Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembuktian merupakan salah satu tahapan yang memegang peranan penting dalam
proses sidang di pengadilan. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam
sidang pengadilan. Menurut Yahya Harahap, pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang
berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.1
Secara umum, sistem pembuktian terdiri dari 4 (empat) sistem, yaitu:
1. Sistem Conviction-in Time; yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa
adalah semata-mata didasarkan pada penilaian keyakinan hakim.
2. Sistem Conviction-Raisonee; dimana penilaian keyakinan hakim dibatasi karena
harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas.
3. Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Positif; menentukan salah tidaknya
seorang terdakwa semata-mata digantungkan pada alat bukti yang sah.
4. Pembuktian Menurut Undang-Undang secara negatif; menggabungkan secara
terpadu penilaian keyakinan hakim dengan sistem pembuktian menurut undang-
undang secara positif.2
Dengan demikian, untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem
pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen;
1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat bukti yang sah menurut
undang-undang.
2. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang3.
Berdasarkan sistem pembuktian secara umum tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem
pembuktian yang dianut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Hal ini
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 183 KUHAP dan juga pada Pasal 294 HIR bahwa

1
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali, 2006, hlm. 273.
2
Ibid., hlm. 277
3
Ibid., hlm. 279.

1
salah tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana terhadapnya harus
memenuhi;
1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya ”dua alat bukti yang sah".
2. Atas keterbuktian itu, maka hakim memperoleh keyakinan bahwa benar terdakwalah
yang melakukan.
Untuk itu, berkaitan dengan prinsip batas minimum pembuktian yang ditentukan oleh
KUHP bahwa setidak-tidaknya terdapat ”dua alat bukti yang sah”, maka pasal 184 ayat (1)
telah menyebutkan secara limitatif dan terperinci alat-alat bukti yang sah menurut undang-
undang, antara lain:
 Keterangan Saksi;
 Keterangan Ahli;
 Surat;
 Petunjuk;
 Keterangan Terdakwa.
Namun, dalam makalah ini hanya akan dibahas lebih dalam lagi mengenai khusus alat
bukti petunjuk. Mengingat bahwa alat bukti petunjuk ini merupakan salah satu metode
pembuktian yang cukup unik dan menarik, serta memiliki banyak perbedaan dengan alat-alat
bukti lainnya, baik dalam hal pengertian, konsep, maupun bentuk konkretnya.
Yahya Harahap berpendapat bahwa agak sulit untuk menjelaskan pengertian alat bukti
petunjuk secara konkret. Bahkan, dalam praktik proses peradilan sekalipun banyak
mengalami kesulitan untuk menerapkannya4 Hal ini dapat dipahami karena apabila kurang
berhati-hati dalam penggunaannya akan langsung mempengaruhi keputusan yang dihasilkan.
Dan ditakutkan akan lebih dekat kepada sifat penerapan hukum yang sewenang-wenang.
Untuk itu, dalam rangka menghindari dominasi subjek hakim yang tidak wajar, mendorong
pembuat undang-undang sedini mungkin mengatur hakim, supaya penerapan dan penilaian
alat bukti petunjuk dilakukan hakim dengan arif lagi bijaksana, serta harus terlebih dahulu
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati
nuraninya5.
Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini seterusnya, akan difokuskan
pembahasan terhadap alat bukti petunjuk, baik itu dari segi definisi petunjuk, sumber
petunjuk, kekuatan alat bukti petunjuk dalam proses pembuktian, serta perbandingan alat

4
M. Yahya Harahap, Op. Cit. hlm 312.
5
Ibid.

2
bukti petunjuk dalam proses peradilan di Indonesia dengan alat bukti Judicial Notice di
negara Amerika Serikat.

1.2 Rumusan Masalah

Kembali kepada pokok permasalahan, apa arti dan bagaimana sebenarnya definisi
yang tepat tentang alat bukti petunjuk. Untuk itu, melalui makalah ini dengan judul ” ALAT
BUKTI PETUNJUK DI INDONESIA DAN PERBANDINGANNYA DENGAN
NEGARA LAIN” ingin dikemukakan beberapa rumusan masalah yang hendak dipecahkan,
antara lain:

1. Bagaimanakah kekuatan hukum alat bukti petunjuk dalam proses pembuktian di


pengadilan?

2. Bagaimanakah peran alat bukti petunjuk dalam proses pembuktian di Indonesia?

3. Bagaimanakah sistem alat bukti petunjuk di negara Amerika Serikat?

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui dengan lebih jelas dan terperinci mengenai definisi petunjuk dari
berbagai sumber dan pemahaman beberapa sarjana hukum yang terkemuka.
2. Mendeskripsikan hal-hal apa saja yang kemudian dapat menjadi sumber petunjuk.
3. Menjelaskan bagaimana kekuatan hukum alat bukti petunjuk sebagai salah satu alat
bukti dalam proses pembuktian di pengadilan secara umum.
4. Menjelaskan bagaimana peran alat bukti petunjuk dalam proses pembuktian di
Indonesia.

1.4 Manfaat Penulisan


Signifikansi penulisan makalah ini yang dilakukan terhadap perkembangan studi ilmu
hukum acara pidana secara formil (praktik) adalah untuk:
1. Pada dasarnya ingin memberikan deskriptif-analisis dalam ranah hukum acara pidana
mengenai alat bukti petunjuk di Indonesia.
2. Menyediakan landasan dasar dan kerangka berpikir bagi para mahasiswa dan pengajar
dalam bidang ilmu Hukum Acara Pidana secara Formil untuk memahami alat bukti
petunjuk dalam sistem pembuktian di Indonesia dan perbandingannya dengan negara-
negara lain.

3
BAB 2

LANDASAN TEORI

2.1 Definisi Alat Bukti Petunjuk


Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, pengertian alat bukti petunjuk sendiri
agak sulit untuk dijelaskan secara konkret. Secara historis pertama kali petunjuk dinyatakan
sebagai alat bukti di Indonesia diatur dalam pasal 164 HIR, yang menyebutkan petunjuk
sebagai persangkaan-persangkaan6. Meskipun alat bukti petunjuk dalam praktik dan
sejarahnya sudah lama dikenal, namun pada dasarnya penggunaan alat bukti petunjuk ini
sering kali menimbulkan kontroversi. Ada pendapat yang menentang penggunaan alat bukti
ini, namun ada juga yang setuju dengan penggunaan alat bukti ini. Pendapat yang menentang
menganjurkan agar alat bukti petunjuk ditiadakan dan diganti dengan alat bukti yang lain.
Kontroversi tersebut terjadi karena alat bukti petunjuk memang tidak nyata bentuknya, karena
hanya merupakan persesuaian-persesuaian keadaan7.
Alat bukti ”petunjuk” dalam beberapa referensi memiliki definisi yang berbeda-beda.
Hal itu antara lain disebutkan dalam:
1. Pasal 188 ayat (1) KUHAP
”Perbuatan, kejadian, atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan
yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak
pidana dan siapa pelakunya8.”
2. Pendapat M. Yahya Harahap
”Petunjuk ialah ’isyarat’ yang dapat ditarik dari suatu perbuatan, kejadian, atau keadaan
di mana isyarat itu mempunyai ’persesuaian’ antara yang satu dengan yang lain maupun
isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana itu sendiri, dan dari isyarat yang
saling bersesuaian tersebut ’melahirkan’ atau ’mewujudkan’ suatu petunjuk yang
’membentuk kenyataan’ terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya9.”
3. Menurut Andi Hamzah mengutip pernyataan
(i) Minkenhof
”Pada akhirnya persoalannya diserahkan kepada hakim, dengan demikian menjadi
sama dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Apa yang disebut pengamatan oleh hakim

6
Het Herziene Reglement (HIR), Staatsblad No. 44 Tahun 1941, diterjemahkan oleh Soesilo, (Bogor: Politeia, 1995), Pasal 164.
7
Femy Esterlina, Perbandngan Pembuktian (Bewijsvoering) Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Hukum Acara Pidana
Belanda, 2006, hlm 54.
8
Solahuddin, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, 2007, pasal 188 ayat (1), hlm. 261.
9
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 313.

4
(eigen waarneming van de rechter) harus dilakukan selama sidang, apa yang telah dialami
atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau
perbuatan atau peristiwa itu telah diketahui oleh umum10.”
(ii) Djoko Prakoso
”Petunjuk merupakan alat pembuktian tidak langsung, karena hakim dalam
mengambil kesimpulan tentang pembuktian haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan
alat bukti lainnya dan memilih yang ada persesuaian satu sama lain11.”

2.2 Sumber-sumber Alat Bukti Petunjuk


Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa yang
menjadi sumber petunjuk adalah:
a) Keterangan Saksi
Syarat keterangan saksi dapat dijadikan sumber alat bukti petunjuk adalah keterangan saksi
tersebut harus sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh undang-undang (memenuhi syarat
formal dan syarat materiil keterangan saksi) dan memiliki kesesuaian dengan alat bukti yang
lain atau dengan tindak pidana itu sendiri.
b) Surat
Surat yang dimaksud adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dilakukan dengan
sumpah. Dalam KUHAP hanya ada satu pasal yang mengatur mengenai alat bukti surat, yaitu
pasal 187.
c) Keterangan Terdakwa
Keterangan terdakwa yang dapat dijadikan sumber alat bukti petunjuk adalah apa yang
terdakwa nyatakan di depan sidang pengadilan tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang
ia ketahui sendiri atau alami sendiri (berdasarkan ketentuan Pasal 188 ayat (2) angka 3 jo.
Pasal 189 ayat (1) jo. Pasal 184 KUHAP.

10
A. Minkenhof dalam Andi Hamzah, po. Cit., hlm. 254.
11
Djoko Prakoso, op. Cit., hlm 95.

5
BAB III

PEMBAHASAN

3. 1 Kekuatan Hukum Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Pembuktian di Pengadilan


Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, perbuatan, kejadian atau keadaan
karena persesuaiannya merupakan hal yang penting. Dari ketentuan Pasal 188 ayat (1)
dikaitkan dengan ayat (2) KUHAP, perbuatan, kejadian atau keadaan yang bersesuaian
tersebut harus diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Dalam
menggunakan alat bukti petunjuk tugas hakim akan lebih sulit. Hal ini dikarenakan ia harus
mencari hubungan antara perbuatan, kejadian atau keadaan, menarik kesimpulan yang perlu,
serta mengkombinasikan akibat-akibatnya. Akhirnya sampai pada suatu keputusan terbukti
atau tidaknya perihal yang didakwakan.
Pembuktian yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk dalam berbagai alat bukti lain
itu, tidak mungkin dapat dipeoleh hakim tanpa menggunakan suatu redenering yakni suatu
pemikiran tenang adanya persesuaian antara kenyataan yang satu dan kenyataan yang lain,
atau antara suatu kenyataan dan tindak pidananya sendiri.12 Dari perbuatan-perbuatan,
kejadian-kejadian atau kedaan-keadaan yang dijumpai oleh hakim dalam keterangan saksi,
surat atau keterangan terdakwa seperti demikian KUHAP dapat membenarkan hakim
membuat suatu pemikiran. Hakim dalam hal ini dapat membuat suat konstruksi untuk
memandang suatu kenyataan sebagai terbukti. Dalam penerapannya kepada hakim dilberikan
kepercayaan untuk menetapkan apakah suatu perbuatan, kejadian atau keadaan merupakan
petunjuk. Semuanya harus dipertimbangkan secara cermat dan teliti.
Terkait dengan keterangan terdakwa yang menjadi salah satu sumber petunjuk, dalam
memperoleh petunjuk, keterangan terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri. Keterangan
rekan peserta yang bersama-sama melakukan tindak pidana tidak dapat digunakan sebagai
petunjuk dalam proses pemeriksaan terdakwa itu sendiri. Dalam menentukan adanya alat
bukti petunjuk, hakim berperan penting didalam menentukan kekuatan pembuktian alat bukti
petunjuk. Alat bukti petunjuk tidak berdiri sendiri, tetapi harus didukung sekurang-kurangnya
satu alat bukti lainnya, seperti dapat dilihat dalam Putusan Mahkamah Agung No. 81
K/Kr/1956 tanggal 9 Nopember 1956.13 Dalam putusan tersebut yang menetapkan bahwa jika
terdakwa di Sidang Pengadilan telah mengaku (telah membenarkan) atas segala yang
12
Alfitra. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. Hal. 106.
13
Ibid.

6
dituduhkan (didakwakan) kepadanya, maka dengan petunjuk itu Hakim cukup mendengarkan
keterangan seorang saksi.
Pasal 311 ayat (3) HIR memberikan tekanan dalam menerapkan petunjuk sebagai alat
bukti bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu diserahkan pada pertimbangan hakim dengan kearifan dan kebijaksanaan setelah
hakim melakukan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dengan seksama berdasarkan hati
nuraninya. Menurut Wiryono Projodikoro, yang disebut sebagai petunjuk sebenarnya bukan
alat bukti, melainkan kesimpulan belaka yang diambil dengan menggunakan alat-alat bukti
yang sah lain, yaitu keterangan saksi, surat da keterangan terdakwa. Petunjuk sebagai alat
bukti, diserap dari HIR Pasal 310,311 dan 312 yang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1950 sudah dihapuskan. Alat bukti petunjuk mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang
bebas. Dalam hal ini hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh
petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya
pembuktian. Petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri membuktikan kesalahan
terdakwa, dia tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar
petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan
sekurang-kurangnya satu alat bukti lain.14

3.2 Peran Alat Bukti Petunjuk dalam Proses Pembuktian di Indonesia

Sebelum merdeka, Indonesia menggunakan Herziene Inlandsch Reglement (HIR)


yang berlaku di pulau Jawa dan Madura untuk mengatur acara pemeriksaan sidang.
Sedangkan untuk di luar Jawa dan Madura berlaku Reglement Buitengewesten (RBg).
Setelah Indonesia merdeka, sesuai Undang- Undang Nomor 1 (drt) Tahun 1951, maka HIR
dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia tetapi tetap hanya meliputi acara pemeriksaan di
pengadilan negeri. Sejak akhir tahun 1981 berlakulah Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981
atau yang biasa dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dengan demikian HIR dinyatakan tidak berlaku lagi untuk mengatur system peradilan pidana.

Meskipun HIR dan RBg sudah tidak berlaku lagi, namun ketentuan yang ada di
dalamnya masih dapat digunakan oleh hakim untuk menggali hukum yang diperlukan demi
kepentingan suatu perkara apabila tidak ditemukan pengaturannya dalam peraturan- peraturan
yang berlaku. Oleh karena itu, pembahasan ini akan meninjau pula alat bukti petunjuk

14
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan
Peninjauan Kembali), Jakarta: Sinar Grafika, hal. 317

7
berdasarkan HIR dan RBg. Selain itu, dikarenakan adanya upaya merevisi KUHAP, maka
tinjauan akan didasarkan pula pada RUU KUHAP, serta alat bukti petunjuk di beberapa
Undang-Undang yang berlaku di Indonesia;

1. Alat Bukti Petunjuk di HIR

Berdasarkan Pasal 164 HIR, terdapat 5 macam alat- alat bukti, yaitu bukti surat, bukti
saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Dalam HIR tidak dikenal istilah “petunjuk”,
yang dikenal adalah persangkaan. Persangkaan digunakan apabila terdapat kesulitan untuk
mendapatkan saksi yang melihat, mendengar atau merasakan sendiri, maka peristiwa hukum
yang harus dibuktikan diusahakan agar dapat dibuktikannya dengan persangkaan-
persangkaan. Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah
dianggap terbukti, lalu peristiwa yang dikenal, kea rah suatu peristiwa yang belum terbukti.
Yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim atau undang-undang. Persangkaan hakim
sebagai alat bukti mempunyai kekuatan pembuktian bebas, artinya tergantung penilaian
hakim tersebut akan diberi kekuatan pembuktian apa. Persangkaan hakim dapat diperoleh
dari segala peristiwa, mulai dari keadaan dalam sidang, proses pemeriksaan perkara, maupun
alat-alat bukti yang lain.15

2. Alat Bukti Petunjuk di RBg

Sama halnya dengan HIR, petunjuk dalam RBg dikenal dengan istilah persangkaan.
Mengenai persangkaan, hanya dijelaskan secara singkat pada Pasal 284 dan 310 RBg.
Berdasarkan Pasal 284 RBg disebutkan alat- alat bukti yang terdiri dari bukti tertulis, bukti
dengan saksi- saksi, persangkaan, pengakuan- pengakuan, dan sumpah. Pengertian
persangkaan dalam RBg sama halnya dengan persangkaan dalam HIR.

Berdasarkan Pasal 310 RBg, maka persangkaan/dugaan belaka yang tidak berdasarkan
peraturan perundang-undangan hanya boleh digunakan hakim dalam memutus suatu perkara
jika itu sangat penting, cermat, tertentu dan bersesuaian satu dengan yang lain. Hal ini berarti
bahwa penggunaan persangkaan yang tidak berdasarkan peraturan perundang-undangan
digunakan oleh hakim sebagai senjata terakhir apabila memang sangat dibutuhkan, baik
karena kekurangan alat bukti, mengaitkan alat-alat bukti, atau sebab lainnya. Persangkaan

15
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam teori dan praktek, Hlmn. 77

8
hakim dapat diperoleh dari persesuaian antara alat- alat bukti, misalnya persesuaian antara
alat bukti surat dengan saksi.

3. Alat Bukti Petunjuk di KUHAP

Dalam KUHAP pasal 184, alat bukti terbagi menjadi dua, yaitu alat bukti yang sah
meliputi keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa, selain
itu terdapat hal yang secara umum sudah diketahui yang tidak perlu dibuktikan. Berdasarkan
pasal 188 ayat (3) KUHAP, hakim dalam melakukan penerapan dan penilaian alat bukti
petunjuk harus dilakukan dengan:

a. dengan arif lagi bijaksana

b. serta harus lebih dulu mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.

Menurut Yahya Harahap, maksud dari pasal tersebut adalah agar hakim tidak
sembrono dan sewenang- wenang, serta harus lebih dulu dengan teliti mengadakan
pemeriksaan yang menyeluruh secara cermat dan saksama dalam penggunaan alat bukti
petunjuk. Alat bukti ini hanya dipergunakan dalam keadaan penting dan mendesak sekali.
Selama alat bukti yang lain masih mencukupi, hakim jangan segera berpaling mencari alat
bukti petunjuk.16

Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian, atau
keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya.
Pasal 188 ayat (2) membatasi sumber untuk memperoleh alat bukti petunjuk, yaitu petunjuk
hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Tidak
dimasukkannya alat bukti keterangan ahli ke dalam salah satu sumber tersebut tidak diberi
penjelasan lebih lanjut dalam undang- undang. Menurut Yahya Harahap, keterangan ahli
tidak dimasukkan karena kurang objektif karena sedikit banyak diwarnai pendapat subjektif
ahli tersebut.17

16
Harahap, Op. Cit., hlmn. 313.
17
Ibid. hlmn. 315-316.

9
Alat bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian yang bebas, maksudnya adalah hakim
tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu,
hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian. Petunjuk
sebagai alat bukti tidak dapat berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa, dia
tetap terikat pada prinsip batas minimum pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk
mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup harus didukung dengan sekurang-
kurangnya satu alat bukti yang lain.18

4. Alat Bukti Petunjuk di RUU KUHAP

Berdasarkan pasal 177 ayat (1) RUU KUHAP revisi tahun 2008, alat bukti yang sah
mencakup barang bukti, surat- surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli, keterangan
seorang saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim. Bila dibandingkan dengan
KUHAP, dalam RUU KUHAP terdapat penambahan alat bukti, yaitu barang bukti dan bukti
elektronik, sedangkan alat bukti petunjuk diganti dengan istilah pengamatan hakim.
Perubahan alat bukti petunjuk menjadi pengamatan hakim, menurut Andi Hamzah, karena
alat bukti petunjuk secara teknis sebenarnya tidak ada. Disamping itu, pengertian pengamatan
hakim lebih luas daripada petunjuk. Hakim bisa mengambil kesimpulan dari pengamatannya
selama persidangan berlangsung.

Pengamatan hakim adalah pengamatan yang dilakukan oleh hakim selama sidang
yang didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan, atau barang bukti yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu
sendiri yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Kekuatan
pembuktian dari suatu pengamatan hakim selama sidang dilakukan oleh hakim dengan arif
dan bijaksana, setelah hakim mengadakan pemeriksaan dengan cermat dan seksama
berdasarkan hati nurani.19

18
Ibid., hlmn. 317.
19
Pasal 182 ayat (1) dan (2) RUU KUHAP 2008

10
5. Undang-Undang tindak pidana korupsi Nomor 20 Tahun 2001 mengenai alat bukti
petunjuk telah mengalami perluasan, hal ini dapat dilihat pada pasal 26A, 20 yaitu: ”Alat bukti
yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana
korupsi juga dapat diperoleh dari:

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan
secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. Dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau
didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang
di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang
memiliki makna.

Spesifikasi dari perluasan alat bukti petunjuk di dalam undang-undang nomor 20


tahun 2001 ini sesuai dengan karakteristik tindak pidana korupsi yang terkait dengan hal yang
berkaitan dengan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara
elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan dokumen, dimana selalu
digunakan dalam menjalankan tindak pidana tersebut.

6. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Di dalam Pasal 44 huruf b dinyatakan alat bukti berupa Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dijadikan sebagai alat bukti guna penyidikan, penuntutan
dan pemeriksaan di sidang pengadilan.

Adapun pengertian Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik,
termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic
data interchange(EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau
sejenisnya, huruf,tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang
memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

20
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 26A.

11
Sedangkan dokumen elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan,
dikirimkan,diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal,
atausejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer
atauSistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang
memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Dari kedua alat bukti lain ini menjadi alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk
dalam tindak pidana di dalam informasi dan transaksi elektronik digunakan sebagai alat bukti
dalam pembuktian.

7. Undang-Undang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup nomor 32 tahun 2009.

Di dalam Pasal 96, dinyatakan;”Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana
lingkungan hidup terdiri atas: f. alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.

Adapun pengertian alat bukti lain adalah meliputi, informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, dan/atau yang serupa
dengan itu; dan/atau alat bukti data,rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat,dan
didengar yang dapat dikeluarkan dengan dan/atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang diatas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atauyang terekam secara elektronik,
tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau
dibaca.

Dari alat bukti lain ini menjadi alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk dalam
tindak pidana terkait dalam lingkungan hidup terutama dalam proses pembuktian.

8. Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.

Pasal 73 jo. Pasal 1 angka 16, mengatur mengenai alat bukti yang sah yang dapat
digunakan dalam pembuktian tindak pidana Pencucian Uang, yaitu alat bukti sebagaimana
dimaksud dalam Hukum Acara Pidana dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan,
dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa

12
optik dan dokumen. Dokumen adalah data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat,
dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana,
baik yang etrtuang di atas kertas atau benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam
secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:

a. Tulisan, suara, atau gambar;

b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;

c. Huruf, tanda, angka, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Kedua alat bukti yang sah ini yaitu: alat bukti lain dan dokumen dapat dijadikan sebagai
petunjuk di dalam proses pembuktian.

Dari keempat Undang-Undang di luar KUHAP diatas dapat dilihat, telah terjadi
penambahan alat bukti yang sah di dalam proses pembuktian, hal ini terkait dengan
bertambah kompleksnya bentuk modus di dalam beberapa tindak pidana tertentu, seperti
tindak pidana pencucian uang,tindak pidana korupsi. Dengan dimasukkannya alat bukti lain
dan dokumen sebagai bentuk petunjuk dalam tindak pidana tertentu akan mempermudah para
aparat penegak hukum untuk pembuktian dalam tindak pidana tertentu. Hal ini terutama bagi
hakim selaku penilai atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan
tertentu. Dengan kata lain hakim akan mempunyai sumber dan bentuk bukti terkait surat
maupun keterangan dari terdakwa dan saksi untuk memberikan penilaian terkait dengan alat
bukti petunjuk sebagai salah satu alat bukti hakim untuk memutus sebuah perkara. Dalam hal
hakim menggunakan alat bukti lain di luar KUHAP didasarkan pada pasal 284 ayat 2, dimana
“ Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara
mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu,
sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”.

Didalam petikan ayat diatas terdapat aturan “ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana
sebagaimana tersebut pada perundangundangan pada tindak pidana tertentu, seperti: tindak
pidana korupsi, dengan catatan bahwa sesuai dengan ketentuan khusus acara pidana

13
sebgaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan disetujui kembali, diubah atau
dicabut dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Sehingga didasarkan pasal 284 ayat 2 KUHAP, hakim dalam merumuskan


penilaiannya terhadap persesuaian perbuatan, keadaan dan kejadian dalam tindak pidana
tertentu dapat menggunakan bentuk petunjuk lain yang berada di luar KUHAP. Kondisi ini
terjadi tidak terlepas dari tidak dapatnya alat bukti petunjuk di dalam KUHAP untuk
meyakinkan hakim dalam perumusan penilaiannya di dalam persidangan, sehingga
diperlukan alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk di luar KUHAP untuk merumuskan
alat bukti petunjuk yang digunakan dalam memutus perkara.

3.3 Perbandingan Alat Bukti Petunjuk dengan Alat Bukti Judicial Notice Negara
Amerika Serikat

Alat bukti yang dapat dipersamakan dengan alat bukti Petunjuk yang berlaku di Indonesia
adalah Judicial Notice atau Judicial evidence.

Di Amerika Serikat ketentuan mengenai alat bukti ini dirumuskan pula dalam Criminal
Procedure Act. Alat-alat bukti yang disebut sebagai forms of evidence dimaksud terdiri atas:
21

a. Real evidence (bukti nyata);

b. Documentary evidence (bukti dokumenter);

c. Testimonial evidence (bukti kesaksian);

d. Judicial evidence (Bukti Pengamatan Hakim),

Definisi dari Judicial Notice antara lain;

Judicial Notice is the term that describes the court’s acceptance as fact of certain things that
are in general knowledge.22 (Terjemahan bebas: Judicial Notice adalah suatu istilah yang
mendeskripsikan penerimaan pengadilan mengenai fakta dari hal-hal tertentu yang mana
telah diketahui sebagai pengetahuan umum).
21
Jimly Asshiddiqqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press. 2006. Hal. 217.

22
N. Gary Holten and Lawson L. Lamar. The Criminal Courts: Structures, Personnel, and Processes. USA: McGraw-Hill, Inc. 1991. Page.
258-259.

14
Judicial Notice is the acceptance by the court of certain notorious facts without proof23.
(Terjemahan bebas: Judicial Notice adalah penerimaan pengadilan mengenai fakta-fakta
tertentu (yang jahat) yang tidak memerlukan bukti lagi).

Dari definisi-definisi di atas, pengertian Judicial Notice mempunyai persamaan bunyi dengan
Pasal 184 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu “Hal yang secara umum
sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.

Ketentuan mengenai Judicial Notice di Amerika Serikat, yaitu dalam Federal Rules of
Evidence Article II Rule 201:24

(a) Scope. This rule governs judicial notice of an adjudicative fact only, not a legislative fact.
(Terjemahan bebas: Ruang lingkup. Ketentuan mengenai judicial notice hanya terbatas pada
fakta ajudikatif, tidak termasuk didalamnya fakta legislatif)

(b) Kinds of Facts That May Be Judicially Noticed. The court may judicially notice a fact that
is not subject to reasonable dispute because it: (Terjemahan bebas: Jenis-jenis Fakta yang
dapat diklasifikasi. Pengadilan dapat mengamati secara judisial fakta-fakta yang tidak
berhubungan dengan pokok perkara yaitu: )

(1) is generally known within the trial court’s territorial jurisdiction; or (Terjemahan bebas:
yang secara umum diketahui dalam wilayah yuridiksi pengadilan yang memeriksa)

(2) can be accurately and readily determined from sources whose accuracy cannot
reasonably be questioned. (Terjemahan bebas: yang dapat secara tepat dan mudah ditentukan
dari sumber-sumber yang tidak perlu diragukan lagi)

(c) Taking Notice. The court: (Terjemahan bebas: Pengambilan Notice. Pengadilan:

(1) may take judicial notice on its own; or (dapat melakukan judicial notice sesuai dengan
kehendak Pengadilan sendiri; atau)

(2) must take judicial notice if a party requests it and the court is supplied with the necessary
information. (harus melakukan judicial notice apabila ada pihak yang menginginkannya dan
pengadilan diberikan informasi yang penting).
23
Jefferson L. Ingram. Criminal Evidence. 11 th ed. USA: Anderson Publishing. 2012. Page 111-.
24
http://www.law.cornell.edu/rules/fre/ (diakses pada tanggal 8 Maret 2012, 17:24 WIB)

15
(d) Timing. The court may take judicial notice at any stage of the proceeding. (Terjemahan
bebas: Waktu: Pengadilan dapat melakukan judicial notice pada setiap tingkat proses
pemeriksaan).

(e) Opportunity to Be Heard. On timely request, a party is entitled to be heard on the


propriety of taking judicial notice and the nature of the fact to be noticed. If the court takes
judicial notice before notifying a party, the party, on request, is still entitled to be heard.
( Terjemahan bebas: Kesempatan untuk didengar. Pada saat waktunya permintaan, suatu
pihak dijamin untuk didengar ketika pengambilan judicial notice dan fakta-fakta yang
terkandung didalamnya. Apabila pengambilan judicial notice dilakukan sebelum
memberitahu pihak, maka dengan permintaan, masih pihak tersebut dijamin untuk
didengarkan).

(f) Instructing the Jury. In a civil case, the court must instruct the jury to accept the noticed
fact as conclusive. In a criminal case, the court must instruct the jury that it may or may not
accept the noticed fact as conclusive. ( Terjemahan bebas: Memerintahkan Juri. Pada kasus
perdata, pengadilan harus menginstruksikan juri untuk menerima fakta yang telah diamati
sebagai suatu kesimpulan atau keyakinan. Dalam kasus pidana, pengadilan harus
memerintahkan juri bahwa fakta yang telah diamati dapat diterima atau tidak dapat diterima
sebagai kesimpulan atau keyakinan).

3.4 Contoh Penggunaan Alat Bukti Petunjuk


Salah satu perkara yang dalam pembuktiannya menggunakan alat bukti petunjuk adalah saat
persidangan kasus pembunuhan terhadap Munir, dengan terdakwa Pollycarpus Budihari
Priyatno. Dalam pertimbangannya, hakim pada Pengadilan Negeri (Putusan No. 1361/Pid.
B/2005/PN. JKT. PST) menggunakan alat bukti petunjuk yang didapatnya atas persesuaian
mengenai keterangan saksi, keterangan terdakwa, maupun surat-surat yang menjadi alat bukti
dalam persidangan tersebut.

Pembuktian menggunakan petunjuk ini salah satunya untuk mengungkapkan motivasi


mengapa Pollycarpus (terdakwa) membunuh korban (Munir). Berikut ini adalah
pertimbangan hakim:

“Menimbang, bahwa berdasarkan petunjuk-petujuk dan keterangan saksi Muchdi


Purwopranjono serta keterangan Terdakwa diatas, dihubungkan dengan kegiatan
Terdakwa di samping sebagai pilot Garuda juga mempunyai kegiatan sampingan yang

16
sama dengan kegiatan pembicara telpon genggam Nomor 0811900978, maka
pertanyaan melenyapkan Munir dapat dijawab ialah bahwa Terdakwa Pollycarpus juga
menghendaki agar Munir tidak vokal mengkritik Pemerintah sehingga pengadilan
berpendapat bahwa Terdakwa mempunyai daya bathin atau motivasi atau alasan
untuk menghilangkan jiwa Munir dengan kata lain pada diri Terdakwa terdapat
motivasi untuk menghilangkan jiwa Munir;...”

Selanjutnya:

“--------Menimbang, bahwa alasan-alasan yang tidak masuk akal dan penuh ketidak-
benaran yang dilakukan oleh Terdakwa dengan cara berangkat ke Singapura tanpa
perintah, tanpa surat tugas dan tanpa ijin atasan langsung tersebut telah mejadikan
petunjuk bahwa tidak ada tujuan ataupun motivasi lain selain Terdakwa berkeinginan
untuk menghilangkan jiwa Munir yang sudah dibicarakan dengan pembicara melalui
telepon genggam nomor 0811900978 yang masih belum diketahui siapa orangnya;----”

Dari dua pertimbangan hakim tersebut, dapat diketahui bahwa alat bukti petunjuk
dipergunakan ketika ada persesuaian antara beberapa alat bukti, seperti dalam kasus ini, yaitu
keterangan saksi dan keterangan Terdakwa.

17
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Alat bukti Petunjuk adalah persesuaian antara alat bukti yang sah atau yang telah di atur oleh
Undang-Undang, yang dapat digunakan untuk persesuaian tidak hanya keterangan saksi, surat
dan keterangan terdakwa saja. Mengenai tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi,
dan lainnya dapat digunakan alat bukti lainnya sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-
Undang yang bersangkutan sebagai dasar untuk Hakim menemukan Petunjuk. Kekuatan
hukum alat bukti Petunjuk bersifat bebas, karena hakim tidak terikat pada kebenaran dari
persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, sehingga petunjuk sebagai alat bukti tidak dapat
berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat pada prinsip batas
minimum pembuktian yaitu sekurang-kurangnya harus didukung oleh satu alat bukti yang
lain. Alat Bukti Petunjuk memiliki persamaan dan perbedaan dengan alat bukti Judicial
Notice di Amerika Serikat. Persamaannya adalah dalam mengambil persesuaian untuk
mengetahui apakah telah terjadi tindak pidana dan siapa pelakunya didasarkan pada fakta-
fakta yang ada dalam persidangan. Sedangkan perbedaannya terletak pada sumber alat bukti,
petunjuk hanya dapat didasarkan pada keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa atau
didasarkan pada alat bukti lain yang telah diatur dalam perundang-undangan sedangkan
Judicial Notice tidak terbatas sumbernya.

4.2 Saran
Untuk selebihnya, penulis berharap dalam Rancangan Undang-Undang KUHAP yang akan
segera direalisasikan, untuk pemahaman, konsep, dan bentuk konkret alat bukti “petunjuk”
dapat lebih jelas dan terperinci.

18
DAFTAR PUSTAKA
Alfitra, Hukum Pembuktian Dalam Beracara Pidana, Perdata Dan Korupsi Di Indonesia,
Cetakan 1(Editor Andriansyah), Jakarta, 2011.

Anonim, Kamus Hukum. PT. Citra Umbara, Bandung, 2008.

Barkatullah Halim Abdul, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dalam Transaksi E-


Commerce Lintas Negara di Indonesia, Pascasarjana FH UII dan FH UII Press.
Yogyakarta. 2009.

Dewi Shinta, Cyberlaw (Perlindungan Privasi Atas Informasi Pribadi Dalam ECommerce
Menurut Hukum Internasional) Widya Padjajaran. Bandung. 2009.

Hamzah Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua. Cet. 5. Sinar Grafika, Jakarta.
2011.

Ilyas B Irawan dan Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi Empat, Jakarta, 2008.

Marpaung Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika. Cetakan Kedua, Jakarta.
2005.

Masriani Tiena Yulies, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta,
November 2009.

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Edisi Revisi, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Edisi Ketiga. Cetakan


Keempat. PT. Refika Aditama, Bandung. 2011.

19

Anda mungkin juga menyukai