Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM PIDANA NARKOTIKA DAN PSIKOTROPIKA

“Penerapan Pidana, Pemberatan Pidana dan Sanksi Bagi Korporasi dalam Tindak
Pidana Narkotika”

Dosen Pengampu :

Hj. Tenofrimer, SH.,MH.

Oleh : Kelompok 8 :

Muhammad Usman (1910113154)

Kevin Lie (1910113155)

Muhammad Jordy Prammulia (1910112190)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS ANDALAS

2022
KATA PENGANTAR

Dengan meyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah hukum pidana
narkotika dan psikotropika ini. Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal
mungkin dan tentunya dengan bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar
pembuat makalah ini. Untuk itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terimakasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Namun, tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada
kekurangan baik dari segi penyusunan bahasa maupun yang lainnya. Oleh karena itu, dengan
lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang ingin
memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah hukum
pidana narkotika dan psikotropika ini.

Padang, 05 Desember 2022

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 1
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3

2.1 Peran serta masyarakat dalam pemberantasan narkotika dan psikotropika ................. 3
2.2 Rehabilitasi Medis dan Sosial ...................................................................................... 7
2.3 Penyidik, Penyidikan, dan Wewenang Penyidik ......................................................... 8
2.4 Pembuktian, Penyitaan, dan Pemusnahan Narkotika dan Psikotropika ...................... 11

BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan .................................................................................................................. 15

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Narkotika adalah zat atau obat yang bermanfaat serta diperlukan untuk
pengobatan penyakit tertentu. Namun jika disalah gunakan atau tidak sesuai dengan
standar pengobatan, maka dapat menimbulkan akibat yang sangat merugikan
perseorangan dan masyarakat khususnya generasi muda. Hal ini akan merugikan jika
disertai dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang dapat
mengakibatkan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya
bangsa yang pada ahirnya dapat melemahkan ketahanan nasional. Untuk mencegah
dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat
merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara, perlu
adanya undang yang mengaturnya, dengan demikian pemerintah republik Indonesia
telah membentuk Undang Undang no. 35 tahun 2009 tentang narkotika.
Maka dari itu, untuk penegakan hukumnya diperlukan peran penyidik
kepolisian dalam menangani tindak pidana narkotika. Dengan adanya undang undang
narkotika diharapkan dapat mempermudah penyidik dalam menegakkan hukum dan
menyeret para pelaku tindak pidana narkotika ke muka pengadilan dan juga dengan
adanya undang-undang narkotika diharapkann supaya dapat menjadi acuan dan
pedoman bagi pengadilan untuk menghukum tersangka yang melakukan tindak
pidana narkotika. Peran dan fungsi Polri dalam menanggulangi narkotika tidak hanya
dititik beratkan kepada penegakan hukum tetapi juga kepada pencegahan
penyalahgunaan narkotika. Pencegahan penyalahgunaan narkotika adalah seluruh
usaha yang ditujukan untuk mengurangi permintaan dan kebutuhan gelap narkotika.
Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang permintaan (demand) dan persediaan
(supply), selama permintaan itu masih ada, persediaan akan selalu ada, dan apabila
permintaan itu berhenti atau berkurang, persediaan akan berkurang, termasuk
pasarnya. Dalam konsep penegakan hukum oleh Polri tentunya tidak terlepas dari
terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana penerapan pidana narkotika?

1
2. Bagaimana pemberatan pidana narkotika?
3. Bagaimana bentuk sanksi bagi korporasi melakukan tindak pidana narkotika?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui penerapan pidana narkotika
2. Untuk mengetahui pemberatan pidana narkotika
3. Untuk mengetahui bentuk sanksi bagi korporasi melakukan tindak pidana
narkotika

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penerapan Pidana Narkotika


Berbicara penerapan hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum
itu sendiri dimana hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi
disebut sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu
melibatkan manusia dan tingkah lakunya termasuk ke dalam kasus tindak pidana
narkotika.
I. Sistem Hukum Pidana sekarang mengenai Pengaturan Tindak Pidana Narkotika
Di Indonesia
Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak
pidana, pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat
dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV
Ketentuan Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, terdapat empat kategorisasi tindakan melawan
hukum yang dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi
pidana, yakni
1. Kategori pertama, yakni perbuatan-perbuatan berupa memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 111
dan 112 untuk narkotika golongan I, Pasal 117 untuk narkotika golongan II
dan Pasal 122 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (a).
2. Kategori kedua, yakni perbuatan-perbuatan berupa memproduksi,
mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika dan precursor
narkotika (Pasal 113 untuk narkotika golongan I, Pasal 118 untuk narkotika
golongan II, dan Pasal 123 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129
huruf(b).
3. Kategori ketiga, yakni perbuatan-perbuatan berupa menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 114
dan Pasal 116 untuk narkotika golongan I, Pasal 119 dan Pasal 121 untuk
narkotika golongan II, Pasal 124 dan Pasal 126 untuk narkotika golongan III
serta Pasal 129 huruf(c)).

3
4. Kategori keempat, yakni perbuatan-perbuatan berupa membawa, mengirim,
mengangkut atau mentransit narkotika dan prekursor narkotika (Pasal 115
untuk narkotika golongan I, Pasal 120 untuk narkotika golongan II dan
Pasal 125 untuk narkotika golongan III serta Pasal 129 huruf (d)).

Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengatur


jenis-jenis sanksi yang diberikan pada tindak pidana narkotika
antara lain:
1. Tindak Pidana bagi penyalah guna atau sebagai korban penyalahgunaan
narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
2. Tindak Pidana Orang Tua / Wali dari Pecandu Narkotika Narkotika yang
Belum Cukup Umur (Pasal 128) dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00
(satu juta rupiah).
3. Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Korporasi (Pasal 130) Dipidanadengan
pidana penjara dan pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali.
Korporasi dapat dijatuhi korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha dan/atau b. pencabutan status badan hukum.
4. Tindak pidana bagi Orang yang Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana
Narkotika (Pasal 131). Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah).
5. Tindak Pidana terhadap Percobaan dan Permufakatan Jahat Melakukan
Tindak Pidana Narkotika dan Prekursor (Pasal 132) Ayat (1), dipidana
dengan pidana pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal-Pasal tersebut. Ayat (2), dipidana
pidana penjara dan pidana denda maksimumnya ditambah 1/3 (sepertiga).
6. Tindak Pidana bagi Menyuruh, Memberi, Membujuk, Memaksa dengan
Kekerasan, Tipu Muslihat, Membujuk Anak (Pasal 133) ayat (1), dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
7. Tindak Pidana bagi Pecandu Narkotika yang Tidak Melaporkan Diri (Pasal
134) ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam)
bulan atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau
pidana denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah).
8. Tindak Pidana bagi Pengurus Industri Farmasi yang Tidak Melaksanakan
Kewajiban (Pasal 135). Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
9. Tindak Pidana terhadap Hasil-Hasil Tindak Pidana Narkotika dan/atau
Prekursor Narkotika (Pasal 137) huruf (a), dipidana denganpidana penjara
paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan
4
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Huruf (b),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
10. Tindak Pidana terhadap Orang yang Menghalangi atau Mempersulit
Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perkara (Pasal 138)Dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
11. Tindak Pidana bagi Nahkoda atau Kapten Penerbang yang Tidak
Melaksanakan Ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 (Pasal 139) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
12. Tindak Pidana bagi PPNS, Penyidik Polri, Penyidik BNN yang Tidak
Melaksanakan Ketentuan tentang Barang Bukti (Pasal 140) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
13. Tindak Pidana bagi Kepala Kejaksaan Negeri yang Tidak Melaksanakan
Ketentuan Pasal 91 Ayat(1) (Pasal 141) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
14. Tindak Pidana bagi Petugas Laboratorium yang Memalsukan Hasil
Pengujian (Pasal 142) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
15. Tindak Pidana bagi Saksi yang Memberikan Keterangan Tidak Benar
(Pasal 143) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
16. Tindak Pidana bagi Setiap Orang yang Melakukan Pengulangan Tindak
Pidana (Pasal 144) dipidana dengan pidana maksimumnya ditambah
dengan 1/3 (sepertiga).
17. Tindak Pidana yang dilakukan Pimpinan Rumah Sakit, Pimpinan Lembaga
Ilmu Pengetahuan, Pimpinan Industri Farmasi, dan Pimpinan Pedagang
Farmasi (Pasal 147) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).Pasal 136 UU No. 35 Tahun 2009
memberikan sanksi berupa narkotika dan prekursor narkotika serta hasil-
hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika baik itu aset bergerak
atau tidak bergerak maupun berwujud atau tidak berwujud serta barang-
barang atau peralatan yang digunakan untuk tindak pidana narkotika
dirampas untuk negara. Pasal 146 juga memberikan sanksi terhadap warga
negara asing yang telah melakukan tindak pidana narkotika ataupun
menjalani pidana narkotika yakni dilakukan pengusiran wilayah negara
Republik Indonesia dan dilarang masuk kembali ke wilayah negara
Republik Indonesia. Sedangkan pada Pasal 148 bila putusan denda yang
5
diatur dalam undang-undang ini tidak dibayarkan oleh pelaku tindak
pidana narkotika maka pelaku dijatuhi penjara paling lama dua tahun
sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar.

2.2 Pemberatan Pidana Narkotika


Dasar pemberat dan peringan hukuman bagi pelaku tindak pidana bisa terjadi
jika sudah memenuhi semua unsur, namun ada alasan yang membuat pelaku diancam
hukumannya lebih ringan atau lebih berat.
Alasan pemberat dan peringan hukuman dijatuhkan hakim dalam menjatuhkan
hukuman pidana yang harus termuat di dalam satu putusan. Pasal 197 ayat
(2) KUHP menyatakan, tidak terpenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf
a,b,c,d,e,f,h,i,k,l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Meskipun KUHP tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan keadaan yang
memberatkan dan meringankan karena bukan hal yang mudah untuk menjatuhkan
keadilan yang sifatnya kualitatif menjadi kuantitatif.
UU membedakan antara dasar-dasar pemberat pidana umum dan pemberat
pidana khusus. Dasar pemberat pidana umum adalah dasar pemberatan pidana yang
berlaku untuk segala macam tindak pidana, baik yang ada dalam kodifikasi maupun
tidak di luar pidana KUHP
Dasar pemberatan pidana khusus yaitu dirumuskan dan berlaku pada tindak
pidana tertentu dan tidak berlaku untuk tindak pidana yang lain. Lalu dalam Pasal 135
KUHP, pemberat pidana adalah penambahan 1/3 dari maksimum ancaman pidana.
Dasar pemberatan atau penambahan pidana umum adalah kedudukan sebagai
pegawai negeri, penanggulangan delik, dan gabungan dua atau lebih delik.
Kemudian, peringanan pidana dapat dilihat dari keadaan subjektif terjadinya
tindak pidana, yaitu keadaan-keadaan yang meliputi pelaku saat melakukan tindak
pidana. Alasan peringanan pidana biasanya terlihat pada putusan hakim sebagai “Hal
yang Meringankan”.
Alasan Pemberat dan Peringan Hukuman

Dasar pemberat dan peringan hukuman bagi pelaku tindak pidana bisa terjadi jika
sudah memenuhi semua unsur, namun ada alasan yang membuat pelaku diancam
hukumannya lebih ringan atau lebih berat.

Pertimbangan keadaan meringankan harus memenuhi karakteristik dengan


batasan-batasan, yaitu:
1. Bentuknya berupa sifat, perihal, suasana atau situasi yang berlaku yang berkaitan
dengan tindak pidana.
2. Rumusannya ditemukan di luar dari tindak pidananya itu sendiri.
3. Menggambarkan tingkat keseriusan tindak pidananya atau tindak bahayanya si
pelaku.
4. Dapat merupakan upaya pelaku untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat
keseriusan dari tindak pidana atau mengembalikan keadaan yang terganggu akibat
tindak pidana kepada keadaan semula.
5. Keadaan-keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan, yang
mengurangi tingkat keseriusan dari tindak pidananya atau ancaman bahaya dari
pelakunya.
6. Keadaan-keadaan yang dapat menjadi pertimbangan faktor sosiologis terkait
kemanfaatan dari pemidanaan yang dijatuhkan.
Untuk dapat menjatuhkan pidana dalam sebuah putusan, majelis Hakim harus
mempertimbangkan terpeliharanya rasa keadilan di masyarakat. Hakim juga perlu
6
mempertimbangkan rasa keadilan dan prinsip kemanusiaan dengan hukum yang juga
harus tegas.
Pertimbangan keadaan memberatkan dan meringankan yang paling utama
berpengaruh dalam proporsionalitas penjatuhan pidana, baik proporsionalitas antara
tindak pidana yang dijatuhkan dengan tingkat kesalahan yang dilakukan terdakwa,
proporsionalitas disparitas putusan, maupun proporsionalitas antara pemidanaan
dengan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana.

2.3 Sanksi bagi Korporasi Apa terlibat dalam Penyalahgunaan Narkotika


Tindak pidana narkotika tidak lagi dilakukan secara perseorangan, melainkan
melibatkan banyak orang yang secara bersama-sama, bahkan merupakan satu sindikat
yang terorganisasi dengan jaringan yang luas yang bekerja secara rapi dan sangat
rahasia baik di tingkat nasional maupun maupun internasional, menggunakan modus
operandi yang tinggi, teknologi canggih, sangat sulit membuktikan perbuatan pidana
dan pertanggungjawaban pelaku. Penjatuhan hukuman yang berat ternyata tidak
membuat jera bagi para pelaku terbukti bahwa peredaran gelap narkotika tetap
meningkat dan dikendalikan pelaku walaupun berada dalam lembaga pemasyarakatan
atau pun rumah tahan karena masih memiliki banyak uang. Harta kekayaan adalah titik
terlemah dari rantai kejahatan sehingga penghancuran jaringan keuangan merupakan
upaya memiskinkan para pelaku agar peredaran gelap narkotika dapat ditekan adanya
paradigma baru dalam melawan kejahatan yaitu follow the money, penelusuran dalam
rangka mengetahui harta kekayaan untuk disita dan dirampas untuk negara (Sundari,
2014).
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana
dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau legal
person. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas, PT (yang selanjutnya disingkat UUPT) adalah badan hukum yang
merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar yang terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam Undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Dalam ajaran hukum, subyek hukum itu terdiri dari natuurlijk persoon dan recht
persoon. Atau dengan kata lain, subyek hukum itu terdiri dari orang yang diartikan
secara biologis, dan orang yang diartikan sebagai badan hukum. Sebagai sebuah badan
hukum, PT adalah sebuah kesatuan hukum atau legal entity yang dapat dipersamakan
dengan orang, dalam hal ini, PT adalah sebagai subyek hukum, yang dapat

7
menyandang hak dan kewajiban. Namun, karena PT tidak dapat bertindak sendiri,
maka dalam bertindak atau melakukan perbuatan hukum, PT diwakili oleh Direksi
yang bertindak untuk dan atas nama PT tersebut
Direksi wajib dengan itikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab
menjalankan tugas pengurusan PT untuk kepentingan dan usaha PT (vide Pasal 97
UUPT). Hubungan yang timbul antara perseroan dengan direksi adalah fiduciary
duties, yakni tugas yang timbul dari suatu hubungan yang bersifat fiduciary atau
kepercayaan antara direksi dengan perseroan yang dipimpinnya. Apabila direksi
melakukan kesalahan dan kelalaian sehingga mengakibatkan perseroan menderita
kerugian, maka direksi wajib bertanggung jawab secara penuh dan pribadi dan apabila
direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka tanggung jawab itu dibebankan
secara tanggung renteng (vide Pasal 97 ayat (4) jo. ayat (5) UUPT). Dari pengertian di
atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perseroan itu dapat dimintai
pertanggungjawaban, yang seharusnya meliputi pertanggungjawaban secara perdata
maupun secara pidana
Korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dalam hukum positif sudah diakui
bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan dapat dijatuhkan
pidana. Tetapi pengaturan tentang korporasi tidak ditemukan dalam KUHP tetapi dapat
dijumpai di luar KUHP. Korporasi merupakan subyek tindak pidana. Penempatan
korporasi sebagai subyek hukum pidana sampai sekarang masih jadi masalah, sehingga
timbul sikap pro dan kontra. Pihak yang tidak setuju mengemukakan alasan-alasan
sebagai berikut:
a. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya
terdapat pada persona alamiah.
b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat
dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan persona
alamiah (mencuri barang, menganiayorang, perkosaan, dan sebagainya)
c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak dapat
dikenakan pada orang yang tidak bersalah.
d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin
menimpa pada orang yang tidak bersalah.
Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar
apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-
duanya harus dituntut dan dipidana.

8
Ketentuan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, rumusan
pertanggungjawaban pidana korporasi dimaksud merupakan penyempurnaan
pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 yang
masih menganut doktrin pertanggungjawaban “vicarious liability” dalam arti terbatas
(yaitu hanya didasarkan pada “the delegation principle”)
Undang-Undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika belum efektif dalam
penerapan sanksi pidana bagi korporasi yang memproduksi Narkotika, bagi korporasi
yang melakukan kejahatan dimaksud, selain dikenakan pidana pokok yaitu pidana
denda sebesar dua kali pidana denda berdasarkan Pasal 113, Pasal 115, Pasal 120, dan
Pasal 135. Implementasi dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika belum sepenuhnya dapat dilaksanakan.
Hal itu dapat dilihat dari berbagai ketentuan pasal didalam undang-undang
tersebut yang belum diterapkan. Ketentuan yang belum diterapkan atau dilaksanakan
tersebut meliputi berbagai hal dimulai dari fungsi kelembagaan yang mencakup fungsi
sosialisasi, penyelidik, dan penyidik, dan pada pasal lainnya seperti fungsi rehabilitasi
yang memang tidak bisa sama sekali dipergunakan oleh karena tidak adanya pusat
rehabilitasi bagi pecandu narkotika di Kabupaten / Kota; Hambatan yang dihadapi
dalam penegakkan hukum terhadap produsen Narkotika sejak lahirnya Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ada satu lembaga lain yang juga
berperan yakni BNN bahkan diberikan porsi besar dalam melakukan penyidikan.
Komitmen penanggulangan penyalahgunaan narkobamerupakan tugas dan kewajiban
yang dilakukan Polri dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam memerangi sindikat
narkoba selama ini dinilai belum memberikan hasil maksimal.
Ironis, sebab dalam penindakan kasus kejahatan narkobapun terbukti terjadi
kompromikompromi yang mengandung suap. Sejak dari penangkapan sampai proses
penyidikan di kepolisian sudah biasa terjadi tawar-menawar dalam penerapan pasal.
Sementara negosiasi penerapan hukuman pun juga kerap terjadi di bawah meja antara
terdakwa, jaksa dan hakim. Tak kurang di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung pun
memberikan keringanan hukuman kepada terpidana mati Penegakan hukum masih
belum sesuai terhadap bandar atau produsen narkoba, banyak eksekusi hukuman mati
terhadap bandar besar narkoba tetapi tidak dilaksanakan segera oleh Kejaksaan Agung
serta ketidak konsistenan penegakan hukum terhadap usaha pemberantasan narkoba

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Penerapan hukum berarti berbicara mengenai pelaksanaan hukum itu sendiri
dimana hukum diciptakan untuk dilaksanakan. Hukum tidak bisa lagi disebut
sebagai hukum, apabila tidak pernah dilaksanakan. Pelaksanaan hukum selalu
melibatkan manusia dan tingkah lakunya termasuk ke dalam kasus tindak pidana
narkotika.
2. Ruang lingkup hukum pidana mencakup tiga ketentuan yaitu tindak pidana,
pertanggungjawaban, dan pemidanaan. Ketentuan pidana yang terdapat dalam UU
No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirumuskan dalam Bab XV Ketentuan
Pidana Pasal 111 sampai dengan Pasal 148. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika, terdapat empat kategorisasi tindakan melawan hukum yang
dilarang oleh undang-undang dan dapat diancam dengan sanksi pidana.
3. Dasar pemberat dan peringan hukuman bagi pelaku tindak pidana bisa terjadi jika
sudah memenuhi semua unsur, namun ada alasan yang membuat pelaku diancam
hukumannya lebih ringan atau lebih berat. Alasan pemberat dan peringan
hukuman dijatuhkan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana yang harus
termuat di dalam satu putusan. Pasal 197 ayat (2) KUHP menyatakan, tidak
terpenuhinya ketentuan dalam ayat 1 huruf a,b,c,d,e,f,h,i,k,l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum.
4. Untuk dapat menjatuhkan pidana dalam sebuah putusan, majelis Hakim harus
mempertimbangkan terpeliharanya rasa keadilan di masyarakat. Hakim juga perlu
mempertimbangkan rasa keadilan dan prinsip kemanusiaan dengan hukum yang
juga harus tegas. Pertimbangan keadaan memberatkan dan meringankan yang
paling utama berpengaruh dalam proporsionalitas penjatuhan pidana, baik
proporsionalitas antara tindak pidana yang dijatuhkan dengan tingkat kesalahan
yang dilakukan terdakwa, proporsionalitas disparitas putusan, maupun
proporsionalitas antara pemidanaan dengan keuntungan yang diperoleh dari tindak
10
pidana.
5. Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana
dan kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtspersoon), legal body atau
legal person. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas, PT (yang selanjutnya disingkat UUPT) adalah badan
hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian,
melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang terbagi dalam saham, dan
memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan peraturan
pelaksanaannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Drajad, A. (2015). Penerapan sanksi pidana terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana
korupsi. Mahkamah Agung Republik Indonesia: Medan (online diunduh tanggal 05
Desember 2022, http://www.pn-medankota.go.id ).
Drajad, A. (2015). Kendala penerapan sanksi pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak
pidana korupsi. Mahkamah Agung Republik Indonesia: Medan (online diunduh tanggal
05 Desember 2022, http://www.pn-medankota.go.id ).
Sjahdeni, S. R. (2017). Pemindahan korporasi. Onine (dinduh tanggal 05 Desember 2022,
https://antikorupsi.org/id/article/pemidanaan-korporasi).
Novash. (2017). Disparitas sanksi pidana korporasi di berbagai UU. Online (diunduh tanggal 05
Desember 2022, https://www.hukumonline.com/berita/a/disparitas-sanksi-pidana-
korporasi-di-berbagai-uu-lt58875313748b9).

12

Anda mungkin juga menyukai