Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KASUS NARKOTIKA DALAM TELAAH PARADIGMA


CRITICAL THEORY
Kasus Narkotika Putusan Pengadilan Nomor 235/Pid.Sus/2014/Pn Dpk Dan Letak
Mencapai Keadilan Dalam Hukum
(Disusun untuk memenuhi Tugas Akhir Semester Filsafat Hukum Kelas B)

Disusun oleh :
Nama : Salsalina Karina Br Tarigan
NIM : 11000119120097

Dosen Pengampu :
Aditya Yuli Sulistyawan, S.H., M.H.
(Filsafat Hukum Kelas B)

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS HUKUM 2021
LATAR BELAKANG

Keberadaan narkotika di Indonesia saat ini semakin luas dan menjadi pekerjaan rumah
bagi masyarakat dan pemerintah untuk menuntaskannya. Sekitar 80 persen diantaranya masuk ke
Indonesia melalui jalur laut dikarenakan dikenalnya Indonesia sebagai negara maritime di
seluruh negara. Setelah narkotika tersebut masuk ke Indonesia melalui pelabuhan-pelabuhan
kecil, maka narkotika tersebut kemudian disebarkan atau didistrubusikan melalui jalur darat.
Saat ini negara kita ini telah dalam status darurat narkoba yang mana bahkan sudah
menjadi negara pasar narkoba. Penjualan narkotika di Indonesia memang membawa keuntungan
yang berlimpah. Pasar gelap yang paling luas di Indonesia berada di Jakarta kemudian di Jawa
Barat, Jawa Timur, dan seterusnya. Cara untuk menghentikan pasar gelap tersebut pun sangatlah
sulit. Pencegahan dan pemberantasan narkotika di Indonesia merupakan pekerjaan yang sulit
dikarenakan banyaknya kelompok-kelompok yang kuat mengambil peran untuk
mempertahankan dan melindungi narkotika agar tetap dapat beredar di pasar. Kelompok-
kelompok itu bahkan mempermudah masuknya obat-obatan terlarang tersebut ke Tanah Air. Hal
tersebut dikarenakan omset yang didapatkan dari penjualan narkotika tersebut sangatlah
menggiurkan.
Indonesia yang merupakan negara hukum memiliki Undang-Undang yang memuat
ketentuan mengenai narkotika, yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, namun yang
disayangkan undang-undang tersebut dalam substasinya masih belum maksimal dan efesien.
Masih banyak terdapat persoalan yuridis dalam UU tersebut yang mana dalam makalah ini akan
saya bahas apa saya persoalan yuridisnya terhadap putusan berkekuatan tetap mengenai arti dari
pemufakatan jahat dan percobaan serta mengenai penjatuhan atau penetapan sanksi pidana yang
tidak sejalan dengan prinsip keadilan.
Dalam lembaran makalah ini saya akan menggali lebih dalam mengenai kasus narkotika
dalam putusan pengadilan Nomor : 235/Pid.Sus/2014/PN Dpk. Dalam kasus pidana ini terdakwa
yang memiliki nama lengkap Winda Triasih binti (alm) Arifin Sukarno, lahir di Bogor, berumur
40 Tahun, pekerjaan almarhum adalah sebagai ibu rumah tangga. Terpidana di tangkap oleh
penyidik pada tanggal 15 Januari 2014.
Terlepas dari semua itu terdapat suatu cara berfikir terkait putusan yang dikeluarkan oleh
pengadilan. Cara berfikir ini disebut sebagai paradigma. Paradigma adalah suatu model yang
digunakan oleh para ilmuan dalam kajian ilmiahnya, paradigma tersebut digunakan untuk
menentukan jenis-jenis permasalahan yang perlu dikaji, permasalahan tersebut dikaji dengan
metode apa yang sesuai dan melalui prosedur bagaimana pengkajian itu harus dilaksanakan.
PERMASALAHAN

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Depok dengan Nomor : 235/Pid.Sus/2014/PN Dpk,


yang dimana terpidana dijatuhi putusan oleh Hakim sebagaimana di atur dalam Pasal 114 Ayat
(2) Jo Pasal 132 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
“Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan pidana narkotika dengan tanpa hak
atau melawan hukum menjadi perantara dalam jual beli, menyerahkan, atau menerima
narkotika Golongan I dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima)gram”
menjatuhkan pidana penjara selama 13 (lima belas) Tahun dan denda sebesar Rp.
1.000.000.000,- (Satu miliyar rupiah). Dari penjelasan pasal tersebut yang kemudian menjadi
permasalahan adalah mengenai percobaan atau permufakatan jahat.
1. Apakah dalam hal ini percobaan dan permufakatan jahat sama hukumannya dengan
pelaksanaaan sampai selesai yang dimana akan di kaitkan dengan Paradigma Teori Kritis
(Critical Theory) berdasarkan pula dengan set basic belief dalam pertanyaan ontology?
PEMBAHASAN

Percobaan dan permufakatan jahat sama artian dengan pelaksanaaan sampai selesai yang
mana akan di kaitkan dengan Paradigma Teori Kritis (Critical Theory) juga didasarkan kepada
set basic belief Ontologi.
Percobaan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dalam
ketentuan Pasal 132 Ayat (1) yang mana dijelaskan sebagai berikut :
“sebagai adanya unsur-unsur niat, adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.”
Dalam penjelasan diatas dapat dilihat bahwa sudah jelas ada niat untuk melakukan suatu
perbuatan dan adanya permulaan pelaksanaan, namun ketika akan dimulai melakukan gagal
namun karena bukan semata-mata dikehendaki sendiri akan tetapi ada faktor lain yang
menyebabkan batalnya pelaksanaan perbuatan tersebut. Apabila hal tersebut memang di sebut
sebagai percobaan maka pelaksanaannya tidak selesai sebagaimana disebutkan dalam pasal 53
ayat (2) KUHP dalam hal percobaan dapat dikurangi 1/3 yang berarti pidana penjara yang
dikenakan hanya 10 Tahun saja. Namun tidak disebutkan secara jelas dalam Undang-Undang
Narkotika tentang percobaan.
Yang selanjutnya dalah mengenai pemufakatan jahat, berdasarkan pada Pasal 88 KUHP
dijelaskan sebagai pemufakatan jahat apanila terdapat dua orang atau lebih telah menyepakati
untuk melakukan kejahatan. Dalam hal ini kata “sepakat” memiliki artian bahwasanya ada suatu
kemauan antara pihak dimana dalam hal tersebut melakukan suatu tindak kejahatan. Namun jika
para pihak yang terkait belum menyepakati niatnya untuk melaksanakan kejahatannya namun
sudah ketahuan maka dalam persoalan tersebut belum ada pelaksanaan hingga selesai.
Akan tetapi hal tersebut berbeda dengan pemufakatan yang dimuat dalam ketentuan Pasal
1 angka 18, yang mana menyebutkan :
“perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan,
melaksanakan, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan,dsb…”
Dalam penjelasan diatas lagi-lagi ditemukan kata “bersepakat” yang mana mengharuskan
para pihak untuk mau melakukan suatu kejahatan dimana kesepakatan ini adalah hal yang
disadari oleh para pihak.
Saat ini yang menjadi persoalannya adalah bagaimana kaitannya antara putusan hakim
dalam pemberian sanksi pidananya dengan paradigm teori kritis (Critical Theory).
Paradigma merupakan kerangka berfikir yang membedakan dan memadukan, kemudian
memilah dan mengelompokkan telaahan praktis, ilmiah, teoritis dan filsafati tentang suatu hal,
keadaan, peristiwa atau permasalahan hukum dalam rangka menjelaskan, memahami,
mengungkapkan atau menyelesaikannya secara lebih rinci, jelas dan komprehensif.
Mengapa dikatakan sebagai kerangka berfikir? Bukan dikatakan sebagai cara berfikir?
Apabila kita mengambil sebuah gambaran, diibaratkan sebagai bingkai foto, foto tersebut
diletakkan dalam sebuah bingkai agar tidak risak, berdebu, atau bahkan sobek. Bingkai dengan
foto itu berbeda. Fikiran kita sama seperti foto tersebut dan bingkai tersebut disamakan dengan
paradigma. Dalam hal ini fikiran kita harus diberi kerangka agar jelas, rinci, dan tegas. Jadi
apabila diibaratkan kata “fikiran manusia” itu sama seperti foto yaitu mengenai hasil pemikiran
sedangkan paradigm disini merupakan rangka atau kerangka untuk mematangkan, menjaga, dan
menguatkan dari hasil pemikiran tersebut agar kokoh dan tidak mudah rusak ataupun hilang.
Dalam pemaknan yang lebih luas, paradigm merupakan suatu sitem filosofis utama,
induk, atau ‘payung’ yang terbangun dari ontology, epistemology, dan metodologi tertentu, yang
masing-masingnya terdiri dari satu set belief dasar atau worldview yang tidak dapat begitu saja
dipertukarkan (dengan belief dasar atau worldview dari ontology, epistemology, dan metodologi
paradigma lainnya).
Paradigma mempresentasikan suatu system atau set belief ‘dasar’ tertentu yang berkenaan
dengan prinsip-prinsip utama atau pertama, yang mengikatkan penganut atau pengguanya pada
world view tertentu, berikut cara bagaimana ‘dunia’ harus dipahami dan dipelajari, serta yang
senantiasa memandu setiap pikiran, sikap, kata dan perbuatan penganutnya
Pemahaman mengenai klasifikasi paradigma yang mengadopsi pendapat Guba dan
Lincold yang mana dalam hal ini lebih mencakup sekaligus sistematis, padat, dan rasional.
Mereka, yang pada dasarnya lebih condong kepada pengertian global dari paradigma itu,
membedakan paradigm berdasarkan pada jawaban masing-masing terhadap 3 (tiga) pertanyaan
mendasar, yaitu :
1. bentuk dan sifat realitas, berikut apa yang dapat diketahui mengenai hal ini [disebut sebagai
pertanyaan ‘ontologis’ ;
2. sifat hubungan atau relasi antara individu atau kelompok masyarakat dengan lingkungan atau
segala yang ada diluar dirinya, termasuk apa yang dapat diketahui tentang hal ini (disebut
sebagai pertanyaan ‘epistemologis’), ke dalam mana termasuk pula pertanyaan ‘aksiologis’ ;
dan
3. cara bagaimana individu atau kelompok masyarakat (tentunya termasuk peneliti)
mendapatkan jawab atas apa yang ingin di ketahuinya tersebut (disebut sebagai pertanyaan
‘metodologis’).1
Hal itulah yang merupakan defenisi dari paradigma yang sebenarnya. Kemudian seiring
berjalannya waktu lahirlah paradigm yang lebih besar yang mana ada ada 4 paradigma, salah
satu diantaranya adalah Teori Kritis (Critical Theory).
Aliran Critical Theory adalah suatu cara pandang terhadap suatu realitas, yang mana aliran
tersebut memiliki orientasi ideologis terhadap paham tertentu, Ideologi tersebut meliputi :
1. NeoMarxisme ;
2. Materliasme ;
3. Feminisme ;
4. Partispatory Inqury dan
5. paham-paham yang setara.
Paham-paham tersebut telah melihat secara kritis. Paham tersebut sangat berbeda dengan
paham positivisme, aliran tersebut langsung terjun ke lapangan.
Teori Teori Kritis (Critical Theory) lahir dalam ilmu pengetahuan dikarenakan realitas cara
pandang positivisme yang terlalu direduksi.
Reduksionisme berpandangan bahwa alam cendrung dilihat hanya dengan pemahaman dan
cara pandang dari para ilmuan belaka dan tidak pernah terjun ke lapangan secara langsung. Teori
tersebut lahir sebagai kritikan terhadap positivisme dan ilmu social. Teori Kritis (Critical
Theory) kemudian berkembang dalam dua generasi. Generasi pertama adalah pada tahun 1923
oleh Horkheimer dan yang kedua diawali dengan usaha-usaha dari Jurgen Habermas.
Hubert mencatat ada 3 ciri-ciri dari Teori Kritis yang dikembangkan oleh Horkheimer.
Pertama, teori kritis diarahkan oleh suatu kepentingan terhadap perubahan fundamental yang
dialami oleh masyarakat. Dalam kepentingan ini harus ditanamkan sikap yang kritis dalam
menginterpretasikan realitas yang dinilai terdistrosi. Kemudian yang kedua, teori kritis
1
Indarti, Erlyn (2010) Diskresi dan Paradigma: Sebuah telaah filsafat hukum. Documentation. Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro. (Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
didasarkan kepada pendekatan berpikir yang historis. Dan yang terakhir ketiga, teori kritis ada
sebagai langkah untuk pengembangan berpikir komprehensif.
Berdasarkan kepada uraian penjelasan diatas, teori kritis bersikap dan curiga terhadap realitas
yang ada, berpikir dengan memperhatikan aspek historis yang terjadi dalam masyarakat dan
tidak memisahkan antara teori dan praktek.2
Dalam bahasan mengenai set basic belief pertanyaan ontologi, critical theory adalah realisme
virtual yang mana dalam realitanya yang ada muncul karena adanya suatu proses yang panjang
selama ratusan tahun yang disebabkan oleh pengaruh etnis, gender, politik, yang terkristalisasi
nyata dan sudah dirubah karena kristalisasi ini. Tiga hal kriteria Critical Theory dalam
pemikirannya yaitu mengenai : diskriminasi, exploitasi, dan ketidakadilan.
Pemikiran aliran critical theory menjelaskan bahwa sesuatu yang telah terbentuk lama
dikarenakan seiring waktu (sejarah) kerena proses yang lama, inilah yang kemudian secara turum
temurun dijadikan sebagai pedoman dikarenakan mereka mengganggap hal tersebut adalah
benar.
Sebagai contoh dalam KUHP, KUHP merupakan warisan dari Belanda yang sudah berpuluh-
puluh tahun ada dan apa yang dimuat dalam KUHP tersebut dianggap benar oleh kebanyakan
orang dan yang hal-hal yang termuat dalam KUHP adalah mutlak. Namun manusia yang
memiliki kerangka berfikir critical theory menolak seakan-akan realita yang dianggap benar ini
hanyalah sebatas virtual (maya). Tidak semua hal yang termaktub dalam KUHP dianggap benar
dan juga tidak semua pasal apabila diterapkan dapat memberikan keadilan.
Berdasarkan kepada pemikiran saya, dengan aliran pemikiran critical theory ini yang
berkaitan dengan putusan Pengadilan Negeri Depok dalam kasus narkotika tersebut adalah
menentang putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Depok. Parameter keadilan seperti
apa yang menjadikan bahwa hukum itu adil.
Pengertian keadilan sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch adalah sebagai
berikut :
“Ukuran nilai hukum positif dan tujuan dari pembuat Undang-Undang adalah keadilan.
Keadilan adalah suatu nilai absolute seperti nilai kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang
berdasar pada dirinya sendiri, tidak diturunkan dari nilai-nilai yang lebih tinggi.”

2
Yesmil anwar dan adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008. Hlm. 59.
Menurut pandangannya, keadilan sebagai keutamaan atau kebijakan. Dalam hal ini
terdapat keadilan subjektif, yaitu hubungan antara manusia dengan manusia lainnya, keadilan
menurut ukuran hukum positif dan keadilan menurut cita hukum merupakan sumber keadilan
dan inti dari keadilan adalah kesamaan. Berdasarkan pandangannya, hukum positif dan
pembentuk UU adalah keadilan. Jadi intinya tujuan dibentuknya UU itu adalah untuk
menciptakan atau memberi keadilan. 3
Hart memberikan perspektifnya dengan menyatakan bahwa adil dan tidak adil merupakan
bentuk kritik moral yang lebih spesifik dari pada baik dan buruk atau benar dan salah. Sudah
sangat jelas fakta hukum yang baik adalah hukum yang adil dan hukum yang buruk timbul
dikarenakan hukum itu tidak adil. Guna dapat mempertahankan defenisi hukum sungguh-
sungguh mewajibkan, satu-satunya jalan yang tinggal ialah memberika perhatian kepada isi
kaidah-kaidah hukum.4
Dengan substansi dari hukum disini bukanlah objek-objek yang diatur oleh kaidah hukum
yang dimaksudkan, akan tetapi bagaimana objek itu diatur, kemudian diperhatikan apakah suatu
peratiran itu memuat substansi yang sifatnya adil atau tidak. Karena tentu saja, apabila suatu
kaidah itu menurut isinya mengandung suatu aturan yang adil, maka kaidah itu bernilai dan dapat
ditanggapi sebagai mewajibkan secara batin.5
Menurut saya, tolak ukur keadilan bukan terletak di UU akan tetapi ketika suatu
perbuatan itu dilakukan namun tidak menimbulkan akibat yang terlalu besar. Terlihat dalam
kasus yang dibahas dalam makalah ini terdakwa dijatuhi putusan yaitu percobaan atau
permufakatan jahat yang mana sanksi yang dijatuhkan sama dengan sanksi pidana yang
dijatuhkan hingga perbuatan itu selesai. Disini terpidana jelas ingin melakukan perbuatan
tersebut hingga selesai akan tetapi dikarenakan faktor yang tidak dikehendakinya perbuatan
tersebut menjadi gagal. Dan lagipula apabila perbuatan tersebut merupakan permufakatan jahat
dalam hal ini masih terlintas niat antar para pihak untuk ragu melakukan perbuatan tersebut atau
tidak.
Keadilan tersebut yang menjadikan pedoman bahwa berdasarkan kepada pandangan
aliran critical theory keadilan diukur bukan karena UU yang mengatur. Walaupun pada dasarnya
UU mengenai Narkotika ada karena proses sejarah yang panjang, yang mana masyarakat

3
Yesmil anwar dan adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Grasindo, Jakarta, 2008. Hlm. 59.
4
Petrus C.K.L Bello, Hukum dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum, Erlangga, Jakarta, 2012, hlm.38.
5
Theo Huijbers, Filsafat Huku, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 48.
beranggapan benar dan patut untuk ditaati, namun aliran critical theory ingin membuktikan
bahwa hal tersebut tidak benar karna terdapat kesalahan yuridis dalam UU tersebut yang
menyebabkan ketidakadilan terhadap pelaku yang melakukan “percobaan atau permufakatan
jahat” dengan pelaku yang “melakukan delik hingga selesai”.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa narkotika adalah extra ordinary crime atau
kejahatan luar biasa yang sudah meluas di Indonesia. Tidak hanya menyentuh lingkungan anak
muda namun seluruh lapisan masyarakat sudah tersentuh oleh obatan terlarang tersebut dan
dampaknya sangatlah buruk. Pembuatan UU yang dibuat oleh pihak pembentuk UU belumlah
maksimal. Dengan uraian tersebut saya tidak setuju apabila percobaan atau permufakatan jahat di
Undang-Undang ini sanksi pidananya sama dengan perbuatan yang dilakukan hingga selesai.
Pihak pembentuk undang-undang belum memperhatikan bagaimana dampak yang timbul
dari kepastian hukum yang mana tumpul ke atas dan tajam kebawah. Yang mana masyarakat dari
lapisan bawah cendrung menjadi penikmat ketidakadilan oleh pembentuk Undang-Undang.
Padahal sudah disebutkan dalam pendapat Gustav dan hart bahwa tujuan dibuatnya
Undang-Undang itu adalah untuk menciptakan dan memberikan keadilan.
Keadilan belum dapat dirasakan dengan maksimal oleh para terdakwa yang berada di
golongan bawah. Hukum itu dapat dikatakan sebagai hukum apabila hukum itu dapat bersifat
adil bagi seluruh masyarakatnya.
KESIMPULAN

Berdasarkan kepada uraian hasil analisisdiatas, maka dapat di tarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
1. Hakim melakukan interpretasi atau penafsiran yang terdapat didalam setiap kata di
Undang-Undang untuk menimbang dan mengadili dalam menjatuhkan suatu pemidanaan.
Dalam kasus ini hakim menilai dan memutus bahwa “percobaan dan permufakatan jahat”
disamakan dengan suatu perbuatan yang dianggap selesai.
2. Hakim menetapkan keadilan berdasarkan putusan yang berpedoman kepada Undang-
Undang.

SARAN
Semestinya hakim memahami bagaimana makna yang ada didalam Undang-Undang agar
tidak terjadi ketidaksesuain antara tindak pidana yag dilakukan oleh terdakwa dengan penjatuhan
sanksinya. Bahwasanya keadilan itu dilihat ada apabila keadilan itu dapat dirasakan oleh seluruh
masyarakat tanpa terkecuali. Dalam hal ini tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa harus
sesuai atau seimbang dengan penjatuhan pidananya. Karena keadilan merupakan tujuan dari
dibentukanya Undang-Undang dan hukum positif.
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Yesmil dan Adang. 2008. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta : Grasindo.

Huijbers, Theo. 1995. Filsafat Hukum. Yogyakarta : Kanisius.

Indarti, Erlyn (2010) Diskresi dan Paradigma: Sebuah telaah filsafat

hukum. Documentation. Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. (Pidato Pengukuhan

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro)

K.L Bello. 2012. Hukum dan Moralitas Tinjauan Filsafat Hukum. Jakarta : Erlangga.

Rhiti, Hyronimus. 2011. Filsafat Hukum edisi lengkap (dari klasik sampai postmodernisme).

Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai