Disusun oleh :
Rahmad Syahfani (1774201032)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIDYA GAMA MAHAKAM SAMAR
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Masyarakat dunia dan tidak terkecuali masyarakat di Indonesia pada dewasa ini
sedang dihadapkan pada keadaan yang sangat mengkhawatirkan akibat semakin maraknya
penyalahgunaan bermacam-macam jenis Narkotika dan Psikotropika. Di Indonesia masalah
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba telah menunjukkan kecenderungan terus
meningkat, sudah sangat memprihatinkan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara, sebab penyebarannya bukan hanya sebagai tempat transit dalam perdagangan dan
peredaran gelap narkoba, tetapi telah menjadi tempat pemasaran dan bahkan telah menjadi
tempat untuk memproduksi narkoba secara gelap. Kekhawatiran ini semakin dipertajam
akibat meluasnya pemakaian dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika yang telah
merebak di segala lapisan masyarakat. Dan sebagian penegak hukumnya juga tidak steril dari
penyalahgunaan narkoba, sehingga upaya pemberantasannya tidak cukup hanya ditangani
oleh pemerintah dan aparat penegak hukum saja, melainkan perlu melibatkan seluruh potensi
masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam pencegahan dan pemberantasan terhadap
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba. Jika hal ini tidak dilaksanakan dengan segera,
maka akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan bangsa dan negara, karena generasi muda
adalah penerus cita-cita bangsa dan negara pada masa mendatang. Upaya pencegahan dan
pemberantasan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkoba di Indonesia
memerlukan upaya penanganan yang komprehensip dan multidimensional agar tercapai hasil
yang maksimal, dan upaya pemberantasannyapun harus dilaksanakan secara bertahap,
konsisten, dan terus-menerus berkesinambungan.1[1]
Narkotika sebagai salah satu kejahatan yang grafiknya terus meningkat dari waktu
kewaktu. Hampir semua elemen yang terdapat di dalam masyarakat tanpa membedakan
status sosial dapat dimasuki oleh narkotika dan psikotropika, seperti anak-anak, pelajar,
mahasiswa, selebritis, lembaga profesional dan tidak sedikit para oknum pejabat.
Narkotika merupakan salah satu bentuk kejahatan atau tindak pidana yang disepakati
(concensual crimes) semua pihak terlibat dalam tindak pidana narkotika dan psikotropika.
Para pihak menjadi pelaku dan sekaligus korban. Sebagai tindak pidana yang disepakati,
antara pelaku dan korban telah bersama-sama sepakat dalam tindak pidana ini sehingga untuk
menentukan sebagai korban akan semakin rancu dan tidak jelas.
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang semula dijadikan tempat transit
narkotika dan psikotropika telah berkembang menjadi tempat untuk memproduksi narkotika.
Jumlah penduduk yang terus meningkat dari tahun ke tahun menjadikan Indonesia sebagai
pasar potensial narkotika.
Peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika dengan sasaran potensial generasi
muda telah menjangkau berbagai penjuru daerah dan penyalahgunanya merata di seluruh
strata sosial masyarakat. Pada dasarnya narkotika sangat diperlukan dan mempunyai manfaat
di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan tetapi penggunaan narkotika menjadi
berbahaya jika terjadi penyalahgunaan.2[2] Penyalahgunaan pemakaian narkotika dapat
berakibat jauh dan fatal serta menyebabkan yang bersangkutan menjadi tergantung pada
narkotika untuk kemudian berusaha agar senantiasa memperoleh narkotika itu dengan segala
cara, tanpa mengindahkan norma-norma sosial, agama maupun hukum yang berlaku. Dalam
hal ini, tidak mustahil kalau penyalahgunaan narkotika adalah merupakan salah satu sarana
dalam rangka kegiatan subversi.3[3]
Kemudian seiring perkembangan zaman, dibuatlah Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, yang menggantikan undang-undang sebelumnya, dengan alasan
bahwa tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan
menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan
organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi
muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara
sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang dalam menanggulangi dan
memberantas tindak pidana tersebut.4[4]
Dalam perkembangan selanjutnya, terdapat temuan baru jenis Narkotika, Metilon
sebagai derivat katinon yang secara eksplisit belum tercantum dalam lampiran Undang-
Undang nomor 35 tahun 2009, karena ketika UU disusun zat sintetis ini belum ada. Tapi
secara akal sehat tentunya dapat disamakan dengan katinon.
Metilon, sebagai turunan dari katinon sintetis, sangat mirip dengan ekstasi (MDMA).
Sedikit perbedaan hanya pada gugusan belakang konfigurasi struktur kimianya. Bila ekstasi
(Metil Dioksi Metamfetamin) gugusan belakangnya adalah amfetamin, maka metilon (Metilen
Dioksi Metil Katinon) gugusan belakangnya adalah katinon. Efek kedua zat ini sama bahkan
dikatakan metilon lebih dahsyat.5[5] Penemuan tersebut diiringi dengan adanya pengguna
terhadap zat tersebut, sehingga ketika hukum akan menjerat pengguna, belum ada undang-
undang yang mengaturnya. Dengan demikian, perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang
yang telah ada, dengan memasukkan zat metilon menjadi salah satu jenis narkotika, dengan
konsekuensi hukum bagi yang menyalahgunaan zat tersebut. Dengan penambahan pernyataan
bahwa setiap zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika, psikotripika, stimultan, maupun
kelompok lainnya adalah dilarang.
1. Dasar Filosofis
2. Dasar Sosiologis
Ditengah hingar bingarnya isu globalisasi, kejahatan narkotika yang sejak lama
menjadi musuh bangsa kian menkhawatirkan. Geliat mafia seakan tak mampu terbendung
oleh gebrakan aparat penegak hukum di berbagai belahan komitmen bersama memberantas
memberantas narkotika oleh seluruh dunia. Tak sedikit badan-badan dunia yang terlibat,
namun peredaran narkotika terus merajalela. Dari berbagai indikasi menunjukkan bahwa
kejahatan narkotika merupakan extra orginary crime. Adapun pemaknaannya adalah sebagai
suatu kejahatan yang berdampak besar dan multi-dimensional terhadap sosial, budaya,
ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif yang ditimbulkan oleh kejahatan
ini. Untuk itu extraordinary punishment kiranya begitu menjadi relevan mengiringi model
kejahatan yang berkarakteristik luar biasa yang dewasa ini kian merambahi ke se-antero bumi
ini sebagai transnational crime.6[6]
Selain narkotika dimanfaatkan untuk penelitian, narkotika juga sangat bermanfaat dan
diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau
digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran
narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun
masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar
bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan
ketahanan nasional.7[7]
Munculnya berbagai pernyataan yang bernada kontroversial tentang metilon yang
merupakan derifat katinon, zat narkotika yang tidak diatur dalam undang-undang.
Cathinone (baca: katinon) merupakan alkaloid yang diekstrak dari tanaman khat (Chata
edulis), tanaman herbal yang banyak tumbuh di Afrika bagian utara. Katinon mempunyai
struktur kimia mirip obat-obatan yang sudah kita kenal, ephedrine dan amphetamine.
Perubahan struktur kimia pada katinon menghasilkan berbagai macam turunan zat atau
komponen kimia baru yang biasa disebut katinon sintetis.8[8]
Penggunaan katinon sintesis atau katinon derifat secara akut maupun kronis bisa
berakibat buruk, bahkan membahayakan kesehatan. Penggunaan secara akut dalam dosis
efektif bisa mengakibatkan gejala palpitasi jantung, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan
warna (discolorization) pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia, serta halusinasi.
Bahkan pada dosis yang sangat besar, bisa mengakibatkan kematian.9[9]
Dengan demikian, derifat katinon mempunyai indikasi yang sama dengan katinon,
bahkan lebih membahayakan, maka perlu adanya penambahan pernyataan bahwa
penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika, psikotropika, stimultan, maupun
kelompok lainnya adalah dilarang.
Hal ini, dilakukan dalam rangka, menepis kerancuan dan berbagai kontroversi tentang
metilon dan derifat-derifat lain yang belum diketahui apakah termasuk narkotika atau tidak.
Sehingga, ketika telah diundang-undangkan, maka pemecahan masalah tentang
penyalahgunaan narkotika jenis metilon ini, akan semakin jelas karena mempunyai sandaran
hukum yang eksplisit.
3. Dasar Yuridis
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, pada
Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 melalui
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 telah
merekomendasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Presiden
Republik Indonesia untuk melakukan perubahan atas Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika.
Undang-UndangNomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika mengatur upaya
pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman pidana denda, pidana
penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati. Di samping itu, Undang-UndangNomor 22
Tahun 1997 juga mengatur mengenai pemanfaatan Narkotika untuk kepentingan pengobatan
dan kesehatan serta mengatur tentang rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam
kenyataannya tindak pidana Narkotika di dalam masyarakat menunjukkan kecenderungan
yang semakin meningkat baik secara kuantitatif maupun kualitatif dengan korban yang
meluas, terutama di kalangan anak-anak, remaja, dan generasi muda pada umumnya.
Bahwa dalam sejarah Undang-Undang yang mengatur tentang narkotika ini, sudah
banyak mengalami perubahan, hal ini terjaminnya keadilan bagi setiap masyarakat dan
kesejahteraan. Perubahan yang telah terjadi beberapa kali ini ialah dalam rangka mengikuti
perkembangan zaman, seperti yang di jelaskan dalam pemaparan di latar belakang
sebelumnya mengenai pendapat Van Savigny yang mengatakan bahwa hukum selalu
berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat. Undang-Undang Narkotika yang
disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika. Pemerintah menilai Undang-Undang Nomor 22 Tahun1997 tidak
dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun
kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, Undang-
Undang Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan
dengan Undang-Undang terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi,
penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar.10[10]
Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan bahwa asas-asas, materi muatan peraturan perundang-undangan yakni
asas pengayoman, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, kenusantaraan, bhineka tunggal
ika, keadilan, kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, ketertiban dan kepastian
hukum dan keseimbangan, keserasian dan keselarasan.11[11] Dengan demikian, dalam
rangka untuk mendapatkan kepastian hukum dalam suatu tindakan kriminalitas
penyalahgunaan narkotika, yang belum tercover dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009, perlu adanya penambahan dan koreksi terhadap undang-undang tersebut.
Dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika,
disebutkan bahwa katinona masuk dalam golongan satu narkotika. Sedangkan turunan dari
katinona adalah metilon. Sehingga, hal inilah yang menjadi pertimbangan dalam penambahan
metilon norkotika golongan pertama, sebagai keturunan dari katinon. Dengan penyebutan
hanya beberapa dari derifat narkotika, menjadikan derifat yang tidak disebut dalam undang-
undang tidak mempunyai payung hukum yang jelas. Sehingga, perlu adanya pernyataan
fleksibel bahwa penyalahgunaan zat yang bersifat adiksi, baik itu narkotika, psikotripika,
stimultan, maupun kelompok lainnya adalah dilarang. Dengan demikian, ketika ke depan
ditemukan derifat lain, maka akan tetap mempunyai payung hukum yang jelas.
BAB IV
PROBLEMATIKA UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG
NARKOTIKA
Dalam jumpa pers, Badan Narkotika Nasional (BNN) mengatakan bahwa narkoba
yang gunakan tersebut belum diatur dalam undang-undang. Namun, pernyataan tersebut
kemudian dibantah oleh Menteri Kesehatan yang menyatakan bahwa bahan tersebut telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kontroversi tersebut
terus berkembang baik di media maupun di jejaring sosial. Ditambah lagi, akhir-akhir ini di
daerah Cisarua dan Banyumas juga ditemukan budidaya tanaman khat. Hal ini, menyebabkan
sebuah undang-undang yang dijadikan acuan hukum menjadi sebuah kontroversi dan
multitafsir.
Dalam lampiran UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, tidak disebutkan
secara eksplisit tentang turunan narkotika jenis katinon, bahkan tentang tanaman khat-pun
tidak tertulis. UU itu hanya tertulis katinon dan metkatinon yang masuk dalam narkotika
golongan 1. Sementara yang baru ditemukan pada kasus "terbaru" ini adalah turunan katinon
yang bernama metilon. Metilon jelas merupakan zat sintesis atau turunan yang diproduksi
dari katinon. Metilon memiliki struktur kimia inti katinon dengan modifikasi pada salah satu
rantai kimianya. Efek farmakologi dari metilon lebih dahsyat dibanding katinon, berbagai
literatur menunjukkan metilon mempunyai efek dan toksisitas yang lebih besar dari katinon.
Jadi meski merupakan produk sintesis atau turunan dari katinon, metilon merupakan zat yang
berbeda dengan efek yang berbeda. Sehingga, tidak layak metilon dan tanaman khat dianggap
sudah masuk dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009.
Dalam Lampiran UU Nomor 35 Tahun 2009, lampiran narkotika golongan I hanya
memuat 65 macam bahan narkotika, dimana katinon dan metkatinon merupakan dua bahan
yang berhubungan dengan katinon, sedangkan turunan katinon dan tanaman khat tidak
tertulis di dalamnya. Dalam lampiran golongan I ini juga tidak dituliskan kalimat "Garam-
garam dari Narkotika dalam golongan I tersebut diatas" seperti yang tertulis pada golongan II
dan golongan III. Dari sini bisa dilihat bahwa dengan tidak dituliskannya kalimat tersebut
menunjukkan bahwa si pembuat undang-undang dalam hal ini Presiden dan DPR ingin
menjelaskan dengan poin-poin yang jelas, bahan-bahan apa saja yang masuk ke dalam
golongan tersebut.
Dalam jenis narkotika yang lain, seperti jenis opioid, mulai dari tanamannya, bentuk
mentahnya, bentuk ekstraksinya, bentuk aktif hingga turunannya semua tertulis dengan jelas.
Begitu juga narkotika jenis kokain, mulai dari tanaman, bentuk ekstrak dan produk turunanya
juga tertulis dengan lengkap, begitu juga dengan narkotika jenis ganja. Sedangkan, dalam
khusus katinon ini hanya ditulis katinon dan metkatinon, tidak dari tanamannya khat, zatnya
katinon dan turunan-turunannya. Hal ini sangat dimungkinkan karena para pembuat undang-
undang tersebut memang belum berfikir untuk memasukkan tanaman khat dan turunan
katinon ini ke dalamnya, kemungkinan besar karena barangnya belum ada atau belum masuk
ke Indonesia.
Terkait tentang UU Narkotika, peraturan perundangan tentang narkotika di Indonesia
diawali dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal
Narkotika 1961 beserta Revisi Protokol tersebut yang dilakukan pada tahun 1972 oleh
perserikatan bangsa-bangsa (PBB). Saat ini, Indonesia hanya memiliki dua buah undang-
undang yang menuliskan secara eksplisit daftar obat dan penggolongan narkotika dan
psikotropika yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 (yang menggantikan Undang-
undang Narkotika Nomor 22 Tahun 1997) dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.12[12]
Dalam undang-undang ini, tertulis 165 zat narkotika (terbagi dalam tiga golongan)
dan 25 prekusor (terbagi dalam dua tabel). Ditambah dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika yang mencantumkan 109 zat psikotropik (dimana sebagian besar
pada golongan 1 dan 2 telah dipindahkan ke Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009). Di
tingkat Peraturan Menteri, ada beberapa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) yang
ditujukan untuk menambahkan daftar narkotika yang tertulis pada undang-undang, namun
semua narkotika dalam Peraturan Menteri tersebut telah dimasukkan dalam lampiran
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.13[13]
2. Pembatasan Penyimpanan Narkotika
Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan
apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri
farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai
pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan.
Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan,
dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini
memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narkotika secara ilegal. Hal ini
membuka black market Narkoba semakin besar dan pada gilirannya semakin menjadikan
Indonesia dilirik sebagai potensial marketing bagi produsen dan distributor lama dan baru.
3. Pengobatan dan Rehabiltasi
Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan
untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah.
Melalui Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial menjadi kewajiban bagi para pecandu. Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri
mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan
keluarga.
Rehabilitasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah
ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri. Permasalahannya, kategori
tempat pihak yang melakukan rehabilitasi medis dan social belum sepenuhnya termasuk pada
lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu.
4. Kewenangan BNN dan Penyelidikan
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah
satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran
nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan
cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan
pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota
masyarakat.
Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan
prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti
penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 3×24 jam ditambah penyadapan.
Pemberian kewenangan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN
sebagai penyidik menimbulkan penilaian bahwa pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa
melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, kemudian kewenangan
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN. Porsi kewenangan
BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh
penyidik kepolisian akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa
persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian.
Untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika
dan Prekursor Narkotika yang modus operandinya semakin canggih dan dalam undang-
undang No.35 tahun 2009 juga diatur mengenai perluasan teknik penyidikan penyadapan (
wiretapping ), teknik pembelian terselubung ( under cover buy ) dan teknik penyerahan yang
diawasi ( controlled delevery ) serta teknik penyidikan lainnya guna melacak dan
mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
5. Putusan Rehabilitasi Bagi Para Pecandu Narkotika
Walaupun prinsip dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 adalah melakukan
rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam undang-undang ini masih
menggunakan kata “dapat” untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah
maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui
rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah
melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabilitasi.
Ketentuan tersebut menimbulkan pemahaman bahwa hakim mutlak memutus atau
menetapkan pecandu narkotika untuk menjalani proses rehabilitasi dan penerapan penjalanan
pengobatan dan rehabilitasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan.
6. Peran Serta Masyarakat
Selain Polri ,BNN dan Penegak Hukum lainnya, UU No. 35/2009 juga mewajibkan
masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika.
Artinya masyarakat diberi wewenang seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh,
dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Peran serta
masyarakat yang terpayungi oleh UU ini memberikan legitimasi bagi masyarakat untuk
melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Hal ini menimbulkan afraid yang cenderung mengarah pada suatu
ketakutan tersendiri disalahgunakan oknum masyarakat .
Namun dalam UU ini berbanding terbalik pada hal hak masyarakat untuk melakukan
penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika yang tidak diatur
secara jelas dan tersurat.14[14]
7. Ketentuan Pidana
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi
orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan
ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam Undang-Undang
tersebut.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menggunakan pendekatan pidana untuk
melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan
pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya
penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu kewenangan yang
besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan
penyadaran kepada masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam
tindak pidana narkotika. Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 sebagai berikut:
a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika
Penggunaan kata ”Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum” dalam beberapa pasal
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan,
dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan
tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan.
Hal ini berpotensi menjerat orang utk dijadikan tersangka dalam tindak pidana
narkotika yang tidak sengaja ,baik karena “dijebak” oleh orang lain maupun atas kekurang-
tahuan atas bentuk jenis narkotika yang ada maupun kondisi lain yang memungkinkan
seperti: menerima titipan barang dari orang lain untuk diantar kesuatu tempat dan tanpa
sepengetahuannya didalam barang tersebut ada narkotika yang diselipkan, menerima paket
dari pos dan kondisi lainnya.
b. Penggunaan sistem pidana minimal
Penggunaan sistem pidana minimal dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
memperkuat asumsi bahwa Undang-Undang tersebut memang diberlakukan untuk
memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal
juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya, hakim
dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh
Ketua Mahkamah Agung.
c. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6
bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan
narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur ’kesengajaan tidak melapor’
tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang
tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan
tindak pidana narkotika. Undang-Undang ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun
bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan
sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap
ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan
sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga
mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika.
Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak
diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau
peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal
dengan delik materiil.
d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku
tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah
suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan
mensyaratkan suatu tindak pidana tersebut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut
tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan
pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.15[15]
BAB V
LINGKUP PENYEMPURNAAN DALAM RANCANGAN UNDANG-UNDANG
DAFTAR PUSTAKA