Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TINDAK PIDANA KHUSUS

Pasal-Pasal Krusial dalam UU Narkotika dan UU Psikotropika

Dosen:
Soma Wijaya, S.H., M.H.

Oleh:
Musa Oktavianus 110110140162

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJAJARAN

Jalan Dipati Ukur No. 35 Bandung 40132


TAHUN
2016
PASAL-PASAL KRUSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009
TENTANG NARKOTIKA

1) Pasal 111 ayat (1) dan 112 (1)

Pasal 111 ayat (1)


Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling
lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan
ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 112 ayat (1)


Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai,
atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).

Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1) merupakan dua ketentuan yang terdapat dalam
ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Kedua
ketentuan tersebut pada dasarnya memiliki isi yang hampir mirip dan hanya berbeda dalam
obyeknya. Pasal 111 ayat (1) berbicara mengenai narkotika golongan I dalam bentuk tanaman,
sedangkan Pasal 112 ayat (1) berbicara mengenai narkotika golongan I dalam bentuk bukan
tanaman Adapun keduanya memiliki kesamaan unsur dalam unsur memiliki, menyimpan,
menguasai atau menyediakan. Namun, unsur-unsur dalam ketentuan Pasal 111 ayat (1) dan Pasal
112 tersebut tidak memiliki penjelasan yang jelas, dan cenderung terlalu luas.
Pembentuk undang-undang tidak memberikan batasan-batasan yang mengakibatkan
semua tindak pidana narkotika, salah satunya adalah Pasal 127 ayat (1) tentang penyalahgunaan
narkotika dapat masuk ke dalam Pasal 111 ayat (1) ataupun 112 ayat (1) dikarenakan setiap
orang yang akan mempergunakan narkotika bagi dirinya, sudah pasti akan memiliki,
menyimpan, menguasai narkotika tersebut terlebih dahulu. Supriyadi menambahkan bahwa,
rumusan “memiliki, menyimpan dan menguasai” tersebut menjadikan Pasal 111 dan 112 UU
Narkotika sempat disebut oleh Hakim MA sebagai pasal “Keranjang”. 1 Dengan demikian, Pasal

1
Pertimbangan Putusan MA No. 1071 K/Pid.Sus/2012: “Para pengguna sebelum menggunakan harus
terlebih dahulu membeli kemudian menyimpan atau menguasai, memiliki, membawa narkotika tersebut sehingga
tidak selamanya harus diterapkan ketentuan Pasal 112 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009”
111 ayat (1) dan 112 ayat (1) menjadi pasal krusial dan pasal kontroversial di tengah upaya
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh pemerintah.
Unsur memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika dalam Pasal 111 ayat (1) dan Pasal
112 ayat (1) perlu diartikan secara limitatif dengan batasan-batasan yang diberlakukan agar
maknanya tidak terlalu luas. Batasan memiliki, menyimpan dan menguasai narkotika harus
dilihat dari tujuan penguasaan narkotika tersebut. Sesuai dengan bunyi pertimbangan dari
putusan No. 1386/K/Pid.Sus/2011 yang selalu dijadikan acuan, hakim berpendapat bahwa
kepemilikan atau penguasaan atas suatu narkotika dan sejenisnya harus dilihat dari maksud dan
tujuannya dengan menghubungkan kalimat dalam Undang-undang tersebut.2 Selain itu dalam
pertimbangan hakim dalam putusan No. 1071/K/Pid.Sus/2012 hakim berpendapat bahwa harus
dipertimbangkan apa yang menjadi niat atau tujuan terdakwa menguasai narkotika tersebut.3
Jika melakukan penafsiran teologis, tujuan dari dibentuknya UU Narkotika ini adalah
untuk melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan narkotika dan juga memberantas
peredaran gelap narkotika.4 A.R. Sujono dan Bony Daniel berpendapat, berdasarkan tujuan
undang-undang narkotika ini, timbul suatu pemisahan besar berkaitan dengan pengaturan
ketentuan pidana Undang-Undang Narkotika, yaitu “mengenai pemberantasan narkotika dan
prekusor narkotika” dan “mengenai penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika”. 5 Dampak
dari pemisahan tersebut adalah adanya pasal yang ditujukan untuk memberantas peredaran gelap
narkotika dan prekusor narkotika, dan pasal yang ditujukan bagi penyalahguna dan pecandu
narkotika. Pasal yang diperuntukkan bagi pemberantasan peredaran gelap narkotika ditemukan
dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 126, sedangkan yang berkaitan dengan penyalahguna
narkotika ditemukan dalam Pasal 127 dan Pasal 128. 6 Dengan adanya pemisahan ketentuan
pidana tersebut, terlihat bahwa tujuan dibentuknya Pasal 111 ayat (1) dan Pasal 112 ayat (1)
adalah untuk memberantas peredaran gelap narkotika, sementara jelas bahwa Pasal 127 ditujukan
untuk menghukum/merehabilitasi penyalahguna narkotika. Seringkali seorang penyalahguna atau
pecandu dijatuhi hukuman menggunakan Pasal 127. Hal tersebut tentu berbahaya, karena
berkaitan juga dengan keadilan. Dampak yang ditimbulkan oleh penyalahguna narkotika bersifat

2
Putusan No. 1386/Pid.Sus/2011/ hlm. 11
3
Putusan No. 1071/Pid.Sus/2012/ hlm. 10
4
Penjelasan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, hlm. 59
5
A.R. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011
6
Ibid., hlm. 225
personal, yaitu hanya merusak diri pelaku sendiri. Sedangkan peredaran gelap narkotika dapat
merusak lebih dari satu orang. Maka dari itu, peredaran gelap narkotika dapat dikatakan lebih
merusak dari penyalahguna narkotika, sehingga hukuman yang diberikan kepada penyalahguna
narkotika tidak bisa disamakan dengan pelaku peredaran gelap narkotika.
Agar batasan antara pengedar narkotika dan pelaku tindak pidana lain menjadi jelas dan
tidak kabur, maka sudah seharusnya Pasal 111 dan Pasal 112 dalam ayat-ayat berikutnya
dicantumkan unsur “dengan tujuan untuk diedarkan”. Sehingga jelas bahwa pasal tersebut
ditujukan bagi siapa dan tidak menjadikan multi tafsir, pasal keranjang ataupun pasal karet.

Contoh Kasus

Putusan No. 1705/K.Pid. Sus/2012 atas nama terdakwa HENDRA pgl. CEN

Hendra pgl. Cen merupakan terdakwa tindak pidana narkotika yang dinyatakan bersalah
melanggar ketentuan Pasal 111 ayat (1) Undang-Undang Narkotika karena dianggap terbukti
melakukan tindak pidana “Tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman.” Dalam
hal ini tanaman yang dimaksud adalah daun ganja kering seberat 0,4 gram yang disimpan di
dalam bungkus rokok.7 Berdasarkan fakta yang terungkap dalam sidang Pengadilan Negeri
Tanjung Pati, terdakwa pada hari Selasa tanggal 20 Desember 2011 sedang berada di warung
lesehan milik Risnal pgl. Lilis bersama dengan Bendrianto pgl. Iben. Berdasarkan informasi
yang didapatkan dari warga sekitar bahwa terdapat orang yang sedang memakai ganja, kemudian
polisi sebanyak 3 orang mendatangi warung lesehan tersebut dan mendapati ganja seberat 0,4
gram di dalam bungkus rokok Macho Mild yang disimpan dalam saku celana belakang kiri
terdakwa. Namun, niat dari terdakwa adalah menggunakan ganja tersebut untuk dipakai sendiri,
bukan menguasai, menyimpan untuk tujuan diedarkan. Dalam dakwaanya penuntut menuntut
terdakwa Hendra pgl. Cen dengan dakwaan tunggal menggunakan Pasal 111 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
2) Pasal 101 ayat (2)

Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik
pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan

7
Putusan No. 1705/K/Pid.Sus/2012, hlm. 3
tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari
setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.

Dalam perkara nakotika, barang sitaan milik pihak ketiga yang beritikad baik dapat saja
dirampas oleh Pengadilan. Maka sesuai bunyi pasal 101 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika, pihak ketiga dapat mengajukan keberatannya kepada pengadilan tingkat
pertama untuk memperjuangkan haknya mendapatkan kembali barang sitaan miliknya yang
dirampas dan dijadikan alat bukti. Namun Pasal 101 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika tersebut tidak jelas. Prosedur atau tata cara pengajuan keberatan oleh
pihak ketiga tidak diatur lebih lanjut di dalam undang-undang. Hukum acara apa yang akan
digunakan untuk melaksanakan pengajuan keberatan, mengingat Hukum Acara Pidana tidak
mengenal upaya hukum keberatan, yang diajukan oleh pihak ketiga yang beritikad baik, dan
mekanismenya belum jelas, juga Peraturan Pemerintah untuk mengatur hal ini pun belum ada.
Hal ini yang membuat pihak ketiga tidak dapat mengambil barang miliknya yang disita sebagai
barang bukti dalam persidangan, sehingga menyebabkan kerugian materil bagi pihak ketiga.
Seharusnya pembuat undang-undang membuat prosedur teknis mengenai tata cara
melaksanakan pengajuan keberatan ini, atau dengan dibuatnya peraturan pemerintah untuk Pasal
101 ayat (2), agar tidak terjadi penafsiran yang berbeda-beda dalam pelaksanaannya. Namun
dalam prakteknya upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga tersebut salah satunya
adalah menggunakan Hukum Acara Perdata: dengan cara intervensi apabila belum ada putusan
pengadilan atau mengajukan gugatan melalui pengadilan. Akan tetapi, upaya hukum tersebut
tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya murah, sehingga tidak efektif dan
efisien dalam menyelesaikan suatu sengketa.
Contoh Kasus
Perkara Putusan Nomor: 03/Pdt.G/2010/PN.Crp
Dalam perkara putusan No. 04/Pid.B/2011/PN.Crp, dengan Terdakwa Edwar Agustin
oleh Majelis Hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara 6 tahun karena terbukti tanpa hak
menyimpan Narkotika golongan I bukan tanaman melebihi 5 gram. Selain itu, hakim
memerintahkan agar barang bukti, salah satunya mobil Avanza warna silver dengan Nomor Polisi
BM 1431 FH dikembalikan kepada Penuntut Umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara
lain. Sementara mobil tersebut nyatanya adalah milik Jimmly, saudara Terdakwa. Akhirnya,
Jimmly sebagai pemilik sah mobil tersebut mengajukan keberatan. Adapun pengajuan keberatan
atas putusan pidana tersebut melalui proses gugatan dimana hal ini dapat dilihat dalam perkara
perdata Nomor: 03/Pdt.G/2010/PN.Crp. Para pihak yang berperkara dalam hal ini Jimmly
disebut Penggugat melawan Kepala Kejaksaan Negeri Curup sebagai Tergugat.
Di pengadilan, telah ditemukan fakta-fakta bahwa benar Penggugat (pihak ketiga yang
beritikad baik) memiliki mobil Avanza, warna silver metalik dengan Nomor Polisi BM 1431 FH.
Dan, pada akhir Oktober 2009 kendaraan tersebut dipinjamkan oleh Aping, namun ternyata
kendaraan tersebut kemudian ditahan polisi untuk dijadikan barang bukti atas tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh Aping.
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menganggap Penggugat (Jimmly) sebagai pihak
ketiga yang beritikad baik seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 101 ayat (2) UU Narkotika
sehingga sudah selayaknya barang milik Penggugat dikembalikan kepadanya. Menimbang
bahwa hingga saat ini belum ada aturan dalam undang-undang yang mengatur dengan jelas
tentang keberatan yang diajukan oleh pihak ketiga yang beritikad baik, apakah keberatan tersebut
dalam bentuk perlawanan atau dalam bentuk gugatan. Bahwa apabila keberatan diajukan dalam
bentuk perlawanan haruslah ada pokok perkara terlebih dahulu sedangkan gugatan yang diajukan
oleh Penggugat ini adalah menuntut atas barang bukti dalam perkara pidana, yaitu Putusan
Pengadilan Negeri Curup No. 05/Pid.B/2010/PN. Crp atas nama Terdakwa Aping dan perkara
pokoknya bukanlah perkara perdata sehingga Majelis berpendapat keberatan yang diajukan oleh
Penggugat sudah tepat dalam bentuk gugatan secara perdata.

3) Pasal 54
Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial.

Dalam Pasal 4 huruf d UU No. 35 Tahun 2009 dikatakan “UU Narkotika bertujuan:
Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu
narkotika”, namun dalam Pasal 54 UU tersebut disebutkan “Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahguna Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Berdasarkan
Pasal 54, hak penyalahguna untuk mendapat rehabilitasi menjadi tidak diakui
4) Pasal 128 (3)
Pecandu Narkotika yang telah cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2)
yang sedang menjalani rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter di rumah sakit
dan/atau lembaga rehabilitasi medis yang ditunjuk oleh pemerintah tidak dituntut pidana.
Konsep pemulihan berbasis pada abstinence yang diadopsi oleh UU Narkotika bisa
dilihat dari pengaturan mengenai rehabilitasi medis 2 (dua) kali masa perawatan dokter. Pasal
128 ayat (2) UU Narkotika mengatur bahwa pecandu narkotika yang telah cukup umur dan yang
sedang menjalani rehabilitasi medis dua kali masa perawatan dokter di rumah sakit ataupun di
lembaga rehabilitasi medis tidak dapat dituntut dipidana. Penjelasan mengenai dua kali masa
perawatan dokter tersebut dapat dilihat di Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang
Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika. Masa perawatan diartikan sebagai:
“suatu layanan program rencana terapi dibuat berdasarkan hasil asesmen yang
komprehensif yang sesuai dengan kondisi klien dengan jenis gangguan penggunaan
narkotika dan kebutuhan individu/klien/pecandu narkotika dengan program yang
dijalankan mengikuti program yang tersedia di layanan, dengan waktu minimal 1 (satu)
sampai 6 (enam) bulan sesuai dengan Standar Pelayanan Terapi dan Rehabilitasi
Gangguan Penggunaan Narkotika yang ditetapkan Menteri.”8
Dari redaksional Pasal 128 ayat (2) tersebut, dapat disimpulkan bahwa pecandu narkotika
yang ketika ditangkap telah menjalani 2 (dua) kali masa perawatan dokter akan diproses secara
hukum, dan tidak lagi diberikan kesempatan untuk dapat mengakses layanan rehabilitasi medis.
Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep ketergantungan yang mengenal adanya fenomena
relapse atau kambuh. Ketergantungan sebagai sebuah sindrom memiliki arti sebagai serangkaian
sindrom perilaku, kognitif, dan fisiologis yang terbangun akibat penggunaan zat secara terus
menerus.9 Salah satu fenomena dari ketergantungan adalah perilaku untuk terus menggunakan
narkotika terlepas dari kesadaran akan bahaya narkotika itu sendiri.10
World Health Organization mengartikan ketergantungan narkotika sebagai gangguan
yang kronis dan mudah kambuh dengan dasar biologis dan genetik, dan kekambuhan tersebut
tidak semata-mata karena ketiadaan keinginan untuk berhenti menggunakan narkotika.11 Hal ini
berarti dalam ketergantungan terdapat fase di mana seorang individu tersebut bisa menjadi
abstinence, atau berhenti menggunakan narkotika, dan fase dimana individu tersebut bisa
kambuh (relapse), atau kembali menggunakan narkotika Pengaturan mengenai dua kali masa
perawatan yang dikenal dalam UU Narkotika memberi kesan bahwa pecandu hanya
‘diperbolehkan’ untuk relapse sebanyak maksimal dua kali selama masa ketergantungannya.
8
Penjelasan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib
Lapor Pecandu Narkotika.
9
WHO Lexicon of alcohol and drug terms. Tersedia di: http://whqlibdoc.who.int/publications/9241544686.pdf
10
Ibid
11
<http://www.who.int/substance_abuse/publications/en/Neuroscience_E.pdf>, [27 November 2016]
Pengaturan ini mengesampingkan fakta medis bahwa kambuh dalam ketergantungan narkotika
bisa terjadi berkali-kali, dan kekambuhan itu lebih dikarenakan faktor genetis ataupun biologis,
bukan karena ketiadaan untuk berhenti. Ketika pecandu yang untuk ketiga kalinya kambuh
diancam dengan pidana penjara, hal tersebut menunjukkan keberpihakan UU Narkotika terhadap
pecandu narkotika yang tidak sepenuh hati. Dengan demikian, pengaturan rehabilitasi medis
dalam UU Narkotika belum sepenuhnya dapat mengakomodir fenomena-fenomena kesehatan
yang berkaitan dengan ketergantungan narkotika, dan tidak menyediakan jaminan hukum yang
memadai bagi rehabilitasi pecandu yang kambuh untuk ketiga kali, keempat kali, dan seterusnya.

5) Pasal 81
Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penyidik BNN berwenang melakukan
penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika
berdasarkan Undang-Undang ini.

Pembagian ranah pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika antara


BNN dan Polri ini sempat beberapa kali menyebabkan pergesekan antara keduanya. Seperti
pernah diberitakan, BNN dan Polri terlihat seperti berebutan ‘pasar’. 12 Hal ini dikarenakan tidak
adanya pembagian yang jelas mengenai kewenangan penyidikan tindak pidana narkotika yang
menjadi ranah BNN dan Polri. Pasal 81 UU Narkotika menyebutkan penyidik Polri dan penyidik
BNN berwenang melakukan penyidikan terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika
dan prekursor narkotika. Tetapi UU Narkotika tidak menyediakan pengaturan lebih lanjut
mengenai bagaimana hubungan antara BNN dengan Polri dalam menjalankan kewenangan
penyidikannya tersebut. Hanya Pasal 84 UU Narkotika yang menyebutkan bahwa baik BNN
maupun Polri harus saling memberitahukan dimulainya proses penyidikan sebuah kasus.
Polri mempunyai beberapa kewenangan yang sama dengan kewenangan penyidikan yang
dimiliki oleh BNN. Beberapa kewenangan tersebut adalah melakukan pencegahan terhadap
peredaran serta penyalahgunaan narkotika, melakukan penyitaan terhadap narkotika,
memberitahukan telah melakukan penyitaan kepada Kejaksaan Negeri, menyisihkan sebagaian
kecil barang sitaan sebagai sampel di laboratorium, dan memusnahkan narkotika. Kewenangan
yang sama, serta ketiadaan uraian lebih detil mengenai hubungan kewenangan penyidikan antara
keduanya rentan menjadikan kewenangan kedua institusi tersebut tumpang tindih, bahkan bukan

12
<http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1318252/URLTEENAGE#.UhxuZxtmx5K> [27 November 2016]
tidak mungkin dapat saling berbenturan. Jika membandingkan dengan peran antara Polri dan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dapat dilihat bahwa kedua badan ini memiliki
kewenangan yang sama, tetapi dengan pengkhususan yang berbeda. Salah satu fitur pembeda
kewenangan antara KPK dengan Polri dalam hal penyidikan kasus korupsi adalah kasus korupsi
dengan nilai kerugian negara paling sedkit Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) 13 masuk ke
dalam ranah kewenangan KPK.
Jalan yang bisa ditempuh untuk mengantisipasi hal tersebut menurut Andrianus Meliala
(Kriminolog Universitas Indonesia) bisa dilakukan dengan pembagian kerja yang jelas antara
polisi dan BNN.14 Hal ini selain bertujuan agar masyarakat tidak bingung sekaligus menjadi
pembeda terkait kualitas kinerja masing-masing pihak yang pada saat ini masih memiliki
kewenangan yang sama. Menurutnya, ke depan, keduanya perlu membuat diferensiasi entah
dalam bentuk kekhasan cara penangkapan, obyek tangkapan, spesialisasi narkoba yang disita dan
sebagainya. Selain itu pembagian tugas yang jelas antara polisi dan BNN bisa menghilangkan
potensi overlapping (tumpang tindih) atau penyerobotan dalam melakukan penyidikan. Dalam
membandingkan kewenangan Penyidik Polri dan BNN, digunakan berbagai peraturan
perundang-undangan di bidang Narkotika, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

6) Pasal 103
(1) Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat:
a. memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau
perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah
melakukan tindak pidana Narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak
terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Bila dianalisis secara seksama, di dalam Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika telah menganut double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak
pidana penyalahgunaan narkotika, meskipun masih bersifat kebebasan bagi hakim dalam

13
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
14
< http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/14/169312-polri-dan-bnn-perlu-
pembagian-kerja-jelas>, [28 November 2016]
menjatuhkan vonis putusannya. Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai
sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana dari satu pihak dan jenis sanksi tindakan
di pihak lain. Double track system dalam perumusan sanksi terhadap penyalahgunaan narkotika
merupakan kebijakan hukum pidana dalam formulasi ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika, yakni berupa sanksi
pidana dan sanksi tindakan mengingat pelaku penyalahgunaan narkotika memiliki posisi yang
sedikit berbeda dengan pelaku tindak pidana lainnya. Di satu sisi ia merupakan pelaku tindak
pidana yang harus dihukum, namun di sisi lain merupakan korban dari tindak pidana yang
dilakukannya itu sendiri, sehingga perlu dilakukan suatu tindakan berupa rehabilitasi.
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 dijelaskan mengenai
konsep pengguna yang dapat dijatuh sanksi tindakan rehabilitasi berdasarkan barang bukti
narkotika yag dibawa oleh terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik Polisi Republik Indonesia
dan Penyidik Badan Narkotika Nasional dalam kondisi tertangkap tangan. Penentuan sanksi
terhadap pecandu narkotika, apakah akan diterapkan sanksi pidana atau sanksi tindakan,
penentuannya berada di tangan hakim. Sebab berdasarkan ketentuan undang-undang narkotika,
memberikan kewenangan bagi hakim untuk menentukan akan menjatuhkan pidana penjara atau
tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika tersebut.
Menurut Achmad Guntur, untuk menentukan apakah dalam menangani perkara pecandu
narkotika, hakim akan menerapkan ketentuan Pasal 127 (mengatur mengenai sanksi pidana) atau
menerapkan ketentuan Pasal 103 (mengatur mengenai sanksi tindakan rehabilitasi) adalah pada
akhirnya bermuara kepada keyakinan hakim apakah pelaku penyalahgunaan narkotika tersebut
tepat untuk dikatakan sebagai pecandu yang harus direhabilitasi atau lebih tepat dikatakan
sebagai pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang harus dipidana penjara adalah
dengan berdasarkan hasil keterangan laboratorium yang menyatakan bahwa pelaku tersebut
mengalami ketergantungan terhadap narkotika sehingga memerlukan proses perawatan dan/atau
pengobatan yang dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi dan yang tentunya berdasarkan
ketentuan undang-undang.
Dalam kenyataannya, hakim seringkali tidak memberikan hak kepada pengguna
narkotika untuk melaksanakan rehabilitasi, walaupun dalam UU No. 35 Tahun 2009 ada jaminan
rehabilitasi bagi pecandu narkotika. Di samping itu, karena keterbatasan tenaga pendamping atau
konselor jumlah pecandu narkotika yang terjangkau program rehabilitasi terbatas. Ketua Dewan
Sertifikasi Konselor Adiksi Indonesia Benny Ardjil mengatakan, dari total sekitar 3,6 juta
pecandu narkoba, hanya 10 persen yang terjangkau program terapi dan rehabilitasi. 15 Penerapan
sanksi hukum berupa rehabilitasi bagi pecandu dan pemakai sebagai pelaku penyalahgunaan
Narkoba tentunya akan mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan. Selain itu,
pada faktanya hukuman penjara bagi penyalahguna narkotika terbukti tidak dapat menurunkan
jumlah penyalahguna narkotika.

PASAL-PASAL KRUSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1997 TENTANG


PSIKOTROPIKA

1) Pasal 57

15
“Cuma 10 Persen Pecandu yang Diterapi”, Koran Tempo, 8 November 2011.
(1) Di depan pengadilan, saksi dan/atau orang lain dalam perkara psikotropika yang
sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama, alamat, atau hal-hal yang
memberikan kemungkinan dapat terungkapnya identitas pelapor.
(2) Pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan akan dimulai, hakim memberi peringatan
terlebih dahulu kepada saksi dan/atau orang lain yang bersangkutan dengan perkara
tindak pidana psikotropika, untuk tidak menyebut identitas pelapor, sebagaimana di-
maksud pada ayat (1).

Sesuai dengan rumusan Pasal 108 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa setiap orang
yang mengalami, melihat, menyaksikan, dan/atau menjadi korban peristiwa yang merupakan
tindak pidana, berhak untuk mengajukan laporan kepada penyelidik atau penyidik baik secara
lisan atau tertulis, dalam Undang-Undang Psikotropika Pasal 54 ayat 2 dikatakan bahwa
masyarakat wajib melaporkan kepada pihak yang berwenang bila mengetahui tentang
psikotropika yang disalahgunakan dan/atau dimiliki secara tidak sah. Seseorang yang
memberikan kesaksian laporannya harus terlepas dari segala macam tekanan baik yang
berbentuk apapun atau dari siapapun. Berdasarkan rumusan Pasal 57 UU Psikotropika, dapat
ditarik kesimpulan bahwa undang-undang ini hendak memberikan jaminan pperlindungan
hukum bagi pelapor dalam bentuk tidak mempublikasikan identitas pelapor dengan tujuan agar
pelapor terlindungi, karena pelapor yang dimaksud dalam pasal 57 adalah seorang yang tidak
dilibatkan di dalam proses peradilan, dia tidak memberikan keterangannya di depan persidangan.
Namun, perlindungan terhadap saksi pelapor dalam Pasal 57 UU Narkotika ini hanya
memberikan jaminan perlindungan keamanan bagi pelapor, dengan cara tidak
memberikan/mengungkapkan identitas pelapor di dalam persidangan. Perlindungan saksi pelapor
bukan hanya diberikan pada saat saksi diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, atau di dalam
lingkungan pengadilan. Tetapi dimananpun saksi pelapor berada, keamanan dan keselamatan
jiwanya harus selalu dijaga dan dilindungi. Selain itu juga yang mendapat perlindungan adalah
seluruh anggota keluarga dan orang-orang yang dekat dengan saksi pelapor. Bahkan, di dalam
UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, tidak menyertakan pihak
pelapor sebagai subjek perlindungan yang maksimal. Hanya terdapat 1 (satu) ketentuan yang
mengaturnya, yakni Pasal 10 ayat 1 UU Perlindungan Saksi dan Korban: “Saksi, Korban, dan
pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian
yang akan, sedang, atau telah diberikannya.” Perlindungan terhadap pelapor dalam UU
Perlindungan Saksi dan Korban ini tidak cukup memadai karena pelapor juga berpotensi
menghadapi ancaman dan teror. Dalam kasus-kasus psikotropika tidak jarang seorang pelapor
kemudian mencabut laporannya atau tidak ikut memberi keterangan. Berdasarkan uraian di atas
bahwa penerapan hukum terhadap perlindungan saksi pelapor belum ada ketentuan-ketentuan
yang mengatur secara khusus perlindungan maksimal bagi saksi pelapor.

DAFTAR PUSTAKA

Buku
A.R. Sujono dan Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 Tentang Narkotika, Jakarta: Sinar Grafika, 2011

Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Psikotropika
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika.

Sumber Elektronik

http://whqlibdoc.who.int/publications/9241544686.pdf
http://www.who.int/substance_abuse/publications/en/Neuroscience_E.pdf
http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1318252/URLTEENAGE#.UhxuZxtmx5K
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/11/03/14/169312-polri-dan-bnn-perlu
pembagian-kerja-jelas

Sumber Lainnya
Putusan No. 1386/Pid.Sus/2011/
Putusan No. 1071/Pid.Sus/2012/
Putusan No. 1705/K/Pid.Sus/2012

Anda mungkin juga menyukai