanya demi kepentingan pribadi dan kelompok serta golongan tertentu, bukan

demi kepentingan negara.

Berbagai kasus yang berhubungan dengan imunitas kepala negara seperti

kasus yang menimpa Presiden Sudan Omar Al Bashir. Tuduhan atas Omar Al- Bashir

ini bermula dari konflik dan krisis yang melanda kawasan Darfur di Sudan. Gabungan

beberapa faktor seperti kekeringan, perubahan lingkungan yang drastis, pertumbuhan

yang cepat, kesempatan politik, dan politik secara regional merupakan bagian dari

sejarah konflik tersebut. Selain itu, kawasan yang terletak di sebelah barat Sudan ini

berkembang menjadi kawasan yang termarjinalkan dikarenakan tidak adanya

perhatian serta tirani terhadap warga nonarab dari pemerintah Sudan. Kondisi ini

memaksa terbentuknya dua kelompok pemberontak sebagai bentuk protes atas

4
International Comitte of Red Cross.1996. Hukum Humaniter International, Jakarta:ICRC.hlm 1.

5
ketidakadilan yang menimpa kawasan tersebut, yaitu Sudan Liberation Army (SLA)

dan Justice and Equality Movemen (JEM) pada awal tahun 2003. Kedua kelompok

pemberontak memulai aksinya dengan berhasil menguasai kota Gulu pada awal

Februari tahun 2003. Pemerintah Sudan yang tidak siap untuk mengadakan serangan

balasan dikarenakan keterbatasan personel militer, menginisiasi suku-suku setempat

untuk ikut memerangi pemberontak. Suku-suku ini, yang merupakan suku nomaden

Arab untuk dijadikan milisi. Milisi ini yang kemudian dikenal dengan nama “Janjaweed”

ini sebagian besar anggotanya direkrut dari Suku Arab Baggara. Sepak terjang dari

Janjaweed untuk membantu pemerintah Sudan ini kemudian menimbulkan

permasalahan baru terutama dalam pelanggaran berat HAM, bukan hanya

pemberontak yang menjadi fokus penyerangan tetapi juga penduduk sipil turut menjadi

korban serangan.5

5
Septianto,Rendi. 2010. Keberlakukan Statuta Roma 1998 Pada Negara Yang Belum
Meratifikasi (Studi Kasus Presiden Omar Hassan Al Bashir) Skripis Universitas Airlangga,
Surabaya.hlm. 1.

6
BAB B

PERMASALAHAN

Berdasarkan kepada latar belakang yang dikemukakan diatas maka saya tertarik

untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai “Analisis Yuridis

Pertanggungjawaban Pemimpin Negara Terkait Dengan Kejahatan Perang Dan Upaya

Mengadili Oleh Mahkamah Pidana Internasional (Studi Kasus Omar Al-Bashir Presiden

Sudan)”.

Berdasarkan latar belakang ini maka saya mengambil rumusan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimana pertanggung jawaban pemimpin negara yang memiliki hak imunitas

terkait dengan kejahatan perang dalam yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasioal atau

ICC?

2. Bagaimana proses penanganan dan hambatan Mahkamah Pidana Internasional

(ICC) dalam mengadili kasus Omar Al Bashir ?

7
BAB C

ANALISA KASUS DAN PEMBAHASAN

C.1. Asas-Asas Dalam Hukum Pidana Internasional

Ada beberapa asas yang dikenal dalam hukum pidana internasional anatara lain:6

a. Asas Legalitas

b. Asas Tidak Berlaku Surut (Non Retroaktive)

C.2. Kejahatan-Kejahatan Internasional (Tindak Pidana Internasional).

Sebelum kita memasuki analisa kasus dan pembahasan ada baiknya kita

membahas terlebih dahulu mengenai apa dan bagaimana kejahatan-kejahatan

internasional (tindak pidana internasional).

Definisi tindak pidana internasional dapat ditemukan dalam putusan peradilan

tindak pidana Perang di Amerika dalam kasus Hostages yang menyatakan sebagai

berikut:

“An international crimes is such an act universally recognized as a criminal

which is considered a grave matter of international concern and for some valid reason

cannot be left within the exclusive jurisdiction of the state, that would have control over

it under normal circumstances.”

6
Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2014,hlm. 27-29.

8
Dari uraian definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tindak pidana

internasional adalah suatu tindakan yang secara universal diakui sebagai suatu tindak

pidana. Pengakuan secara internasional ini disebabkan karena tindak pidana tersebut

merupakan persoalan yang sangat besar dan menjadi perhatian masyarakat

internasional. Dengan demikian, terhadap tindak pidana ini tidak hanya tunduk pada

yurisdiksi negara tertentu saja, tetapi dapat tunduk pada yurisdiksi semua negara atau

dapat diterapkan yurisdiksi universal.7

Adapun persyaratan tindak pidana internasional adalah:8

1. Memiliki unsur internasional Hal ini dimaksud dengan memilki unsur internasional

adalah kejahatan tersebut dapat mengancam, baik langsung maupun tidak langsung,

perdamaian dan keamanan umat manusia secara keseluruhan. Selain itu pula

kejahatan tersebut diakui sebagai perbuatan yang menggoncangkan hati nurani umat

manusia atau melanggar nilai-nilai bersama umat manusia.

2. Memilki unsur transnasional Unsur ini menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut

mempengaruhi keselamatan umum dan kepentingan ekonomi lebih dari suatu negara.

Tindak pidana tersebut biasanya melintasi batas-batas wilayah negara, termasuk

melibatkan dan mengakibatkan kepada warganegara lebih dari suatu negara dan

menggunakan sarana dan prasarana atau cara-cara yang bersifat lintas negara.

3. Memiliki unsur keharusan. Unsur ini dimaksudkan bahwa dalam rangka

pemberantasan dan penegakan hukum pidana internasional, diperlukan kerjasama

internasional. Kerjasama tersebut dikarenakan kejahatan tersebut sudah menjadi

dilicto jus gentium yang menjadi perhatian lebih dari suatu negara, bahkan diseluruh

masyarakat dunia. Oleh karena itu, terhadap kejahatan tersebut semua negara berhak

dan berkewajiban menangkap, menahan, menuntut serta mengadili pelaku kejahatan

7
Oetoeng Wahjoe, Hukum Pidana Internasional Perkembangan Tindak Pidana Internasional
dan Proses Penegakannya, Erlangga, Jakartan, 2011, hal. 27
8
Ibid, hal.30-31

9
dimanapun tindak pidana internasional itu dilakukan.

Ciri-Ciri Tindak Pidana International:9

1. Terdapat pengakuan secara eksplisit bahwa suatu tindakan merupakan tindakan

pidana, tindak pidana internasional, tindak pidana dibawah hukum internasional.

2. Diakui memilki sifat pidana dengan menetapkan kewajiban untuk melarang

dilakukan, mencegah, menuntut, memidana, dan sebagainya.

3. Memberikan sifat pidana pada suatu tindakan

4. Terdapat kewajiban atau hak untuk menuntut

5. Terdapat kewajiban atau hak untuk memidana

6. Terdapat kewajiban atau hak untuk mengekstradisikan

7. Memiliki kewajiban atau hak untuk bekerjasama dalam hal penuntutan dan

pemidanaan (termasuk memberikan bantuan hukum dalam acara pidana)

8. Menetapkan dasar-dasar yurisdiksi kriminal (teori prioritas)

9. Mendukung ataau menunjang ditetapkannya pengadilan atau international tribunal

10. Menghindarkan pembelaan dengan alasan perintah atasan.

Jenis-Jenis Tindak Pidana (Kejahatan-Kejahatan Internasional)10

Dilihat dari perkembangan dan asal-usul tindak pidana internasional ini, maka

eksistensi tindak pidana internasional dapat dibedakan dalam:

1. Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan yang berkembang di dalam

praktek hukum internasional

2. Tindak pidana internasional yang berasal dari konvensikonvensi internasional

3. Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah perkembangan konvensi

9
Ibid,hal.30
10
Untuk memahami lebih lanjut mengenai jenis-jenis tindak pidana internasional baca Romli
Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Refika Aditama, Bandung , 2006, hal.40-
43

10
mengenai hak asasi manusia.

Tindak pidana internasional yang berasal dari kebiasaan hukum internasional

adalah tindak pidana pembajakan atau piracy, kejahatana perang atau war crimes dan

tindak pidana perbudakan Slavery. Tindak pidana yang berasal dari konvensi-konvensi

internasional ini secara historis dibedakan antara tindak pidana internasional yang

ditetapkan di dalam suatu konvensi internasional saja (subject of single convention)

dan tindak pidana internasional yang ditetapkan oleh banyak konvensi (subject of

multiple convention). Tindak pidana internasional yang lahir dari sejarah

perkembangan konvensi mengenai hak asasi manusi merupakan konsekuensi logis

akibat Perang Dunia II yang meliputi bukan hanya korbankorban perang mereka yang

termasuk combatant, melainkan juga korban penduduk sipil (non combatant) yang

seharusnya dilindungi dalam suatu peperangan. Salah satu dari tindak pidana ini

adalah crime of genocide sesuai dengan Deklarasi PBB tanggal 11 Desember 1946

yang menetapkan genocide sebagai kejahatan hukum internasional.

Dalam naskah rancangan ketiga Undang - Undang Pidana Internasional atau

The International Criminal Code tahun 1954, telah ditetapkan 13 kejahatan yang dapat

dijatuhi pidana berdasarkan hukum internasional sebagai kejahatan terhadap

perdamaian dan keamanan seluruh umat manusia, ketiga belas tindak pidana ini

adalah sebagai berikut:

1. Tindakan persiapan untuk agresi dan tindakan agresi

2. Persiapan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap negara lain.

3. Mengorganisasi atau memberikan dukungan persenjataan yang ditujukan untuk

memasuki suatu wilayah.

4. Memberikan dukungan untuk dilakukannya tindakan terorisme di negara asing.

5. Setiap pelanggaran atas perjanjian pembatasn senjata yang telah disetujui

6. Aneksasi wilayah asing

7. Genocide

11
8. Pelanggaran atas kebiasaan dan hukum perang

9. Setiap pemufakatan, pembujukan, dan percobaan untuk melakukan tindak pidana

tersebut pada butir 8 diatas.

10. Piracy

11. Slavery

12. Apartheid

13. Threat and use of force against internationally protected persons.

Bassiouni (1986: 135) telah menyebutkan terdapat 22 jenis kejahatan

internasional yang dipandang memenuhi karakteristik tindak pidana. Ke -22 kejahatan

jenis kejahatan internasional dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Agression

2. War Crimes

3. Unlawful Use of Weapons

4. Crime Againtst Humanity

5. Genocide

6. Racial Discrimination and Apartheid

7. Slyvery and Ralated Crimes

S Torture

8. Mercenarism

9. Unlawful Human Experimentation

10. Piracy

11. Aircraft Hijacking

12. Threat and Use of Force Againts Internationally Protected person

13. Taking of Civilian Hostages

14. Drug Offenses

15. International Traffic in Obscence Publication

16. Destruction and/or Theft of National Treasures

12
17. Environmental Protection

18. Theft of Nuclear Materials

19. Unlawful Use of the Mails

20. Interference of the Submarine Cables

21. Falsification and Counterfeiting

22. Bribery of Foreign Public Official.

C.3. Peranan International Criminal Court (Icc) Dalam Penegakan Hukum Pidana

Internasional

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court /ICC) 11

Mahkamah Pidana Internasional dalam konteks hukum pidana internasional adalah

suatu Badan Peradilan tetap yang dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Mahkamah Pidana Internasional merupakan salah satu instrumen Perserikatan

Bangsa-Bangsa untuk menuntut dan mengadili para pelaku tindak pidana atau

kejahatan internasional. Mahkamah Pidana Internasional didirikan berdasarkan Statuta

Roma tahun 1998 (Statute of Rome 1998) yang merupakan hasil konferensi diplomatik

yang berlangsung di Roma pada tanggal 15 – 17 Juli 1998. Dalam konferensi tersebut

telah dihadiri oleh perwakilan masing-masing negara anggota Perserikatan Bangsa-

Bangsa di dunia ataupun utusan-utusan dari organisasi pemerintah maupun organisasi

non pemerintah. Setelah diatur didalam Statuta Roma tahun 1998 dan mulai

diberlakukan ketentuan didalamnya, Mahkamah Pidana Internasional secara sah telah

berdiri sebagai suatu badan peradilan internasional yang bersifat permanen (tetap)

dengan tugas, fungsi serta kewenangankewenangan yang dimilikinya.

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) berkedudukan di

Den Haag, Belanda. Keberadaan Mahkamah Pidana Internasional sebagai badan

peradilan internasional yang permanen. Mahkamah ini juga memiliki karakter hukum

11
Anis Widyawati, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hal. 150

13
internasional (International legal personality), artinya Mahkamah Pidana Internasional

sebagai subjek hukum internasional dengan kemampuan yang dimilikinya, serta

terdapat hakhak dan kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional. Selain

memiliki karakter hukum internasional, Mahkamah Pidana Internasional juga memiliki

karakter hukum nasional (National Legal Personality), yang juga berarti sebagai subjek

hukum nasional bagi negara-negara peserta ataupun bukan negara peserta (Pasal 4

ayat (2) Statuta Roma tahun 1998).

Kedudukan Mahkamah Pidana Internasional dalam kaitannya dengan

Perserikatan BangsaBangsa, karena terbentuknya mahkamah ini tidak bisa terlepas

dari prakarsa PBB melalui majelis umum dengan peranan oleh Komisi Hukum

Internasional. Mahkamah ini tidak berada di bawah atau sebagai bagian (bagian

utama, bagian subsider ataupun bagian khusus) dari PBB, sehingga dapat dikatakan

bahwa mahkamah berada di luar sistem PBB dengan kedudukannya sejajar atau

setara dengan PBB. Hal ini berdasarkan perjanjian antara mahkamah dan PBB yang

tertuang di dalam Pasal 2 Statuta Roma tahun 1998.

C.4 Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional12

Yuridiksi merupakan kewenangan dalam bertindak berdasarkan ketentuan yang

berlaku mengenai tugas, fungsi dan tujuannya. Seperti yurisdiksi-yurisdiksi badan

peradilan yang lain, misalnya : Mahkamah Nuremberg 1945, Mahkamah Tokyo 1946,

Mahkamah Bekas Yugoslavia 1993, dan Mahkamah Rwanda 1994, keberadaaan

Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) juga memiliki yurisdiksi,

yang diantaranya adalah yurisdiksi personal, yurisdiksi territorial, yurisdiksi temporal,

serta yurisdiksi kriminal. Adapun penjelasanpenjelasan mengenai yurisdiksi tersebut

adalah sebagai berikut :

a. Yurisdiksi Personal

12
Ibid, hal.151-153

14
Adalah kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah untuk mengadili para pelaku

kejahatan atau tindak pidana yang berupa orang-orang atau individu-individu yang

harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan sebagaimana telah ditentukan

didalam Statuta Roma tahun 1998 (Pasal 25 ayat (1), sehingga dalam hal ini, negara

bukan merupakan yurisdiksi personal bagi mahkamah ataupun subjek hukum

internasional lainnya kecuali individu. Hal yang khusus dalam yurisdiksi personal

mahkamah, yaitu mengenai pelaku kejahatan internasional yang usianya kurang dari

18 tahun, maka mahkamah tidak mempunyai wewenang untuk mengadilinya

dihadapan persidangan mahkamah, sehingga dapat dimintakan

pertanggungjawabannya berdasarkan hukum nasional negara-negara yang

bersangkutan (Pasal 26) Statuta Roma tahun 1998.

b. Yurisdiksi Territorial

Adalah kewenangan mahkamah dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai

badan peradilan internasional berdasarkan lokasi atau wilayah hukum atas perbuatan

kejahatan internasional itu terjadi. Pada dasarnya yurisdiksi ini berlaku di wilayah

negara-negara peserta dalam Statuta Roma tahun 1998 yang apabila terjadi kejahatan

lintas batas territorial negara. Akan tetapi dalam hubungannya terhadap negaranegara

yang menolak atau tidak menjadi anggota dalam Statute Roma tahun 1998 (tidak ikut

meratifikasi isi dari dari Statute Roma tahun 1998), mahkamah tidak dapat

menerapkan yuridiksinya terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah negara tersebut.

Maka dengan demikian para pelaku kejahatan berda di luar jangkauan yurisdiksi

mahkamah yang juga tidak mendapat kekebalan (imunitas) dari mahkamah.

c. Yurisdiksi Temporal

Adalah kewenangan mahkamah sebagaimana diatur didalam Pasal 11 ayat (1) dan

(2) Statuta Roma tahun 1998 yang berbunyi: mahkamah hanya memiliki yurisdiksi atas

15
kejahatan yang dilakukan setelah mulai berlakunya statuta ini. Mahkamah tidak

memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi sebelumnya, hal ini sesuai dengan salah

satu asas hukum pidana internasional, yaitu asas non retroaktif nonretroactive), hal

tersebut berdasarkan pada Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tahun 1998. Mengenai

yurisdiksi temporal yang ada pada mahkamah, bahwa tidak memberlakukan asas

daluarsa (lapse of time) atas keempat jenis kejahatan yang tunduk pada yurisdiksi

sebagaimana tercantum didalam Statuta Roma tahun 1998, yaitu kejahatan genosida,

kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, kejahatan agresi. Hal ini sesuai

dengan Pasal 29 Statuta Roma tahun 1998 yang menyatakan bahwa tidak ada satu

atau lebih kejahatan dalam yurisdiksi mahkamah yang tunduk pada pembatasan waktu

untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku kejahatan tersebut.

d. Yurisdiksi Kriminal

Adalah yurisdiksi yang dimiliki oleh mahkamah dalam menjalankan tugasnya untuk

mengadili kejahatan-kejahatan interansional yang termasuk atau diatur didalam Statuta

Roma tahun 1998. Dalam yurisdiksi kriminal mahkamah telah diatur dalam Pasal 5

Statuta Roma tahun 1998 yang menyatakan kejahatan dalam yurisdiksi mahkamah,

antara lain sebagai berikut :

1) Kejahatan genosida (the crime of genocide)

2) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity)

3) Kejahatan perang (war crimes)

4) Kejahatan agresi (the crimes of aggression)

Dari masing - masing jenis kejahatan - kejahatan internasional tersebut diatas,

didalam Statuta juga menjelaskan secara rinci mengenai definisi ataupun arti

mengenai kejahatan yang dimaksud, seperti dalam Pasal 9 Statuta Roma tahun 1998,

menerangkan tentang perlunya dirumuskan secara lebih rinci mengenai unsurunsur

masing-masing kejahatan (elements of crimes) dalam membantu untuk menafsirkan

16
atau menerapkan ketentuan terkait pasal yang menunjukkan jenis kejahatan yang

dimaksud didalam Statuta Roma tahun 1998.

C.5. Prinsip - Prinsip Dasar Mahkamah Pidana Internasional13

Dalam pembahasan mengenai prinsip - prinsip dasar pembentukan Mahkamah

Pidana Internasional merupakan landasan yang dijadikan dalam menjalankan tugas

dan fungsi dari Mahkamah Pidana Internasional itu sendiri.

Menurut Boer Mauna (2005: 297-301) dalam bukunya Hukum Internasional;

Pengertian, Peranan, dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global memberikan beberapa

prinsip dasar yang terdapat dalam Mahkamah Pidana Internasional, antara lain

sebagai berikut:

a. Prinsip Komplementer

Prinsip ini dijelaskan di dalam Mukadimah Statuta Roma tahun 1998, bahwa

maksud dari prinsip ini adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap

dari yurisdiksi pidana nasional. Pasal 1 Statuta Roma tahun 1998 memberikan

penjelasan mengenai prinsip komplementer (Complementary Principle).

Berdasarkan hal ini, merupakan pengakuan terhadap prinsip kedaulatan negara

dan harapan masyarakat internasional agar sistem hukum nasional memuat

pengaturan hukum untuk mengadili dan menghukum tindak pidana yang menjadi

keprihatinan dan kesengsaraan dunia. Sehingga dengan terbentuknya Mahkamah

Pidana Internasional tidak bermaksud untuk menggantikan keberadaannya peranan

yurisdiksi nasional yang berlaku di setiap negara.

b. Prinsip Penerimaan

Merupakan prinsip yang dimiliki oleh mahkamah dalam mengadili suatu perkara di

bawah ruang tetap admissibility (masalah penerimaan perkara) yang tercantum di

13
Ibid, hal.153-157

17
dalam Pasal 17 Statuta Roma tahun 1998. Hal tersebut merujuk pada hubungan

antara sistem hukum nasional dan Mahkamah Pidana Internasional dalam menentukan

suatu kasus dinyatakan tidak dapat diterima apabila:

1) Perkaranya sedang diperiksa dan diadili oleh negara setempat kecuali negara

tersebut tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) secara sungguh-sungguh

untuk melaksanakan penyidikan atau penuntutan;

2) Perkaranya telah diselidiki oleh negara setempat dan negara tersebut memutuskan

untuk tidak melakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan, kecuali jika

keputusan itu sebagai akibat dari ketidakmauan (unwilling) atau ketidakmampuan

(unable) negara itu untuk sungguhsungguh melakukan penuntutan’

3) Orang yang bersangkutan telah diadili untuk perbuatan yang sama dengan

perbuatan yang menjadi dasar tuntutan mahkamah pidana internasional seperti yang

disebutkan didalam Pasal 20 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998;

4) Kasusnya tidak cukup berat untuk memerlukan tindakan lebih lanjut dari Mahkamah

Pidana Internasional.

c. Prinsip Otomatis (Automatic Principle)

Menurut prinsip ini pelaksanaan yurisdiksi mahkamah atas dasar tindakan tindakan

pidana yang tercantum dalam Statuta Roma tahun 1998 dengan tidak memerlukan

persetujuan dari negaranegara pihak yang bersangkutan. Semua negara secara

langsung (otomatis) menerima yurisdiksi mahkamah atas semua kejahatan yang

menjadi yurisdiksi dari mahkamah, yang demikian itu terdapat dalam paragraph 12

ayat (1) Statuta Roma tahun 1998. Sedangkan dalam Pasal 12 ayat (2) Statuta Roma

tahun 1998 menjelaskan bahwa mahkamah dapat menjalankan yurisdiksinya jika

kejahatan terjadi di wilayah negara pihak-pihak dan orang yang melakukan kejahatan

tersebut adalah warga negara dari engara anggota Statuta tersebut. Kemudian bagi

negara bukan menjadi anggota dari Statuta ini maka negara tersebut melalui suatu

18
pernyataan dapat menerima pelaksaaan yurisdiksi mahkamah atas tindak pidana

seperti yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Statuta Roma tahun 1998.

d. Prinsip Ratio Temporis (Yurisdiksi Temporal)

Maksud dari prinsip ini terkait waktu berlakunya Statuta Roma tahun 1998 tidak

berlaku bagi kejahatan yang terjadi sebelum adanya Statuta ini. Bagi negaranegara

yang menjadi anggota Statuta Roma tahun 1998 dinyatakan telah berlaku, mahkamah

mempunyai yurisdiksi atas kejahatankejahatan yang dilakukan setelah berlakunya

statuta bagi negara-negara anggota tersebut. Sebagai contoh, Negara Colombia

meratifikasi Statuta Roma tahun 1998 pada tanggal 1 November 2000, sedangkan

statuta tersebut mulai berlaku semenjak tanggal 1 Juli 2000. Oleh karena itu,

mahkamah tidak boleh menuntut kejahatan-kejahatan yang terjadi di negara Colombia

antara tanggal 1 Juli sampai dengan 1 November 2000. Hal ini ditegaskan dalam Pasal

24 Statuta Roma tahun 1998, bahwa seseorang tidak bertanggung jawab secara

pidana untuk suatu tindakan sebelum berlakunya Statuta Roma tahun 1998 bagi

negara yang bersangkutan. Inilah yang dinamakan prinsip non retroactive ratio

personal.

e. Prinsip Nullum Crimen Sine Lege

Maksud dari prinsip ini terdapat didalam Pasal 22 Statuta Roma tahun 1998

dibawah asas-asas umum dalam hukum pidana. Dijelaskan bahwa tidak seorangpun

dapat bertanggungjawab secara pidana berdasarkan statuta, kecuali tindakan tersebut

waktu dilakukan merupakan suatu tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi dan

kewenangan mahkamah. Selanjutnya prinsip nullum crimen sine lege diperjelas oleh

Pasal 23 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang yang telah didakwa mahkamah

hanya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Statuta Roma

tahun 1998.

19
f. Prinsip Nebis in Idem

Prinsip ini terdapat dalam Pasal 20 Statuta Roma tahun 1998 bahwa seseorang

tidak dapat dituntut lagi oleh mahkamah atas tindak pidana yang sama yang telah

diputuskan atau dibebaskan oleh mahkamah. Oleh karena itu, seseorang tidak dapat

diadili lagi oleh mahkamah atau pengadilan lain untuk suatu tindak pidana yang sama

sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 Statuta Roma tahun 1998, dimana tindak

pidana itu telah diputuskan dengan putusan pidana atau dibebaskan oleh mahkamah.

g. Prinsip Ratio Loctie (yurisdiksi Teritorial)

Merupakan prinsip bagi mahkamah yang memiliki yurisdiksi atas

kejahatankejahatan yang dilakukan di wilayah negara- negara anggota tanpa

memandang kewarganegaraan dari pelaku. Prinsip umum ini diatur didalam Pasal 12

ayat (2) butir (a) Statuta Roma tahun 1998. Mahkamah mempunyai yurisdiksi atas

kejahatan-kejahatan yang menerima yurisdiksinya atas ad hoc dan wilayah yang

ditunjuk oleh Dewan Keamanan.

h. Prinsip Tanggung Jawab Pidana secara Individual

Menurut Pasal 25 Statuta Roma tahun 1998, mahkamah mempunyai yurisdiksi

atas individu sebagai “natural person”. Seseorang yang melakukan tindak pidana di

wilayah yurisdiksi mahkamah bertanggung jawab secara pribadi dan dapat dihukum

sesuai isi dalam Statuta Roma tahun 1998. Ketentuan ini merupakan pencerminan

untuk mengadili dan menghukum individu dan bukan negara. Kejahatan terhadap

hukum internasional dilakukan oleh individu dan bukan entitas yang abstrak. Hanya

dengan menghukum individu yang melakukan kejahatan, hukum internasional dapat

ditegakkan seperti kasus yang terjadi dan diadili oleh Pengadilan Nuremberg tahun

1946.

20
i. Prinsip Praduga tak bersalah (Presumption of Innocence)

Maksud dari prinsip ini adalah bahwa setiap orang harus dianggap tidak bersalah

sampai dengan terdapatnya putusan dari pengadilan bawah mereka terbukti dan

dinyatakan bersalah. Diatur dalam Pasal 66 Statuta Roma tahun 1998 yang

menyatakan setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti bersalah dihadapan

mahkamah sesuai dengan hukum yang berlaku. Beban pembuktian dan tanggung

jawab terdapat kepada Jaksa Penuntutan yang akan membuktikan terdakwa bersalah.

j. Prinsip Hak Veto Dewan Keamanan untuk menghentikan Penuntutan

Merupakan hak yang dimiliki oleh Dewan Keamanan (Security Council) PBB untuk

dapat mencegah mahkamah dalam melaksanakan yurisdiksinya sesuai dengan Pasal

16 Piagam PBB. Menurut pasal tersebut bahwa tidak ada penyidikan atau penuntutan

yang dapat dimulai atau dilaksanakan sesuai statuta untuk jangka waktu 12 bulan

setelah Dewan Keamanan PBB dalam resolusinya yang dibuat menurut Bab VII

Piagam, meminta mahkamah untuk menangguhkan penyidikan atau penuntutan.

Permintaan tersebut dapat diperbaharui oleh Dewan dalam keadaan yang sama. Inilah

yang dinamakan prinsip defferal atau penangguhan yang dapat diperbaharui.

Kebijaksanaan ini dalam praktiknya bisa saja terjadi berlangsung terusmenerus.

Namun, meskipun permintaan defferal oleh Dewan Keamanan PBB dapat diperbaharui

atau diulangi kembali, terdapat kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan politik

dan berkurangnya unaminitas atau keseragaman pendapat dikalangan negara anggota

tetap yang mempunyai hak veto. Sehingga hal tersebut tidak memungkinkan

tercapainya lagi konsensus untuk mengajukan defferal kembali.

HASIL ANALISA KASUS DAN PEMBAHASAN

21
C.6. Pertanggungjawaban Pemimpin Negara Terkait Dengan Kejahatan Perang

Dalam Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasioal

Pemimpin negara adalah individu subjek Hukum Internasional yang dapat

dimintakan pertanggungjawaban. Pemikiran terhadap kedudukan Individu di dalam

hukum internasional telah berevolusi sedemikian rupa dan berkembang cukup

signifikan setelah adanya perkembangan yang terjadi dalam cabang-cabang hukum

Internasional, yaitu hukum pidana internasional, hukum hak asasi manusia

internasional, dan hukum humaniter internasional untuk menelaah kembali pengertian

individu terutama dalam konteks pertanggungjawaban pidana di hadapan pengadilan

internasional secara menyeluruh.

Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) Statuta Roma 1998 ditegaskan kembali bahwa

dari pengadilan pidana internasioan adalah individu atau person. Berikut ini kutipan

dari Pasal 25 tentang “Individual Criminal Responsibility” (Pertanggungjawaban Pidana

Perorangan):

(1) The court shall have jurisdiction over natural person pursuant to this Statue.

(2) A person who commits a crime within the jurisdiction of the Court shall be

individually responsible and liable for punishment in accordance with this Statue

(3) In accordance with this Statue, a person shall be criminally responsible and liable

for punishment for a crime within the jurisdiction of the Court if that person:

(a)…” Terjemahan bebasnya:

(1)Pengadilan mempunyai yurisdiksi atas orang sesuai dengan statuta ini.

(2)Seseorang yang melakukan kejahatan di dalam yurisdiksi pengadilan bertanggung

jawab secara individual dan dapat dikenai pidana sebagaimana diatur dalam statuta

ini.

(3)Sejalan dengan statuta ini, seseorang bertanggungjawab secara pidana dapat

dikenakan pemidanaan atas suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan jika

22
seseorang:

(a) …” Omar Al Bashir merupakan seorang Individu yang menjadi kepala negara

sekaligus merupakan panglima tertinggi di Sudan.14

Imunitas kepala negara dan pejabat negara merupakan hak yang diberikan

oleh negara terhadap abdi negara terutama dalam fungsinya sebagai pejabat publik.

Black Law’s Dictionary mendeskripsikan imunitas dengan “Immunity is any

exemption from a duty, liability, or service of process: especially, such an axemption

granted to a public official;”. Hak imunitas yang diberikan kepada pejabat negara

berdasarkan hukum nasional merupakan salah satu bentuk penghargaan dan

keistimewaan dari pemerintah terhadap warga negaranya yang diberi kepercayaan

tertentu untuk memengang jabatan publik. Penghargaan dan keistimewaan ini akan

memberikan keyakinan pada pejabat negara tersebut bahwa tindakan dan kebijakan

yang akan diambilnya demi kepentingan umum didukung sepenuhnya oleh pemerintah

Imunitas kedaulatan negara memberikan penjelasan bahwa suatu negara berdaulat

memiliki kekuasaan penuh untuk menjalankan kehidupan negaranya sehingga

kekuasaan demikian harus dihormati oleh setiap negara lainya yang juga memiliki

kekuasaan tersebut.15

Kekebalan hukum yang dinikmati pejabat negara merupakan bagian kebebasan

untuk bertindak yang diberikan oleh pemerintah negara. Kekebalan tersebut

dimaksudkan agar pejabat tersebut dapat melaksanakan kewajibannya. Kekebalan

dimaksudkan untuk menghindari ketergantungan pejabat terhadap kebijakan

pemerintah karena ketergantungan dapat berefek terhadap kelancaran pelaksanaan

tugas khususnya dalam pengambilan suatu keputusan. Namun, kekebalan ini tidak

berfungsi apabila terjadi pelanggaran hukum demi kepentingan pribadi bukan untuk
14
Putra, Regi Ade. Upaya ICC mengadili Al-Bashir (Presiden Sudan), hlm. 12.
http://www.academia.edu/ 5918265/UPAYA_ICC_MENGAD ILI_AL BASHIR, diakses pada 19
Desember, pukul. 08.05 WIB.
15
Bahar, Aswin. 2015. Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Hak Imunitas Kepala Negara Di
Hadapan Pengadilan International Criminal Court (ICC) (Studi Kasus Omar Al-Bashier). Hlm 38.
Skripsi Universitas Hasanuddin Makasar.

23
kepentingan negara.16

Hak kekebalan dan keistimewaan bagi perwakilan asing di suatu negara pada

dasarnya bukanlah untuk kepentingan individu, tetapi untuk menjamin terlaksananya

tugas dan fungsi dari perwakilan itu sediri di negara penerima. Hukum negara

penerima tidak dapat diberlakukan kepada perwakilan diplomatik, yang berarti tidak

dapat mengadili diplomat tersebut karena terbentur kekebalan yang dinikmatinya.

Pasal 30 Konvensi Wina 1961 juga menyatakan: “The private residence of a

diplomatic agent shall enjoy the same inviolability and protection”. “Kediaman pribadi

dari utusan diplomatik harus memiliki kebebasan dan perlindungan sebagaimana juga

premispremis utusan”. Kamus Bahasa Indonesia mengartikan bahwa diplomat adalah

orang yg berkecimpung dibidang diplomasi (menteri luar negeri, duta besar, dsb).

Dampakdampak positif dari pemberian kekebalan hukum itu sendiri bukan berarti tidak

memiliki dampak negatif. Pemberian kekebalan hukum mulai akan menimbulkan

dampak negatif dalam hal kekebalan hukum itu digunakan untuk mendatangkan

keuntungan pribadi sendiri dan kelompoknya. Keuntungan pribadi dan kelompoknya

yang dimaksud adalah keuntungan pemanfaatan kekebalan hukum dalam pelanggaran

terhadap aturan-aturan yang ada tetapi tidak untuk kepentingan negara atau

masyarakat banyak.

Berbeda dengan penyimpangan atas aturan hukum yang disediakan oleh

hukum nasional ditujukan dalam hal kepentingan masyarakat banyak, tindakan

penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat negara tersebut hanya digunakan sebagai

tameng pelindung pembenaran atas sikapsikap kebijakannya yang hanya berpihak dan

memberikan keuntungan terhadap pribadinya sendiri atau kelompok tertentu.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dengan dibentuknya ICC adalah ICC dapat

menjadi lembaga yang dapat menghindari terjadinya impunity yang selama ini

dinikmati oleh individu-individu yang seharusnya bertanggungjawab terhadap

16
Ibid.hlm 5.

24
kejahatan terhadap hak-hak asasi manusia secara internasional.

Permasalahan impunitas ini merupakan salah satu fokus ICC untuk mengadili

aktor individu yang dianggap memiliki peranan penting di suatu negara, hal tersebut

tercantum dalam Statuta Roma 1998 Pasal 27, yang berisi :

1. Tidak ada satupun aktor individu yang dapat terbebas dari hukum nasional atau

internasional yang berlaku, meskipun aktor tersebut memiliki peranan penting di

sebuah negara, atau bahkan aktor yang dinyatakan bersalah tersebut merupakan

seorang Presiden di sebuah negara.

Apabila aktor tersebut terbukti melakukan pelanggaran atau kejahatan serius

dalam level internasional, maka aktor individu tersebut dapat mempertanggung

jawabkan perbuatannya dan bersedia di adili oleh pengadilan nasional apabila

pengadilan nasional mampu dan mau untuk mengadili, namun apabila pengadilan

nasional atau domestik tidak dapat berfungsi maka pengadilan internasional dapat

menggantikan peran pengadilan nasional.

2. Jabatan penting yang dimiliki oleh seorang aktor individu, tidak dapat berfungsi

apabila terbukti melakukan pelanggaran dalam level internasional. Fungsi dari ICC

adalah untuk mengadili pelaku individu yang telah melakukan kejahatan serius

dalam level internasional dan melawan atau mencegah terjadinya imunitas bagi

aktor individu yang melakukan kejahatan serius, meskipun aktor individu tersebut

memiliki jabatan khusus atau mempunyai power disuatu negara, seperti contohnya
17
presiden tanggung jawab Omar Al-Bashir, pemimpin negara sebagai individu

tidak terlepas dari monodualistik antara kesalahan dan asas legalitas tesebut.

Kasus Omar Al-Bashir menyiratkan bahwa pemimpin negara tersebut

memenuhi unsur pertanggungjawaban pidana. Kesalahan yang dilakukannya yaitu,

pemimpin negara tersebut melakukan suatu tindak pidana internasional yang

17
Putra, Regi Ade. Upaya ICC mengadili Al-Bashir (Presiden Sudan), hlm.13.
http://www.academia.edu/ 5918265/UPAYA_ICC_MENGAD ILI_AL BASHIR, diakses 19
Desember 2021, pukul 08.20 WIB.

25
masuk dalam yurisdiksi ICC antara lain, kejahatan perang, kejahatan terhadap

kemanusiaan dan genosida yang dilakukan dengan kesengajaan (dolus).

Legalitas dari tindak pidana kejahatan perang, kejahatan terhadap

kemanusiaan, dan genosida terdapat dalam Pasal 6 Statuta Roma 1998 tentang

genosida, Pasal 7 Statuta Roma 1998 yang membahas mengenai kejahatan

terhadap kemanusiaan, dan Pasal 8 mengenai kejahatan perang.

Omar Al Bashir sebagai individu yang menjabat sebagai pemimpin negara

Sudan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena telah memenuhi asas

legalitas dan terdapat kesalahan yang dilakukannya dengan suatu kesengajaan

(dolus). Kejahatan perang yang dilakukan Omar Al-Bashir dikarenakan tanggung

jawabnya sebagai pemimpin. Omar Al-Bashir secara sadar melakukan

pembunuhan, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, menyebabkan

penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau kesehatan, melancarkan

serangan terhadap sekelompok penduduk sipil atau terhadap setiap orang sipil

yang tidak ikut serta secara langsung dalam pertikaian itu, melakukan perkosaan,

perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi.18

Seorang pimpinan dalam konsep tanggungjawab pimpinan berdasarkan hukum

pidanan internasional dipersalahkan atas tindakan anak buah yang melakukan

pelanggaran, karena dia seharusnya mengambil tindakan pencegahan ataupun

penghukuman sepanjang ia mengetahui perbuatan anak buahnya tersebut.

Kapasitas untuk mengambil tindakan dimiliki oleh pimpinan karena ia memiliki

kendali efektif terhadap anak buah. Bila kewenangan untuk mengambil tindakan

tidak dilakukan berarti pimpinan dianggap telah membiarkan, bahkan

membenarkan tindakan anak buahnya.19

Pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional hanya dapat

18
Juwana, Hikmahanto. Tanggung Jawab Pimpinan Dalam Hukum Pidana Internasional :
Kajian Penerapan di Indonesia. Jurnal Hukum Internasional. Hlm. 375.Vol. I Nomor 4 Juli 2004
19
Ibid.hlm 747.

26
menggantikan yurisdiksi pengadilan nasional jika pengadilan nasional telah

memenuhi kriteria prinsip admissibility.

Prinsip admissibility ini harus memenuhi 2 (dua) kriteria yaitu :

a. Ketidakinginan ( unwillingnes)

Ketidakinginan suatu negara mengadili suatu kejahatan yang merupakan

yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional yang terjadi di wilayah teritorialnya

berakibat Mahkamah Pidana Internasional akan campur tangan dalam kasus di

mana Mahkamah Pidana Internasional menemukan tindakan domestik digunakan

secara nyata tidak untuk menegakkan keadilan.

Jaksa menguraikan indikator menunjukkan ketidakinginan dengan tujuan

melindungi orang dari tanggung jawab pidana harus dinilai dengan melihat pada

penilaian awal di lingkup penyelidikan, khususnya apakah ini diarahkan "pelaku

marjinal" atau "pelaku kecil" daripada orang-orang yang paling bertanggung jawab

atas pelaksanaan kejahatan yang sedang diperiksa.

Tahap investigasi dan penuntutan yang dilakukan di tingkat domestik yang

dapat menjadi indikator adalah praktekpraktek dan prosedur investigasi dan

penuntutan, kegagalan untuk mempertimbangkan bukti spesifik, intimidasi korban,

saksi dan anggota kehakiman, inkonsistensi antara bukti diajukan dan temuan,

serta tidak efiesiennya sumber daya yang dialokasikan untuk pelaksanaan proses

penuntutan mungkin mengungkap tujuan tersembunyi, yakni melindungi orang dari

tanggung jawab pidana.

Indikator yang dapat digunakan untuk melihat ketidakinginan yang sungguh-

sungguh dari pengadilan nasional tempat terjadinya suatu kejahatan yang diatur

dalam statuta yaitu :

1. Peradilan dilaksanakan dengan maksud untuk melindungi seseorang dari dari

pertanggungjawaban pidana atas kejahatan yang telah dilakukannya.

2. Proses peradilan ditunda-tunda tanpa ada alasan yang dapat

27
dipertanggungjawabkan sehingga bertentangan dengan maksud dan tujuan

diajukannya seseorang ke hadapan pengadilan.

3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara bebas dan independen.

b. Ketidakmampuan (inability)

Statuta mengidentifikasi 3 (tiga) keadaan untuk menyatakan ketidakmampuan

negara tersebut, yaitu : 1.Negara tidak dapat memperoleh terdakwa. 2. Negara

tidak dapat memperoleh bukti yang diperlukan dan kesaksian untuk

menempatkan orang-orang yang diduga bertanggung jawab untuk diadili.

3.Negara tidak mampu melaksanakan proses peradilan.

C.7. Proses Penanganan dan Hambatan Mahkamah Pidana Internasional/ICC

dalam Mengadili Omar Al Bashir.

Keputusan ICC untuk mengeluarkan surat penahanan atas diri Omar Al- Bashir,

merupakan sejarah tersendiri atas adanya upaya pengesampingan hak imunitas yang

melekat pada kepala negara yang masih berkuasa. Hal ini bermula dari keputusan DK

PBB untuk menyikapi situasi yang terjadi di Darfur, Sudan. Konflik berkepanjangan di

Sudan tersebut dirasa akan menimbulkan gangguan keamanan dan mengancam

perdamaian dunia, sehingga berdasarkan Bab VII Piagam PBB, DK PBB merasa perlu

untuk merespon situasi tersebut dengan mengeluarkan resolusi DK PBB No. 1953

(2005) pada tanggal 31 Maret 2005.

Resolusi tersebut dikeluarkan untuk memenuhi keentuan Pasal 13(b) Statuta Roma

1998 yang mengatakan bahwa ICC memiliki yurisdiksi atas :

“ A situation in wich one more of such crimes appears to have been commited is

referred to Prosecutor by the Security Council acting under Chapter VII of the Charter

of the United Nation (sebuah situasi terhadap satu atau lebih pejabat yang tundukpada

prosedur Dewan Keamanan dibawah Bab VII Deklarasi PBB).”

Penuntut umum ICC pun kemudian menyikapi resolusi DK PBB kepala ICC

28
tersebut dengan melakukan investigasi berdasarkan Pasal 53 Statuta Roma 1998 dan

aturan ICC, kemudian memutuskan berdasarkan “surat permintaan penuntutan

berdasarkan pasal 58” bahwa Omar Al Bashir dianggap bertanggungjawab

berdasarkan Pasal 25 (3)(a) dan mengeluarkan surat penahanan pada tanggal 4 maret

200920.

Resolusi DK-PBB N0. 1593 dengan tegas menyatakan bahwa Pemerintah Sudan

harus bekerja sama secara penuh dengan ICC dalam proses penyidikan dan

penuntutan berdasarkan resolusi tersebut. Harus dinyatakan kembali bahwa Sudan

bukanlah negara Pihak dari Statuta Roma, engan demikian Sudan tidak memiliki

kewajiban apapun untuk tunduk pada ketentuan yang ada dalam Statuta Roma.

Meskipun demikian, Sudan telah menjadi anggota PBB sejak tanggal 12 Nopember

1956. Sehingga meskipun Sudan bukan merupakan Negara Pihak Statuta Roma,

namun Sudan harus mengikuti ketentuan yang ada di dalam Resolusi DK PBB No

1593 karena Sudan merupakan Negara anggota PBB.

Penerapan Resolusi DK-PBB No. 1593 mengenai situasi di Darfur merupakan

kasus pertama DK-PBB memicu ICC untuk menyelidiki sebuah kasus berdasarkan

Pasal 13 (b) Statuta Roma 1998 yaitu “Suatu situasi (kasus) di mana satu atau lebih

kejahatan yang tampak telah dilakukan tersebut diteruskan kepada Penuntut Umum

oleh Dewan Keamanan yang bertindak berdasarkan Bab VII Piagam Perserikatan

BangsaBangsa”.

Meskipun Sudan bukan anggota Statuta Roma 1998 dan menunjukkan

penolakannya terhadap resolusi tersebut,namun sebagai negara anggota PBB Sudan

tunduk pada ketentuan tersebut dan menuruti DK-PBB untuk bekerjasama dengan

ICC.21

20
Fajar Rulandika, Putra. Penerapan Immunity Rights Kepala Negara Di Hadapan International
Criminal Court (ICC) Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional (Studi Kasus Upaya Penangkapan
Presiden Sudan Omar Al-Bashir Oleh ICC), hlm. 12. hukum.studentjournal.ub.ac.id/ind
ex.php/hukum/article/view/812, diakses pada 19 Desember 2021 pukul 09.48 WIB
21
Ibid.hlm 17.

29
Pasal 25 Piagam PBB menyatakan bahwa seluruh Negara anggota PBB

menyetujui untuk menerima dan menjalankan ketentuan yang dikeluarkan oleh DK-

PBB. Tentu saja hal ini termasuk dengan Resolusi DK-PBB No. 1593 yang merupakan

keputusan yang dikeluarkan oleh DK-PBB. Resolusi ini merupakan konsekwensi yang

lahir dari ketentuan Pasal 13 (b) dari Statuta Roma 1998 yang memberikan wewenang

kepada DK-PBB untuk mengajukan sebuah “Situasi” kepada ICC bertindak

berdasarkan Bab VII Piagam PBB.

Bab VII Piagam PBB sendiri mengatur mengenai wewenang DK-PBB untuk

mengambil tindakan apabila terkait dengan ancaman terhadap perdamaian,

pelanggaran perdamaian, dan tindakan agresi Surat perintah penangkapan dan

penahanan terhadap Omar Al-Bashir oleh ICC sudah memenuhi ketentuan yang diatur

oleh Statuta Roma 1998.

Pengajuan kasus oleh DK PBB melalui Resousi DK No. 1593 tahun 2005

berlandaskan pada pasal 13(b) Statuta Roma 1998 memungkinkan ICC menerapkan

yuriskdiksinya, dalam hal ini di Sudan, meskipun Negara Sudan bukan menjadi negara

Pihak Statuta Roma 1998. Penangkapan dan Penahanan itu sendiri dilakukan demi

kelancaran proses peradilan dengan memperhatikan Pasal 58 Statuta Roma,

mengenai pengeluaran surat perintah penahanan atau surat panggilan menghadap

oleh sidang Pra-Peradilan. Dengan demikian status surat penangkapan ICC terhadap

Omar AlBashir selaku Kepala Negara Sudan adalah sah menurut hukum internasional.

ICC memiliki tiga cara yang telah dilakukan untuk mengupayakan terjadinya

pengadilan terhadap aktor-aktor yang bertanggung jawab, khususnya Omar AlBashir.

Ketiga cara atau upaya tersebut adalah :

1. Pintu utama untuk mendapatkan yuridiksi di Sudan adalah pereferensian yang

diberikan oleh DK PBB terhadap ICC melalui resolusi 1593, sehingga nantinya ICC

akan menggunakan resolusi tersebut untuk melakukan proses investigasi. Hal

tersebut dikarenakan Sudan bukan negara anggota ICC.

30
2. Setelah ICC mendapatkan yuridiksi di Sudan dan melakukan investigasi dengan

mendapatkan bukti-bukti, maka ICC dapat menjalankan proses pra peradilan yang

sebagai mana telah dilakukan oleh ICC terhadap Al Bashir yaitu Pre Trial Chamber

ICC No. 02/05-01/09 tanggal 4 Maret 2009.

3. Karena ICC merupakan lembaga peradilan pidana internasional yang dibuat oleh

negara-negara, maka ICC memiliki anggota berupa negara-negara yang dapat

melakukan kerjasama, seperti contohnya apabila target utama ICC yaitu Al Bashir

melakukan perjalanan politik ke negara-negara yang merupakan negara anggota

ICC maka, negara tersebut wajib untuk menangkap Al Bashir dan menyerahkan

individu tersebut kepada ICC. Upaya-upaya atau jalan tersebut akan dilakukan oleh

ICC untuk membawa Omar A-l Bashir ke pengadilan Internasional.22

22
Putra, Regi Ade. Upaya ICC mengadili Al-Bashir (Presiden Sudan),http://www.academia.edu/
5918265/UPAYA_ICC_MENGAD ILI_AL BASHIR,hlm.18. Diakses pada 19 Desember 2021.
Pukul 10.15 WIB

31
BAB D

PENUTUP

D.1. KESIMPULAN

1. Pemimpin negara adalah individu yang merupakan subjek hukum internasional dan

berhak dimintakan pertanggungjawaban. Seorang Individu dapat dimintakan

pertanggungjawaban atas dasar Pasal 25 Statuta Roma 1998 yang membahas

mengenai tanggungjawab pidana seorang Individu. Pasal 27 Statuta Roma 1998

menyatakan bahwa tidak seorang individu yang dapat terbebas dari hukum

nasional atau internasional yang berlaku, meskipun individu tersebut memiliki

peranan penting dan imunitas di sebuah negara. Omar Al-Bashir dapat dimintakan

pertanggungjawaban pidana karena memenuhi unsur pertanggung jawaban

pimpinan.

Pertama, memiliki pengendalian efektif (effective control).

Kedua, Omar Al-Bashir mengetahui pelanggaran yang dilakukan oleh anak

buahnya.

Ketiga, Omar Al Bashir membiarkan tindakan pelanggaran yang dilakukan anak

buahnya dan tidak mengambil suatu tindakan terhadap anak buahnya.

2. ICC dapat mengadili Omar Al Bashir walaupun Sudan tidak meratifikasi Statuta

Roma 1998 karena dalam situasi disebut Jaksa ICC langsung oleh Dewan

Keamanan PBB, Sudan yang meratifikasi Piagam PBB harus tunduk oleh perintah

Dewan Keamanan PBB. Sudan telah menjadi anggota PBB sejak tanggal 12

Nopember 1956. Sehingga meskipun Sudan bukan merupakan Negara Pihak

Statuta Roma, namun Pasal 25 Statuta Roma dapat menjerat Omar Al-Bashir

32
sebagai seorang Individu dan Sudan harus mengikuti ketentuan yang ada di dalam

Resolusi DK PBB No 1593 karena Sudan merupakan Negara anggota PBB.

Penangkapan dan penahanan itu sendiri dilakukan demi kelancaran proses

peradilan dengan memperhatikan Pasal 58 Statuta Roma, mengenai pengeluaran

surat perintah penahanan atau surat panggilan menghadap oleh sidang Pra-

Peradilan.

Dengan demikian status surat penangkapan ICC terhadap Omar Al- Bashir

selaku Kepala Negara Sudan adalah sah menurut hukum internasional. Hambatan

dalam penyelesaian kasus Omar Al Bashir disebabkan oleh kerumitan yang

diciptakan oleh aktor-aktor yang mempunyai kepentingan di Sudan serta lemahnya

motivasi pihak-pihak yang berseteru seperti pemerintah Sudan, pemberontak,

militer Sudan, serta milisi Janjaweed.

D.2. SARAN/REKOMENDASI

Hambatan ICC menyelesaikan kasus Omar Al Bashir karena Sudan bukan negara

yang meratifikasi Statuta Roma, maka hendaknya Statuta Roma 1998 disepakati untuk

seluruh kejahatan yang berhubungan dengan kejahatan internasional, agar

perberlakuannya tidak dikesampingkan oleh negaranegara lain dengan alasan tidak

meratifikasi Statuta Roma 1998 dan menganggap dirinya tidak berhak untuk diadili

berdasarkan kejahatan internasional Intervensi dari negara lebih baik dibatasi atas

perintah Dewan Keamanan PBB dan Mahkamah Pidana Internasional agar waktu yang

diperlukan untuk menyelesaikan kasus kejahatan lebih singkat, dan keadilan lebih

ditegakkan lagi.

33
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Atmasasmita Romli, 2006, Pengantar Hukum pidana Internasional, Refika Aditama,

Bandung. ,1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice, System Persektif

Eksistensiaisme, dan Abolosinisme), Alumni, Bandung.

Hiariej, Eddy O.S. 2009, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Penerbit

Erlangga.

International Comitte of Red Cross.1996. Hukum Humaniter International,

Jakarta:ICRC

Wahjoe, O. (2011). Hukum Pidana Internasional: Perkembangan Tindak Pidana

Internasional dan Proses Penegakannya.

Widyawati, Anis, 2014, Hukum Pidana Internasional, Sinar Grafika, Jakarta.

B. JURNAL

Fajar Rulandika, Putra. Penerapan Immunity Rights Kepala Negara Di Hadapan

International Criminal Court (ICC) Ditinjau Dari Segi Hukum Internasional (Studi

Kasus Upaya Penangkapan Presiden Sudan Omar Al-Bashir Oleh ICC), hlm.

12.

hukum.studentjournal.ub.ac.id/ind ex.php/hukum/article/view/812, diakses pada

19 Desember 2021 pukul 09.48 WIB

Juwana, Hikmahanto. Tanggung Jawab Pimpinan Dalam Hukum Pidana Internasional :

Kajian Penerapan di Indonesia. Jurnal Hukum Internasional. Vol. I Nomor 4 Juli

2004.

Putra, Regi Ade. Upaya ICC mengadili Al-Bashir (Presiden Sudan), hlm. 12.

34
http://www.academia.edu/ 5918265/UPAYA_ICC_MENGAD ILI_AL BASHIR,

diakses pada 19 Desember, pukul. 08.05 WIB.

C. TUGAS AKHIR, SKRIPSI, TESIS, DISERTASI

Bahar, Aswin. 2015. Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Hak Imunitas Kepala

Negara Di Hadapan Pengadilan International Criminal Court (ICC) (Studi Kasus

Omar Al-Bashier). Skripsi Universitas Hasanuddin Makasar.

Septianto,Rendi. 2010. Keberlakukan Statuta Roma 1998 Pada Negara Yang Belum

Meratifikasi (Studi Kasus Presiden Omar Hassan Al Bashir) Skripis Universitas

Airlangga, Surabaya.

D. KAMUS

Black, Henry Campbell.1968. Black’s Law Dictionary Definition of the Terms and

Phrases of American and English Jurisprudence Ancient and Modern. St.Paul :

West

Publishing Co. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus

Bahasa Indonesia. Jakarta

E. UNDANG-UNDANG

Statuta Roma 1998 (Rome Statue Of The International Criminal Court 1998)

35

Anda mungkin juga menyukai