Dosen :
Yesmil Anwar, S.H., M.Si
Erika Magdalena Chandra, S. H., M.H
Disusun oleh:
KELOMPOK 10
Agung Nugroho
110110140043
Fahreza Nurul M.
110110140056
110110140071
M. Rizki Risandi
110110140081
Annisa F. Rosadi
110110160001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2016
A. Penjelasan Umum
1. Tinjauan Umum Mengenai Narkotika
Penggolongan
narkotika
dan
psikotropika
sesuai
UU
dan
contohnya
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam
Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Contoh :
metadona, dan
Narkotika Golongan III, contoh: etil morfina, codena, propiram.
fenetilina.
Psikotropika Golongan III; contoh: aminobarbital, butalbital, katina, pentazosina,
glutetimida, pentabarbital.
Psikotropika Golongan IV; contioh: alprazolam, aminorex diazepam, lorazepam,
mazindol, pipradrol, vinilbital.
3. Dasar Hukum
B. Argumen Pro
Orang yang Menguasai Narkotika dan Psikotropika Harus dipidana.
Ketika seseorang menguasai suatu narkotika atau psikotropika maka akan ada suatu
kemungkinan terhadap beberapa hal, dan hal tersebut sangat dimungkinkan bahwa
penguasaan terhadap barang tersebut (narkotika/ psikotropika) adalah untuk melakukan suatu
tindak pidana, hal tersebut dapat berupa penggunaan atau pengedaran.
Contohnya adalah para pengguna, bahwa sebelum menggunakan narkotika atau
psikotropika tersebut maka para pengguna harus terlebih dahulu membeli kemudian
menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa narkotika tersebut.
Selain hal tersebut diatas seseorang menguasai atau memiliki Narkotika atau
Psikotropika dapat pula dalam rangka peredaran gelap narkotika, misalnya kepemilikan atau
penguasai Narkotika untuk penyediaan distribusi, dijualbelikan dan diperdagangkan dan
sebagainya secara melawan hukum atau melawan hak.
Orang yang menguasai Narkotika atau psikotropika yang berdalih bahwa narkotika
dan psikotropika yang ia kuasai merupakan titipan teman dan lain hal sebagainya juga tetap
patut dipidana untuk menjamin kepastian hukum, karena dalam undang-undang telah ada
larangan bahwa seseorang yang menguasai harus dipidana karena tidak sepatutnya orang
tersebut mau untuk menerima barang tersebut, karena dalam hukum mengenal akan adanya
fiksi hukum maka setiap orang harus dikatakan tau hukum.
Setidaknya kami memiliki 3 alasan untuk meyakinkan kelompok tim kontra yang
masih membela bahwa orang yang menyimpan narkotika dan psikotropika tidak harus
dipidana, yaitu :
1. Bertentangan Dengan Hukum Yang Berlaku
Alasan pertama kami adalah bahwa penyimpanan narkotika dan psikotropika sudah
sangat jelas secara implisit dilarang dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Ada pun penjelasan pasalnya adalah :
MENANAM,MEMELIHARA,MEMILIKI,MENYIMPAN,MENGUASAI ATAU
MENYEDIAKAN NARKOTIKA GOLONGAN I DALAM
BENTUK TANAMAN
(contoh : ganja)
1) Pasal 111 (1) :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
menanam,memelihara,memiliki,menyimpan,menguasai atau menyediakan narkotika
golongan I dalam bentuk tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan
paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak
Rp 8 miliar rupiah.
2) Pasal 111 (2) :
Dalam hal perbuatan menanam,memelihara,menyimpan,menguasai,atau
menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud
dalam ayat(1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon ,pelaku
dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda
paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3.
MEMILIKI,MENYIMPAN,MENGUASAI, ATAU MENYEDIAKAN
NARKOTIKA BUKAN TANAMAN
(contoh : sabu,ekstasi)
memiliki,menyimpan,menguasai
atau
menyediakan
narkotika
maupun
psikotropika tentu akan memberikan suatu potensi bahwa jika memang mereka
bukanah seorang pengguna, setidaknya mereka adalah penadah atau bandar atau
pengedar atau setidaknya merekaadalah orang yang terlibat dalam peredaran barang
terlatang tersebut. Mereka yang melakukan hal itu jelas akan membantu suatu sindikat
narkotika yang sangat jelas akan berbahaya bagi kehidupan masyarakat. Bandar
narkotika dapat diartikan sebagai orang yang mengendalikan suatu aksi kejahatan
narkotika secara sembunyi-sembunyi atau sebagai pihak yang membiayai aksi
kejahatan itu.1 Dalam praktiknya, bandar narkotika itu antara lain: orang yang menjadi
otak di balik penyelundupan narkotika, permufakatan kejahatan narkotika, dan
sebagainya.
Tidak mungkin seseorang yang menyimpan narkotika dan psikotropika apabila
mereka tidak mengetahui mengenai larangan terhadap barang tersebut, karena barang
itu sangat dilarang dan peredarannya pun sangat tertutup. Sehingga tidak sembarang
orang yang dapat menguasi barang narkotika maupun psikotropika itu. Maka Patut
dicurigai bahwa mereka yang melakukan penyimpanan terhadap barang tersebut
adalah pengedar maupun bandar.
3. Membahayakan Ketertiban Umum
1 Diakses dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt56cf393b411a0/apakah-bandar-narkotikasama-dengan-pengedar Pada Tanggal 27 November 2016, Pukul 20 : 55 WIB.
C. Argumen Kontra
Menguasai Narkotika dan Psikotropika Tidak Harus Dipidana
Selama ini ketika mendengar kata narkotika dan psikotropika masyarakat akan
berpikiran negatif yaitu pada penyalahgunaan narkotika dan psikotropika. Padahal manfaat
dari narkotika dan psikotropika sangat banyak terutama dalam bidang kesehatan karena ada
beberapa jenis narkotika tertentu yang dapat dijadikan obat kesehatan. Mengenai pengaturan
kebutuhan narkotika sendiri untuk kepentingan kesehatan telah diatur dalam UU Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, yang terdapat dalam pasal 8, 9, 10, 11.
Mengenai menguasai narkotika itu sendiri diatur dalam pasal 111 dan 112 UU
Nomor 35 Tahun 2009. Yaitu menguasai narkotika jenis golongan satu bain bentuk tanaman
maupun bukan yang melebihi 5 gram. Kata memiliki, menyimpan, menguasai atau
menyediakan narkotika dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 harus dimaksudkan
terpenuhinya dua unsur saat benda narkotika itu di tangan tersangka/terdakwa. Kedua unsur
itu adalah kekuasaan atas suatu benda, dan adanya kemauan untuk memiliki benda itu.
Adapun argumen kami kepada tim pro yang memandang bahwa pelaku penyimpanan
narkotika dan psikotropika tetap harus, yaitu :
1. Belum Tentu Yang Menyimpan adalah Pelaku
Alasan pertama adalah ketika seseorang benar-benar memiliki atau berada padanya
narkotika tersebut namun hal itu tidak disengaja dengan kata lain dia tidak memiliki kemauan
untuk memiliki benda tersebut, namun ada padanya dengan alasan-alasan tertentu sebagai
contohnya dititipi dari orang lain namun dia tidak mengetahui isinya. Apakah jika seperti ini
orang tersebut dapat dipidana? Mengapa tidak dipertimbangkan bahwa ia merupakan sebagai
korban? Ketentuan Pasal 112 UU Narkotika harus mempertimbangkan apa yang menjadi niat
atau tujuan memiliki atau menguasai narkotika itu terlebih dahulu.
Adapun pasal 112 berbunyi :
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau
menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 dan
paling banyak Rp 8 miliar.
Perbuatan para pengguna atau pecandu yang menguasai atau memiliki narkotika
untuk tujuan konsumsi atau dipakai sendiri, tidak akan terlepas dari jeratan pasal 112
tersebut. Padahal pemikiran semacam itu adalah keliru dalam menerapkan hukum sebab tidak
mempertimbangkan keadaan atau hal-hal yang mendasar terdakwa menguasai atau memiliki
barang tersebut sesuai dengan niat atau maksud terdakwa.
Memang benar, para pangguna sebelum menggunakan narkotika, terlebih dahulu
menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa narkotika sehingga tidak selamanya harus
diterapkan ketentutan pasal 112 UU Narkotika. Melainkan harus dipertimbangan apa yang
menjadi niat atau tujuan memiliki atau menguasai narkotika itu, apakah untuk di gunakan
sendiri atau diperjualbelikan.
maka individu terkait wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sangatlah
penting untuk dipertimbangkan bahwa rehabilitasi seringkali tidak diberikan kepada pelaku.
MA menyatakan bahwa sering kali terjadi ketidakjujuran penyidik dalam kaitannya
dengan test urine, dimana tidak dilakukannya test urine terjadi karena untuk menghindari
diterapkannya pasal 127 UU narkotika terhadap pengguna.
Bahwa alasan-alasan kasasi Jaksa Penuntut Umum bahwa sesuai fakta hukum di
persidangan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 112 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009, bukan ketentuan Pasal 127 ayat (1)
adanya narkotika tersebut pada dirinya, dan berdasarkan kemauannya ia memiliki narkotika
tersebut memang hal ini merupakan bentuk penyalahgunaan narkotika yang sudah memenuhi
unsur pasal 111 dan 112.
Namun jika kita kaitakan dengan tujuan relatif pemidanaan , sebelum membahas
tujuan relatif pemidanaan , terlebih dahulu kita harus tau pemidanaan itu sendiri apa? Alasan
ke tiga adalah mari kita kaji bahwa pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap penjahat,
dapat dibenarkan secara normal buka terutama pemidanaan itu mengandung konsekuensi
positif bagi pelaku, korban dan orang lain dalam masyarakat. Kerena itu teori ini disebut teori
konsekuensialisme.
Pidana dijatuhkan bukan karena berbuat jahat tetapi agar pelaku kejahatan tidak lagi
berbuat kejahatan dan orang lain tidak berbuat kejahatan serupa. Jadi pemidanaan bukan
dimaksud sebagai upaya balas dendam bagi pelaku kejahatan sekaligus upaya preventif
terhadap kejadian serupa.
Kemudian Jika kita kaitkan pemindanaan dengan teori relatif pemidanaan berpokok
pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam
masyarakat yaitu dengan dasar pemikiran agar suatu kejahatan dapat dijatuhi hukuman
artinya penjatuhan pidana mempunyai tujuan tertentu misalkan memperbaiki sikap, mental,
atau membuat pelaku tidak berbahaya lagi, dibutuhkan proses pembinaan sikap mental.
Dalam teori ini muncul tujuan pemidanaan yang sebagai sarana pencegahan, baik
pencegahan khusus yang ditujukan kepada pelaku maupun tujuan umum yang ditujukan
masyarakat. Dari tujuan relatif pemidanaan ini yang bertujuan memperbaiki sikap mental atau
membuat pelaku tidak berbahaya lagi jika dikaitkan dengan menguasai narkotika tidak
harus dilakukan dengan pemidanaan jika tujuannya untuk memperbaiki dan sikap mental
pelaku karena cukup dengan direhabilitasi akan memenuhi tujuan dari teori pemidanaan
relatif, kalau kita melihat segi efektivitas jika menguasai narkotika ini pelaku pemakai
narkotika dipidana akan hanya membuatnya perasaan sebagai seorang yang jahat dan sebatas
konsekuensi dari perbuatannya namun tidak menjamin perbaikan sikap mental perubahan
beda halnya ketika dia menjalani rehabilitasi akan timbulah tujuan dari memperbaiki sikap
dan mental pelaku dan akan mencegah pelaku untuk melakukan perbuatannya dikarenakan
dia telah memiliki penyembuhan terhadap perilakunya itu. Mengenai rehabilitasi telah diatur
dalam pasal 103 UU Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
4.
zat narkotika atau psikotropika bukanlah suatu penjahat, mereka adalah korban akan
peredaran barang tersebut. Tak seharusnya kita memandang sebelah mata kepada mereka,
karena mereka pun dijamin akan hak untuk kehidupanya yang layak sebagaimana yang
tercantum dalam UUD 1945. Negara yang dalam hal ini bertindak sebagai pemerintah
seharusnya memberikan suatu perhatian khusus kepada mereka terkait faktor psikologis atas
perilaku mereka.
Dalam hal ini sanksi pemidaanaan dapat dilakukan namun merupakan sanksi terakhir
berupa hukuman pidana penjara. rehabilitasi pengguna narkoba lebih banyak memberi
dampak positif di antaranya si pengguna narkoba keluar dari masalah ketergantungannya
terhadap obat terlarang, dan di harapkan ketika pulih dapat kembali ke masyarakat dan
bersosialisasi kembali dengan masyarakat seperti sediakala.
Kesimpulan Tim Kontra
Kami berpendapat bahwa selama ia hanya menyimpan maka haruslah diselediki
secara khusus, bukan diberikan sanksi berupa pidana, karena itu tidak memberikan jalan
keluar bagi permasalahan ini. Hukum dibentuk untuk kebermanfaatan masyarakat, bahkan
Prof Mochtar Kusumaatmadja mengatakan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Maka dari itu, janganlah segala permasalahan harus diselesaikan melalui pemidanaan. Jadi
Bukan Efek Jera, Namun Upaya Rehabilitasi (Treatment) Yang Dibutuhkan.