A. Pengertian Pembuktian
46
69
Romli Atmasasmita (B), Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Cet.-1, (Bandung: Binacipta,
1983), hal. 17-23.
70
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,ed. 2, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.
273.
71
Ibid.
72
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1992), hal. 2.
73
Indonesia (B), Op.Cit., Pasal 184 ayat (1).
47
Ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.76
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan persidangan adalah:77
1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan
hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa
bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya,
untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar
menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau
meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin
harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan
pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti
yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau
penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.
74
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 274
75
Indonesia (B), Op.Cit., Pasal 183.
76
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana, ed.1, cet.1,
(Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 36.
77
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar
Maju,. 2003), hal. 13.
48
78
Andi Hamzah (A), Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.
248.
79
Ibid, hal. 248.
49
80
Adami Chazawi (A), Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni,
2008), hal. 25.
81
Andi Hamzah (A), op.cit., hal. 248.
82
Ibid., hal. 247.
50
51
87
Adami Chazawi (A), op.cit., hal. 26.
88
Ibid., hal. 28.
52
“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan,
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya.”91
89
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, cet. 3, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal.
137.
90
Indonesia (B), Op.Cit., Pasal 183.
91
Indonesia (E), Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4, LN No. 8 tahun
2004, TLN No. 4358, Pasal 6 ayat (2).
53
92
Indonesia (B), op.cit., Pasal 66.
93
Adami Chazawi (B), Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2005), hal. 398.
54
Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama
dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi
bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum dan Penasehat Hukum. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk
membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat-surat dan keterangan
tersangka (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).
Alat bukti petunjuk dalam pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui 3
(tiga) alat bukti seperti yang diatur dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP, melainkan dapat
diperluas juga di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan
dalam pasal 26A undang-undang No. 20 Tahun 2001, yaitu:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain kertas
maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.
Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang
dirumuskan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 29
Tahun 2001 dan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 merupakan perkecualian dari hukum
pembuktian yang ada dalam KUHAP.
Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa
Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan KUHAP Bab VI Pasal 66 dan
ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183
55
56
94
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hal. 156.
95
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 24.
96
Ibid.
57
97
Ibid., hal. 25.
98
Andi Hamzah (B), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), hal. 204.
58
99
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 192.
100
Indonesia (F), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 24, LN. No. 72 tahun 1960, TLN No.
2011, Pasal 5 ayat (1).
59
101
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 193.
60
102
Indonesia (G), Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3,
LN No. 19 tahun 1971, Pasal 17.
61
103
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 258.
104
Indonesia (G), Op.cit., Pasal 18.
105
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 195.
62
106
Ibid., hal. 197.
107
Adami Chazawi, op.cit., hal. 406.
63
64
65
109
Adami Chazawi, op.cit., hal. 408.
110
Ibid., hal. 409.
66
111
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 198.
112
Ibid., hal. 146.
67
113
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hal. 109.
68
114
Adami Chazawi, op.cit., hal. 407.
69
115
Barda Nawawi, op.cit., hal. 111.
70
116
Adami Chazawi, op.cit., hal. 409-410.
71
72
117
Ibid., hal. 141.
73
118
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
74
b. Transfering (Layering)
Yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa
keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke
119
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal.
133-134.
75
76
Pasal 78
1. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan
bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal
atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1).
2. Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengn
perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti
yang cukup.
77
120
Sutan Remy Sjahdeini, “Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian Uang,”
Hukum Online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/%20memburu-aset-koruptor-dengan-
menebar-jerat-pencucian-uang, 3 Desember 2010.
78
1. Kasus Posisi
Pokok perkaranya adalah Terdakwa Agi Sugiyono SE diduga melakukan tindak
pidana pencucian uang terkait dengan jabatannya sebagai seorang pemeriksa
pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Khusus bersama rekannya
Yudi Hermawan dan R. Handaru Iamoyojati pada pertengahan tahun 2006
sampai dengan bulan Februari 2007 ditugaskan melakukan pemeriksaan pajak
atas PT. Broadband Multimedia, Tbk. Menjelang akhir pemeriksaan sekitar
bulan Februari sampai dengan April 2007 Yudi Hermawan berkata kepada Agi
121
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 288.
79
2. Dakwaan
Dalam kasus terdakwa Agi Sugiono didakwa melakukan tindak pidana yang
disusun dalam bentuk dakwaan alternatif, yaitu:
Kesatu
Melanggar Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c Undang-undang No. 15 tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
“atau”
Kedua
Melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, c, d, e dan f Undang-undang No. 15 tahun
2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang .
3. Putusan Pengadilan
Pengadilan Negeri Karawang tanggal 9 Februari 2009 Nomor
448/Pid.B/2008/PN.KRW telah menjatuhkan putusan:
80
4. Pertimbangan
Dalam membuktikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Karawang mempertimbangkan sebagai berikut:
1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan;
3. Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;
4. Baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
“Menimbang, bahwa unsur setiap orang ini pengertiannya sama dengan unsur
setiap orang sebagaimana yang telah dipertimbangkan di atas dan telah
dinyatakan terpenuhi pada diri Terdakwa, maka dengan mengambil alih
pertimbangan hukum tersebut untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam
unsur ini, maka secara mutatis mutandis unsur inipun telah terpenuhi;”
81
82
83
84
4.4. Dalam membuktikan unsur “Baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun
atas nama pihak lain” Majelis Hakim berpendapat seperti dalam
pertimbangannya yang berbunyi:
5. Komentar
a. Majelis Hakim tidak memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan
terdakwa yang diperoleh dari uang sebesar US$ 100.000 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) yang diperoleh dari tindak pidana karena menurut Pasal 34
Undang-undang No. 15 tahun 2002 jo. Undang-undang No. 25 tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang bahwa dalam hal diperoleh bukti yang
85
Dari kasus di atas, apabila kita baca lagi dengan seksama baik itu dakwaan
maupun pembelaan dan putusan dari hakim maka dapat kita ambil kesimpulan di sini
bahwa pada prakteknya sistem pembuktian terbalik yang ditetapkan tidak menggunakan
asas praduga bersalah secara mutlak, tetapi secara terbatas dan berimbang, yaitu selain
tersangka atau terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, jaksa
penuntut umum juga berkewajiban dalam hal pembuktian tuntutannya. Hal ini sangat
jelas dapat kita lihat di dalam pertimbangan hakim.
Jadi dalam pelaksanaannya sistem pembuktian terbalik tidak dijalankan secara
murni dengan menggunakan asas praduga bersalah secara mutlak yang mengharuskan si
tersangka atau terdakwa yang diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak
86
122
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Erlangga,
1985), hal. 229.
87