Anda di halaman 1dari 63

HUKUM PEMBUKTIAN

Masalah pembuktian ini merupakan masalah yang rumit dan justru ia merupakan titik
sentral dari hukum acara pidana. Tujuan pembuktian adalah untuk mencari dan
mendapatkan kebenaran yang materiil dan bukan untuk mencari kesalahan seseorang.
Van Bemmelen mengatakan bahwa maksud dari pembuktian (bewijzen) adalah sebagai
berikut:
“Bewijzen is derhalve door onderzoek en redenering van de rechter een redelijke mate
van zekerheid de verschaften”:
a. omtrent de vraag op bepaalde feiten heeben plaats gevonden.
b. Omtrent de vraag waroom dit het geval is geweest.
Bewijzen bastaat dus uit:
1. het wijzen op waarneembare feiten.
2. mededeling van het waargenomen feiten.
3. logisch denken.
Tejemahannya lebih kurang sebagai berikut: ”Maka pembuktian ialah usaha
untuk memperoleh kepastian yang layak dengan jalan memeriksa dan
penalaran dari hakim”:
a. mengenai pertanyaan apakah peristiwa atau perbuatan tertentu
sungguh benar terjadi.
b. Mengenai pertanyaan mengapa peristiwa itu telah terjadi.
Dari itu pembuktian terdiri dari:
1. menunjukkan peristiwa-peristiwa yang dapat diterima oleh pancaindra.
2. memberi keterangan tentang peristiwa-peristiwa yang telah diterima
tersebut.
3. menggunakan pikiran logis.
Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus
memutus perkara. Dalam hal ini yang harus dibuktikan ialah kejadian
yang konkrit, bukan sesuatu yang abstrak. Dengan adanya
pembuktian itu maka hakim meskipun ia tidak melihat dengan mata
kepala sendiri kejadian yang sesungguhnya, ia dapat menggambarkan
dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi, sehingga hakim dapat
memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
SISTEM ATAU TEORI PEMBUKTIAN

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa

sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada

terdakwa. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat

(negara).

Indonesia yang menganut sistem kontinental yang sama dengan Belanda dan

negara-negara Eropa Kontinental yang lain, memakai sistem bahwa hakimlah yang

menilai alat bukti yang diajukan kepadanya dengan keyakinannya sendiri dan bukan

dewan juri seperti halnya di Amerika Serikat dan negara-negara Anglo Saxon.
Di negara-negara yang disebut terakhir ini maka dewan jurilah yang
menentukan salah atau tidaknya terdakwa (guilty or not guilty)
dalam persidangan yang dipimpin oleh hakim (judge). Jasi bukan
hakim yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, tetapi
dewan juri yang terdiri dari orang awam (layman). Apabila dewan juri
menyatakan ”guilty”, maka hakimlah yang menjatuhkan pidana
(sentencing). Begitu sebaliknya juka dewan juri menyatakan ”not
guilty” maka hakim akan membebaskan terdakwa (acquitted).
a. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Belaka

Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka ini disebut juga


”conviction intime”. Menurut teori ini hakim dianggap cukup
mendasarkan terbuktinya suatu keadaan atas keyakinannya dengan
tidak terikat pada suatu aturan hukum, hingga dengan teori ini hakim
dapat mencari dasar putusannya itu menurut perasaannya semata-mata.
Sehingga dengan demikian atas dasar perasaannya itu dapat dipakai
untuk menentukan apakah suatu keadaan dianggap telah terbukti atau
tidak. Di dalam sistem atau teori ini hakim tidak diwajibkan
mengemukakan alasan-alasan hukum yang dipakai sebagai dasar
putusannya.
Namun demikian apabila hakim dalam putusannya itu alat bukti yang
dipakai, maka hakim secara bebas dapat menunjuk alat bukti apa saja,
termasuk alat bukti yang sekiranya sulit diterima dengan akal sehat.
Misalnya adanya kepercayaan terhadap seorang dukun, yang setelah
mengadakan upacara yang bersifat mistik dapat menentukan siapa yang
bersalah dan siapa yang tidak bersalah dalam suatu kasus tertentu. Jadi
dengan sistem ini dimungkinkan tanpa didasarkan kepada alat-alat bukti
sebagaimana ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini dianut oleh
peradilan yang memakai sistem juri (jury trial).
Menurut Wirjono Prodjodikoro, sistem tersebut pernah juga dianut di
Indonesia, yaitu pada pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten. Di
dalam sistem ini memungkinkan hakim menyebut apa saja yang
menjadi dasar keyakinannya, misalnya keterangan dari medium atau
dukun.
Adapun keberatan terhadap sistem ini ialah karena di dalamnya
terkandung kepercayaan yang sangat besar terhadap ketepatan
kesan-kesan pribadi seorang hakim (sangat bersifat subyektif). Di
samping itu terhadap putusan-putusan atas dasar sistem pembuktian
tersebut sukar untuk dilakukan penelitian bagi hakim atasan, sehingga
tidak dapat mengetahui pertimbangan-pertimbangan hakim yang
menjurus ke arah terbitnya putusan. Oleh karena itu sistem ini sudah
tidak layak dipakai dalam kehudupan hukum di Indonesia.
b.Sistem atau Teori Pembuktian menurut Undang-
Undang yang Positif
Teori pembuktian ini disebut juga ”positief wettelijk bewijs theorie” atau juga
dikenal dengan teori pembuktian formil (formele bewijstheorie). Di dalam
sistem atau teori ini undang-undang telah menentukan alat bukti yang hanya
dapat dipakai oleh hakim, dan asal alat bukti telah dipakai secara yang telah
ditentukan oleh undang-undang maka hakim harus dan berwenang menetapkan
terbukti atau tidaknya perkara yang dipariksanya itu, meskipun barangkali hakim
sendiri belum begitu yakin atas kebenaran dalam putusannya itu.
Sebaliknya apabila tidak terpenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh
undang-undang, maka hakim akan mengambil keputusan yang sejajar, dalam srti
putusan itu harus berbunyi tentang sesuatu yang tidak dapat dibuktikan adanya,
meskipun dalam hal ini sebenarnya hakim berkeyakinan atas hal tersebut.
Sebagai contoh misalnya ada dua orang saksi yang telah disumpah, yang
menyatakan kesalahan terdakwa. Meskipun dalam hal ini hakim berkeyakinan
bahwa terdakwa tidak melakukan pelanggaran hukum, maka hakim tetap akan
menjatuhkan putusannya yang menyatakan bahwa ada kesalahan bagi
terdakwa terebut. Demikian sebaliknya, andaikata dua orang saksi itu
mengatakan bahwa terdakwa tidak bersalah, maka meskipun hakim
sebenarnya yakin bahwa terdakwa telah melakukan pelanggaran hukum
tersebut, ia harus membebaskan terdakwa.
Jadi, sistem ini hanya didasarkan pada ukuran ketentuan undang-undang saja
dan meninggalkan nilai kepercayaan tentang diri pribadi hakim sebagai sumber
keyakinan sehingga akan menimbulkan bentuk putusan yang dapat
menggoyahkan kehidupan hukum karena kurangnya dukungan dalam
masyarakat sebagai akibat putusan-putusan yang tidak dapat mencerminkan
kehendak masyarakat yang akan tercermin dalam pribadi hakim.
c. Sistem atau Teori Pembuktian menurut Undang-Undang yang
Negatif
Menurut sistem atau teori ini, hakim hanya boleh menjatuhkan
pidana apabila sedikit-sedikitnya telah ditentukan oleh undang-
undang dan masih ditambah dengan keyakinan hakim yang diperoleh
dari adanya alat-alat bukti tersebut.
Teori pembuktian ini disebut ”negatief wettelijke bewijstheorie”.
Istilah wettelijk berarti sistem ini berdasarkan undang-undang, sedang
istilah negatief maksudnya ialah bahwa meskipun dalam perkara
terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, hakim belum
boleh menjatuhkan pidana sebelum ia memperoleh keyakinan
tentang kesalahan terdakwa.
Sejak zaman Hindia Belanda dahulu hingga sekarang, hukum acara pidana kita
secara konsisten memakai sistem pembuktian menurut undang-undang yang
negatif (negatief wettelijk). Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal-Pasal yang
mengaturnya.
Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut:
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Nampak di sini bahwa pembuktian menurut KUHAP harus didasarkan pada
undang-undang, yaitu alat bukti yang telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP,
disamping itu disertai dengan keyakinan hakim yang hanya dapat diperoleh dari
alat-alat bukti tersebut.
Demikian pula di dalam HIR, Pasal 294 ayat (1) menyatakan:
”Tidak seorang pun boleh dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat
keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang
dapat dipidana dan bahwa orang yang didakwa itulah yang bersalah melakukan
perbuatan itu”.
Hal yang sama diatur pula di dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman
(Undang-Undang No. 4 Tahun 2004), Pasal 6 ayat (2) menyatakan:
”Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa
seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab telah bersalah atas
perbuatan yang didakwakan atas dirinya.”
Dapat disimpulkan di sini bahwa sistem ”negatief wettelijk” ini telah
menentukan alat-alat bukti secara limitatif dalam undang-undang dan
bagaimana cara mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undang-
undang.
d. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan
Keyakinan Hakim atas Alasan yang Logis

Teori atau sistem ini menentukan bahwa hakim di dalam memakai dan
menyebutkan alasan-alasan untuk mengambil keputusannya, sama sekali tidak
terikat pada alat-alat bukti sebagaimana yang termaktub dalam undang-undang,
melainkan hakim secara bebas diperkenankan memakai alat-alat bukti lain,
asalkan semuanya itu berlandaskan alasan-alasan yang tepat menurut logika.
Sistem ini dalam ilmu pengetahuan disebut juga sebagai teori ”conviction
raissonnee”.
Menurut teori ini alat-alat bukti dan cara pembuktiannya tidak ditentukan
dalam undang-undang. Hal ini tidak berarti bahwa teori ini tidak dikenal
alat-alat bukti dan cara pembuktiannya. Hanya saja hal itu semua tidak
secara pasti ditentikan dalam undang-undang seperti dalam sistem
”negatief wettelijk” di atas. Oleh karena itu, dalam menentukan macam
dan banyaknya bukti yang dipandang cukup untuk menetapkan kesalahan
terdakwa, hakim sangat bebas, dalam arti tidak terikat oleh suatu
ketentuan yang ada. Sehungga sistem yang atau teori ini disebut pula
sebagai teori pembuktian bebas (vrije bewijstheori).
Dapat disimpulkan di sini bahwa persamaan antara teori ”negatife
wettelijk” dengan teori pembuktian bebas (vrije bewijstheori) ialah
keduanya sama berdasarkan atas keyakinan hakim, artinya terdakwa
tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa
terdakwalah yang bersalah. Sedangkan perbedaannya adalah, bahwa
dalam teori negatief wettelijk sumber adanya keyakinan hakim
datangnya dari alat-alat pembuktian yang secara limitatif telah
ditentukan oleh undang-undang.
Lain halnya dengan teori pembuktian bebas (vrije bewijstheori),
meskipun berpangkal tolak dari keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu
harus didasarkan pada suatu kesimpulan yang logis, yang tidak
didasarkan pada undang-undang, tetapi hakim secara bebas dapat
mengadakan pemilihan alat-alat bukti yang mana yang akan ia
pergunakan.
D. HAL-HAL YANG BERKAITAN
DENGAN PEMBUKTIAN
Di dalam hukum pembuktian (law of evidence) maka ada hal-hal yang pokok
berkaitan dengan pembuktian, yaitu:
a. Alat-alat pembuktian (bewijsmiddelen).
b. Penguraian pembuktian (bewijsvoering).
c. Kekuatan pembuktian (bewijskracht).
d. Dasar pembuktian (bewujsgrond).
e. Beban pembuktian (bewijslast).
a. Alat Pembuktian (Bewijsmiddele)
Oleh karena kejadian-kejadian yang harus dibuktikan itu pada hakikatnya selalu
terletak dalam masa yang lampau, maka diperlukan alat-alat pembantu untuk
dapat menggambarkannya mengenai terjadinya suatu peristiwa pidana
tersebut, yang dalam hal ini dapat diambil dari bekas-bekas yang ditinggalkan
atau keterangan dari orang-orang yang melihat, mendengar atau mengalami
sendirinya terjadi peristiwa tersebut.
Dari hasil pemeriksaan dan penelitian terhadap bekas-bekas atau
keterangan orang-orang itu dapat dipergunakan untuk membantu hakim
dalam menggambarkan atau melukiskan kembali tentang kepastian dari
peristiwa tersebut yang telah pernah terjadi.

Atas dasar uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
denga alat bukti itu adalah alat yang dipakai untuk membantu hakim
dalam menggambarkan kembali mengenaikepastian pernah terjadinya
peristiwa pidana.
b. Penguraian Pembuktian (Bewijsvoering)
Penguraian pembuktian ialah cara-cara dalam mempergunakan alat-alat bukti
tersebut dalam suatu perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa. Dalam hal
ini hakim berkewajiban meneliti apakah dapat terbukti bahwa terdakwa telah
melakukan hal-hal seperti didakwakan kepadanya.
c. Kekuatan Pembuktian (Bewijskracht)v
Kekuatan pembuktian ini artinya adalah pembuktian dari
masing-masing alat bukti. Misalnya sejauh mana bobot alat-
alat bukti tersebut terhadap perbuatan yang telah dilakukan
oleh terdakwa. Sebagai contoh misalnya keterangan saksi yang
diucapkan di bawah sumpah lain kekuatan buktinya dengan
saksi yang tidak disumpah ataupun dengan saksi de auditu.
Dalam pembuktian, maka hakim sangat terikat pada kekuatan
pembuktian dari masing-masing alat bukti sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 KUHAP.
d. Dasar Pembuktian (Bewijsgrond)
Dasar pembuktian adala isi dari alat bukti. Misalnya keterangan
seorang saksi bahwa ia telah melihat sesuatu, disebut alat bukti, tapi
keadaan apa yang dilihatnya, yang didengar atau dialaminya dengan
disertai alasan-alasan mengapa ia melihat, mendengar atau
mengalami itu yang diterangkannya dalam kesaksiannya, disebut
dasar pembuktian.
e. Beban Pembuktian (Bewijslast)
Beban pembuktian ini menyangkut persoalan tentang siapakah yang
diwajibkan untuk membuktikan atau dengan perkataan lain siapakah
yang mempunyai beban pembuktian?
Dalam hubungannya dengan ini, maka perlu diingat adanya asas
praduga tak bersalah (presumption of innocence), yang menyatakan
bahwa seseorang yang diadili wajib dianggap tidak bersalah sampai
kesalahannya dapat dibuktikan di muka hakim. Asas ini disebut
dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No.
14 Tahun 1970) dan juga dinyatakan dalam penjelasan umum
KUHAP.
Dengan adanya asas praduga tak bersalah tersebut, berarti bahwa pihak yang
mendakwalah yang wajib membuktikan dakwaan yang bukan sebaliknya. Oleh
karena itu, maka pihak penuntut umumlah yang mempunyai beban
pembuktian, artinya bahwa ia wajib membuktikan kebenaran tentang apa yang
terdapat dalm surat dakwaan yang dibuat olehnya itu.
Pasal 66 KUHAP, yang merupakan penjelmaan dari asas presumption of
innocence secara tegas menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak
dibebani kewajiban pembuktian.
E. ALAT-ALAT BUKTI
(BEWIJSMIDDELEN
Perihal pembuktian di dalam KUHAP diatur pada Bab XVI Bagian ke
empat dari Pasal 183 sampai dengan Pasal 189.
Di dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan, alat bukti yang sah ialah:
a. keterangan saksi
b. keterangan ahli
c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa
a. Keterangan Saksi
Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah ini harus memenuhi dua
syarat, yaitu:
1. syarat formil
2. syarat materiil
Yang dimaksud dengan syarat formil ialah bahwa keterangan saksi
dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah (Pasal 160 ayat (3)
KUHAP). Sedangkan yang dimaksud dengan syarat materiil di sini ialah
bahwa materi (isi) kesaksian dari seorang saksi itu harus mengenai hal-
hal yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan
menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (Pasal 1 butir 27 KUHAP).
Dan, menurut Pasal 185 ayat (1) KUHAP keterangan saksi tersebut
harus dinyatakan di sidang pengadilan
Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam keterangan
saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau
testimonium de auditu.
Namun demikian Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) pernah menggunakan
testimonium di auditu atau hearsay evidence ini dalam arrestnya. Adapun
contoh kasusnya sebagai berikut:
”A menikam dengan pisau pada B, dan kemudian A melarikan diri. B berteriak
minta tolong, yang kemudian datanglah C dan D, di mana A sudah tidak berada
di situ. B yang menderita luka parah menerangkan pada C dan D tentang
kejadian yang ia alami itu. Dalam hal ini maka C dan D memberikan kesaksian de
auditu. Meskipun demikian, Hoge Raad menganggap keterangan yang diberikan
C dan D sebagai alat pembuktian yang sah”.
yurisprudensi Indonesia ada yang menerima dan ada pula yang menolak kesaksian de
auditu. Misalnya putusan Landraad Telukbetung, 14 Juli 1938 menolak memberi
kekuatan pembuktian kesaksian demikian dengan alasan bahwa suatu kesaksian de
auditu tidak dapat dianggap mempunyai daya bukti sah. Putusan tersebut di kuatkan
oleh Raad van Justitie (Pengadilan Tinggi) di Batavia. Sebaliknya keputusan Landraad
meeter Cornelis, 27 Januari 1939, pada pokoknya setuju memberi daya bukti pada
kesaksian de auditu, dengan alasan bahwa keterangan-keterangan korban yang telah
meninggal diberikan oleh saksi-saksi yang mendekatinya, segera setelah berlangsung
serangan atas dirinya bahwa yang memberi tusukan-tusukan pada dirinya adalah
seorang yang disebut pula namanya, mempunyai juga daya bukti, ditilik dari keadaan
sekitar pemberian keterangan-keterangan. Keputusan ini kemudian dikuatkan oleh
Raad van Justitie di Batavia.
Dari yurisprudensi mengenai kesaksian de auditu tersebut, nampaknya tidak dapat
dirumuskan secara jelas apakah kesaksian de auditu itu diterima ataukah tidak sebagai
alat bukti., tetapi tergantung dari kenyataan-kenyataan yang bersifat kasuistis.
Dalam hubungannya dengan syarat formil keterangan saksi yaitu
bahwa keterangan saksi itu harus diberikan di bawah sumpah, maka
bagaimanakah halnya dengan saksi yang tidak disumpah?
Dalam hal ini penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa
keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan
janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah
merupakan keteranagan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
Sedangkan dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP dinyatakan bahwa
keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu
dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat
dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Selanjutnya Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya. Dalam kaitannya dengan ini hukum
acara pidana mengenal asas yang dimuat dalam pepatah Romawi, yang
mengatakan ”unus testis nullus testis” atau dalam bahasa Belanda ”een getuige
is geen getuige” (satu saksi bukan saksi). Akan tetapi hal ini tidak berlaku
apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (lihat Pasal 185 ayat
(3) KUHAP).
Namun, menurut ilmu pengetahuan hukum acara pidana dan yurisprudensi,
keterangan seorang saksi saja dapat dipakai untuk membuktikan salah satu
unsur tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa.
Pasal 185 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa keterangan beberapa saksi yang
berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan
sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
Ini yang disebut kesaksian berantai (kettigbewijs). Sebagai contoh misalnya
seorang saksi menerangkan bahwa ia melihat A (terdakwa) pada jam 11.00
malam tanggal 19 Mei 1995 berjalan di jalan Erlangga Raya, Semarang.
Selanjutnya saksi kedua menerangkan bahwa ia melihat A (terdakwa) masuk ke
pekarangan rumah nomor 5 di jalan Erlangga Raya tersebut pada kira-kira jam
11.00 malam. Lantas saksi ketiga menerangkan bahwa ia melihat A (terdakwa)
keluar dari rumah jalan Erlangga Raya Nomor 5 tersebut dengan membawa
sebuah televisi dan kemudian naik taksi pada jam 12.00 malam tanggal 19 Mei
1995.
Keterangan-keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri-sendiri seperti tersebut
diatas berantai dan menjadi bukti bahwa A (terdakwa) telah mencuri sebuah
televisi milik B di rumah jalan Erlangga Raya No. 5 Semarang, yang oleh B
dilaporkan kepada polisi bahwa ia telah kecurian sebuah televisi di rumahnya
kira-kira jam 12.00 malam tanggal 19 Mei 1995.
Seperti dikemukakan di atas bahwa menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP,
keterangan satu saksi bukan saksi. Hal semacam ini hanya berlaku untuk
perkara singkat (summier) dan perkara biasa, tidak berlaku untuk pemeriksaan
perkara cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat bukti yang sah.
Sehingga apabila dalam perkara cepat telah ada satu alat bukti, misalnya satu
keterangan saksi atau satu keterangan ahli atau satu keterangan terdakwa
dalam hal itu dapat meyakinka hakim tentang kesalahan terdakwa, maka hakim
dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa.
Mengenai bagaimana cara menilai atas kebenaran seorang saksi, maka di dalam
Pasal 185 ayat (6) KUHAP diberikan petunjuk agar hakim harus memperhatikan
dengan sungguh-sungguh tentang
1. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.
2. Persesuaian antara keterangan saksi untuk memberikan keterangan tertentu.
3. Alasan yang mingkin dipergunakan oleh saksi untuk memberikan keterangan
tertentu.
4. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali jika dikecualikan
oleh undang-undang. Di dalam KUHAP ada dua kelompok orang yang
dikecualikan yang dikecualikan dri kewajibannya menjadi saksi, yaitu:
1. Orang-Orang yang Disebut dalam Pasal 168 KUHAP
a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai derajat tiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai
terdakwa.
b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunya
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ke tiga.
c) Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Sebagai gambaran mengenai derajat kekeluargaan, maka dibawah ini dikemukakan bagan
sebagai berikut:
Keterangan:
A dan B suami isteri
C dan D suami isteri
E dan F suami isteri
C adalah putera A dan B
E adalah putera A dan B
G adalah putera E dan F
Adapun derajat kekeluargaannya adalah sebagai berikut:
A dan B dengan C adalah derajat kesatu
A dan B dengan F adalah derajat kesatu (semenda)
A dan B dengan D adalah derajat kesatu (semenda)
Adan B dengan G adalah derajat kedua
C dengan E adalah derajat kedua
C dengan F adalah derajat kedua (semenda)
C dengan H adalah derajat ketiga
G dengan H adalah derajat keempat
Mereka yang disebut oleh Pasal 168 KUHAP tersebut mempunyai hak tolak
(verschoningsrecht) untuk menjadi saksi. Namun menurut Pasal 169 ayat (1)
KUHAP jika mereka menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa
secara tegas menyetujuinya maka mereka dapat memberi keterangan di bawah
sumpah. Dalam hal demikian kesaksian mereka mempunyai nilai pembuktian
dan mengikat hakim.
Sedangkan apabila penuntut umum dan terdakwa tidak memberikan
persetujuannya, mereka diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah
(Pasal 169 ayat (2)).
2. Orang-orang yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya
diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban
memberi keterangan sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP). Mereka yang
disebut oleh Pasal 170 KUHAP tersebut juga mempunyai hak tolak
(verschoningsrecht) untuk menjadi saksi, yaitu sepanjang hal yang
dipercayakan kepada dalam kaitannya dengan rahasia jabatannya itu.
Di dalam penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa pekerjaan atau
jabatan yang menentukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Jika tidak ada
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau
pekerjaan yang dimaksud, maka seperti yang ditentukan oleh Pasal 170
ayat (2) KUHAP, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang
dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut (hak tolak
tersebut).
Adapun orang yang wajib menyimpan rahasia jabatan inisalnya dokter yang
harus merahasia penyakit yang diderita oleh pasiennya. Begitu pula inisalnya
notaris, pegawai bank, advokat, wartawan yang menurut undang-undang wajib
menyimpan rahasia jabatannya. Sedangkan orang yang karena harkat
martabatnya wajib menyimpan rahasia adalah pastor katholik. Ini sehubungan
dengan kerahasiaan orang-orang yang mengemukakan pengakuan dosa kepada
pastor tersebut.
Orang-orang yang disebut oleh Pasal 171 KUHAP, yang boleh diperiksa tanpa
sumpah ialah :
a) anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin
b) orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik
kembali.
Dalam penjelasan Pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur
lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila
meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut
Psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna
dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji
dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai
sebagai petunjuk saja.
Sebagaimana diuraikan di muka bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat
formil dalam kesaksian agar dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah.
Sehubungan dengan itu Penjelasan Pasal 161 ayat ( 2 ) KUHAP mengatakan
bahwa keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan
janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.
b. Keterangan ahli
Pengaturan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah di dalam KUHAP adalah
merupakan hal yang baru, karena dalam hukum acara pidana yang lama (HIR)
tidak mencantumkannya sebagai alat bukti yang sah.
Penafsiran otentik mengenai keterangan ahli dimuat dalam Pasal 1 butir 28
yang menyatakan bahwa keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan
oleh seorang yang meiniliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Menurut Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli harus dinyatakan oleh ahli
tersebut di sidang pengadilan. Namun, keterangan ahli ini dapat juga sudah
diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang
dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah
di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau
penuntut umum, maka pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk
memberi keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan.
Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau
janji di hadapan hakim.
Dalam pada itu, Pasal 179 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa setiap
orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman
atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi
keadilan.
Perlu ditekankan di sini, bahwa menurut ayat (2) dari Pasal tersebut
dinyatakan bahwa semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi
berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, dengan
ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan
memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenarnya
menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
Adapun mengenai materi keterangan saksi dengan ahli berbeda. Keterangan
seorang saksi mengenai apa yang dilihat, didengar dan dialaini oleh saksi itu
sendiri. Sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai suatu penilaian
tentang hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan (pendapat)
mengenai hal-hal itu.
Walaupun KUHAP hanya memakai satu istilah saja yaitu "ahli" untuk saksi ahli,
namun secara teoritis terdapat tiga macam ahli yang terlibat dalam suatu proses
peradilan. Mereka itu adalah :

1. ahli ( deskundige )
Orang ini hanya mengemukakan pendapatnya tentang suatu persoalan yang
ditanyakan pendapatnya tanpa melakukan suatu pemeriksaan. Contoh ahli yang
demikian ini, inisalnya dokter spesialis ilmu kebidanan dan penyakit kandungan
yang diminta pendapatnya tentang obat "X" yang dipersoalkan dapat atau tidaknya
menimbulkan abortus dalam perkara tindak pidana pengguguran kandungan.
2. saksi ahli (getuige deskundige)
Orang ini menyaksikan barang bukti atau saksi diam (silent witness), ia melakukan
pemeriksaan dan mengemukakan pendapatnya. Sebagai contoh inisalnya seorang dokter
yang melakukan pemeriksaan terhadap mayat. Jadi ia menjadi saksi karena menyaksikan
barang bukti itu (mayat) dan kemudian menjadi ahli, karena mengemukakan pendapatnya
tentang sebab kematian orang itu.
3. orang ahli (zaakkundige)
Orang ini menerangkan tentang sesuatu persoalan yang sebenarnya juga dapat dipelajari
sendiri oleh hakim, tetapi akan memakan banyak waktu. Sebagai contoh inisalnya seorang
pegawai Bea dan Cukai diminta menerangkan prosedur pengeluaran dan dari pelabuhan
atau seorang karyawan Bank diminta penerangkan prosedur untuk mendapatkan kredit dari
Bank.
Sebenarnya tanpa orang tersebut mengemukakan pendapatnya, hakimpun sudah dapat
menentukan apakah telah terjadi suatu tindak pidana atau tidak, karena hakim dapat
dengan mudah mencocokan apakah dalam kasus yang sedang diperiksanya itu telah terjadi
penyimpangan dari prosedur yang seharusnya atau tidak.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa alat bukti
keterangan ahli itu yaitu apabila ahli tersebut menyatakannya di sidang
pengadilan dengan bersumpah atau berjanji atau ia menyatakan ada
waktu diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan
dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu
ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Sedangkan apabila ahli tersebut secara tertulis memberikan keterangan
tanpa diperiksa oleh penyidik atau penuntut umum atau tanpa
diperiksa di muka hakim, maka hal itu menurut Pasal 187 sub c KUHAP
termasuk alat bukti "surat". Sebagai contoh inisalnya ialah "visum et
repertum" yang dibikin oleh dokter Kedokteran Kehakiman.
c. Alat bukti surat
Asser-Anema memberikan definisi surat ialah segala sesuatu yang mengandung
tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi
pikiran.
Hendaknya dibedakan di sini antara surat sebagai alat bukti dengan surat
sebagai barang bukti (stukken van overtuiging). Surat sebagai barang bukti
adalah surat yang dipergunakan atau hasil dari kejahatan (corpus delicti).
Sebagai contoh inisalnya surat berisi ancaman yang dipakai dalam melakukan
tindak pidana pemerasan atau surat palsu yang dipakai dalam tindak pidana
penipuan.
Sedangkan surat sebagai alat bukti, secara rinci telah diatur dalam Pasal 187
KUHAP sebagai berikut :
Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atau
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resini yang dibuat oleh pejabat umum yang
berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaininya sendiri, disertai
dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang
dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi
tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan.
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya
mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resini daripadanya.
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat
pembuktian yang lain.
Dengan demikian maka dapat digolongkan menurut Pasal 187 KUHAP adanya dua
macam surat, yaitu surat resini (authentieke acte) seperti dimuat dalam Pasal 187
huruf a, b dan c serta surat di bawah tangan (orderhansgeschrift) seperti dimuat
dalam huruf d.
Menurut Pasal 187 KUHAP huruf d, surat di bawah tangan ini
pun masih mempunyai daya bukti jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
Sebagai contoh inisalnya keterangan saksi yang menerangkan
bahwa ia (saksi) telah menyerahkan uang kepada terdakwa.
Keterangan itu merupakan satu-satunya alat bukti di samping
selembar tanda terima (kuitansi) yang ditanda tangani oleh
terdakwa. Meskipun terdakwa menyangkal telah menerima
uang tersebut, dengan bukti surat berupa kuitansi yang ada
hubungannya dengan keterangan saksi tentang pemberian uang
kepada terdakwa, cukup sebagai bukti ininimum sesuai dengan
Pasal 183 KUHAP dan Pasal 187 huruf d KUHAP.
d. Alat bukti petunjuk
Seperti halnya dalam hukum acara pidana yang lama (HIR), KUHAP masih menggunakan
petunjuk sebagai alat bukti. Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan,
kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain,
maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan
siapa pelakunya.
Jadi, sama halnya dengan bukti berantai (kettingsbewijs) bahwa petunjuk itu bukanlah alat
pembuktian yang langsung, tetapi pada dasarnya adalah hal-hal yang disimpulkan dari alat-alat
pembuktian yang lain, yang menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP hanya dapat diperoleh dari :
1. keterangan saksi.
2. surat.
Sehubungan dengan itu, maka di dalam ayat ( 3 ) Pasal tersebut dinyatakan bahwa penilaian
atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh
hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh cermatan
dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya
e. Keterangan terdakwa
Penyebutan "keterangan terdakwa" sebagai alat bukti yang sah seperti dimuat
dalam Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP adalah berbeda dengan hukum acara
pidana lama (HIR), yang menyebut dengan istilah "pengakuan terdakwa" sebagai
alat bukti yang sah di dalam Pasal 195 HIR.
Adapun perbedaan antara pengakuan terdakwa (bekentenis) dengan keterangan
terdakwa (erkentenis), yaitu bahwa pengakuan sebagai alat bukti harus memenuhi
syarat-syarat :
1. terdakwa mengaku bahwa ia yang melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
2. terdakwa mengaku bahwa dia yang bersalah
Sedangkan keterangan terdakwa mempunyai makna yang lebih luas dari pada
pengakuan terdakwa, yang menurut Pasal 1889 ayat (1) KUHAP dinyatakan
bahwa keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alaini sendiri.
Dengan demikian keterangan terdakwa sebagai alat bukti lebih luas pengertiannya dari
pengakuan terdakwa, bahkan menurut Memorie van Coelichting Nederland
Strafvordering dinyatakan bahwa penyangkalan terdakwa boleh juga menjadi alat bukti
yang sah.
Sebagai contoh tentang penyangkalan terdakwa yang dinilai oleh lakim sebagai
keterangan terdakwa sehingga dipakai sebagai alat bukti adalah dalam kasus
pembunuhan berencana (moord) di Leidschendam (H.R. 2 Desember 1940). Dalam
kasus tersebut terdakwa menyangkal melakukan pembunuhan berencana seperti yang
didakwakan oleh Penuntut umum kepadanya, tetapi ia menerangkan bahwa seorang
temannya yang bernama "Arie", yang duduk bersama dalam mobil, yang melakukannya.
Pengadilan berpendapat bahwa terdakwa sendirilah yang melakukan pembunuhan
tersebut karena orang yang disebut oleh terdakwa yang bernama "Arie" itu sebenarnya
tidak ada.
Dengan perubahan alat pembuktian dari penyebutan pengakuan terdakwa menjadi
keterangan terdakwa ini sangat penting dalam hukum acara pidana kita dan secara
yuridis membawa akibat jauh, yaitu bahwa keterangan saksi. Kepada hakimlah
digantungkan harapan untuk menilai keterangan terdakwa tersebut.
Menurut Pasal Pasal 189 ayat 1 KUHAP, keterangan terdakwa ialah apa yang
terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia
ketahui sendiri atau alami sendiri. Lantasi bagaimanakah keterangan terdakwa
yang diberikan di luar sidang pengadilan ? Dalam hal ini keterangan terdakwa
tersebut dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan
keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal
yang didakwakan kepadanya (Pasal 189 ayat 2 KUHAP).
Selanjutnya Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa keterangan terdakwa
hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri. Dalam hubungannya dengan
ketentuan Pasal ini, maka yang menjadi masalah di dalam praktek adalah
tentang saksi mahkota (kroon getuige). Adapun yang dimaksud dengan saksi
mahkota ialah terdakwa yang berstatus menjadi saksi dalam perkara terdakwa
yang lain, yang sama-sama melakukan yaitu dalam hal diadakan splitsing dalam
pemeriksaannya.
Dalam hal demikian, maka ada dua hal yang diabaikan yaitu :
1. terdakwa disumpah, pada hal terdakwa sebenarnya mempunyai hak
bohong.
2. keterangan terdakwa digunakan untuk orang lain.
Dalam pada itu, Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa
keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti yang lain. Ini berarti sesuai dengan asas
unus testis mullus testis (satu saksi bukan saksi), yang dalam hal ini
lebih tepat dibaca "satu bukti bukan bukti".
Perlu dikemukakan disini bahwa perkembangan dewasa ini, baik di
negara-negara dengan sistem Civil Law, dan terutama di negara-negara
sistem Common Law, ada kecenderungan mengakui data komputer
atau data elektronik lainnya sebagai alat bukti di pengadilan.
Lantas, bagaimanakah kebijaksanaan hukum pidana formal di Indonesia? Menurut
pengamatan saya, sejak tiga tahun terakhir ini hukum pidana formal di Indonesia telah
mengakui secara tegas data elektronik sebagai alat bukti yang sah. Hal ini nampak
terutama dalam pengaturan Undang-undang di luar KUHAP yang memperluas
ataupun menambahkan alat-alat bukti lain seperti yang diatur dalam KUHAP. Dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 26A
menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana
dimaksud dalam pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, di terima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan tanpa atau bantuan suatu sarana, baik
yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang
terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan,
foto, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.
Dalam pada itu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencurian Uang. Pasal 38 menyatakan bahwa alat bukti
pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa :
a. alat bukti sebgaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu;
dan
c. dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7
Pasal 1 angka 7 menyatakan dokumen adalah data, rekaman atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada : a. tulisan, suara atau
gambar, b. peta, rancangan, foto atau sejenisnya, c. huruf, tanda, angka,
simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh
orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Selanjutnya di dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 2002 menyatakan bahwa bukti permulaan yang cukup
dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat
bukti, termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang
diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik secara biasa maupun
elektronik atau optik.
DAFTAR PUSTAKA

 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Arikha Media Cipta,


Jakarta, 1993.
 Karim Nasution, Masalah Hukum Pembuktian Dalam Proses Pidana,
Kejaksaan Agung RI. 1976.
 Handoko Tjondroputranto, Ilmu Kedokteran Forensik dan KUHAP,
Universitas Indonesia Fakultas Hukum, Jakarta.
 Suryono Sutarto, Upaya-upaya Paksa dan Praperadilan, dalam
Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, Semarang, 1994.
 Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Buku Pedoman KUHAP,
1983.

Anda mungkin juga menyukai