Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Narkoba adalah singkatan dari Narkotika dan obat-obat berbahaya. Narkotika dan zat-
zat yang berbahaya bersama-sama sering disebut NAPZA, yaitu singkatan dari narkotika,
psikotropika, dan zat adiktif. Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alami
maupun sintetis, yang bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan sistam saraf
pusat, serta dapat menimbulkan ketergantungan atau ketagihan. Zat yang termasuk golongan
psikotropika diantaranya adalah amfetamin, ekstasi, dan sabu-sabu. Sedangkan penggolongan
psikotropika dan contoh masing-masing secara lengkap diterangkan dengan UU No. 5 tahun
1997.1
Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1997, narkoba jenis psikotropika dibedakan
menjadi 4 golongan. Contoh derivat amfetamin yang populer adalah MDMA yang lebih
dikenal dengan nama ekstasi merupakan psikotropika golongan I, yakni dapat mempunyai
potensi yang sangat kuat dalam menyebabkan potensi yang sangat kuat dalam menyebabkan
ketergantungan. Amfetamin dan metamfetamin sendiri masuk ke dalam golongan II, yang
mempunyai potensi kuat dalam menyebabkan ketergantungan.1
Selama lebih dari 25 tahun terakhir ini, penggunaan amfetamin di dunia ini telah
meningkat. Amfetamin dapat menyebabkan euforia dan efek stimulan, seperti peningkatan
atensi dan peningkatan energi. Amfetamin dapat digunakan secara oral, intravena, dihisap
ataupun dihirup. Kepopuleran amfetamin mengalahkan kokain karena sekali memakai
metamfetamin, dapat membuat orang melayang selama 6-12 jam, sedangkan penggunaan
kokain hanya membuat orang yang mengkonsumsinya melayang selama 0,5-1 jam.2
Berdasarkan data Direktorat tindak pidana narkoba bareskrim polri dan BNN pada
Maret 2012, didapatkan data kasus pidana dari NAPZA. Didapatkan jumlah kasus tindak
pidana akibat narkotika adalah 69.553 dari tahun 2007 sampai 2011, dengan jumlah terbesar
adalah pada tahun 2011 sebanyak 19.128. Jumlah penggunaan bahan adiktif lainnya adalah
39.164 dengan jumlah paling besar adalah pada tahun 2009 sebanyak 10.964. Psikotropika
sendiri jumlah sebanyak 30.633 dengan jumlah paling besar pada tahun 2008. Berdasarkan
data UPT terapi dan rehabilitasi BNN pada tahun 2011 methampetamin menduduki peringkat
teratas sebanyak 699 pengguna dan MDMA menduduki peringkat keempat, yakni 304
pengguna.2

1.2 Rumusan Masalah


Page | 1
1. Apa yang dimaksud dengan amfetamin?
2. Bagaimana aspek medikolegal dari penggunaan narkotika, dan khususnya
amfetamin sebagai psikotropika?
3. Apa yang dimaksud dengan toksikologi secara umum?
4. Bagaimana cara amfetamin mempengaruhi tubuh manusia?
5. Bagaimana peran toksikologi forensik terhadap keracunan amfetamin?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan amfetamin.
2. Mengetahui bagaimana aspek medikolegal dari penggunaan narkotika, dan
khususnya amfetamin sebagai psikotropika.
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan toksikologi secara umum.
4. Mengetahui bagaimana cara amfetamin mempengaruhi tubuh manusia.
5. Mengetahui bagaimana toksikologi forensik terhadap kasus keracunan
amfetamin.

1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi mengenai prevalensi pengguna amfetamin di
Indonesia.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai bahaya penggunaan
amfetamin.
3. Memberikan informasi toksikologi secara umum.
4. Memberikan informasi bagaimana peran toksikologi forensik terhadap
keracunan amfetamin.
5. Mengurangi jumlah pengguna metamfetamin di Indonesia.

Page | 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika


Undang-undang narkotika terbaru sebagaimana tertulis diatas adalah No. 35/2009.UU
ini menggantikan peraturan narkotika sebelumnya, yakni UU No. 22 Tahun 1997.Sedangkan
undang-undang psikotropika hingga sekarang belum ada yang baru, sehingga peraturannya
masih mengacu pada undang undang nomor 5 tahun 1997.1
Ketentuan pidana dalam undang undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, diatur
dalam pasal 110 sampai pasal 148. Pemberantasan peredaran narkotika, ditemukan dalam
pasal 111 sampai dengan pasal 126, sedangkan yang berkaitan dengan Penyalahguna
narkotika, ditemukan pada pasal 127 dan 128.1
Pasal 127
1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara, paling
lama 4 (empat) tahun.
b. Narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun.
c. Narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun.
2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hakim wajib
memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54, pasal 55 dan pasal
103.
3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibuktikan atau
terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib
menjalani rehabilitasi media dan rehabilitasi sosial.

Pasal 128
1) Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 55 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000 (satu juta rupiah).
2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan yang telah dilaporkan oleh orang tua
atau walinya sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) tidak dituntut pidana.

Page | 3
3) Pecandu narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat
(2) yang sedang menjalani rehabilitasi medis, yang ditunjuk oleh pemerintah tidak
dituntut pidana.
4) Rumah sakit dan atau lembaga rehabilitasi medis sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) harus memenuhi standar kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri.

Undang undang nomor 5 tahun 1997 Tentang Psikotropika3


Pasal 59
1) Barangsiapa :
a. Menggunakan psikotropika golongan I selain dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) ;
atau
b. Memproduksi dan/atau menggunakan dalam proses produksi psikotropika
golongan I sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6; atau
c. Mengedarkan psikotropika golongan I tidak memenuhi ke-tentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3); atau
d. Mengimpor psikotropika golongan I selain untuk kepentingan ilmu pengetahuan;
atau
e. Secara tanpa hak memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika golongan
I dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun, paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah), dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah).
2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terorganisasi
dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 750.000.000,00 (tujuh
ratus lima puluh juta rupiah).
3) Jika tindak pidana dalam pasal ini dilakukan oleh korporasi, maka di samping
dipidananya pelaku tindak pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar
Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

Pasal 60
1) Barangsiapa :
a. memproduksi psikotropika selain yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 5; atau

Page | 4
b. memproduksi atau mengedarkan psikotropika dalam bentuk obat yang tidak
memenuhi standar dan/atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
atau
c. memproduksi atau mengedarkan psikotropika yang berupa obat yang tidak
terdaftar pada departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1); dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
2) Barangsiapa menyalurkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 12 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
3) Barangsiapa menerima penyaluran psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
12 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana
denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
4) Barangsiapa menyerahkan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal 14 ayat
(1), Pasal 14 ayat (2), Pasal 14 ayat (3), dan Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).
5) Barangsiapa menerima penyerahan psikotropika selain yang ditetapkan dalam Pasal
14 ayat (3), Pasal 14 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).
Apabila yang menerima penyerahan itu pengguna, maka dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga) bulan.

Pasal 61
1) Barangsiapa :
a. mengekspor atau mengimpor psikotropika selain yang ditentukan dalam Pasal 16,
atau
b. mengekspor atau mengimpor psikotropika tanpa surat persetujuan ekspor atau
surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; atau
c. melaksanakan pengangkutan ekspor atau impor psikotropika tanpa dilengkapi
dengan surat persetujuan ekspor atau surat persetujuan impor sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) atau Pasal 22 ayat (4); dipidana dengan pidana

Page | 5
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
2) Barangsiapa tidak menyerahkan surat persetujuan ekspor kepada orang yang
bertanggung jawab atas pengangkutan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22
ayat (1) atau Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 62
Barangsiapa secara tanpa hak, memiliki, menyimpan dan/atau membawa psikotropika
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).2

Pasal 63
1) Barangsiapa:
a. melakukan pengangkutan psikotropika tanpa dilengkapi dokumen pengangkutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10; atau
b. melakukan perubahan negara tujuan ekspor yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24; atau
c. melakukan pengemasan kembali psikotropika tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25; dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
2) Barangsiapa :
a. tidak mencantumkan label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ; atau
b. mencantumkan tulisan berupa keterangan dalam label yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1); atau
c. mengiklankan psikotropika selain yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 ayat (1); atau
d. melakukan pemusnahan psikotropika tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) atau Pasal 53 ayat (3); dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Page | 6
Pasal 64
Barangsiapa :
a. menghalang-halangi penderita sindroma ketergantungan untuk menjalani pengobatan
dan/atau perawatan pada fasilitas rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37;
atau
b. menyelenggarakan fasilitas rehabilitasi yang tidak memiliki izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta
rupiah).

Pasal 65
Barangsiapa tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan/atau pemilikan psikotropika
secara tidak sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 20.000.000,00
(dua puluh juta rupiah).

Pasal 66
Saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara psikotropika yang sedang dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan yang menyebut nama, alamat atau hal-hal yang dapat
terungkapnya identitas pelapor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 67
1) Kepada warga negara asing yang melakukan tindak pidana psikotropika dan telah
selesai menjalani hukuman pidana dengan putusan pengadilan sekurang-kurangnya 3
(tiga) tahun sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dilakukan pengusiran
keluar wilayah negara Republik Indonesia.
2) Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat kembali ke Indonesia
setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan putusan pengadilan.

Pasal 68
Tindak pidana di bidang psikotropika sebagaimana diatur dalam undang-undang ini adalah
kejahatan.

Page | 7
Pasal 69
Percobaan atau perbantuan untuk melakukan tindak pidana psikotropika sebagaimana diatur
alam undang-undang ini dipidana sama dengan jika tindak pidana tersebut dilakukan.

Pasal 70
Jika tindak pidana psikotropika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62,
Pasal 63, dan Pasal 64 dilakukan oleh korporasi, maka disamping dipidananya pelaku tindak
pidana, kepada korporasi dikenakan pidana denda sebesar 2 (dua) kali pidana denda yang
berlaku untuk tindak pidana tersebut dan dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha.

Pasal 71
1) Barangsiapa bersekongkol atau bersepakat untuk melakukan, melaksanakan,
membantu, menyuruh turut melakukan, menganjurkan atau mengorganisasikan suatu
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, atau Pasal
63 dipidana sebagai permufakatan jahat.
2) Pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan ditambah
sepertiga pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

Pasal 72
Jika tindak pidana psikotropika dilakukan dengan menggunakan anak yang belum berumur
18 (delapan belas) tahun dan belum menikah atau orang yang di bawah pengampuan atau
ketika melakukan tindak pidana belum lewat dua tahun sejak selesai menjalani seluruhnya
atau sebagian pidana penjara yang dijatuhkan kepadanya, ancaman pidana ditambah sepertiga
pidana yang berlaku untuk tindak pidana tersebut.

Intoksikasi Amphetamine
Pasal yang menerangkan tentang intoksikasi ( keracunan ) MDMA adalah pasal 133 (1)
KUHP, yang berbunyi : Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya; pengertian atau batasan dari racun itu sendiri
tidak dijelaskan, dengan demikian dipakai pengertian racun yang telah disepakati oleh para
ahli. Pengertian yang paling banyak dianut adalah “ racun ialah suatu zat yang bekerja pada
Page | 8
tubuh secara kimiawi dan secara faali, yang dalam dosis toksik, selalu menyebabkan
gangguan fungsi tubuh, hal mana dapat berakhir dengan penyakit atau kematian”.4

2.2 Toksikologi Umum


Toksikologi merupakan suatu cabang ilmu yang membahas seputar efek merugikan
berbagai efek samping yang merugikan dari berbagai agen kimiawi terhadap semua sistem
makhluk hidup. Pada bidang biomedis, ahli toksikologi akan menangani efek samping yang
timbul pada manusia akibat pajanan obat dan zat kimiawi lainnya, serta pembuktian
keamanan atau bahaya potensial yang terkait penggunaannya. Toksikologi forensik sendiri
berkaitan dengan penerapan ilmu toksikologi pada berbagai kasus dan permasalahan
kriminalitas dimana obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang dapat menimbulkan
konsekuensi medikolegal serta untuk menjadi bukti dalam pengadilan. Metode-metode yang
dapat digunkaan dalam toksikologi forensik ini terus berkembang di berbagai belahan dunia.
Penemuan-penemuan baru mengenai obat-obatan klinis dan cara uji laboratoris sangat
membantu dalam penggunaan metode tertentu, alat-alat yang diperlukan, serta interpretasi
hasil dari pengujian sampel tersebut. 5,6
Menurut Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), bidang kerja toksikologi
forensik meliputi:6
 Analisis dan evaluasi racun penyebab kematian.
 Analisis ada/tidaknya kandungan alkohol, obat terlarang di dalam cairan tubuh atau
nafas yang dapat mengakibatkan perubahan perilaku (menurunnya kemampuan
mengendarai kendaraan bermotor dijalan raya, tindak kekerasan dan kejahatan serta
penggunaan dopping).
 Analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan obat terlarang lainnya.
Tujuan lain dari analisis toksikologi forensik adalah dapat membuat suatu rekaan
rekonstruksi suatu peristiwa yang telah terjadi, sampai mana obat tersebut telah dapat
mengakibatkan suatu perubahan perilaku.7,8

Peranan toksikologi forensik dalam hukum


Toksikologi forensik adalah ilmu yang mempelajari tentang racun dan
pengidentifikasian bahan racun yang diduga ada dalam organ atau jaringan tubuh dan cairan
korban. Mengingat sulitnya pengungkapan kejahatan terutama yang menggunakan racun,
maka saat ini sangat diperlukan aparat penegak hukum khususnya polisi yang mempunyai
Page | 9
pengetahuan yang memadai baik teori maupun teknik melakukan penyidikan secara cepat dan
tepat dalam rangka pengungkapan kejahatan pembunuhan khususnya kasus pembunuhan
yang ada indikasi korbannya meninggal karena diracun.9 Tujuan pemeriksaan ini adalah
untuk mengetahui latar belakang toksikologi digunakan dalam proses pembuktian
pembunuhan serta manfaat toksikologi sebagai media pengungkap dalam proses penyidikan
tindak pidana pembunuhan yang menggunakan racun. Toksikologi Forensik sangat penting
diberikan kepada penyidik dalam rangka membantu penyidik polisi dalam pengusutan
perkara yaitu : mencari, menghimpun, menyusun dan menilai barang bukti di Tempat
Kejadian Perkara (TKP) dengan tujuan agar dapat membuat terang suatu kasus pembunuhan
yang ada indikasi korbannya meninggal akibat racun. Aspek–aspek utama yang menjadi
perhatian khusus dalam toksikologi forensik bukanlah keluaran aspek hukum dari investigasi
secara toksikologi, melainkan mengenai teknologi dan teknik dalam meperoleh serta
menginterpretasi hasil seperti: pemahaman perilaku zat, sumber penyebab keracunan atau
pencemaran, metode pengambilan sampel dan metode analisa, interpretasi data terkait dengan
gejala atau efek atau dampak yang timbul serta bukti lain yang tersedia.10
Pada umumnya, seorang ahli forensik harus mampu mempertimbangkan keadaan
suatu investigasi, khususnya mengenai catatan adanya gejala fisik, dan bukti apapun yang
didapatkan dan berhasil dikumpulkan dalam lokasi kejahatan yang dapat mengerucutkan
pencarian, misalnya adanya barang bukti seperti obat-obatan, serbuk, residu jejak dan zat
toksik (kimia) apapun yang ditemukan. Dengan informasi tersebut serta sejumlah sampel
yang akan diteliti, seorang ahli teknologi forensik kemudian harus dapat menentukan
senyawa toksik apa yang terdapat dalam sampel, berapa jumlah konsentrasinya, serta efek
apa yang mungkin terjadi akibat zat toksik terhadap tubuh korban.11
Hasil analisis dan interpretasinya temuan analisisnya ini akan dimuat ke dalam suatu
laporan yang sesuai dengan hukum dan perundang-undangan. Menurut Hukum Acara Pidana
(KUHAP), laporan ini dapat disebut dengan Surat Keterangan Ahli atau surat keterangan.
Surat keterangan yang diberikan adalah berupa suatu Visum et Repertum. Dokter pemeriksa
pada bab kesimpulan Visum et Repertum tidak akan menyebutkan korban mati akibat bunuh
diri, pembunuhan, ataupun kecelakaan, tapi jelas menyebutkan penyebab kematiannya akibat
keracunan zat-zat, obat-obatan,dan racun tertentu atau dengan kata lain ditemukannya
gangguan pada organ-organ tubuhnya akibat sesuatu zat-zat, obat-obatan dan racun tertentu
tersebut.12,13

Page | 10
Tidak semua kasus yang ditemukan perlu melakukan toksikologi forensik. Kasus-
kasus tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan besar. Kasus-kasus tersebut antara
lain:
a) Kematian akibat keracunan, yang meliputi: kematian mendadak, kematian di penjara,
kematian pada kebakaran, dan kematian medis yang disebabkan oleh efek samping
obat atau kesalahan penanganan medis.
b) Kecelakaan fatal maupun tidak fatal, yang dapat mengancam keselamatan nyawa
sendiri ataupun orang lain, yang umumnya diakibatkan oleh pengaruh obat-obatan,
alkohol, atau pun narkoba.
c) Penyalahgunaan narkoba dan kasus-kasus keracunan yang terkait dengan akibat
pemakaian obat, makanan, kosmetika, alat kesehatan, dan bahan berbahaya lainnya,
yang tidak memenuhi standar kesehatan (kasus-kasus forensik farmasi).1

Pemeriksaan toksikologi forensik


Korban mati akibat keracunan umumnya dapat dibagi menjadi 2 golongan, yang sejak
semula sudah dicurigai kematian akibat keracunan dan kasus yang sampai saat sebelum di
autopsi dilakukan, belum ada kecurigaan terhadap kemungkinan keracunan. Harus dipikirkan
kemungkinan kematian akibat keracuan bila pada pemeriksaan setempat (scene investigation)
terdapat kecurigaan akan keracunan, bila pada autopsi ditemukan kelainan yang lazim
ditemukan pada keracunan dengan zat tertentu, misalnya lebam mayat yang tidak biasa, luka
bekas suntikan sepanjang vena dan keluarnya buih dari mulut dan hidung serta bila pada
autopsi tidak ditemukan penyebab kematian.15
Dalam menangani kasus kematian akibat keracunan perlu dilakukan beberapa
pemeriksaan penting, yaitu :
1) Pemeriksaan di tempat kejadian perkara (TKP)
Pemeriksaan di tempat kejadian perkara perlu dilakukan untuk membantu penentuan
penyebab kematian dan menentukan cara kematian. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin tentang perkiraan saat
kematian serta mengumpulkan barang bukti.15
2) Pemeriksaan luar
Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pemeriksaan luar kasus keracunan
diantaranya: 15

 Bau.

Page | 11
Dari bau yang tercium dapat diperoleh petunjuk racun apa yang kiranya ditelan
oleh korban. Segera setelah pemeriksa berada di samping mayat ia harus menekan
dada mayat untuk menentukan apakah ada suatu bau yang tidak biasa keluar dari
lubang-lubang hidung dan mulut.
 Segera.
Pemeriksa harus segera berada di samping mayat sesegera mungkin dan
pemeriksa juga harus menekan dada mayat dan menentukan apakah ada suatu bau
yang tidak biasa keluar dari lubang hidung dan mulut.
 Pakaian.
Pada pakaian dapat ditemukan bercak-barcak yang disebabkan oleh tercecernya
racun yang ditelan atau oleh muntahan. Misalnya bercak berwarna coklat karena
asam sulfat atau kuning karena asam nitrat.
 Lebam mayat.
Warna lebam mayat yang tidak biasa juga mempunyai makna, karena warna
lebam mayat pada dasarnya adalah manifestasi warna darah yang tampak pada
kulit.
 Perubahan warna kulit.
Pada hiperpigmentasi atau melanosis dan keratosis pada telapak tangan dan kaki
pada keracunan arsen kronik. Kulit berwarna kelabu kebirubiruan akibat
keracunan perak (Ag) kronik (deposisi perak dalam jaringan ikat dan korium
kulit). Kulit akan berwarna kuning pada keracunan tembaga (Cu) dan fosforakibat
hemolisis juga pada keracunan insektisida hidrokarbon dan arsen karena terjadi
gangguan fungsi hati.
 Kuku.
Keracunan arsen kronik dapat ditemukan kuku yang menebal yang tidak teratur.
Pada keracunan Talium kronik ditemukan kelainan trofik pada kuku.
 Rambut.
Kebotakan (alopesia) dapat ditemukan pada keracunan talium, arsen, air raksa dan
boraks. Metode pemeriksaan pada rambut adalh dengan ekstrak dan pretreatment.
 Sklera.
Tampak ikterik pada keracunan zat hepatotoksik seperti fosfor, karbon
tetraklorida. Perdarahan pada pemakaian dicoumarol atau akibat bisa ular.
Pengambilan sampel pada toksikologi forensik

Page | 12
Memastikan dimana racun itu berada, didasarkan dari anamnesa dan tanda klinis yang
dijumpai pada pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam. Pada korban yang meninggal,
diperlukan informasi sisa racun dan dicocokkan dengan kelainan yang dijumpai pada jenazah.
Selanjutnya menentukan sampel yang perlu diambil untuk pemeriksaan toksikologi,
disesuaikan dengan jenis racun yang masuk kedalam tubuh.16
Lebih baik mengambil bahan dalam keadaan segar dan lengkap pada waktu autopsi
daripada kemudian harus mengadakan penggalian kubur untuk mengambil bahan-bahan yang
diperlukan dan melakukan analisis toksikologik atas jaringan yang sudah busuk atau sudah
diawetkan.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil sebanyak-
banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk pemeriksaan histopatolgik. Secara
umum sampel yang harus diambil adalah:16
o Lambung dan isinya
o Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan pada pada usus
setiap jarak sekitar 60 cm
o Darah, Pengambilan darah dari jantung dilakukan secara terpisah dari sebelah kanan
dan sebelah kiri masing-masing sebnayak 50 ml. Darah tepi sebanyak 30-50 ml,
diambil dari vena iliaka komunis bukan darah dari vena porta. Pada korban yang
masih hidup, darah adalah bahan yang terpenting, diambil 2 contoh darah masing-
masing 5 ml, yang pertama diberi pengawet NaF 1% dan yang lain tanpa pengawet.
o Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
o Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat khususnya atau bila
urine tidak tersedia.
o Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan sianida,
dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang mempunyai kemampuan
untuk meretensi racun walaupun telah mengalami pembususkan.
o Urine, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan diekskresikan melalui
urin, khususnya pada tes penyaring untuk keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
o Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
o Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan otot, lemak di
bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.

Page | 13
Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam jenuh pada
sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat digunakan untuk sampel
cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl mercuric nitrate khusus untuk pengawet urine.
Selain pengambilan sampel melalui autopsi secara diseksi, terdapat teknik lain dalam melihat
kelainan tanpa melakukan diseksi. Alat–alat untuk diagnosa seperti endoskopi dan MRI dapat
digunakan untuk melihat kelainan internal tanpa melakukan diseksi pada tubuh korban. Akan
tetapi, diseksi tetap menjadi pilihan utama dalam tindakan.16

2.3 Amfetamin
Struktur kimia dan farmakonetik
Amfetamin merupakan suatu senyawa sintetik analog dengan epinefrin dan
merupakan suatu agonis ketekolamin tak langsung. Struktur kimia penting yang berkaitan
dengan efek farmakologis biokimia amfetamin yaitu tidak digantinya cincin fenil kelompok
alfa metil, dua rantai karbon diantara cincin fenil dan nitrogen serta kelompok amino utama.
Manipulasi dari struktur dasar molekul amfetamin bertujuan untuk menurunkan efek yang
tidak diinginkan dan menonjolkan efek yang diinginkan. Perbaikan atau modifikasi struktur
kimia akan menonjolkan atau melemahkan variasi aksi dari amfetamin dan komponen
sejenisnya.17
Subsitusi gugus methil pada ion hidrogen dalam gugus amino menghasilkan
metamfetamin yang mempunyai efek stimulasi sentral terhadap susunan saraf pusat dan
sangat potensial untuk disalahgunakan. Analog amfetamin dihasilkan dengan merubah cincin
fenil atau etilamin pada rantai lain. Penambahan gugus metil terhadap rantai alfa karbonik
menghasilkan fenteramin yang mempunyai aktivitas anoreksi. Penggantian rantai lain pada
gugus siklik seperti metilfenidat menimbulkan efek stimulasi susunan saraf pusat dan
menurunkan efek kardiovaskuler. Menempatkan satu atau lebih gugus metoksi pada cincin
fenil menghasilkan obat dengan efek halusinogen misalnya meskalin. Serbuk metamfetamin
dapat digunakan secara suntikan, inhalasi, dihisap atau dihirup. Sedangkan MDMA biasanya
dikonsumsi secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul.17
Amfetamin sangat baik diabsorbsi melalui permukaan mukosa dari saluran cerna,
nasofaring, cabang trakheobronkhus dan vagina. Penggunaan intravena akan langsung
mencapai otak dalam beberapa detik, pada penggunaan yang dihirup pertama kali
dikondensasi di paru-paru dan secara cepat diabsorbsi kedalam pembuluh darah. Kadar
plasma puncak setelah penggunaan oral terjadi 1-3 jam, hal ini bervariasi tergantung pada
aktivitas fisik dan jumlah makanan dalam lambung Amfetamin mengalami degradasi luas
Page | 14
dalam hati dengan menghasilkan sejumlah metabolit, beberapa diantaranya masih
mempunyai aktifitas farmakologi. Bentuk yang tidak dirubah dan metabolitnya akan
diekskresi melalui urine. Metabolisme amfetamin hati terjadi melalui beberapa cara, antara
lain:17
 Aromatik hidroksilasi
Pada proses ini akan dihasilkan fenolik amin yang kemudian akan diekskresi melalui
urine atau berkonjugasi dulu dengan sulfat sebelum diekskresi. Para hidroksi
amfetamin yang merupakan metabolit inti dari proses ini secara biologi mempunyai
efek tiga kali lebih kuat dalam menginhibisi uptake noradrenalin dibandingkan
dengan amfetamin
 Beta hidroksilasi
Proses ini dilakukan oleh enzim dopamin beta hidroksilase yang merubah dopamin
menjadi norepinefrin dan hal ini rupanya terbatas untuk senyawa amine utama. Bila
cincin metabolit hidroksilasi (misalnya p-hidroksilasi amfetamin) mengalami beta
hidroksilasi akan dihasilkan p-hidroksilasi norefedrin dan dapat diserap kedalam
ujung-ujung saraf norepinefrin dan kemungkinan dapat bereaksi sebagai
neurotransmiter palsu dengan demikian akan meningkatkan efek amfetamin.

Mekanisme kerja dan neurokimiawi


Amfetamin adalah senyawa yang mempunyai efek simpatomimetik tak langsung
dengan aktivitas sentral maupun perifer. Strukturnya sangat mirip dengan katekolamin
endogen seperti epinefrin, norepinefrin dan dopamin. Efek alfa dan beta adrenergik
disebabkan oleh keluarnya neurotransmiter dari daerah presinap. Amfetamin juga mempunyai
efek menghalangi re-uptake dari katekolamin oleh neuron presinap dan menginhibisi aktivitas
monoamin aksidase, sehingga konsentrasi dari neurotransmitter cenderung meningkat dalam
sinaps. Mekanisme kerja amfetamin pada susunan saraf pusat dipengaruhi oleh pelepasan
biogenik amine yaitu dopamin, norepinefrin dan serotonis atau ketiganya dari tempat
penyimpanan pada presinap yang terletak pada akhiran saraf. Efek yang dihasilkan dapat
melibatkan neurotransmitter atau sistim monoamine oxidase (MAO) pada ujung presinaps
saraf. Dari beberapa penelitian pada binatang diketahui pengaruh amfetamin terhadap ketiga
biogenik amin tersebut yaitu:17
 Dopamin
Amfetamin menghambat re-uptake dan secara langsung melepaskan dopamin yang
baru disintesa. Pada penelitian didapatkan bahwa isomer dekstro dan levo amfetamin

Page | 15
mempunyai potensi yang sama dalam menghambat up take dopaminergik dari sinaps
otonom di hipothalamus dan korpus striatum tikus.
 Norepinefrin
Amfetamin memblok re uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan
norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan
nitrogen melemahkan efek amfetamin pada pelepasan re uptake norepinefrin.
 Serotonin
Secara umum, amfetamin tidak mempunyai efek yang kuat pada sistem
serotoninergik. Menurut Fletscher p-chloro-N-metilamfetamin mengosongkan kadar 5
hidroksi triptopfan (5-HT) dan 4 hidroksi indolasetik acid (5-HIAA), sementara kadar
norepinefrin dan dopamin tidak berubah. Hasil yang sama dilaporkan juga oleh Fuller
dan Molloy, Moller Nielsen dan Dubnick bahwa devirat amfetamin dengan elektron
kuat yang menarik penggantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistim
serotoninergik.
Aktivitas susunan saraf pusat terjadi melalui kedua jaras adrenergik dan dopaminergik
dalam otak dan masing-masing menimbulkan aktivitas lokomortor serta kepribadian
stereotopik. Stimulasi pada pusat motorik di daerah media otak depan (medial forebrain)
menyebabkan peningkatan dari kadar norepinefrin dalam sinaps dan menimbulkan euforia
serta meningkatkan libido. Stimulasi pada ascending reticular activating system (ARAS)
menimbulkan peningkatan aktivitas motorik dan menurunkan rasa lelah. Stimulasi pada
sistim dopaminergik pada otak menimbulkan gejala yang mirip dengan skizofrenia dari
psikosa amphetamine.17

Amfetamin diekresi melalui urine


Ekskresi melalui ginjal secara kuat ditentukan oleh pH urine, dalam urine dengan pH
asam (misalnya pH5) kurang lebih 99% dari dosis amfetamin di ionisasi oleh filtrasi
glomerulus dan sisanya diabsorpsi kedalam sistem sirkulasi. Dengan demikian pengobatan
dari overdosis adalah dengan pengasaman urine.17

Patofisiologi
Penggunaan amfetamin kronis dan dosis tinggi menimbulkan perubahan toksik
secara patofisiologi. Efek toksik penggunaan amfetamin kronis dengan dosis tinggi terhadap:
17

a. Otak

Page | 16
Penggunaan amfetamin secara kronis dengan dosis tinggi akan menginduksi
perubahan toksik pada sistim monoaminergik pusat. Seiden dan kawan-kawan
melakukan penelitian pada kera dengan menyuntikkan sebanyak 8 kali/hari (dosis 3-
6,5 mg/kg) selama 3-6 bulan. Setelah 24 jam pemberian dosis terakhir
memperlihatkan kekosongan norepinefrin pada semua bagian otak (pons, medula,
otak tengah, hipothalamus dan korteks frontal). Setelah 3-6 bulan suntikan terakhir,
norepinefrin masih tetap rendah di otak tengah dan korteks frontal. Sedangkan pada
hipothalamus dan pons kadar norepinefrin sudah meningkat. Kadar dopamin
terdepresi hanya pada darah, bagian otak lain tidak terpengaruh. Kondisi toksik
amfetamin ini juga mempengaruhi sistim serotoninergik, hal ini diperlihatkan dengan
perubahan aktivitas triptophan hidroksilase terutama pada penggunaan fenfluramin.
Rumbaugh melaporkan pada pemakaian amfetamin kronis dengan dosis tinggi
mempengaruhi vaskularisasi otak. Penelitian pada kera yang diberi injeksi
metamfetamin selama 1 tahun menunjukkan perubahan yang luas dari arteriola kecil
dan pembuluh kapiler. Selanjutnya dapat terjadi hilangnya sel neuron dan
berkembangnya sel-sel glia, satelit dan nekrohemorrhage pada serebelum dan
hypothalamus.
b. Perifer
Efek yang menonjol adalah terhadap kerja jantung. Katekolamin
mempengaruhi sensitivitas miokardium pada stimulus ektopik, karena itu akan
menambah resiko dari aritmia jantung yang fatal. Efek perifer yang lain adalah
terhadap pengaruh suhu (thermo-regulation). Amfetamin mempengaruhi pengaturan
suhu secara sentral di otak oleh peningkatan aktivitas hipothalamus anterior.
Penyebab kematian yang besar pada toksisitas amfetamin disebabkan oleh
hiperpireksia.
Mekanisme toksisitas dari amfetamin terutama melalui aktivitas sistim saraf
simpatis melalui situmulasi susunan saraf pusat, pengeluaran katekholamin perifer,
inhibisi re-uptake katekholamine atau inhibisi dari monoamin aksidase. Dosis toksik
biasanya hanya sedikit diatas dosis biasa. Amfetamin juga merupakan obat/zat yang
sering disalahgunakan.
Efek amfetamin yang berhubungan dengan penyalahguaan dapat dibedakan
dalam 2 fase: 17
1. Fase awal

Page | 17
Selama fase ini efek akut dari amfetamin ditentukan oleh efek
farmakologinya (pelepasan dopamin) dan akan menimbulkan:
o Euforia
o Energi yang meningkat
o Menambah kemampuan bekerja dan interaksi sosial Efek ini timbul sesaat
setelah mengkonsumsi
2. Fase konsolidasi
Konsumsi yang lama dan intermiten, membuat individu akan
meningkatkan dosis untuk mendapatkan efek yang lebih besar. Pada pemakaian
yang terus-menerus individu akan meningkatkan frekuensi dan dosis zat untuk
merasakan flash atau rush dari penggunaan amfetamin. Selama masa transisi
penggunaan dosis tinggi, individu menggunakan amfetamin yang bereaksi cepat,
yaitu secara intravena atau dihisap. Pada fase ini individu mulai binge, yaitu
pemakaian zat secara berulang-ulang sesuai frekuensi perubahan mood. Binge ini
dapat berlangsung dalam 12-18 jam tetapi dapat lebih panjang lagi mencapai 2
sampai 3 atau bahkan 7 hari.17

Pengaruh terhadap Pengguna


Pengaruh amfetamin terhadap pengguna bergantung pada jenis amfetamin, jumlah
yang digunakan, dan cara menggunakannya. Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk
amfetamin sendiri yang dikategorikan dosis rendah sampai sedang adalah 5 – 50 mg,
biasanya secara oral, sedangkan yang dikategorikan dosis tinggi adalah lebih dari 100 mg,
biasanya secara intravena. Untuk dekstroamfetamin, yang dimaksud dosis rendah sampai
sedang adalah 2,5 – 20 mg, sedangkan dosis tinggi adalah 50 mg atau lebih. Met-amfetamin
bahkan lebih poten. Oleh karena itu, rentang dosis untuk dosis rendah dan menengah maupun
untuk dosis tinggi adalah lebih kecil.18
Dosis kecil semua jenis amfetamin akan menaikkan tekanan darah, mempercepat
denyut nadi, melebarkan bronkus, meningkatkan kewaspadaan, menimbulkan euphoria,
menghilangkan kantuk, mudah terpacu, menghilangkan rasa lelah dan rasa lapar,
meningkatkan aktivitas motorik, banyak bicara, dan merasa kuat. Walaupun penampilan
motoric meningkat, dapat terjadi gangguan deksteritas dan ketrampilan motorik halus.18
Dosis sedang amfetamin (20 – 50 mg) akan menstimulasi pernapasan, menimbulkan
tremor ringan, gelisah, meningkatkan aktivitas motoric, insomnia, agitasi, mencegah lelah,
menakan nafsu makan, menghilangkan kantuk, dan mengurangi tidur.18

Page | 18
Penggunaan amfetamin berjangka waktu lama dengan dosis tinggi dapat menimbulkan
perilaku stereotipikal, yaitu perbuatan yang diulang terus-menerus tanpa mempunyai tujuan,
tiba-tiba agresif, melakukan tindak kekerasan, waham curiga, dan anoreksia yang berat.18
Dosis toksik amfetamin sangat bervariasi. Reaksi yang hebat dapat timbul pada dosis
kecil (20 – 30mg) sekalipun, tetapi pada orang yang belum mengalami toleransi, ada juga
yang tetap hidup pada dosis 400 – 500mg. Pada mereka yang sudah mengalami toleransi,
bahkan bisa tetap hidup dengan dosis yang lebih besar leagi.18
Met-amfetamin mempunyai masa kerja 6 – 8 jam. Euforia yang begitu kuat atau rush
dicapai dalam beberapa menit pada penggunaan dengan cara dirokok atau suntikan intravena,
3-5 menit pada penggunaan secara disedot melalui hidung, dan 15-20 menit pada penggunaan
secara oral. Penggunaan met-amfetamin dalam dosis tinggi berulang kali sering dihubungkan
dengan perilaku kekerasan dan psikosis paranoid. Dosis yang demikian tinggi dan berulang
itu menyebabkan berkurangnya dopamine dan serotonin untuk jangka waktu yang lama.
Perubahan ini tampak ireversibel karena pengaruh met-amfetamin terhadap neuron
dopaminergic dan serotonergic dapat berlangsung lebih dari satu tahun. Perubahan perilaku
yang jelas tidak terlihat, tetapi dapat menimbulkan perubahan pola tidur, fungsi seksual,
depresi, gangguan motoric dan psikosis dengan waham mirip skizofrenia paranoid, seperti
yang terjadi pada penggunaan kronis kokain. Tidak seperti pada psikosis akibat kokain,
psikosis akibat met-amfetamin dapat berlangsung beberapa minggu lamanya. Pada
penggunaan jangka lama met-amfetamin, terjadi pengurangan kepadatan dan jumlah neuron
di lobus frontalis dan ganglia basalis.18
MDMA (methylene dioxy methamphetamine)sebanyak 75-150 mg yang dikonsumsi
secara oral akan memperlihatkan gejala setelah 30 menit dengan puncak gejala tercapai
sesudah 1-1,5 jam, dan berakhir sesudah 3-4 jam. Intoksikasi MDMA ditandai dengan
euphoria, meningkatnya kemampuan hubungan interpersonal, lebih mudah menghayati
perasaan orang lain, ansietas, panic, otot berkontraksi sehingga terjadi bruksisme, gigi
berkerut-kerut, gerakan otot tidak terkendali (tripping), emosi menjadi labil, mulut kering
(haus), banyak berkeringat, tekanan darah meningkat, denyut jantung bertambah cepat, mual,
penglihatan kabur, gerakan cepat bola mata, dan kebingungan.18
Komplikasi Medis
Penggunaan amfetamin melalui suntikan dapat menyebabkan terjadinya angiitis atau
perdarahan intraserebral, kejang, dan koma.18
Pada penggunaan amfetamin dosis tinggi, hal ini dapat menyebabkan terjadinya
psikosis dan gangguan mental lain, pengurangan berat badan, penyakit infeksi akibat kurang
menjaga kesehatan tubuh, serta penyakit lain akibat efek langsung amfetamin sendiri, atau

Page | 19
akibat kebiasaan makan yang buruk, kurang tidur, atau penggunaan alat suntik yang tidak
steril.18
Selain komplikasi medis, penggunaan amfetamin yang kronis akan mengalami
kemunduruan dalam kehidupan individual, social, dan pekerjaan. Penggunaan amfetamin
yang paling sering menyebabkan psikosis.18
Belum dapat dibuktikan bahwa amfetamin dapat menimbulkan cacat kongenital,
tetapi sudah terbukti bahwa bayi yang lahir dari seorang perempuan pengguna amfetamin
akan mempunyai berat badan yang kurang, mengalami hambatan dalam pertumbuhan, serta
perdarahan intraserebral. Setelah besar, bayi tersebut akan mengalami defisit pada
psikometrik, kemampuan akademik yang buruk, masalah perilaku, perlambatan fungsi
kognitif, dan gangguan penyesuaian diri.18
Met-amfetamin dalam jumlah banyak merusak ujung sel saraf. Dalam dosis tinggi,
met-amfetamin meningkatkan suhu badan dan kejang, yang bisa berakibat kematian. Seperti
amfetamin, penggunaan jangka pendek met-amfetamin akan meningkatkan perhatian,
mengurangi rasa letih, mengurangi nafsu makan, euphoria, napas cepat, dan hipertermia.
Pada penggunaan jangka panjang, met-amfetamin dapat menimbulkan waham,
halusinasi, gangguan afek, aktivitas motoric berulang, dan nafsu makan berkurang. Met-
amfetamin dapat menimbulkan gangguan kardiovaskular, seperti takikardia, aritmia jantung,
tekanan darah naik, stroke, endocarditis, abses pada kulit (pengguna intravena).18
Penggunaan kronis MDMA mengganggu daya ingat, konsentrasi, belajar, dan tidur.
Penggunaan yang kronis MDMA dapat merusak ginjal dan system kardiovaskular.
Penggunaan MDMA bersamaan dengan alcohol sangat berbahaya dan dapat berakibat fatal.18

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan intoksikasi amfetamin18
a. Bila suhu badan naik, berikan kompres dingin, minum air dingin, atau selimut
hipotermik.
b. Bila kejang, berikan diazepam 10-30mg per oral atau parenteral; atau klordiazepoksid
10-25mg per oral secara perlahan-lahan dan dapat diulang setiap 15-20 menit.
c. Bila tekanan darah naik, berikan obat anti hipertensi.
d. Bila terjadi takikardi, berikan bet-blocker, seperti propranolol, yang sekaligus juga
untuk menurunkan tekanan darah.

Page | 20
e. Untuk mempercepat ekskresi amfetamin, lakukan asidifikasi air seni dengan memberi
amonium klorida 500 mg per oral setiap 3-4 jam.
f. Bila timbul gejala psikosis atau agitasi, beri haloperidol 3 kali 2-5 mg.
Penatalaksanaan putus amfetamin:18
a. Rawat di tempat yang tenang dan biarkan pasien tidur dan makan sepuasnya.
b. Waspada terhadap kemungkinan timbulnya depresi dengan ide bunuh diri.
c. Dapat diberikan anti depresi.

2.4 Toksikologi Forensik pada Kasus Amfetamin


Teknik Immunoassay
Teknik immunoassay adalah teknik yang sangat umum digunakan dalam analisis obat
terlarang dalam materi biologi. Teknik ini menggunakan “anti-drug antibody” untuk
mengidentifikasi obat dan metabolitnya di dalam sampel (materi biologic). Jika di dalam
materi terdapat obat dan metabolitnya (antigen-target) maka dia akan berikatan dengan “anti-
drug antibody”, namun jika tidak ada antigen-target maka “anti-drug antibody” akan
berikatan dengan “antigen-penanda”. Terdapat berbagai metode/ teknik untuk mendeteksi
ikatan antigen-antibodi ini, spserti “enzyme linked immunoassay” (ELISA), enzyme
multiplied immunoassay technique (EMIT), fluorescence polarization immunoassay (FPIA),
cloned enzyme-donor immunoassay (CEDIA), dan radio immunoassay (RIA). Hasil dari
immunoassay test ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan, bukan untuk menarik
kesimpulan, karena kemungkinan antibodi yang digunakan dapat bereaksi dengan berbagai
senyawa yang memiliki baik bentuk struktur molekul maupun bangun yang hampir sama.
Reaksi silang ini tentunya memberikan hasil positif palsu. Obat batuk yang mengandung
pseudoefedrin akan memberi reaksi positif palsu terhadap tes immunoassay dari antibodi
metamfetamin. Oleh sebab itu hasil dari reaksi immunoassay harus diuji lagi dengan uji
pemastian (tes konfirmatori).19

Kromatografi Lapis Tipis (KLT)


Merupakan metode analitik yang relative murah dan mudah pengerjaannya, namun
KLT kurang sensitive jika dibandingkan dengan teknik immunoassay. Dengan menggunakan
spektrofotodensitometri analit yang telah terpisah dengan KLT dapat dideteksi spektrumnya.19

Tes Konfirmasi

Page | 21
Uji ini bertujuan untuk memastikan identitas analit dan menetapkan kadarnya. Uji
pemastian umumnya menggunakan teknik kromatografi. Di samping melakukan uji
identifikasi potensial positif analit (hasil uji penapisan), pada uji ini juga dilakukan penetapan
kadar dari analit. Data analisis kuantitatif analit akan sangat berguna bagi toksikolog forensik
dalam menginterpretasikan hasil analisis seperti jenis senyawa yang terlibat, dosis yang
digunakan, waktu terjadinya paparan, dan jalur paparan.19
Hasil uji penapisan dapat dijadikan petunjuk bukan untuk menarik kesimpulan bahwa
seseorang telah terpapar atau menggunakan obat terlarang. Sedangkan hasil uji pemastian
dapat dijadikan dasar untuk memastikan atau menarik kesimpulan apakah seseorang telah
menggunakan obat terlarang yang dituduhkan.19
Untuk uji metamfetamin sendiri biasanya digunakan tes urin. Hasil yang positif akan
terlihat dalam 1-4 hari namun juga bisa lebih, sampai 1 minggu setelah pemakaian yang
berlebihan. Ekskresi metamfetamin dalam urin sangat dipengaruhi oleh pH urin. Jika
didapatkan kadar matamfetamin atau metabolitnya minimal 200 ng/mL atau lebih, maka tes
urin dinyatakan positif.19
Selain tes urin, dapat juga dilakukan tes darah. Waktu paruh yang cukup lama
menyebabkan obat dapat dideteksi dalam waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya.
Metabolisme menghasilkan amfetamin sebagai metabolit pertama dari metamfetamin dan
rasio pada darah dan urin dapat membantu menentukan penggunaan akut atau kronis.19

Temuan dalam autopsi


- Jika obat dihirup,dapat ditemukan sejumlah kecil bubuk pada saat hidung dibuka atau
melalui swab methanol pada septum hidung. Pada injeksi biasanya digunakan jarum
insulin, dan bekas suntikan biasanya sulit dilihat. Kaca pembesar biasanya dapat
digunakan untuk melihat bekas suntikan dan bekas suntikan tersebut kemungkinan
tidak ditemukan perdarahan. Ketika pengguna cenderung menggunakan amfetamin
berulang kali untuk meningkatkan efek, bekas tusukan cenderung banyak dan
berkumpul di sekitar vena yang sering digunakan. Terkadang bekas tato diatas vena
menyembunyikan bekas tusukan.20
- Jika obat dihisap atau dikonsumsi secara oral, mungkin tidak ada manifestasi
eksternal yang ditemukan. Disamping informasi lain, terdapat tanda terbakar pada jari
telunjuk bagian palmar yang digunakan untuk memegang pipa panas pada
penggunaan oral. Sampel autopsy harus menyertakan darah perifer, urin, jaringan
hepar, empedu, isi lambung, rambut. Urin, cairan spinal dan jaringan dapat positif

Page | 22
untuk beberapa hari setelah penggunaan pertama, dan positif untuk waktu yang lebih
lama pada penggunaan kronis. Rambut juga dapat dianalisis untuk melihat positif
tidaknya penggunaan MDMA (Methylene Dioxy Meth Amphetamine) yang terkenal
dengan sebutan Ecstasy.20
- Penemuan pada otak : studi post mortem memperlihatkan perubahan level serotonin
dan metabolit utamanya pada otak pada penggunaan jangka panjang amfetamin. Level
serotonin berkurang 50%-80% pada region yang berbeda pada otak, pada
perbandingan dengan yang tidak menggunakan amfetamin. Dapat memperlihatkan
gambaran disseminated intravascular coagulation (DIC), edema dan degenerasi
neuron tampak pada lokus ceruleus. Sebuah studi post mortem terhadap 6 orang
pengguna amfetamin, 2 orang memperlihatkan fokal hemoragi pada otak. Pada salah
satu kasus terdapat nekrosis glandula hipofisis, hal ini kemungkinan karna kurangnya
suplai darah.21
- Penemuan pada paru-paru : pada pemeriksaan internal, paru-paru pada intoksikasi
amfetamin menjadi berat, biasanya berat masing-masing 400 gram sampai 500 gram,
tapi berat paru-paru bisa sampai 1000 gram atau bahkan lebih. Jika digunakan secara
intravena, dapat ditemukan benda asing pada paru. Sebuah studi post mortem
terhadap 6 orang pengguna amphetamine,ditemukan infark pulmonal pada salah
seorang pengguna. Pada dua orang lainnya ditemukan hemoragi intra alveolar. Pada
salah satu kasus terdapat inhalasi isi gaster.20
- Penemuan pada jantung : jantung adalah target organ,terkadang terjadi penambahan
berat,terutama pada hipertrofi ventrikel kiri dan pembesaran jantung bagian kanan.
Pada pemeriksaan mikroskopik ditemukan kongesti dari organ dengan edema. Juga
dapat ditemukan peningkatan sejumlah partikel karbon. Bisa juga terlihat nekrosis
myofibril. Sejak diketahui bahwa obat ini merupakan stimulator katekolamin, dan
menyebabkan terjadinya peningkatan katekol dalam darah, pada jantung sering
terdapat area iskemi dan mionekrosis yang dikelilingi neutrophil dan makrofag.20
- Penemuan pada hepar: dapat terdapat pembesaran hepatosit dan pada sitoplasma bisa
mengandung banyak vakuola. Kasus intoksikasi yang menyebabkan hipertermia
dengan kegagalan fungsi hati sering terdapat nekrosis hepatis massif, perlemakan,
dilatasi sinusoidal dan inflamasi juga ditemukan.20
- Pemeriksaan darah; waktu paruh yang cukup lama menyebabkan obat dapat dideteksi
pada darah dalam waktu beberapa jam, bergantung dari dosisnya. Metabolism
menghasilkan amfetamin sebagai metabolit pertama dari metamfetamin dan rasio
Page | 23
pada darah dan urin dapat menentukan penggunaan akut atau kronis. Kebanyakan tes
skring darah untuk amfetami adalah tehnik immunoassay. Dapat juga dengan
menggunakan gas kromatografi dan analisis spektroskopi. Identifikasi amfetamin
dengan menggunakan saliva telah ada dan dapat dipergunakan untuk tes simple yang
non invasive.22 Obat-obat dan bahan kimia yang lain dapat saja mengganggu dengan
identifikasi amfetamin. Buflomedil adalah vasodilator untuk penyakit cerebrovaskuler
dan arteri perifer yang bercampur dengan enzim multiplied immunoassay(EMIT)
untuk amfetamin. Trazodon telah dilaporkan menyebabkan hasil false positif.
Blockade histamine(H2) seperti ranitidi adalah penyebab utama dari false positif.
Ritodrine sebuah beta simpatomimetik yang dulu digunakan dalam manajemen
persalinan preterm dan derivate fenotiazin seperti clorpromazin dan prometazin juga
diketahui menggganggu identifikasi. Selegiline dimetaboliasi menjadi L-amfetamin
dan L-metamfetamin dan menyebabkan hasil positif. Analisis isomer kuantitatif dapat
menyelesaikan masalah ini. Klobenzorex sebuah obat anorektik yang diresepkan di
meksiko, di metabolisasi menjadi amfetamin memeberikan hasil positif pada tes
dengan gas kromatografi dan analasis spektroskopi. Pencapaian terbaru dalam
mendeteksi amfetamin adalah menggunakan spektroskopi dengan transmisi
inframerah. Spektroskopi non akueos elektroforesis-flouresen kapiler telah di evaluasi
dan dipergunakan sebagai metode deteksi cepat untuk emfetamin. Ketika mengambil
specimen darah pada orang yang sudah meninggal, lebih direkomendasikan untuk
mengambil darah pada bagian perifer daripada dekat dengan bagian jantung. Hal ini
karena redistribusi amfetamin pada jantung mengakibatkan kadar amfetamin yang
lebih tinggi.22
- Penemuan pada ginjal: pada ginjal amfetamin mengakibatkan myoglobunuric tubular
nekrosis. Sedangkan metamfetamin dapat menyebakan proliferative glomeronefritis
akibat dari suatu sistemik necrotizing vasculitis. Biasanya terjadi bila amfetamin
digunakan secara intravena. Merupakan keadaan yang jarang terjadi, dan timbul bila
terjadi overdosis. Yang paling sering adalah derivate metamfetamin.22
- Tes urin pengguna MDMA akan memperlihatkan hasil positif pada amphetamine
(metode umum) dan metamfetamin (metode tes yang baru dan lebih jarang
digunakan). Periode deteksi amfetamin dipengaruhi beberapa factor seperti pH dan
status hidrasi.22
- Tes rambut : analisis rambut juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi amfetamin
dan derifatnya, namun penggunaannya tidak direkomendasikan. Tes rambut secara
Page | 24
umum memerlukan sekitar 1.5 inci dari rambut. Ini menyediakan periode deteksi
sekitar 90 hari. Jika rambut seseorang kurang dari 1.5 inci, periode deteksinya akan
lebih pendek.22

Pemeriksaan Amfetamin
Metode : one step amfetamin test (urine) – visual screening immunoassay.
Prinsip : AMP one step Amphetamine Test Device (Urine) adalah immunoassay
chromatographic yang didasarkan pada prinsip Competitive Binding. Alat ini dipergunakan
untuk mendeteksi keberadaan amphetamine dalam urin. Obat-obatan (amphetamine) yang
terdapat didalam specimen urin akan berkompetisi melawan konjugasi amphetamine untuk
berikatan dengan binding site yang dilapisi dengan antibody.
Jika didalam urin terdapat amphetamine sejumlah <1000 ng/ml, tidak akan terjadi saturasi
pada binding site. Sehingga, antibody yang terdapat di binding site hanya akan berikatan
dengan konjugasi amphetamine saja. Jika antibody berikatan dengan konjugasi amphetamine
maka terbentuklah garis warna merah pada area tes. Terbentuknya garis merah di area tes dan
kontrol, menunjukkan hasil negatif. Sebaliknya, jika kadar amphetamine dalam specimen
urinadalah > 1000 ng/ml, akan terjadi kompetisi antara amphetamine dan konjugasinya dalam
berikatan dengan antibody di binding site. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya saturasi
pada area tes tersebut, sehingga tidak akan terbentuk garis berwarna merah. Jika hanya
terdapat garis merah pada area kontrol, maka hasilnya positif.

Alat dan Bahan


Alat:
1. Strip
2. Wadah penampung
Bahan: Urin
Cara Kerja:
1. Meletakkan bahan dan alat di suhu ruang.
2. Mengeluarkan strip tes dari bungkus.
3. Mencelupkan strip ke sampel urin.
4. Ketinggian urin harus mencapai garis maksimum yang tertera pada strip.

Page | 25
5. 5.Menahan strip pada urin hingga warna kemerahan muncul, disudut bagian bawah
membrane tes kira kira 10 detik.
6. Mengangkat strip di tempat yang bersih dan kering .Membaca hasil selama 3-8 menit
setelahnya.
Sampel negatif amfetamin ditandai dengan munculnya 2 garis pink atau ungu.
Sedangkan jika hasil positif akan muncul 1 garis pink atau ungu. Jika pada tes region tidak
muncul garis, maka ini mengindikasikan level obat-obatan diatas level sensitivitas.

BAB III
KESIMPULAN

Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alami maupun sintetis, yang
bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan sistam saraf pusat, serta dapat
menimbulkan ketergantungan atau ketagihan. Salah satu zat yang termasuk golongan
psikotropika diantaranya adalah amfetamin. Penggolongan psikotropika sendiri diterangkan
dalam UU No. 5 tahun 1997. Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1997, narkoba jenis
psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan. Contoh derivat amfetamin yang populer adalah
MDMA yang lebih dikenal dengan nama ekstasi merupakan psikotropika golongan I, yakni
Page | 26
dapat mempunyai potensi yang sangat kuat dalam menyebabkan potensi yang sangat kuat
dalam menyebabkan ketergantungan. Amfetamin dan metamfetamin sendiri masuk ke dalam
golongan II, yang mempunyai potensi kuat dalam menyebabkan ketergantungan. Menurut
Society of Forensic Toxicologist, Inc. (SOFT), bidang kerja toksikologi forensik meliputi
Analisis obat terlarang di darah dan urin pada kasus penyalahgunaan narkotika, psikotropika
dan obat terlarang lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Diunduh


dari: http://www.bnn.go.id/portal/_uploads/perundangan/2009/10/27/uu-nomor-35-tahun-
2009-tentang-narkotika-ok.pdf, 4 November 2016.
2. Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri dan BNN, Maret 2012.
3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Diunduh dari: http://e-pharm.depkes.go.id/front/pdf/UU51997.pdf, 4 November 2016.
4. Idries AM. Keracunan. Dalam: Pedoman ilmu kedokteran forensik. Edisi 1. Jakarta:
Binarupa Aksara; 1997. h. 329 – 46.
5. Katzung, Bertam G. Farmakologi Dasar dan Klinik Buku 2 Ed.8. Jakarta. Salemba
Medika Glance.2002.

Page | 27
6. The Forensic Toxicology Council. Briefing: What is Forensic Toxicology?. The
American Board of Forensic Toxicology (ABFT). 2010. Board of Forensic Toxicology
(ABFT). 2010. [disitasi 2014 November 30]; 10:31. Tersedia
dari:http://http://www.abft.org/files/WHATISFO RENSICTOXICOLOGY.pdf/
7. Wirasuta, I M.A.G.,Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis. Ind.
J of Legal and Forensic Sciences.1(1):47- 55.2008.
8. SOFT (Society of Forensic Toxicologist, Inc.) and AAFS (the American Academy of
Forensic Sciences, Toxicology Section), Forensic Toxicology Laboratory Guidelines,
SOFT / AAFS. 2006.
9. Waluyadi.Ilmu Kedokteran Kehakiman. Jakarta. Djambatan. 2007.
10. Budiawan. Peranan Toksikologi Forensik dalam mengunkap kasus keracunan dan
pencemaran lingkungan. Ind. J of Legal and Forensic Sciences.1(1):47-55.2008.
11. Finkle, B.S., Progress in Forensic Toxicology: Beyond Analytical Chemistry, J. Analityc
Toxicology (6): 57-61. 1982.
12. Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal. Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal. Surabaya. 2010.
13. Dharma S. M, Erdaliza, Teungku A., Investigasi Kematian Dengan Toksikologi Forensik.
Riau. FKUNRI.2008.
14. Dr. Jims Ferdinan, Makalah Toksikologi Umum, Departemen Kedokteran Kehakiman
FK USU RSU H Adam Malik Medan, 2010,
15. Mohanty, M.K., Arum, M., Merezes, R.G., Palmar, V. Autopsy: Changing Trends. Int J of
Medical Toxicology and Forensic Medicine, 1 (1). 17-23. 2011.
16. Miyaguchi, M., Kenji, K. Comparasion of Sample Preparation Methods for Zolpidhem
Extraction from Hair. Abstrac. J Of Forensic Toxicol by Springer. 2013.
17. Japardi, I. 2002. Efek Neurologis dari Ectasay dan Shabu-Shabu. FK USU Bagian
Bedah.
18. Joewana S. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif:
penyalahgunaan napza/narkoba. Ed 2. Bab 12: Amfetamin. H- 136-8. Jakarta: EGC;
2005.
19. Wirasuta MAG. Analisis Toksikologi Forensik dan Interpretasi Temuan Analisis. Jakarta:
Indonesian Journal of Legal and Forensic Sciences; 2008; 1(1):47-55.
20. Stephen BG. Investigation of death from drug abuse. In: Spitz WU, Spitz DJ.Spitz and
Fisher’s Medicolegal Investigation of Death. 4 th ed. Charles Thomas Publisher
LTD;USA.
Page | 28
21. Kalant H. 2001. The Pharmacology and Toxicology of ”ecstasy” (MDMA)and Related
Drug. CMAJ[serial online] Oct 2, 2001; 165(7):917-28.Available from : URL
:http://www.cmaj.ca
22. Leikin JB, Watson WA. 2004. Interpretationn of Analytical Result inForensic
Toxycology. In: Dart RC (editor). Medical Toxicology. 3th edition.Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.

Page | 29

Anda mungkin juga menyukai