Anda di halaman 1dari 42

BAB III

PENERAPAN ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK


PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Pengertian Pembuktian

Pada tanggal 31 Desember 1981, Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang


Hukum Acara Pidana (KUHAP) mulai diberlakukan. Dengan berlakunya KUHAP ini,
segala ketentuan mengenai acara pidana yang termuat dalam HIR dan Undang-undang
Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembar Negara Tahun 1951 Nomor 9, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 81) tentang tindakan-tindakan untuk menyelenggarakan susunan,
kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, beserta seluruh peraturan
pelaksanaannya, sepanjang mengenai hukum acara pidana dinyatakan tidak berlaku
lagi. 68 KUHAP disebut-sebut sebagai karya agung bangsa Indonesia di bidang hukum
acara pidana karena semua hak-hak tersangka atau terdakwa sebagai syarat tegaknya
hukum dalam suatu negara atelah diatur di dalamnya. Berdasarkan KUHAP, sistem
peradilan di Indonesia terdiri dari berbagai unsur yaitu Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan Negeri, dan Lembaga Pemasyarakatan sebagai aparta penegak hukum.
Semua unsur ini saling terkait dan menentukan dalam pelaksanaan penegakan hukum
acara pidana di Indonesia. Penegakan Hukum menurut KUHAP sebenarnya merupakan
usaha yang sistematis, karena adanya unsur-unsur tersebut yang saling berkaitan dalam
satu kesatuan meskipun tetap ada batasan-batasan tertentu antara setiap unsur, seperti
pembatasan wewenang dan tugas.
68
Indonesia (B), op.cit., Konsideran butir d.

46

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


Proses penyelesaian suatu perkara pidana berdasarkan KUHAP dibagi ke dalam
4 (empat) tahap yaitu:69
1. Penyelidikan
2. Penangkapan
3. Penahanan
4. Pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Pembuktian merupakan titik sentral dalam pemeriksaan perkara dalam sidang
pengadilan, karena dalam tahap pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil
pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang kesalahan
terdakwa tidak cukup terbukti maka terdakwa dibebaskan, sedangkan apabila yang
terjadi sebaliknya yaitu kesalahan terdakwa berhasil terbukti dengan alat-alat bukti yang
ditentukan oleh undang-undang maka terdakwa dinyatakan bersalah. 70
Pengertian dari pembuktian itu sendiri adalah cara-cara yang dibenarkan oleh
undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim untuk membuktikan kesalahan yang
didakwakan.71 Sedangkan membuktikan itu sendiri mengandung pengertian memberikan
dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan. 72 Alat bukti yang sah
menurut Pasal 184 KUHAP adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk
dan keterangan terdakwa.73
Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan pembuktian dalam hukum acara pidana
adalah ketentuan yang mengatur sidang pengadilan tentang ketentuan tata cara dan

69
Romli Atmasasmita (B), Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Cet.-1, (Bandung: Binacipta,
1983), hal. 17-23.
70
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,ed. 2, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hal.
273.
71
Ibid.
72
Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian dalam Peradilan Indonesia, Cet.1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 1992), hal. 2.
73
Indonesia (B), Op.Cit., Pasal 184 ayat (1).

47

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


penilaian alat bukti sesuai dengan undang-undangm jadi dalam menilai dan
mempergunakan alat bukti tidak boleh bertentangan dengan tata cara yang diatur dalam
undang-undang.74 Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila


dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya”75

Ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran,
keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.76
Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses
pemeriksaan persidangan adalah:77
1. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan
hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa
bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan.
2. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya,
untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar
menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau
meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin
harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan
pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan.
3. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti
yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau
penasihat hukum/ terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan.

74
M. Yahya Harahap, Op.Cit., hal. 274
75
Indonesia (B), Op.Cit., Pasal 183.
76
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di dalam Proses Pidana, ed.1, cet.1,
(Yogyakarta: Liberty, 1998), hal. 36.
77
Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, (Bandung: Mandar
Maju,. 2003), hal. 13.

48

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


B. Sistem Pembuktian
Pembuktian merupakan bagian penting dalam pencarian kebenaran materiil
dalam proses pemeriksaan perkara pidana. Sistem Eropa Kontinental yang dianut oleh
Indonesia menggunakan keyakinan hakim untuk menilai alat bukti dengan keyakinannya
sendiri. Hakim dalam pembuktian ini harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan
terdakwa. Kepentingan masyarakat berarti orang yang telah melakukan tindak pidana
harus mendapatkan sanksi demi tercapainya keamanan, kesejahteraan, dan stabilitas
dalam masyarakat. Sedangkan kepentingan terdakwa berarti bahwa ia harus
diperlakukan dengan adil sesuai dengan asas Presumption of Innocence. Sehingga
hukuman yang diterima oleh terdakwa seimbang dengan kesalahannya.
Untuk tercapainya hal ini, maka dibutuhkan Hukum Pembuktian. Hukum
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur bagaimana proses
pembuktian itu dilakukan. Pembuktian menurut ilmu pengetahuan dapat dibagi menjadi
empat sistem, yaitu:
1. Teori Pembuktian berdasarkan keyakinan (Conviction in Time)
Teori ini menyatakan bahwa hakim mengambil keputusan semata-mata
berdasarkan keyakinan pribadinya. walaupun tidak ada alat bukti, Hakim dapat
menjatuhkan pidana dan hakim tidak perlu menyebut alasan-alasan putusannya.
Dalam sistem ini hakim mempunyai kebebasan penuh untuk menjatuhkan
putusan. Subyektifitas hakim sangat menonjol dalam sistem ini.78
Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun tidak selalu
membuktikan kebenaran. Pengakuan pun kadang-kadang tidak menjamin
terdakwa benar-benar telah melakukan perbuatan yang didakwakan. Oleh
karena itu, diperlukan bagaimana pun juga keyakinan hakim sendiri. 79
Sistem ini mengandung kelemahan yang besar. Sebagaimana manusia biasa,
hakim bisa salah keyakinan yang telah dibentuknya, berhubung tidak ada

78
Andi Hamzah (A), Hukum Acara Pidana Indonesia, Cet. 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal.
248.
79
Ibid, hal. 248.

49

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


criteria, alat-alat bukti tertentu yang harus dipergunakan dan syarat serta cara-
cara hakim dalam membentuk keyakinan tersebut. Disamping itu, pada sistem
ini terbuka peluang besar untuk terjadi praktik penegakan hukum yang
sewenang-wenang, dengan bertumpu pada alasan hakim yang telah yakin.80
Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit
diawasi. Disamping itu terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk
melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa
berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.81
Hakim menyatakan telah terbukti kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana
yang didakwakan dengan didasarkan keyakinannya saja, dan tidak perlu
mempertimbangkan dari mana (alat bukti) dia memperoleh dan alasan-alasan
yang dipergunakan serta bagaimana caranya dalam membentuk keyakinannya
tersebut.
2. Teori Pembuktian Positif (Positief Wettelijk Bewijstheorie)
Pembuktian dalam sistem ini didasarkan pada alat-alat bukti yang sudah
ditentukan secara limitatif dalam undang-undang, sistem ini merupakan
kebalikan dari sistem Conviction in Time karena dalam sistem ini apabila
perbuatan sudah terbukti dengan adanya alat-alat bukti maka keyakinan hakim
sudah tidak diperlukan lagi. 82
Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan
terlebih dahulu dalam undang-undang, baik mengenai alat-alat buktinya
maupun cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan
bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan
hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh

80
Adami Chazawi (A), Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: PT. Alumni,
2008), hal. 25.
81
Andi Hamzah (A), op.cit., hal. 248.
82
Ibid., hal. 247.

50

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa
melakukan tindak pidana.83
Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan
kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-
undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh
itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan
hakim. Pokoknya: kalau ada bukti (walaupun sedikit) harus disalahkan dan
dihukum. 84
Sistem ini betentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman
sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa
oleh Negara. Juga sistem ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim.
Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya
sudah diprogram melalui undang-undang.85
Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti
yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini yang dicari adalah
kebenaran formal, sehingga sistem ini dipergunakan dalam hukum acara
perdata.
3. Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan yang logis (La
Conviction Raisonne)
Teori ini muncul sebagai teori jalan tengah dengan pembuktian berdasarkan
keyakinan hakim yang terbatas dengan alasan logis. Alat bukti dalam sistem ini
tidak diatur secara limitatif oleh undang-undang. Sistem ini juga disebut
sebagai pembuktian bebas karena hakim bebas menyebutkan alasan-alasannya
dalam menjatuhkan putusan.86
Walaupun Undang-Undang menyebutkan dan menyediakan alat-alat bukti,
tetapi sistem ini dalam hal menggunakannya dan menaruh kekuatan alat-alat
83
Adami Chazawi (A), op.cit., hal. 27.
84
Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 70.
85
Adami Chazawi (A), op.cit., hal. 28.
86
Andi Hamzah (A), op.cit., hal. 249.

51

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


bukti tersebut terserah dalam pertimbangan hakim dalam hal membentuk
keyakinannya tersebut, asalkan alasan-alasan yang dipergunakan dalam
pertimbangannya logis. Artinya, alasan yang dipergunakannya dalam hal
membentuk keyakinan hakim masuk akal, artinya dapat diterima oleh akal
orang pada umumnya. 87
Pembuktian ini masih menyandarkan kepada keyakinan hakim. Hakim harus
mendasarkan putusan terhadap seorang terdakwa berdasarkan alasan yang logis
dapat diterima oleh akal dan nalar.
4. Teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Negatif (Negatief
Wettelijk)
Menurut sistem ini, dalam hal membuktikan kesalahan terdakwa melakukan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, hakim tidak sepenuhnya
mengandalkan alat-alat bukti serta dengan cara-cara yang ditentukan oleh
undang-undang. Itu tidak cukup, tetapi harus disertai pula keyakinan bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana. Keyakinan yang dibentuk ini
haruslah didasarkan atas fakta-fakta yang diperoleh dari alat bukti yang
ditentukan dalam undang-undang. Kegiatan pembuktian didasarkan pada dua
hal, yaitu alat-alat bukti dan keyakinan yang merupakan kesatuan tidak
dipisahkan, yang tidak berdiri sendiri-sendiri. 88
Menurut sistem ini untuk menyatakan orang itu bersalah dan dihukum harus ada
keyakinan pada hakim dan keyakinan itu harus didasarkan kepada alat-alat bukti
yang sah, bahwa memang telah dilakukan sesuatu perbuatan yang terlarang dan
bahwa tertuduhlah yang melakukan perbuatan itu.
Teori ini menyatakan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila
terdapat paling tidak dua alat bukti yang sah. Alat bukti dalam sistem ini diatur
secara limitatif dalam undang-undang. Dalam sistem ini terdapat dua komponen
yang saling mendukung satu sama lain yakni alat bukti yang sah menurut

87
Adami Chazawi (A), op.cit., hal. 26.
88
Ibid., hal. 28.

52

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


undang-undang dan keyakinan hakim. 89 KUHAP menganut sistem ini, hal ini
dapat terlihat dari isi Pasal 183 KUHAP yaitu:

“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila


dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya”90

Dari kalimat tersebut nyata bahwa pembuktian harus didasarkan kepada


undang-undang (KUHAP), yaitu alat bukti yang sah tersebut dalam pasal 184
KUHAP, disertai dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti
tersebut. Sebenarnya, sebelum diberlakukan KUHAP, ketentuan yang sama telah
ditetapkan dalam Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi sebagai berikut:

“Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena
alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan,
bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab atas perbuatan yang
dituduhkan atas dirinya.”91

Sistem pembuktian ini berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang


ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan
keyakinan hakim.

89
Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana dalam Praktek, cet. 3, (Jakarta: Djambatan, 2002), hal.
137.
90
Indonesia (B), Op.Cit., Pasal 183.
91
Indonesia (E), Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4, LN No. 8 tahun
2004, TLN No. 4358, Pasal 6 ayat (2).

53

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


C. Beban Pembuktian
Beban pembuktian adalah suatu kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak
untuk memberikan suatu fakta di depan sidang pengadilan untuk membuktikan
kebenaran atas suatu pernyataan atau tuduhan. Macam-macam beban pembuktian:
1. Beban Pembuktian Biasa
Yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan suatu pernyataan atau tuduhan
adalah Jaksa Penuntut Umum, hal ini ditegaskan dalam Pasal 66 KUHAP yang
meyebutkan “tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.”92
2. Beban Pembuktian Terbalik terbatas dan berimbang
Terdakwa juga dibebani kewajiban untuk membuktikan, tetapi peranan penuntut
umum tetap aktif dalam membuktikan dakwaannya. Pada beban pembuktian ini
jika terdakwa mempunyai alibi dan ia dapat membuktikan kebenaran alibinya
maka beban pembuktian akan berpindah ke penuntut umum untuk membuktikan
sebaliknya.
3. Beban Pembuktian Terbalik (Omkering Van bewijslaat)
Dalam beban pembuktian ini yang mempunyai beban pembuktian adalah
terdakwa, sedangkan penuntut umum akan bersikap pasif, bila terdakwa gagal
melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan kalah, sistem ini merupakan
penyimpangan dari asas pembuktian itu sendiri.

D. Kedudukan Asas Pembuktian Terbalik Dalam KUHAP


Pembuktian adalah suatu proses kegiatan untuk membuktikan sesuatu atau
menyatakan kebenaran tentang suatu peristiwa.93 Ketentuan mengenai alat bukti yang
sah diatur di dalam Pasal 184 KUHAP yang isinya:
1. Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;

92
Indonesia (B), op.cit., Pasal 66.
93
Adami Chazawi (B), Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2005), hal. 398.

54

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
2. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Alat bukti petunjuk sangat diperlukan dalam pembuktian suatu perkara terutama
dalam kasus korupsi. Alat bukti petunjuk tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi
bergantung pada alat-alat bukti lain yang telah dipergunakan atau diajukan oleh Jaksa
Penuntut Umum dan Penasehat Hukum. Alat-alat bukti yang dapat dipergunakan untuk
membangun alat bukti petunjuk ialah keterangan saksi, surat-surat dan keterangan
tersangka (Pasal 188 ayat 2 KUHAP).
Alat bukti petunjuk dalam pidana formil korupsi tidak saja dibangun melalui 3
(tiga) alat bukti seperti yang diatur dalam pasal 188 ayat (2) KUHAP, melainkan dapat
diperluas juga di luar tiga alat bukti yang sah tersebut sebagaimana yang diterangkan
dalam pasal 26A undang-undang No. 20 Tahun 2001, yaitu:
a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optic atau serupa dengan itu; dan
b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca,
dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang dalam kertas, benda fisik apa pun selain kertas
maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki
makna.
Ketentuan khusus mengenai pembuktian dalam hukum pidana formil korupsi yang
dirumuskan dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. Undang-undang No. 29
Tahun 2001 dan Undang-undang No. 8 Tahun 2010 merupakan perkecualian dari hukum
pembuktian yang ada dalam KUHAP.
Di dalam KUHAP kewajiban pembuktian dibebankan sepenuhnya kepada Jaksa
Penuntut Umum, hal ini sesuai dengan ketentuan KUHAP Bab VI Pasal 66 dan
ketentuan pembuktian yang diatur dalam KUHAP Bab XVI bagian ke empat (Pasal 183

55

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


sampai dengan Pasal 232 KUHAP), sehingga status hukum atau kedudukan asas
pembuktian terbalik di dalam sistem hukum acara pidana di Indonesia (KUHAP) tidak
diatur.
Sesuai dengan Pasal 66 dan 183 KUHAP, maka jelaslah bahwa kedudukan asas
pembuktian terbalik tidak dianut dalam sistem hukum acara pidana pada umumnya
(KUHAP), melainkan yang sering diterapkan dalam proses pembuktian dalam peradilan
pidana yaitu teori jalan tengah yakni gabungan dari teori berdasarkan undang-undang
dan teori berdasarkan keyakinan hakim.

E. Pengaturan Pembuktian Terbalik di Indonesia


1. Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif guna
menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan
sejarah dan melalui beberapa masa perubahan peraturan perundang-undangan.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat beberapa
ketentuan terhadap perbuatan oleh pejabat dalam menjalankan jabatannya.
Pada KUHP Tindak Pidana jabatan yang berkorelasi dengan perbuatan korupsi
terdapat di dalam Bab XXVIII KUHP yaitu khususnya terhadap perbuatan
penggelapan oleh pegawai negeri (Pasal 415 KUHP), membuat palsu atau
memalsukan (Pasal 416 KUHP), menerima pemberian atau janji (Pasal 418,
Pasal 419, dan Pasal 420 KUHP) serta menguntungkan diri sendiri atau orang
lain secara melawan hukum (Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 KUHP). Pada
hakikatnya, ketentuan-ketentuan Tindak Pidana Korupsi itu ternyata kurang
efektif dalam menanggulangi korupsi itu ternyata kurang efektif dalam
menanggulangi korupsi seperti pendapat Soedjono Dirdjosisworo yang dikutip
oleh Lilik Mulyadi, sebagai berikut:

“Tindak Pidana Korupsi yang dapat dikenakan dalam pasal-pasal KUHP


saat itu dirasakan kurang bahkan tidak efektif menghadapi gejala-gejala

56

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


korupsi saat itu. Maka, dirasakan perlu adanya peraturan yang dapat lebih
memberi keleluasaan kepada penguasa untuk bertindak terhadap pelaku-
pelakunya”.94

Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di


Indonesia sebagai berikut:
a. Masa Penguasaan Militer
i. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 dikeluarkan
oleh Penguasa Militer Angkatan Darat dan berlaku untuk daerah
kekuasaan Angkatan Darat. Latar belakang lahirnya pengaturan ini
adalah seperti tercantum dalam konsideransnya bahwa berhubung
tidak adanya kelancaran dalam usaha memberantas perbuatan yang
merugikan keuangan dan perekonomian Negara yang oleh khalayak
ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan tata kerja untuk
dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi.95
ii. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957 tentang
pemilikan terhadap harta benda. Peraturan ini lahir untuk lebih
mengefektifkan peraturan yang sebelumnya. Dengan peraturan ini,
Penguasa Militer berwenang untuk mengadakan kepemilikan
terhadap harga benda setiap orang atau badan di dalam daerahnya,
yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan mencurigakan.
Dengan demikian, dalam pemilikan harta benda itu memungkinkan
adanya penyitaan terhadap:96
- Harta benda atau barang yang dengan sengaja atau karena
kelalaian tidak diterangkan oleh pemiliknya atau pengurusnya.
- Harta benda yang tidak terang siapa pemiliknya.

94
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Normatif, Teoritis, Praktik dan
Masalahnya, (Bandung: PT. Alumni, 2007), hal. 156.
95
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 24.
96
Ibid.

57

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


- Harta benda orang yang kekayaannya oleh pemilik atau pemilik
pembantu harta dianggap diperoleh secara mendadak dan
merugikan.
Selanjutnya status barang yang disita apabila tidak memiliki syarat-
syarat tertentu menjadi milik Negara.
iii. Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957 merupakan
peraturan yang menjadi hukum bagi kewenangan yang dimiliki oleh
pemilikan harta benda untuk melaksanakan penyitaan harta benda
yang dianggap merupakan hasil perbuatan korupsi lainnya, sambil
menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi.
iv. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 serta peraturan pelaksanaannya.
v. Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/Z.1/1/7/1958 tanggal 17 April 1958.
Maksud dan tujuan dari peraturan penguasa perang ini adalah agar
di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dapat diberantas perbuatan
korupsi yang pada saat itu merajalela sebagai akibat dari suasana bahwa
seakan-akan pemerintah sudah tidak berwibawa lagi.97
Mengingat berlakunya Peraturan Penguasa Perang tersebut hanya
bersifat temporer saja, padahal perbuatan korupsi itu dapat pula dilakukan
tidak dalam keadaan perang, maka Pemerintah menganggap bahwa
Peraturan Penguasa Perang tersebut diganti dengan peraturan yang
berbentuk Undang-undang. 98
Peraturan-peraturan penguasa militer ini merupakan suatu bentuk
kehendak penguasa (political will) pada saat itu untuk memberantas
korupsi di Indonesia yang mana dalam peraturan ini belumlah ada

97
Ibid., hal. 25.
98
Andi Hamzah (B), Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1986), hal. 204.

58

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


mengatur atau menyinggung mengenai pembuktian terbalik. Meskipun
masih terdapat ketidaksempurnaan dalam perumusan peraturan tersebut,
namun peraturan Penguasa Militer itu merupakan modal awal yang
berharga untuk disempurnakan dalam rangka mewujudkan suatu undang-
undang tentang pemberantasan korupsi yang dapat memenuhi tuntutan
kebutuhan dan citra masyarakat Indonesia.
b. Masa Berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
Nomor 24 Tahun 1960
Kebijakan legislasi pemberantasan korupsi sampai dengan
sebelum tahun 1960 tidak mengatur pembalikan beban pembuktian dalam
peraturan perundang-undangan korupsi disebabkan oleh perspektif
kebijakan legislasi memandang perbuatan korupsi sebagai delik biasa
sehingga penanggulangan korupsi cukup dilakukan secara konvensional
dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary
measures).99
Selanjutnya, kebijakan legislasi pembalikan beban pembuktian
mulai terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
No. 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 24 Tahun
1960 menyebutkan:

“Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta benda


dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan
hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”.100

99
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 192.
100
Indonesia (F), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 24, LN. No. 72 tahun 1960, TLN No.
2011, Pasal 5 ayat (1).

59

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan
tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa.
Konsekuensinya, tanpa adanya permintaan dari Jaksa tersangka tidak
mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta
bendanya. Dalam pasal ini, yang menentukan tersangka dapat
memberikan keterangan terletak pada Jaksa.
Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan
menggunakan Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tampaknya
kurang berhasil. Berdasarkan kenyataan di lapangan, banyak ditemukan
hal-hal yang tidak sesuai, antara lain:101
- Adanya perbuatan yang merugikan keuangan atau perekonomian
negara yang menururt perasaan keadilan masyarakat harus
dituntut atau dipidana, tidak dapat dipidana karena tidak adanya
rumusan tindak pidana korupsi yang berdasarkan kejahatan atau
pelanggaran yang dilakukan tersebut;
- Pelaku tindak pidana korupsi hanya ditujukan kepada pegawai
negeri, tetapi pada kenyataannya orang-orang yang bukan
pegawai negeri yang menerima tugas atau bantuan dari suatu
badan Negara, dapat melakukan perbuatan tercela seperti yang
dilakukan pegawai negeri;
- Perlu diadakan ketentuan yang mempermudah pembuktian dan
mempercepat proses hukum acara yang berlaku tanpa tidak
memperhatikan hak asasi tersangka atau terdakwa.
Berdasarkan berbagai pertimbangan itu, dilakukan penyempurnaan
terhadap Undang-undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 sehingga dicabut
dan diganti dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 1971.
c. Masa Berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971

101
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 193.

60

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


Kebijakan legislasi dalam Undang-undang Nomor 3 tahun 1971
secara eksplisit tidak mengatur pembalikan beban pembuktian. Ketentuan
Pasal 17 Undang-undang Nomor 3 tahun 1971, selengkapnya berbunyi
sebagai berikut:102
1. Hakim dapat memperkenankan terdakwa untuk kepentingan
pemeriksaan memberikan keterangan tentang pembuktian bahwa ia
tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
2. Keterangan tentang pembuktian yang dikemukakan oleh terdakwa
bahwa ia tidak bersalah seperti dimaksud dalma ayat (1) hanya
diperkenankan dalam hal:
a. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu menurut keinsyafan yang wajar tidak merugikan
keuangan atau perekonomian Negara, atau
b. Apabila terdakwa menerangkan dalam pemeriksaan, bahwa
perbuatannya itu dilakukan demi kepentingan umum.
3. Dalam hal terdakwa dapat memberikan keterangan tentang
pembuktian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan
tersebut dipergunakan sebagai hal yang setidak-tidaknya
menguntungkan baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum tetap
mempunyai kewenangan untuk memberikan pembuktian yang
berlawanan.
4. Apabila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan tentang
pembuktian seperti dimaksud dalam ayat (1) maka keterangan
tersebut dipandang sebagai hal yang setidak-tidaknya merugikan
baginya. Dalam hal demikian Penuntut Umum diwajibkan member
pembuktian bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
korupsi.

Sistem pembuktian dalam ketentuan Pasal 17 UU No. 3 Tahun


1971 ini dikenal dengan sistem pembagian pembuktian, yaitu merupakan
suatu asas yang mewajibkan terdakwa untuk membuktikan
ketidakbersalahannya, tanpa menutup kemungkinan jaksa melakukan hal
yang sama untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Tegasnya, ketentuan

102
Indonesia (G), Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No. 3,
LN No. 19 tahun 1971, Pasal 17.

61

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


Pasal 17 ini tidak menganut sistem pembuktian terballik secara absolute
karena terdakwa dan penuntut umum dapat saling membuktikan.103
Selanjutnya, ketentuan Pasal 18 UU No. 3 Tahun 1971 tentang
kepemilikan harta benda pelaku selengkapnya berbunyi sebagai berikut:104

1. Setiap terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta


bendanya dan harta benda isteri/suami, anak dan setiap orang, serta
badan yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang
bersangkutan apabila diminta oleh hakim.
2. Bila terdakwa tidak dapat memberikan keterangan yang memuaskan di
sidang pengadilan tentang sumber kekayaan yang tidak seimbang dengan
penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya maka keterangan
tersebut dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.

Ketentuan kedua pasal tersebut di suatu sisi, dimensi pembalikan


beban pembuktian untuk kesalahan pelaku dan kepemilikan harta
terdakwa hanya diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk
kepentingan pemeriksaan. Konsekuensi logisnya, di sisi lain pembalikan
beban pembuktian tidak dimiliki terdakwa sebagai hak dan terdakwa baru
dapat mempergunakan pembalikan beban pembuktian sepanjang hakim
memperkenankan untuk keperluan pemeriksaan. 105
Ada tidaknya ketentuan tersebut tidak berpengaruh banyak
terhadap hak terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Dan di dalam
persidangan, terdakwa lazimnya akan menyangkal dakwaan yang
diajukan kepadanya dan sedapat mungkin berusaha lepas dari dakwaan
jaksa penuntut umum.
d. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor 20
tahun 2001

103
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 258.
104
Indonesia (G), Op.cit., Pasal 18.
105
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 195.

62

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


Mengenai pembalikan beban pembuktian sudah juga diatur di
dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-undang Nomor
20 tahun 2001. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 37 yang berbunyi
sebagai berikut:
1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak
melakukan tindak pidana korupsi.
2. Dalam terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan
tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak
terbukti.
Analisis hukum terhadap ketentuan Pasal 37 Undang-undang
Nomor 31 tahun 1999 menunjukkan bahwa terhadap pembalikan beban
pembuktian, terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak melakukan tindak pidana korupsi sehingga jikalau terdakwa dapat
membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka
pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk
menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.106
Sistem pembebanan pembuktian terbalik dalam pasal 37 berlaku
sepenuhnya pada tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi,
khususnya yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau
lebih (pasal 12B ayat (1) huruf a), yakni kewajiban untuk membuktikan
bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka berlakulah
pasal 37 ayat 2 yakni hasil pembuktian bahwa terdakwa tidak melakukan
tindak pidana korupsi tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai
dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.107
Jika dipandang dari semata-mata hak, maka ketentuan Pasal 37
ayat (1) tidaklah mempunyai arti apa-apa. Hak tersebut adalah hak dasar

106
Ibid., hal. 197.
107
Adami Chazawi, op.cit., hal. 406.

63

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


terdakwa yang demi hukum telah melekat sejak ia diangkat statusnya
menjadi tersangka atau terdakwa. Ketentuan pada ayat (1) merupakan
penegasan belaka atas sesuatu hak terdakwa yang memang sudah ada.
Justru, Pasal 37 ayat (2) lah yang memiliki arti penting dalam hukum
pembuktian. Inilah yang menunjukkan inti sistem terbalik, walaupun
tidak tuntas. Karena pada ayat (2) dicantumkan akibat hukumnya bila
terdakwa berhasil membuktikan, ialah hasil pembuktian terdakwa
tersebut dipergunakan oleh pengadilan untuk menyatakan bahwa
dakwaan tidak terbukti. Namun, tidak mencantumkan seperti hal
bagaimana cara terdakwa membuktikan, dan apa standar pengukurnya
hasil pembuktian terdakwa untuk dinyatakan sebagai hasil membuktikan
dan tidak berhasil membuktikan.
Ketentuan Pasal 37 ayat (2) inilah sebagai dasar hukum beban
pembuktian terbalik hukum acara pidana korupsi. Penerapan dari
ketentuan ini, harus dihubungkan atau ada hubungannya dengan Pasal 12
B dan Pasal 37 A ayat (3). Hubungannya dengan Pasal 12 B, ialah bahwa
sistem terbalik pada Pasal 37 berlaku pada tindak pidana korupsi suap
menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta atau lebih (Pasal 12 B ayat
(1) huruf (a). Sedangkan hubungannya dengan Pasal 37 A khususnya ayat
(3), bahwa sistem terbalik menurut Pasal 37 berlaku dalam hal
pembuktian tentang sumber (asal) harta benda terdakwa dan lain-lain di
luar perkara pokok pasal-pasal yang disebutkan dalam Pasal 37 A in casu
hanyalah Tindak Pidana Korupsi suap gratifikasi yang tidak disebut
dalam Pasal 37 A ayat (3) tersebut.
Apabila dianalisis berdasarkan penjelasan otentik pasal tersebut,
ketentuan Pasal 37 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 sebagai konsekuensi
berimbang atas penerapan pembalikan beban pembuktian terhadap
terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang

64

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan
dengan asas praduga tidak bersalah dan menyalahkan diri sendiri (non
self-incrimmination), kemudian penjelasan ayat (2) menyatakan
ketentuan tersebut tidak menganut sistem pembuktian secara negatif
menurut undang-undang. 108
Sistem pembuktian terbalik menurut pasal 37 ini diterapkan pada
tindak pidana selain yang dirumuskan dalam pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, 16
UU No. 31/ 1999 dan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No.20/ 2001,
karena bagi tindak pidana menurut pasal-pasal yang disebutkan tadi
pembuktiannya berlaku sistem semi terbalik.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 37 yang
merupakan hak terdakwa dengan melakukan pembalikan beban
pembuktian dengan sifat terbatas dan berimbang. Hal ini secara eksplisit
diterangkan dalam Penjelasan Umum UU No. 31 Tahun 1999 yang
berbunyi:

“Undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang


bersifat terbatas dan berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak
untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap
berkewajiban membuktikan dakwaannya.”

Sedangkan ketentuan Pasal 37 A dengan tegasnya menyebutkan bahwa:


1. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta
bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda
setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan
dengan perkara yang bersangkutan.
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang
tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan
kekayaannya, keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
108
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 200.

65

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa
terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) merupakan
tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-
undang Nomr 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini,
sehingga Penuntut Umum berkewajiban untuk membuktikan
dakwaannya.

Mengenai kewajiban terdakwa untuk memberikan keterangan


tentang harta kekayaannya tidak lagi menggunakan sistem pembuktian
terbalik murni sebagaimana dirumuskan dalam pasal 37.109 Apabila
terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak
seimbang dengan penghasilannya, maka ketidakdapatan membuktikan itu
digunakan untuk memperkuat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi. Sedangkan, jika terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi atau
perkara pokoknya sebagaimana dimaksud pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, dan 16
UU No.31/1999 dan pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, dan 12 UU No. 20/2001,
maka penuntut umum tetap wajib membuktikan dakwaannya atau
membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
Sistem pembuktian demikian biasa disebut dengan sistem semi terbalik,
tetapi tidak tepat jika disebut sistem terbalik murni. Karena dalam hal
tindak pidana korupsi tersebut terdakwa dibebani kewajiban untuk
membuktikan tidak melakukan korupsi yang apabila tidak berhasil justru
akan memberatkannya. Namun begitu, jaksa juga tetap berkewajiban
untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana korupsi.110
Tindak Pidana korupsi selain suap menerima gratifikasi,
penerapan pembuktian tentang harta benda terdakwa yang telah

109
Adami Chazawi, op.cit., hal. 408.
110
Ibid., hal. 409.

66

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


didakwakan dilakukan dengan cara yang dirumuskan dalam Pasal 37 A
yang jika dihubungkan dengan tindak pidana korupsi dalam perkara
pokok, dapat disebut dengan sistem pembuktian semi terbalik atau
berimbang terbalik. Karena dalam hal terdakwa didakwa melakukan
tindak pidana korupsi (selain suap menerima gratifikasi) yang sekaligus
didakwa pula mengenai harta bendanya sebagai hasil korupsi atau ada
hubungannya dengan korupsi yang didakwakan, maka beban pembuktian
mengenai tindak pidana dan harta benda terdakwa yang didakwakan
tersebut, diletakkan masing-masing pada jaksa penuntut umum dan
terdakwa secara berlawanan dan berimbang. Karena beban pembuktian
diletakkan secara berimbang dengan objek pembuktian yang berbeda
secara terbalik, maka sistem pembuktian yang demikian dapat pula
disebut dengan sistem pembuktian berimbang terbalik.111
Dikaji dari hukum pembuktian, UU No. 31 Tahun 1999 pada
asasnya tetap mempergunakan teori pembuktian negatif. Selain itu, dikaji
dari beban pembuktian, UU tersebut tetap mengacu adanya kewajiban
Penuntut Umum untuk tetap membuktikan dakwaannya di samping juga
terdakwa mempunyai hak membuktikan pembalikan beban pembuktian
(Pasal 37 ayat (1), (2), UU No. 31 Tahun 1999).112
Dalam undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 ditambahkan delik
baru yaitu delik pemberian atau dikenal dalam undang-undang tersebut
sebagai delik gratifikasi dalam Sistem Pembuktian Terbalik (Pembalikan
Beban Pembuktian) yang terdapat dalam Pasal 12 B dan 12 C. Menurut
penjelasan Pasal 12 B (1) yang dimaksud dengan gratifikasi adalah
pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang , barang, rabat
(discount), komisi, pinjaman tanpa bunga tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan Cuma-Cuma, dan fasilitas

111
Lilik Mulyadi, op.cit., hal. 198.
112
Ibid., hal. 146.

67

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun
di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik.
Dalam Pasal 12 B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
dinyatakan bahwa:
1. Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara
dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya
dan berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi.
b. Yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah),
pemberian gratifikasi tersebut siap dilakukan oleh penuntut
umum.
2. Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah tindak pidana seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20
(dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Dilihat dari formulanya, “gratifikasi” bukan merupakan jenis


maupun kualifikasi delik. Yang dijadikan delik (“perbuatan yang dapat
dipidana” atau “tindak pidana”) menurut Pasal 12 B ayat (2), bukan
“gratifikasi”-nya, melainkan perbuatan “menerima gratifikasi “itu.113
Perlu diperhatikan bahwa untuk tindak pidana suap menerima
grafikasi yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta
rupiah), sistem pembebanan pembuktian pasal 37 tidak berlaku. Karena
menurut pasal 12B ayat (1) huruf b beban pembuktiannya ada pada jaksa
PU untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana
korupsi suap menerima grafikasi, padahal pasal 37 membebankan

113
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
2003), hal. 109.

68

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


pembuktian kepada terdakwa. Untuk korupsi suap menerima grafikasi
yang nilainya kurang dari 10 juta rupiah berlaku sistem pembuktian biasa
dalam KUHAP dan tidak berlaku sistem yang ditentukan dalam pasal
37A maupun 38B, karena pasal 12B ayat (1) huruf b tidak disebutkan
dalam pasal 37A maupun pasal 38B tersebut.
Dapat disimpulkan bahwa apabila semata-mata dilihat dari
ketentuan pembebanan pembuktian menurut pasal 37 yang dapat
dihubungkan juga dengan pasal 12B ayat (1) huruf a, maka sistem
pembuktian disana menganut sistem pembebanan pembuktian terbalik
murni. Akan tetapi, apabila sistem pembebanan pembuktian semata-mata
dilihat dari pasal 12B ayat (1 huruf a dan b) tidak dipisahkan, maka
sistem pembuktian seperti itu dapat disebut sistem pembuktian berimbang
bersyarat, bergantung pada syarat-syarat tertentu-siapa yang memenuhi
syarat itulah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan. Sistem seperti
itu hanya ada pada tindak pidana korupsi.114
Syarat ini berupa nilai penerimaan gratifikasi antara kurang dan
atau di atas Rp 10 juta. Jika nilai penerimaan gratifikasi yang diterima
pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut nilainya kurang dari
Rp 10 juta, untuk membuktikan kebenaran bahwa penerimaan itu sebagai
suap yang dilarang oleh undang-undang, maka digunakan sistem
pembuktian biasa sebagaimana adanya dalam KUHAP.
Menurut Pasal 12 C ayat (1), apabila penerima melaporkan
gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (KP-TPK), maka gratifikasi itu tidak dianggap sebagai
pemberian suap. Berarti juga, tidak dapat dipidana. Baru dapat dipidana
apabila si penerima tidak melapor. Perumusan Pasal 12 C ayat (1) ini
terkesan sebagai alasan penghapusan pidana. Dilihat secara substansial,

114
Adami Chazawi, op.cit., hal. 407.

69

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


hal ini dirasakan janggal, karena seolah-olah sifat melawan hukumnya
perbuatan atau sifat patut dipidananya si penerima ditergantungkan pada
ada/ tidaknya laporan (yang bersifat administratif procedural).115
Didalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 pada Pasal 38
dibagi menjadi:
Pasal 38 A
“Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1)
dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.”
Pasal 38 B
1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana
korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini wajib membuktikan
sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan,
tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta bendanya
sebagaimana dimaksud ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana
korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak
pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau
sebagian harta benda tersebut dirampas untuk Negara.
3. Tujuan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya
pada perkara pokok.
4. Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada
saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat
diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
5. Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa
pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4).
6. Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala
tuntutan hukum dan perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta
benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus
ditolak oleh hakim.

115
Barda Nawawi, op.cit., hal. 111.

70

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


Pasal 38 C
“Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana
yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana
korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk Negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka Negara
dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya.”

Mengenai harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan


Mengenai harta benda milik terdakwa yang belum didakwakan bila
perkara yang didakwakan itu adalah tindak pidana sebagaimana dimuat
dalam pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15, dan 16 UU No.31 /1999 atau pasal 5
sampai dengan pasal 12 UU No.21/2001, maka terdakwa dibebani
pembuktian bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan dari tindak
pidana korupsi yang diajukan pada saat membacakan pembelaannya.
Apabila terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda itu
diperoleh bukan dari hasil korupsi dan harta benda tersebut dianggap
diperoleh juga dari korupsi, maka hakim berwenang untuk memutuskan
bahwa seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara
(pasal 38B ayat 2). Dalam hal yang demikian tidak ditentukan adanya
kewajiban jaksa penuntut umum untuk membuktikan bahwa harta benda
itu diperoleh dari tindak pidana korupsi seperti pada ketentuan pasal 37A
ayat (3).116
Tuntutan perampasan harta benda milik terdakwa yang belum
dimasukkan dalam dakwaan ini dapat diajukan oleh jaksa penuntut umum
pada saat membacakan surat tuntutan pada pokok perkara (pasal 38B ayat
3). Dalam hal terdakwa membuktikan bahwa harta bendanya bukan
diperoleh dari korupsi diperiksa dalam sidang yang khusus memeriksa
pembuktian terdakwa tersebut dan diucapkan dalam pembelaannya dalam

116
Adami Chazawi, op.cit., hal. 409-410.

71

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


pokok perkara, serta dapat diulang dalam memori banding maupun
memori kasasinya (pasal 38B ayat 4 dan 5).
Pada hakikatnya, ketentuan pasal 38 B merupakan pembalikan
beban pembuktian yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang
diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi. Akan tetapi, perampasan
harta ini tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU No.
20 Tahun 2001, malainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan
tindak pidana pokok.
Ternyata hanya tindak pidana korupsi suap menerima gratifikasi
Pasal 12 B saja yang tidak disebut dalam Pasal 38 B ayat (1). Artinya,
dalam hal terdakwa dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi suap
menerima gratifikasi (Pasal 12 B ayat (1) huruf a), jaksa penuntut umum
tidak diperkenankan untuk menuntut pula agar terdakwa dipidana
perampasan barang in casu harta benda terdakwa yang belum
didakwakan. Oleh karena itu, terdakwa tidak diwajibkan untuk
membuktikan tentang harta benda yang belum didakwakan sebagai bukan
hasil korupsi, dalam hal terdakwa didakwa jaksa melakukan tindak
pidana korupsi suap menerima gratifikasi.
Walaupun Pasal 37 merupakan dasar hukum pembuktian terbalik,
tetapi khusus mengenai objek harta benda terdakwa yang belum
didakwakan (termasuk juga yang didakwakan dalam surat dakwaan),
tidaklah dapat menggunakan Pasal 37, karena Pasal 37 adalah khusus
diperuntukkan bagi pembuktian terdakwa mengenai dakwaan tindak
pidana (khususnya suap menerima gratifikasi yang nilainya Rp 10 juta
atau lebih), dan bukan dakwaan mengenai harta benda terdakwa.
Untuk membuktikan harta benda terdakwa yang didakwakan
dengan menggunakan sistem semi terbalik (Pasal 37 A), sedangkan untuk

72

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


membuktikan harta benda yang belum didakwakan adalah menggunakan
sistem pembebanan pembuktian terbalik (Pasal 38 B).117
Pembalikan beban pembuktian sebagaimana dalam ketentuan UU
No. 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan
orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU No. 20 Tahun 2001. Kemudian
terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras
merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A
dan Pasal 38B ayat (2) UU No. 20 Tahun 2001. Tegasnya, politik hukum
kebijakan legislasi terhadap delik korupsi ditujukan terhadap kesalahan
pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari
korupsi.
Eksistensi pembalikan beban pembuktian esensial dalam rangka
untuk pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Aspek ini
ditegaskan dalam Penjelasan Umum UU No. 20 Tahun 2001, dengan
redaksional bahwa:
“Ketentuan mengenai “pembuktian terbalik” perlu ditambahkan
dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat “premium
remidium” dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus
terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
angka 2 atau terhadap penyelenggara Negara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang No. 28 tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru
tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda
terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang No. 31 Tahun

117
Ibid., hal. 141.

73

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5
sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini”118

2. Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang


Tanggal 17 April 2002, merupakan hari yang bersejarah dalam dunia
hukum Indonesia, karena pada saat itu disahkannya Undang-undang Nomor 15
tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian setahun
kemudian tepatnya pada tanggal 13 Oktober 2003 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-undang tersebut merupakan desakan internasional terhadap Indonesia
antara lain dari Financial Action Task Force (FATF), badan internasional di
luar Perserikatan Bangsa Bangsa ( PBB ). Anggotanya terdiri dari negara donor
dan fungsinya sebagai satuan tugas dalam pemberantasan pencucian uang.
Sebelumnya pada 2001 Indonesia bersama 17 negara lainnya diancam
sanksi internasional. Pada 23 Oktober 2003, FATF, di Stockholm, Swedia,
menyatakan Indonesia sebagai negara yang tidak kooperatif dalam
pemberantasan pencucian uang. Negara Cook Islands, Mesir, Guatemala,
Myanmar, Nauru, Nigeria, Filipina dan Ukraina masuk kategori sama.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya pada tahun 1997 Indonesia telah
meratifikasi United Nation Convention Against Illucit Traffic in Narcotic
Drugs and Psychotropic Substances 1998 (Konvensi 1998). Konsekuensi
ratifikasi tersebut, Indonesia harus segera membuat aturan untuk
pelaksanaanya. Kenyataannya meskipun sudah ada UU No 15 Tahun 2002,
namun penerapannya kurang, sehingga akhirnya masuk daftar hitam negara
yang tidak kooperatif. Bahkan Indonesia dicurigai sebagai surga bagi
pencucian uang. Antara lain karena menganut sistem devisa bebas, rahasia
bank yang ketat, korupsi yang merajalela, maraknya kejahatan narkotik, dan
tambahan lagi pada saat itu perekonomian Indonesia dalam keadaan yang tidak

118
Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.

74

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


baik, sehingga ada kecenderungan akan menerima dana dari mana pun untuk
keperluan pemulihan ekonomi.
Keberadaan Indonesia berada pada daftar Non Cooperative Countries and
Territories ( NCCT’s) sesuai dengan rekomendasi dari Financial Actions Task
Force on Money Laundering . Bahwa setiap transaksi dengan perorangan
maupun badan hukum yang berasal dari negara NCCT’s harus dilakukan
dengan penelitian seksama.
Berbagai upaya selama beberapa tahun, antara Iain dengan membuat UU
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, mendirikan Pusat Pelaporan dan
Analis Transaksi Keuangan (PPATK), mengeluarkan ketentuan pelaksanaan
dan mengadakan kerja sama internasional, akhirnya membuahkan hasil.
Februari 2006 Indonesia dikeluarkan dari daftar NCCT’s setelah dilakukan,
formal monitoring selama satu tahun.
Adanya Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang ini, tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau
diberantas, antara lain, kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap
proses pencucian uang yang terdiri atas: 119
a. Penempatan (placement)
Yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke
dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang
giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke
dalam system keuangan, terutama sistem perbankan.

b. Transfering (Layering)
Yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak
pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa
keuangan (terutama bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke

119
Adrian Sutedi, Tindak Pidana Pencucian Uang, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal.
133-134.

75

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


penyedia jasa keuangan yang lain. Dengan dilakukan layering, akan
menjadi sulit bagi penegak hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta
kekayaan tersebut.
c. Menggunakan Harta Kekayaan (Integration)
Yakni upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana
yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan
atau transfer sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean
money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali
kegiatan kejahatan.

Untuk mempelancar proses peradilan tindak pidana pencucian uang,


undang-undang ini mengatur kewenangan penyidikan, penuntutan umum, atau
hakim sesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat meminta
pemblokiran harta kekayaan kepada penyedia jasa keuangan. Undang-undang
ini juga mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk
meminta keterangan dari penyedia jasa keuangan mengenai harta kekayaan
setiap orang yang telah dilaporkan oleh PPATK, tersangka, atau terdakwa.
Undang-undang ini juga mengatur mengenai persidangan tanpa kehadiran
terdakwa, dalam hal terdakwa yang telah dipanggil tiga kali secara sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak hadir, maka majelis
hakim dengan putusan sela dapat meneruskan pemeriksaan dengan tanpa
kehadiran terdakwa.
Indonesia dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang, telah memiliki Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun ketentuan dalam undang-undang
tersebut dirasakan belum memenuhi standar internasional serta perkembangan
proses peradilan tindak pidana pencucian uang sehingga perlu diubah, agar
upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dapat

76

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


berjalan secara efektif. Oleh karena disempurnakan melalui Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, ketentuan pada Undang-undang Nomor 15 tahun 2002 dan
Undang-undang Nomor 25 tahun 2003 dirasakan sudah tidak sesuai dengan
perkembangan kebutuhan penegakan hukum, praktik, dan standar
internasional, sehingga kemudian ditetapkanlah Undang-undang Nomor 8
tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang.
Pembuktian terbalik diatur dalam Pasal 77 dan 78 Undang-undang
Nomor 8 tahun 2010 yang berbunyi:
Pasal 77
“Untuk Kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana.”

Pasal 78
1. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77, hakim memerintahkan terdakwa agar membuktikan
bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengan perkara bukan berasal
atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 ayat (1).
2. Terdakwa membuktikan bahwa Harta Kekayaan yang terkait dengn
perkara bukan berasal atau terkait dengan tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan cara mengajukan alat bukti
yang cukup.

Pembuktian terbalik beban pembuktian ada pada terdakwa. Pada tindak


pidana pencucian uang yang harus dibuktikan adalah asal-usul harta kekayaan
yang bukan berasal dari tindak pidana, misalnya bukan berasal dari korupsi,
kejahatan narkotika serta perbuatan haram lainnya.
Pasal 77 dan 78 tersebut berisi ketentuan bahwa terdakwa diberi
kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak

77

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


pidana. Ketentuan ini dikenal sebagai asas pembuktian terbalik. Dimana
sifatnya sangat terbatas, yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan, tidak
pada tahap penyidikan. Selain itu tidak pada semua tindak pidana, hanya pada
serious crime atau tindak pidana berat seperti korupsi, penyelundupan,
narkotika, psikotropika atau tindak pidana perbankan.
Dengan sistem ini, justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa harta
yang didapatnya bukan hasil tindak pidana. Yang harus dilakukan adalah
mengetahui apa saja bentuk aset korupsi, dimana disimpan dan atas nama
siapa.120
Pasal-pasal lain yang mendukung pembuktian terbalik ini diantaranya
yaitu pada Pasal 79 ayat (4) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang mengenai sita terhadap harta kekayaan hasil
dari suatu tindak pidana yang menyatakan bahwa: “Dalam hal terdakwa
meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup
kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana Pencucian
Uang, hakim atas tuntutan penuntu umum memutuskan perampasan Harta
Kekayaan yang telah disita.”
Ketentuan Pasal 79 ayat (4) dalam penjelasannya dimaksudkan untuk
mencegah agar ahli waris dari terdakwa menguasai atau memiliki Harta
Kekayaan yang berasal dari tindak pidana. Di samping itu sebagai usaha untuk
mengembalikan kekayaan negara dalam hal tindak pidana tersebut telah
merugikan keuangan negara.
Pemeriksaan tindak pidana pencucian uang terhadap harta kekayaan yang
diduga merupakan hasil dari tindak pidana tidak perlu dibuktikan terlebih
dahulu tindak pidana asalnya. Pencucian uang merupakan independent crime,
artinya kejahatan yang berdiri sendiri. Walaupun merupakan kejahatan yang

120
Sutan Remy Sjahdeini, “Memburu Aset Koruptor Dengan Menebar Jerat Pencucian Uang,”
Hukum Online: http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol12317/%20memburu-aset-koruptor-dengan-
menebar-jerat-pencucian-uang, 3 Desember 2010.

78

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


lahir dari kejahatan asalnya, misalnya korupsi, namun rezim anti pencucian
uang di hampir seluruh negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu
kejahatan yang tidak bergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan
dilakukannya proses penyidikan pencucian uang.121 Di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaanya bukan merupakan hasil
dari suatu tindak pidana (asas pembuktian terbalik). Dan untuk kelancaran
pemeriksaan di pengadilan, dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan
patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat
diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa sesuai dengan ketentuan pada
Pasal 79 ayat (1).

F. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Perkara Tindak Pidana Pencucian


Uang
Untuk dapat mengetahui penerapan pembuktian terbalik dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang pada prakteknya dapat kita lihat pada perkara Nomor
448/Pid.B/2008/PN.KRW. Yaitu Perkara Tindak Pidana Pencucian Uang dengan
Terdakwa Agi Sugiyono SE yang disidangkan di Pengadilan Negeri Karawang.

1. Kasus Posisi
Pokok perkaranya adalah Terdakwa Agi Sugiyono SE diduga melakukan tindak
pidana pencucian uang terkait dengan jabatannya sebagai seorang pemeriksa
pajak di Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Khusus bersama rekannya
Yudi Hermawan dan R. Handaru Iamoyojati pada pertengahan tahun 2006
sampai dengan bulan Februari 2007 ditugaskan melakukan pemeriksaan pajak
atas PT. Broadband Multimedia, Tbk. Menjelang akhir pemeriksaan sekitar
bulan Februari sampai dengan April 2007 Yudi Hermawan berkata kepada Agi

121
Adrian Sutedi, op.cit., hal. 288.

79

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


Sugiyono bahwa nanti akan ada rejeki dari pekerjaan tersebut. Setelah
berakhirnya pemeriksaan pajak tersebut sekitar bulan April 2007 Rekan
Terdakwa Yudi Hermawan memberikan uang sejumlah US $ 100.000 (seratus
ribu dolar Amerika Serikat) yang diambil dari rekening Yudi Hermawan di BNI
cabang Karawang, dimana uang tersebut diduga merupakan komisi (fee) yang
diberikan oleh PT. Broadband Multimedia Tbk. Menurut pengakuannya, uang
tersebut telah dipergunakan oleh terdakwa untuk modal usahanya dan merupakan
pinjaman dari Yudi Hermawan.

2. Dakwaan
Dalam kasus terdakwa Agi Sugiono didakwa melakukan tindak pidana yang
disusun dalam bentuk dakwaan alternatif, yaitu:

Kesatu
Melanggar Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c Undang-undang No. 15 tahun 2002
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.

“atau”

Kedua
Melanggar Pasal 6 ayat (1) huruf a, b, c, d, e dan f Undang-undang No. 15 tahun
2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25 tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang .

3. Putusan Pengadilan
Pengadilan Negeri Karawang tanggal 9 Februari 2009 Nomor
448/Pid.B/2008/PN.KRW telah menjatuhkan putusan:

80

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


1. “Menyatakan Terdakwa Agi Sugiono, SE., bin Oyo Sukria telah terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Pencucian Uang.
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Agi Sugiono, SE. bin Oyo Sukria oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun’
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan tersebut;
4. Menghukum Terdakwa Agi Sugiono, SE. bin Oyo Sukria untuk membayar
denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 6
(enam) bulan;
5. Memerintahkan agar barang bukti berupa uang USD 5.000,- (lima ribu dolar
Amerika Serikat) yang terdiri dari pecahan USD 100,- (seratus dolar Amerika
Serikat) sebanyak 50 (lima puluh) lembar, dirampas untuk negara;
6. Menghukum pula Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,-
(lima ribu rupiah).”

4. Pertimbangan
Dalam membuktikan dakwaan Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Karawang mempertimbangkan sebagai berikut:

“bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan unsur alternatif Pasal 3


ayat (1) huruf c Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang, yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Setiap orang;
2. Dengan sengaja membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan;
3. Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana;
4. Baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;

4.1. Dalam membuktikan unsur “Setiap orang” Majelis Hakim berpendapat


seperti dalam pertimbangannya yang berbunyi:

“Menimbang, bahwa unsur setiap orang ini pengertiannya sama dengan unsur
setiap orang sebagaimana yang telah dipertimbangkan di atas dan telah
dinyatakan terpenuhi pada diri Terdakwa, maka dengan mengambil alih
pertimbangan hukum tersebut untuk dijadikan pertimbangan hukum dalam
unsur ini, maka secara mutatis mutandis unsur inipun telah terpenuhi;”

4.2. Dalam membuktikan unsur “Dengan sengaja membayarkan atau


membelanjakan harta kekayaan” Majelis Hakim berpendapat seperti dalam
pertimbangannya yang berbunyi:

81

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


“Menimbang, bahwa unsur dengan sengaja ini mengandung pengertian bahwa
sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya harus diketahui,
dikehendaki dan disadari akan akibatnya, sehingga unsur dengan sengaja ini
tidak lain untuk menilai niat sebagai unsur subyektif bahwa Terdakwa
mengetahui, menghendaki dan meyadari perbuatan yang dilakukan, dan
didalam menilai niat sebagai unsur subyektif kita tetap harus memperhatikan
obyektivitas yang berhubungan dengan norma yang terkait dalam masyarakat,
sehingga suatu perbuatan dapat dinilai telah dilakukan dengan sengaja karena
telah diterima demikian oleh semua orang;”

“Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan harta kekayaan menurut Pasal 1


angka 4 Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah
dengan Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang, adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud;”

“Menimbang, bahwa dari fakta hukum yang terungkap di persidangan,


terbukti Terdakwa telah menerima uang tunai sejumlah USD 100.000,-
(seratus ribu dolar Amerika Serikat) atau yang setara dengan
Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) dari Yudi Hermawan;”

“Menimbang, bahwa menurut keterangan Terdakwa yang diperkuat dengan


bukti 1 (satu) lembar fotocopy Check Number : 038645723, Client ID :
32875, Check Date : April, 24, 2008, Fee/Komisi dari Google Incorporation,
Mountain View California sejumlah USD 148,24 (seratus empat puluh
delapan koma dua puluh empat sen Dolar Amerika Serikat), yang ditujukan
kepada Agi Sugiono, SE., terbukti Terdakwa telah membuka usaha on line
marketing;”

4.3. Dalam membuktikan unsur “Yang diketahuinya atau patut diduganya


merupakan hasil tindak pidana” Majelis Hakim berpendapat seperti dalam
pertimbangannya yang berbunyi:

“Menimbang, bahwa dengan demikian harta kekayaan yang dimaksudkan


dalam Undang-undang No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-undang No. 25 Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,
termasuk Pasal 3 ayat (1) huruf c, semua harta kekayaan itu diperoleh dari
hasil tindak pidana asal sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2)
atau yang lasimnya disebut dengan istilah predicate crime;”

“Menimbang, bahwa sekalipun disebutkan bahwa tindak pidana yang


dimaksudkan di sini berhubungan dengan tindak pidana asal yang tersebut

82

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), tidak berarti dalam perkara ini harus
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, karena tanpa perlu
dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya, pemeriksaan tetap dapat
dilanjutkan apabila ada dugaan harta kekayaan tersebut merupakan hasil
tindak pidana sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), hal ini
secara tegas disebutkan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang
No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25
Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang”

“Menimbang, bahwa dalam perkara ini ditemukan adanya fakta hukum


bahwa Terdakwa telah menerima uang USD 100.000,- (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) dari Yudi Hermawan;”

“Menimbang, bahwa Penasehat Hukum Terdakwa di dalam pledoinya


menyatakan bahwa tidak ada satu saksipun yang melihat Terdakwa telah
melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum,
kecuali fakta bahwa telah terjadi tindakan hukum berupa pinjam meminjam
uang yang lasim dilakukan oleh masyarakat pada umumnya dan bukan
merupakan tindakan melanggar hukum;”

“Menimbang, bahwa sistem pembuktian yang dianut dalam Undang-undang


No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 25
Tahun 2003 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak semata-mata
bergantung pada keterangan saksi yang diajukan oleh Penuntut Umum seperti
halnya dalam KUHAP, karena di dalam membuktikan ada tidaknya tindak
pidana pencucian uang dapat dipergunakan sistem pembuktian terbalik,
seperti yang tersebut dalam Pasal 35 yang menyebutkan bahwa untuk
kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan
bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana;”

“Menimbang, bahwa di dalam persidangan, Majelis Hakim telah memberikan


kesempatan kepada Terdakwa maupun Penasehat Hukumnya untuk
membuktikan bahwa uang USD 100.000,- (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) yang diterima Terdakwa dari Yudi Hermawan merupakan pinjaman,
karena di persidangan Yudi Hermawan tidak mengakui telah meminjamkan
uang kepada Terdakwa;”

“Menimbang, bahwa ternyata di dalam persidangan Terdakwa tidak dapat


menunjukan baik itu dalam bentuk perjanjian pinjam meminjam atau
perjanjian hutang piutang atau dalam bentuk kwitansi maupun dalam bentuk
lainnya yang dapat membuktikan telah terjadi pinjam meminjam antara
Terdakwa dengan Yudi Hermawan;”

83

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


“Menimbang, bahwa Majelis Hakim sependapat dengan Penasehat Hukum
Terdakwa bahwa pinjam meminjam uang sudah merupakan hal yang lasim
dilakukan oleh masyarakat pada umumnya, tetapi yang menjadi tidak lasim
apabila pinjam meminjam uang USD 100.000,- (seratus ribu dolar Amerika
Serikat) yang setara dengan kurang lebih Rp.1.000.000.000,- (satu milyar
rupiah) dilakukan tanpa adanya suatu perjanjian atau bukti tertulis lainya
yang dapat menunjukkan telah terjadi pinjam meminjam uang, karena bukti
peminjaman tersebut lasim dilakukan oleh masyarakat pada umumnya,
apalagi pinjam meminjam tersebut dalam jumlah yang sangat besar maka
tidak mungkin dilakukan tanpa adanya suatu perjanjian apapun;”

“Menimbang, bahwa Terdakwa menerangkan bahwa saat setelah saksi Yudi


Hermawan diperiksa oleh Polda Jabar, ia menemui Terdakwa dan
mengatakan apabila nantinya Terdakwa juga diperiksa oleh Penyidik Polda
Jabar agar Terdakwa mengakui bahwa hanya menerima uang dari saksi Yudi
Hermawan sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah), padahal yang
sebenarnya adalah USD 100.000,- (seratus ribu dolar Amerika Serikat);”

“Menimbang, bahwa saksi Raden Handaru Ismoyojati di persidangan


menerangkan bahwa ia pernah dihubungi oleh konsultan pajak PT.
Broadband Multimedia yaitu Asri Harahap yang mengatakan akan minta fee
dari PT. Broadband Multimedia tetapi saksi menolak, sedangkan keterangan
saksi sepanjang yang menyangkut jumlah uang yang tersebut dalam BAP
Penyidik semuanya tidak benar, saat itu saksi menandatangani BAP tersebut
karena merasa takut kepada Polisi;”

“Menimbang, bahwa di dalam BAP Penyidik tersebut saksi Raden Handaru


Ismoyojati menerangkan bahwa sdr. Yudi Hermawan memberitahukan
kepada saksi bahwa ada dana Rp.6.000.000.000,- (enam milyar rupiah) dari
Asri Harahap;”

“Menimbang, bahwa dengan demikian keterangan saksi Raden Handaru


Ismoyojati, bila dihubungkan dengan keterangan saksi Yudi Hermawan yang
seteleh diperiksa oleh Penyidik kemudian menemui Terdakwa serta
keberadaan Terdakwa yang menerima uang USD 100.000,- (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) dari Yudi Hermawan dengan dalil pinjaman tanpa adanya
bukti peminjaman, maka jelas telah diperoleh bukti petunjuk bahwa uang
yang diterima Terdakwa dari Yudi Hermawan jelas berhubungan dengan
pemeriksaan pajak di PT. Broadband Multimedia yang dilakukan oleh
Terdakwa, dan saksi Yudi Hermawan sebagai anggota team serta Raden
Handaru Ismoyojati selaku Ketua Team;”

“Menimbang, bahwa adalah tidak beralasan apabila Terdakwa tidak


mengetahui atau setidak-tidaknya tidak menduga bahwa uang sebesar itu

84

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


yang diterima dari Yudi Hermawan dengan dalil pinjaman tetapi Terdakwa
sama sekali tidak menandatangani surat bukti peminjaman, karena hal
tersebut sama sekali di luar norma yang berlaku di dalam masyarakat pada
umumnya dimana dalam setiap transaksi pinjam meminjam apalagi dalam
jumlah USD 100.000,- (seratus ribu dolar Amerika Serikat) yang nilainya
kurang lebih setara dengan Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) mustahil
diberikan tanpa adanya suatu bukti tertulis yang dapat membuktikan adanya
pinjam meminjam tersebut, sehingga dengan demikian Majelis Hakim yakin
bahwa Terdakwa mengetahui atau setidak-tidak dapat menduga bahwa uang
yang diterima dari saksi Yudi Hermawan tersebut berasal dari tindak pidana
penyuapan karena pada saat itu mereka baru saja selesai melakukan
pemeriksaan pajak di PT. Broadband Multimedia;”

4.4. Dalam membuktikan unsur “Baik perbuatan itu atas namanya sendiri maupun
atas nama pihak lain” Majelis Hakim berpendapat seperti dalam
pertimbangannya yang berbunyi:

“Menimbang, bahwa unsur keempat ini berhubungan dengan unsur yang


kedua yaitu membayarkan atau membelanjakan harta kekayaan;”

“Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana telah


dipertimbangkan dalam unsur kedua sebagaimana diuraikan di atas, maka
semua perbuatan membayar dan membelanjakan uang yang diterima dari
Yudi Hermawan, semuanya dilakukan atas nama Terdakwa sendiri bukan atas
nama orang lain, baik itu untuk membiayai pengobatan orang tuanya, belanja
keperluan keluarga sehari-hari maupun usaha on line marketing semuanya
dilakukan langsung dan atas nama Terdakwa sendiri, sehingga jelas unsur
inipun telah terpenuhi;”

“Menimbang, bahwa oleh karena dakwaan disusun secara alternatif, maka


dengan terbuktinya dakwaan alternatif Kesatu, maka dakwaan alternatif
Kedua tidak perlu untuk dipertimbangkan lagi;”

5. Komentar
a. Majelis Hakim tidak memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan
terdakwa yang diperoleh dari uang sebesar US$ 100.000 (seratus ribu dolar
Amerika Serikat) yang diperoleh dari tindak pidana karena menurut Pasal 34
Undang-undang No. 15 tahun 2002 jo. Undang-undang No. 25 tahun 2003
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang bahwa dalam hal diperoleh bukti yang

85

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


cukup sebagai hasil pemeriksaan di Pengadilan terhadap terdakwa, hakim
memerintahkan penyitaan terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut
diduga hasil tindak pidana yang belum disita oleh penyidik atau penuntut umum.
b. Dalam penerapan asas pembuktian terbalik, dapat dilihat bahwa terdakwa telah
diberikan kesempatan oleh hakim untuk membuktikan bahwa uang sebesar
US$ 100.000 (seratus ribu dolar Amerika Serikat) diperolehnya bukan dari
tindak pidana namun ternyata di dalam persidangan terdakwa tidak dapat
membuktikan bahwa uang tersebut merupakan hasil pinjamannya dari Yudi
Hermawan sebagaimana yang didalilkannya dalam pembelannya.
c. Jaksa Penuntut Umum langsung memilih dan mempertimbangkan dakwaan
Kedua tanpa terlebih dahulu mempertimbangkan Dakwaan Kesatu, karena
sekalipun dakwaan disusun secara alternatif tidak berarti bahwa Penuntut Umum
bebas untuk memilih dakwaan mana yang harus dibuktikan terlebih dahulu,
Penuntut Umum harus tetap mempertimbangkan secara berurutan sesuai dengan
urutan dakwaannya, seperti dalam perkara ini ada dakwaan Pertama atau
dakwaan Kedua, maka Penuntut Umum harus terlebih dahulu
mempertimbangkan dakwaan Pertama dan apabila dakwaan Pertama tidak
terbukti barulah dipertimbangkan dakwaan Kedua.

Dari kasus di atas, apabila kita baca lagi dengan seksama baik itu dakwaan
maupun pembelaan dan putusan dari hakim maka dapat kita ambil kesimpulan di sini
bahwa pada prakteknya sistem pembuktian terbalik yang ditetapkan tidak menggunakan
asas praduga bersalah secara mutlak, tetapi secara terbatas dan berimbang, yaitu selain
tersangka atau terdakwa yang harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah, jaksa
penuntut umum juga berkewajiban dalam hal pembuktian tuntutannya. Hal ini sangat
jelas dapat kita lihat di dalam pertimbangan hakim.
Jadi dalam pelaksanaannya sistem pembuktian terbalik tidak dijalankan secara
murni dengan menggunakan asas praduga bersalah secara mutlak yang mengharuskan si
tersangka atau terdakwa yang diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak

86

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.


bersalah. Jikalau kita menganut asas Omkering van bwijslast dalam bentuk murni
aslinya maka tidak diperlukan lagi jaksa membuktikan kesalahan terdakwa.122

122
Oemar Seno Adji, Hukum Pidana Pengembangan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Erlangga,
1985), hal. 229.

87

Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

Anda mungkin juga menyukai