Anda di halaman 1dari 26

ARTIKEL

IJTIHAD HAKIM PEREMPUAN DALAM MEMUTUSKAN PERKARA


PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA PAMEKASAN
Rumdhaniyah1

Salah satu tahapan yang harus ditempuh oleh majelis hakim ketika

menangani perkara, yaitu dengan musyawarah majelis hakim, yang mana di

dalamnya pasti ada pendapat-pendapat para hakim yang berbeda. Begitu pula

dalam hal berijtihad, para hakim juga mempunyai metode yang berbeda. Sama

halnya dengan ijtihad yang dilakukan oleh hakim perempuan di Pengadilan

Agama, yang juga menggunakan beberapa metode ketika berijtihad mengenai

suatu perkara yang tidak jelas hukumnya.

Dalam penelitian ini, ada dua fokus permasalah yang menjadi kajian

pokok. Pertama tentang wujud dan pertimbangan dari ijtihad hakim perempuan

dalam memutuskan perkara perceraian di Pengadilan Agama Pamekasan. Kedua,

Apa metode dan landasan hakim perempuan dalam berijtihad terhadap perkara

perceraian di Pengadilan Agama Pamekasan.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian

studi kasus, dan juga menggunakan prosedur pengumpulan data yaitu wawancara

observasi dan dokumentasi. Dalam pengecekan data menggunakan triangulasi

dengan sumber, pengecekan sejawat dan pengecekan anggota.

Dari hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa wujud dari ijtihad

hakim perempuan dalam memutuskan perkara perceraian, lebih mendalam pada

penentuan nafkah istri dan anak pasca perceraian, dengan mempertimbangkan

1
Mahasiswa STAIN Pamekasan, Jurusan Syari’ah dan Ekonomi, Progran Studi Al-Ahwal Al-
Syakhsiyah.
keadilan di antara kedua belah pihak, penghasilan suami, kelayakan dan juga

kepatutan. Metode yang digunakan dalam berijtihad yaitu lebih sering

menggunakan metode istislahi atau mashlaha mursalah dalam perkara perceraian,

dengan memakai landasan atau pedoman peraturan perundang, undang-undang,

Kompilasi Hukum Islam dan Hujjah Syari’ah.

Berdasarkan hasil penelitian ini, saran dari peneliti diharapkan terutama

bagi seorang istri yang berperkara, baik dalam menggugat cerai ataupun cerai

talak, untuk selalu mempertahankan hak-haknya, dengan mengajukan gugatan

Rekonpensi ataupun mencantumkan nafkah-nafkah pasca perceraian di dalam

petitumnya ketika menggugat cerai suaminya. Kepada para suami juga yang

berperkara di Pengadilan Agama, supaya selalu memperhatikan kewajibannya dan

juga menunaikannya. Kepada para hakim terutama hakim perempuan untuk turus

dan selalu menggali hukum dengan semaksimal dan sebaik mungkin, agar tidak

hanya menjadi corong undang-undang dan tidak hanya dipandang semata oleh

siapapun.

Pengadilan Agama (selanjutnya ditulis PA) Pamekasan merupakan

lembaga yang sangat urgen di daerah Pamekasan, di mana sengketa-sengketa

ataupun perselisihan keluarga (perdata) umat Islam diurusi dan diselesaikan oleh

lembaga tersebut. Sengketa ataupun perselisihan yang dimaksud, yaitu seperti

perkara Perceraian, Waris, Wali Adhol, Pengangkatan Anak, Isbath Nikah, dan

lain sebagainya. Di dalam PA terdapat beberapa unsur penting untuk

memperlancar jalannya Peradilan dengan baik dan normal, salah satunya adalah

hakim, putusan hakim, dan para pihak (penggugat dan tergugat/ pemohon dan

termohon).
Majelis hakim di PA Pamekasan juga terdiri dari tiga orang hakim, satu

orang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Majelis hakim tersebut tidak

hanya terdiri dari hakim laki-laki saja, hakim perempuan terkadang juga

berkecimpung di dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara

mengenai masalah kekeluargaan (perdata) umat Islam di Kabupaten Pamekasan.

Di PA Pamekasan pada tahun 2014 bulan September sampai dengan sekarang

terdapat tiga orang perempuan yang menjabat sebagai hakim. Di dalam

persidangan sering kali hakim-hakim perempuan tersebut hanya menjadi hakim

anggota saja, tetapi terkadang ada satu hakim perempuan yang bertindak sebagai

hakim ketua. Sekalipun ada yang menjabat hakim ketua ataupun hakim anggota,

semua hakim perempuan mempunyai hak yang sama dalam memeriksa perkara.2

Para hakim di PA diperintahkan untuk berijtihad dengan menggunakan

beberapa metode ijtihad yang sudah dirumuskan oleh imam madzhab dalam

memutuskan perkara yang tidak jelas hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-

Sunnah. Para imam madzhab mengikuti jejak sahabat Mu’adz bin Jabal yang

pernah berijtihad tatkala diutus oleh Rasulullah SAW. untuk menjadi Qadli di

Yaman, sebagaimana diceritakan di dalam hadits:

‫ كي!ف تقض!ى اذ ع!رض‬:‫ان رسول اهلل صلى اهلل عليه وسلم ملا أراد ان يبعث معاذا اىل اليمن ق!ال‬
‫ ق!ال ف!إن‬.‫ قال فإن مل جتد يف كتاب اهلل؟ قال فبس!نة رس!ول اهلل‬.‫لك قضاء؟ قال أقضى بكتاب اهلل‬
‫مل جتد يف س!نة رس!ول اهلل وال يف كت!اب اهلل؟ ق!ال أجته!!د ب!رأي وال ال!و فض!!رب رس!ول اهلل ص!!دره‬
)‫ احلمدهلل الذي وفق رسول رسول اهلل ملا يرضى رسول اهلل (رواه ابو داود‬:‫فقال‬
Artinya: Sesungguhnya Rasulullah saw hendak mengutus Mu’adz ke
yaman, Rasulullah bertanya kepada Mu’adz: bagaimana engkau memutuskan
suatu perkara jika diajukan kepadamu? Mu’adz menjawab, saya akan putuskan
dengan kitab Allah, nabi bertanya kembali, jika tidak engkau temukan dalam
kitab Allah? Mu’adz menjawab, saya akan putuskan dengan sunnah Rasulullah.
2
Pengamatan Pra Penelitian dan Penjelasan dari Ketua Panitera/Sekretaris (23 Januari 2015, 09:30
WIB).
Nabi bertanya kembali, jika tidak engkau temukan dalam sunnah Rasulullah dan
tidak pula dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab saya akan berijtihad dengan
pemikiran saya dan saya tidak akan berlebih-lebihan. Kemudian Rasulullah
menepuk bahu Mu’adz sambil berkata: segala puji bagi Allah yang telah memberi
taufiq bagi utusan Rasulullah dengan sesuatu yang diridhai Rasululluah.
(HR.Abu Daud)3

Lalu yang menjadi persoalan, apakah hakim perempuan di PA Pamekasan

juga diperintahkan untuk berijtihad seperti sahabat Mu’adz bin Jabal ketika ada

perkara yang tidak jelas hukumnya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah, terutama

terhadap pihak perempuan yang berperkara, lalu apakah hakim perempuan juga

menggunakan pertimbangan psikologi dan sosiologi hukum ketika menyelesaikan

perkara dari pihak perempuan, seperti dalam mempertahankan hak-hak

perempuan pasca perceraian.

Mengenai kedudukan seorang perempuan menjadi hakim, terdapat

beberapa pendapat tentang keabsahan perempuan dalam menjabat sebagai hakim,

seperti Madzâhib al-Arba’ah yang berbeda pendapat mengenai syarat-syarat

menjadi hakim, menurut Imam Malik, syafi’i dan Ahmad yang dikutip oleh

Erfaniah Zuhriah dalam bukunya Peradilan Agama Indonesia, anak kecil dan wanita

tidak sah menjadi hakim, sedangkan Imam Abu Hanifah tidak membolehkan

wanita menjadi hakim dalam masalah pidana dan qishas saja, dengan alasan

karena dalam kedua hal tersebut kesaksiannya tidak dapat diterima, akan tetapi

dalam masalah perdata wanita boleh menjadi hakim4.

Sedangkan menurut Ibn Jarir al-Thabary yang di kutip oleh Oyo Sunaryo

Mukhlas dalam bukunya Perkembangan Peradilan Islam, perempuan boleh

menjadi hakim secara mutlak dalam menangani perkara. Ia menganalogikan

3
Fatchur Rahman, Hadis-Hadis Tentang Peradilan Agama (Jakarta : PT Bulan Bintang, 2005),
hlm. 27.
4
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia sejarah Pemikiran dan Realita (Malang: UIN
Malang Press, 2009), hlm. 11.
kekuasaan mengadili dengan kekuasaan memberi fatwa, sehingga laik tidaknya

menduduki jabatan hakim itu dilihat dari laik tidaknya menjadi mufti5.

Akan tetapi di Indonesia, idealisasi hakim itu tercermin dalam simbol-

simbol kartika (taqwa), cakra (adil), candra (berwibawa), sari (berbudi luhur),

dan tirta (jujur). Negara Indonesia juga tidak mempermasalahkan seorang

perempuan menjabat sebagai hakim. Oleh karenanya, peneliti tertarik untuk

meneliti tentang cara hakim perempuan dalam melakukan ijtihad mengenai

perkara perceraian di Pengadilan Agama Pamekasan. Salah contoh perkara yang

terdapat ijtihad hakim perempuan yaitu pada putusan Nomor:

833/Pdt.G/2014/PA.Pmk., yang menentukan hak-hak atau nafkah istri dan anak

pasca perceraian, yang diputus oleh majelis hakim Hj. St. Aisyah, MH. sebagai

ketua majelis hakim, Dra. Nurul Hidayati, M.Hum. dan Dra. Farhanah, MH. sebagai

anggota majelis hakim. Penelitian inipun terangkum dalam judul IJTIHAD

HAKIM PEREMPUAN DALAM MEMUTUSKAN PERKARA

PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA PAMEKASAN.

Berdasarkan konteks penelitian yang telah dipaparkan oleh peneliti, maka

terdapat pokok-pokok permasalahan yang ingin diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Apa wujud dan pertimbangan ijtihad hakim perempuan dalam

memutuskan perkara perceraian di PA Pamekasan?

2. Apa metode dan landasan ijtihad hakim perempuan dalam memutuskan

perkara perceraian di PA Pamekasan?

5
Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah Arab ke
Pengadilan Agama di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 8.
Berdasarkan fokus penelitian tersebut, penelitian ini bertujuan untuk:

1. Untuk mengetahui wujud dan pertimbangan ijtihad hakim perempuan

dalam memutuskan perkara perceraian di PA Pamekasan?

2. Untuk mengetahui metode dan landasan ijtihad hakim perempuan dalam

memutuskan perkara perceraian di PA Pamekasan?

Setiap pelaksanaan penelitian sudah pasti mempunyai fungsi serta manfaat

dari penelitian tersebut. Secara praktis manfaat dalam penelitian ini yaitu antara

lain:

1. Bagi seorang Peneliti

Bisa dijadikan tambahan pengetahuan tentang ilmu Syari’ah,

spesifiknya kepada jurusan Syari’ah dan Ekonomi program studi al-ahwal al-

syakhsiyah, sehingga menjadi pemicu untuk meneliti hal-hal yang berkaitan

dengan isu-isu kekinian yang berkaitan dengan penelitian ini, dan bisa

menghasilkan penelitian yang lebih baik lagi.

2. Bagi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Pamekasan

a) Sebagai wujud Tri Dharma perguruan Tinggi yakni: Pendidikan,

Pengabdian, dan Penelitian.

b) Sebagai pengukur dari kemampuan mahasiswa dalam memahami

beberapa teori yang sudah didapat sebelumnya dan kemudian

diterapkan pada penelitian.

3. Bagi masyarakat umum

Sebagai tambahan wawasan keilmuan mengenai ijtihad yang dilakukan

oleh hakim di PA, agar nantinya ketika berperkara bisa lebih mengerti terhadap

apa yang sudah diputuskan oleh hakim dan ketika ada rasa kejanggalan dalam
putusan tersebut tidak hanya menerima begitu saja dengan apa yang sudah

diputuskan.

Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas agar tidak terjadi kesalah

pahaman terhadap penelitian ini, maka perlu dipaparkan sebagai berikut:

1. Ijtihad: ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh yang dilakukan seorang

mujtahid untuk mencapai suatu putusan syara’ (hukum Islam) tentang kasus

yang penyelesaiannya belum tertetara dalam al-Qur’an dan al-Sunnah

Rasulullah SAW.6 Begitu pula dalam penelitian ini memfokuskan pada ijtihad

hakim perempuan dalam memutuskan perkara perceraian yang tidak di

temukan hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

2. Hakim Perempuan: hakim adalah petugas keadilan yang mengadili

perkara.7 Dalam penelitian ini fokus pada hakim perempuan yaitu seseorang

yang berjenis kelamin perempuan yang menjabat sebagai hakim di PA

Pamekasan.

3. Perkara Perceraian: perceraian adalah putusnya perkawinan dengan

putusan hakim atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan. 8 Dalam

penelitian ini spesifiknya terhadap cara hakim perempuan dalam memutuskan

perkara perceraian, apakah beliau memakai pertimbangan peikologi ketika

berijtihad dalam menentukan hak-hak pasca perceraian kepada pihak

perempuan yang berperkara.

Ijtihad berasal dari kata dasar Jahada, kemasukan alif dan ta’ menjadi

ijtihada yang bermakna berusaha dengan sungguh-sungguh. Dalam bidang fiqih

6
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1 (Jakarta: Pt Ichtiar Baru Hoeve, 1996),
hlm. 669.
7
Setiawan Widagdo, Kamus Hukum (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012), hlm. 195.
8
Ibid, hlm. 434.
berarti mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan

mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung di dalam al-

Qur’an dengan syarat-syarat tertentu.9

Mengenai macam-macam ijtihad secara umum, dibedakan menjadi dua

bagian yaitu ijtihad bayani dan ijtihad bi al-ra’y, ijtihad bayani masih dibedakan

dua bagian pula yaitu ijtihad qiyasi dan ijtihad istislahi.10 Akan tetapi dalam hal

ini juga ada yang mengatakan sebagai metode penemuan hukum. Persoalan

hukum yang tidak jelas bunyi teks baik dalam al-Qur’an, al-Sunnah, maka dalam

metode penemuan hukum dapat dilakukan dengan beberapa metode seperti

metode bayani, ta’lii dan istishlahi.11

Hakim yang dimaksud dalam Islam adalah yang menjadi sumber hukum

yaitu Allah. Sedangkan dilihat dari segi UU dalam Islam, hakim juga diartikan

sebagai pelaksana UU atau hukum dari suatu negara Islam. Hakim dalam bahasan

Ahkam Al-Qadla’ (tata aturan yang berkaitan dengan peradilan). 12

Perceraian dalam bahasa Indonesia dipakai dalam pengertian yang sama

dengan talak, talak itu sendiri berasal dari kata ”ithlaq” artinya melepaskan atau

meninggalkan. Dalam istilah agama, talak mempunyai arti melepaskan ikatan

perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan. Sedangkan perceraian secara

istilah fiqih mempunya arti yang juga tidak jauh berbeda dengan arti talak secara

istilah agama yaitu berarti bubarnya pernikahan.13

9
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), hlm. 183.
10
Jaih Mubarok, Metodelogi Ijtihad Hukum Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm.152.
11
Al-Fitri, Metode Penemuan Hukum Bayani,Ta’lili, Ishtilahi (PDF), hlm. 2. Diakses Pada Tgl, 06
November 2014.
12
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hlm. 70.
13
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Munakahat 2, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 55.
Sumber hukum yang berlaku di PA untuk memutus atau menganalisis

perkara yang masuk yaitu:14

1. al-Quran dan al-Sunnah.

2. UU No. 22 Tahun 1946 jo. UU No. 32 Tahun 1974 Tentang Nikah, Talak,

Rujuk.

3. UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

4. PP No. 7 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun1974

5. UU No. 7 Tahun1992 Tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah

degan UU No. 10 Tahun 1998

6. UU No. 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia

7. UU No. 38 Tahun1999 Tentang Pengelolaan Zakat

8. UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf

9. UU No. 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syari’ah

10. UU No. 21 tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah

11. UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

12. UU No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT

13. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia No. 11 Tahun 2007 Tentang

Pencatatan Nikah

14. KHI/instruksi Presiden Repubik Indonesia No.1 Tahun 1991 tgl 10 juli 1991

15. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 2008 Tentang

Ekonomi Syari’ah

16. Peraturan Bank yang berkaitan dengan Ekonomi Syari’ah

17. Yurisprudensi

18. Qonun aceh


14
Eka Susilawati, Hukum Acara Perdata (Pamekasan: Stain Pamekasan Press, 2006), hlm. 6.
19. Akad Ekonomi Syari’ah

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian

studi kasus. Kali pertama kehadiran peneliti di lokasi penelitian (PA Agama

Pamekasan), peneliti langsung menemui pihak kesekertariatan PA untuk

memberikan surat izin meneliti, beberapa hari kemudian peneliti dihubungi oleh

pihak keseketariatan PA Pamekasan untuk segera melakukan penelitian, dalam

artian peneliti sudah mendapatkan izin untuk meneliti di PA Pamekasan. Lokasi di

PA Pamekasan ini dipilih oleh peneliti yakni karena di PA Pamekasan, sudah jelas

ada 3 orang perempuan yang menjabat sebagai hakim, sehingga menjadi

kesesuaian dan juga mendukung dari topik yang dipilih oleh peneliti. Sumber data

dalam penelitian ini yaitu primer dan sekunder. Dalam penelitian ini sumber data

primer adalah data dari para hakim perempuan di PA Pamekasan, data tersebut

dirumuskan dalam bentuk wawancara dan juga dari cacatan pengamatan lapangan.

Sedangkan sumber data sekunder adalah putusan perkara perceraian di PA

Pamekasan yaitu putusan dari bulan September sampai Desember 2014, karena

sejak itulah di PA Pamekasan terdapat tiga orang hakim perempuan, sebelum

bulan tersebut terdapat 4 (empat) orang hakim perempuan, dan juga data-data dari

kepaniteraan, yaitu data dari jumlah perkara perceraian di bulan Januari 2015 dan

data lengkap perkara yang diamati oleh peneliti. Selain itu buku, skripsi, artikel,

jurnal termasuk pada data sekunder. Penlitian juga menggunakan prosedur

pengumpulan data yaitu wawancara observasi dan dokumentasi. Dalam

pengecekan data menggunakan triangulasi dengan sumber, pengecekan sejawat

dan pengecekan anggota dengan beberapa tahapan yaitu tahap pra penelitian,

tahap pekerjaan lapangan dan tahap penyusunan laporan.


Berdasarkan data-data yang sudah di dapat oleh peneliti di lapangan

penelitian, baik data tersebut dari hasil wawamcara, observasi ataupun

dokumentasi, yang sudah dipaparkan berdasarkan fokus penelitian di poin

Paparan Data. Peneliti menemukan beberapa temuan penelitian sebagai berikut:

a. Wujud dan Pertimbangan Ijtihad Hakim Perempuan Dalam Memutuskan


Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Pamekasan

1. Wujud dari ijtihad hakim perempuan dalam memutuskan perkara perceraian

yang sangat jelas dan lebih mendalam yaitu dalam menentukan besar kecilnya

(nominal) nafkah-nafkah kepada istri dan anak pasca perceraian. Karena dalam

hal penentuan besar kecilnya (nominal) nafkah-nafkah kepada istri dan anak

pasca perceraian tidak diatur secara jelas baik dalam al-Qur’an, maupun al-

Sunnah.

2. Para hakim perempuan dalam mempertimbangankan besar kecilnya (besaran

nominal) hak-hak ataupun nafkah-nafkah kepada istri dan anak pasca

perceraian, yaitu berijtihad dengan mempertimbangan pada keadilan diantara

kedua belah pihak, dengan melihat pendapatan suami sehari-hari, kultur sosial

di tempat para pihak, kelayakan dan juga kepatutan. Intinya para hakim

perempuan mengedepankan keadilan diantara para pihak, dengan

menggunakan 3 (tiga) asas dalam memutuskan yaitu asas manfaat, kepastian

hukum dan keadilan.

b. Metode dan Landasan Ijtihad Hakim Perempuan Dalam Memutuskan


Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

1. Metode yang di gunakan para hakim perempuan dalam berijtihad mengenai

besar kecilnya hak-hak atapun nafkah-nafkah kepada istri dan anak pasca
perceraian yaitu lebih menggunakan metode istishlahi ataupun mashlahah

mursalah. Meskipun terkadang semua metode seperti ta’lil dan bayani juga

digunakan tetapi dalam perkara perceraian lebih kepada istishlahi.

2. Dalam berijtihad hakim perempuan menggunakan beberapa landasan atau

pedoman seperti UU, peraturan perundangan, KHI, Hujjah Syari’ah dan harus

menguasai dalil-dali al-Qur’an, al-Sunnah dan pendapat-pendapat ulama yang

berkaitan dengan perkara yang ditangani.

Terakhir peneliti akan membagi pembahasan ini dalam juga dua pokok

sesuai fokus penelitian, yaitu:

1. Wujud dan Pertimbangan Ijtihad Hakim Perempuan Dalam Memutuskan


Perkara Perceraian di Pengadilan Agama Pamekasan

Penting untuk diketahui bahwa perceraian atau talak raj’i (talak 1 dan 2)

belumlah memutuskan perkawinan dalam makna sesungguhnya. Oleh sebab itu,

wanita yang telah ditalak suaminya, selama masa ‘iddah tetap dipandang sebagai

istri dari suaminya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh

lagi.15 Sebagaimana firman Allah Swt. pada surat at-Thalaq:1, yaitu:

     


        
       
        
          
   
Artinya:“Wahai nabi! apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)
iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada
Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan
15
Amiur Nuruddin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), hlm. 245.
janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji
yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat
zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah
mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”16

Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy yang dikutip oleh Amiur Nuruddin, ayat

inilah yang menjadi pandangan ulama dalam membagi talak menjadi talak Sunnah

dan bid’ah. Mencermati ayat tersebut ada beberapa hal penting, yaitu17:

a. Bahwa menalak istri hendaklah dalam keadaan suci dan belum dicampuri.
Sedangkan dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tapi telah dijima’
maka hukumnya haram,
b. Suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalak, selama
mereka masih dalam ‘iddah dan tidak boleh mereka keluar/pindah ketempat
lain kecuali mereka bersikap tidak baik,
c. Tempat tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat dirujuk lagi,
d. Talak boleh dilakukan sebagai jalan keluar dari pergaulan yang tidak aman.

Hal tersebut sangat berkaitan dengan hasil temuan penelitian mengenai

wujud dari ijtihad hakim perempuan dalam memutuskan perkara perceraian yaitu

pada hal menentukan besar kecilnya (besaran nominal) hak ataupun nafkah istri

dan anak pasca perceraian. Mengenai hak ataupun nafkah dan anak pasca

perceraian juga sudah di atur jelas di dalam al-Qur’an QS. At-Thalaaq: 6

       


       
       
      
     
Artinya:“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu

16
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 558.
17
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam, hlm. 246-247.
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”18

Dalam ayat tersubut merupakan dasar bagi suami untuk memberikan

tempat tinggal bagi istri yang ditalaknya, bahkan ayat tersebut juga memberikan

pengertian yang tegas tentang kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami seperti

membrikan biaya untuk menyusukan anaknya.19 Akan tetapi dalam ayat tersebut

tidak secara jelas menjelaskan mengenai besar kecilnya hak ataupun nafkah istri

pasca perceraian, yang mana mengenai hal tersebut para hakim di PA berijtihad

sendiri.

Di dalam KHI BAB XVII pasal 149 juga diatur dengan jelas mengenai

kewajiban kepada para bekas suami, akan tetapi juga tidak menjelaskan besar

kecilnya sesuatu yang harus di penuhi, yaitu bekas suami wajib20:

a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau
benda, kecuali bekas istri tersebut qobla al dukhul.
b. Memberikan nafkah, maskanah dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
‘iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam
keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya dan separuh apabila qobla al
dukhul.
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21 tahun.

Sedangkan dalam mempertimbangkan penentuan nominal nafkah istri dan

anak pasca perceraian, yang merupakan kewajiban bekas suami yang harus

terpenuhi kepada bekas istrinya, seperti nafkah madhiya, mut’ah ataupun nafkah

anak, para hakim perempuan lebih mengedepankan keadilan di antara kedua belah

pihak, sedangkan keadilan itu sangat relatif dirasakan.

18
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 559.
19
Amiur Nuruddin, Hukum Perdata Islam, hlm. 248.
20
KHI, hlm. 367-368.
Keadilan yang dibicarakan dan dituntut al-Qur’an amat beragam, tidak

hanya pada proses penetapan hukum atau terhadap pihak yang berselisih,

melainkan al-Qur’an juga menuntut keadilan terhadap diri sendiri, baik ketika

berucap, atau menulis bersikap batin.21

Selain mengedepankan keadilan para hakim perempuan juga

mempertimbangkan dari pendapatan atau penghasilan suami sehari-hari, kuktur

sosial setempat kedua belah pihak dan juga kelayakan, kepatutan. Kemudian para

hakim perempuan juga menggunakan asas manfaat dan kepastian hukum.

Asas manfaat yang dimaksud yaitu besaran nominal nafkah yang

ditentukan oleh majelis hakim yaitu besaran nominal nafkah istri dan anak pasca

perceraian tersebut bisa bermanfaat bagi istri dan anaknya dalam kehidupan

sehari-hari. Dan bisa memberi kepastian hukum, artinya apa yang sudah

diputuskan majelis hakim bisa dilaksanakan oleh para pihak dan tidak hanya

menjadi hitam diatas putih semata.

Mengenai wujud dan pertimbangan dari ijtihad hakim perempuan juga

terlihat jelas dalam salah satu putusan yaitu pada putusan Nomor:

833/Pdt.G/2014/PA.Pmk.:

“Pemohon, umur 33 tahun, agama Islam, pekerjaan Swasta, bertempat


tinggal di Kabupaten Pamekasan. Termohon, umur 31 tahun, agama Islam,
pekerjaan Ibu Rumah Tangga, bertempat tinggal di Kabupaten Pamekasan.
TENTANG DUDUK PERKARA Bahwa penyebab perselisihan dan
pertengkaran tersebut adalah karena Termohon merasa kurang tercukupi
ekonomi/belanjanya padahal Pemohon sudah berusaha bekerja sebagai
Swasta dan penghasilannya sudah diberikan kepada Termohon, namun
Termohon masih merasa kurang cukup, lalu Termohon meninggalkan
Pemohon. Menimbang, bahwa dalam persidangan yang dihadiri oleh
Pemohon dan Termohon secara pribadi, Majelis Hakim telah berupaya
mendamaikan dan menasehati kedua belah pihak agar rukun kembali
dalam membina rumah tangga mereka, namun tidak berhasil; Menimbang,
Termohon telah memberikan jawaban secara tertulis tertanggal 13 Oktober
21
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 112.
2014 yang pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa tidak benar sejak
kurang lebih 2 tahun 6 bulan, melainkan sejak 3 tahun 9 bulan yang lalu
rumah tangga Termohon dengan Pemohon mengalami keretakan diawali
tingkah laku Pemohon yang telah selingkuh dengan perempuan lain yang
berstatus punya suami, dimana perempuan tersebut dibawa lari oleh
Pemohon bahkan sampai punya seorang anak, dan sekarang oleh Pemohon
telah dinikahi; Bahwa Termohon telah menunggu sekian lama di rumah
orang tua Pemohon karena Termohon masih kasihan terhadap Pemohon
dan mengingat anak masih kecil, namun Pemohon tidak kunjung datang,
akhirnya terpaksa Termohon pulang ke rumah orang tua, sampai sekarang
antara Pemohon dengan Termohon telah pisah rumah selama kurang lebih
3 tahun 9 bulan; Bahwa pada prinsipnya Termohon masih berat dicerai
oleh Pemohon, akan tetapi apabila Pemohon memaksa untuk menceraikan
Termohon, Termohon hendak mengajukan gugatan balik diantaranya
gugatan nafkah madliyah, iddah, dan mut’ah serta tuntutan nafkah seorang
anak yang diasuh oleh Termohon dengan rincian sebagai berikut:-Nafkah
madliyah selama 3 tahun 9 bulan setiap hari sebesar Rp. 50.000,-
( limapuluh ribu rupiah);-Nafkah iddah selama 100 hari setiap hari
Termohon minta sebesar Rp. 50.000,-( lima puluh ribu rupiah) ; -Mut’ah
sebesar Rp. 10.000.000,-( sepuluh juta rupiah);-Sedang nafkah untuk satu
orang anak yang diasuh oleh Termohon setiap bulan minimal Rp.
750.000,-(tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) sampai anak tersebut
dewasa; Bahwa selain itu Pemohon juga punya hutang emas kepada Ibu
Termohon, dan Pemohon agar mengembalikan hutang tersebut kepada
Termohon dengan rincian sebagai berikut: a. 2 buah cincin emas masing-
masing seberat 3gram dan 4 gram. b.Sepasang giwang emas seberat1
gram. Menimbang, bahwa atas jawaban Termohon tersebut, Pemohon
telah memberikan replik secara tertulis tertanggal 27 Oktober 2014 yang
pada pokoknya sebagai berikut: Bahwa jawaban Termohon tidak benar
bila Pemohon telah berselingkuh dengan wanita lain, akibat dari retaknya
rumah tangga tersebut dipicu oleh kecemburuan Termohon yang terlalu
tinggi, sehingga rumah tangga menjadi tidak harmonis; Bahwa tuntutan
nafkah dari Termohon begitu memberatkan Pemohon, Pemohon tidak
mempunyai kesanggupan karena Pemohon pekerjaannya hanya sebagai
Swasta; Bahwa tentang permintaan nafkah dan semua hutang-hutang emas
Pemohon kepada Ibu Termohon tersebut, Pemohon dengan Termohon
telah berusaha menyelesaikan secara kekeluargaan bahkan melibatkan
aparatur desa setempat dan Pemohon sanggup membayar permintaan
nafkah dan semua hutang-hutang tersebut sebesar Rp. 7.500.000,-(tujuh
juta lima ratus ribu rupiah), namun Termohon menolak dengan alasan
nafkah tersebut sangat minim dan terlalu kecil; Bahwa untuk permintaan
nafkah seorang anak yang diasuh Termohon sebesar Rp.750.000,-(tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah) terlalu memberatkan Pemohon, meskipun
anak tersebut dalam asuhan Termohon, selama berpisah Pemohon setiap
hari memberi terhadap anak Pemohon, karena antara rumah Pemohon
dengan Termohon berdekatan, Pemohon sanggup memberi nafkah anak
tersebut sesuai dengan kemampuan Pemohon karena pekerjaannya hanya
sebagai Swasta. TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM Dalam
Rekonpensi: Menimbang, bahwa pada pokoknya gugatan Penggugat
Rekonpensi adalah menuntut Tergugat Rekonpensi untuk membayar
kepada Penggugat Rekonpensi berupa nafkah madliyah selama 3 tahun 9
bulan sebesar Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah) perhari, nafkah iddah
sebesar Rp. 50.000,-(lima puluh ribu rupiah) perhari, mut’ah sebesar Rp.
10.000.000,-(sepuluh juta rupiah), nafkah seorang anak yang diasuh oleh
Termohon setiap bulan minimal Rp.750.000,-(tujuh ratuslima puluh ribu
rupiah) sampai anak tersebut dewasa, dan hutang emas kepada Ibu
Termohon berupa 2 buah cincin emas masing-masing seberat 3 gram dan 4
gram dan sepasang giwang emas seberat 1 gram supaya dikembalikan
kepada Termohon; Menimbang, bahwa gugatan Penggugat Rekonpensi
tersebut terkait dengan hak-hak isteri yang diceraikan yang dapat diajukan
bersamaan dengan jawaban atas permohonan cerai talak suaminya sesuai
dengan Pasal 66 ayat 5 UU No. 7 tahun 1989 dan Pasal 132 b ayat (1)
H.I.R., maka Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan Penggugat
Rekonpensi tersebut secara formil dapat diterima dan perlu mendapat
pertimbangan; Menimbang, bahwa atas gugatan Penggugat Rekonpensi
tersebut, Tergugat Rekonpensi menyatakan tidak sanggup memenuhi
gugatan Penggugat Rekonpensi karena gugatan nafkah dari Penggugat
Rekonpensi sangat memberatkan Tergugat Rekonpensi, sedangkan
pekerjaan Tergugat Rekonpensi hanya sebagai Swasta. Oleh karena itu
untuk permintaan nafkah dan semua hutang-hutang emas kepada Ibu
Penggugat Rekonpensi, Tergugat Rekonpensi sanggup membayarnya
sebesar Rp. 7.500.000,-(tujuh juta lima ratus ribu rupiah), dan untuk
nafkah seorang anak yang diasuh oleh Penggugat Rekonpensi, Tergugat
Rekonpensi sanggup memberi nafkah anak tersebut sesuai dengan
kemampuan Tergugat Rekonpensi sebagai Swasta; Menimbang, bahwa
mengenai nafkah lampau (madliyah) yang diminta oleh Penggugat
Rekonpensi, ternyata Tergugat Rekonpensi tidak membantah bahwa sejak
berpisah rumah dengan Penggugat Rekonpensi tidak pernah memberikan
nafkah kepada Penggugat Rekonpensi, sedang kepada anaknya tetap
memberi nafkah, dan berdasarkan keterangan 2 orang saksi Penggugat
Rekonpensi terbukti bahwa Tergugat Rekonpensi tidak memberikan
nafkah kepada Penggugat Rekonpensi sejak 3 tahun 9 bulan (45bulan)
yang lalu, sehingga oleh karena Penggugat Rekonpensi tidak dipandang
oleh Majelis sebagai wanita yang nusyuz, maka tuntutan Penggugat
Rekonpensi yang berkaitan dengan nafkah lampau tersebut merupakan
suatu hal yang wajar, namun oleh karena besarnya nafkah lampau yang
diminta oleh Penggugat Rekonpensi tersebut, Majelis menilai terlalu
memberatkan pihak Tergugat Rekonpensi karena jumlah yang dituntut
oleh Penggugat Rekonpensi terlalu besar jika mengingat pekerjaan
Tergugat Rekonpensi sebagai pekerja serabutan, yaitu sebagai Swasta dan
sopir yang berdasarkan keterangan Penggugat Rekonpensi dan keterangan
kedua orang saksi Tergugat Rekonpensi berpenghasilan tidak menentu,
dan setiap kali menyopir mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 20.000,-
(dua puluh ribu rupiah), maka dengan memperhatikan maksud Pasal 34
dan Pasal 41 huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, Majelis Hakim
memandang patut dan wajar apabila kepada Tergugat Rekonpensi
diperintahkan untuk membayar nafkah lampau kepada Penggugat
Rekonpensi sebesar Rp. 200.000,-(dua ratus ribu rupiah) perbulan,
sehingga nafkah lampau (madliyah) yang harus dibayar oleh Tergugat
Rekonpensi kepada Penggugat Rekonpensi adalah sebesar Rp. 200.000,-x
45 bulan = Rp. 9.000.000,-(sembilan juta rupiah); Menimbang, bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 149 huruf (a), (b) dan (d) Kompilasi Hukum
Islam, bahwa bilamana perkawinan putus karena cerai talak, maka bekas
suami wajib memberikan mut’ah dan nafkah iddah kepada bekas isterinya
serta memberikan nafkah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur
21tahun; Menimbang, bahwa mengenai tuntutan Penggugat Rekonpensi
terkait nafkah iddah, Majelis menilai terlalu memberatkan pihak Tergugat
Rekonpensi pula, namun oleh karena talak yang dikabulkan untuk
dijatuhkan Tergugat Rekonpensi kepada Penggugat Rekonpensi adalah
talak satu raj’i, maka Penggugat Rekonpensi berhak untuk mendapatkan
nafkah iddah dari Tergugat Rekonpensi, dan Majelis Hakin memandang
patut dan wajar apabila Tergugat Rekonpensi dihukum untuk membayar
nafkah iddah kepada Penggugat Rekonpensi sebesar Rp. 200.000,-x
3bulan= Rp. 600.000,-(enam ratus ribu rupiah); Menimbang, bahwa
mengenai mut’ah yang diminta oleh Penggugat Rekonpensi, oleh karena
kewajiban memberikan mut’ah tersebut adalah guna mengurangi beban
penderitaan Penggugat Rekonpensi (isteri) akibat adanya talak yang
dijatuhkan kepadanya sesuai maksud Pasal 149 huruf a, Pasal 158 huruf b
dan Pasal 160 Kompilasi Hukum Islam serta mengingat firman Allah swt.
dalam surat Al Baqarah ayat 241yang berbunyi: Artinya: “Kepada wanita-
wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah yang
ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang taqwa“. sehingga
oleh karena itu, dan sesuai ketentuan pasal 160 Kompilasi Hukum Islam,
dimana besarnya mut’ah itu disesuaikan dengan kepatutan dan
kemampuan suami, maka menurut pertimbangan Majelis dengan
memperhatikan penghasilan Tergugat Rekonpensi sebagai Swasta/sopir
serta mengingat jasa-jasa Penggugat Rekonpensi sebagai isteri yang telah
mendampingi Tergugat Rekonpensi selama kurang lebih 7 tahun lamanya,
maka Tergugat Rekonpensi dihukum untuk memberikan mut’ah kepada
Penggugat Rekonpensi berupa uang sebesar Rp. 500.000,-(lima ratus ribu
rupiah); Menimbang, bahwa di dalam pasal 41 huruf b Undang-Undang
No.1 Tahun 1974, setelah terjadi perceraian yang bertanggungjawab atas
semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak adalah
bapak, kecuali apabila bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut; Menimbang, bahwa kewajiban orangtua dalam
hal pemeliharaan dan pendidikan anaknya berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, sesuai dengan ketentuan pasal 45 ayat (2)
Undang-Undang No.1 tahun 1974; Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut diatas, maka gugatan Penggugat Rekonpensi
mengenai nafkah anak tersebut dapat dipertimbangkan dengan mengacu
pada penghasilan Tergugat Rekonpensi serta kebutuhan anak tersebut,
sehingga yang patut serta wajar menurut Majelis kepada Tergugat
Rekonpensi dibebani untuk memberi nafkah kepada seorang anaknya
bernama ANAK PEMOHON DAN 18 TERMOHON, umur 9 tahun
minimal sebesar Rp. 300.000,-(tiga ratus ribu rupiah) perbulan sampai
anak tersebut dewasa atau berumur 21 tahun atau sudah menikah;
MENGADILI Dalam Rekonpensi: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat
Rekonpensi untuk sebagian; 2. Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk
membayar kepada Penggugat Rekonpensi berupa: 2.1. Nafkah
lampau(madliyah) sebesar Rp. 9.000.000,-(sembilan juta rupiah); 2.2.
Nafkah iddah sebesar Rp. 600.000,-(enam ratus ribu rupiah); 2.3. Mut’ah
sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah); 2.4. Nafkah seorang anak
bernama ANAK PEMOHON DAN TERMOHON, umur 9 tahun minimal
sebesar Rp. 300.000,(tiga ratus ribu rupiah) perbulan sampai anak tersebut
dewasa (berumur 21tahun) atau sudah menikah; sesaat setelah pelaksanaan
ikrar talak; 3. Menetapkan hutang-hutang kepada Ibu Penggugat
Rekonpensi berupa: a. 2 buah cincin emas seberat 3 gram dan 4 gram; b.
Sepasang giwang emas seberat 1gram; sebagai hutang bersama Penggugat
Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi; 4. Menetapkan Penggugat
Rekonpensi dan Tergugat Rekonpensi masing-masing berhak atas
seperdua bagian hutang bersama sebagaimana pada point no. 3; 5.
Menghukum Tergugat Rekonpensi dan Penggugat Rekonpensi untuk
membagi dua hutang bersama sebagaimana pada point no. 4 dan masing-
masing berkewajiban membayar atau melunasinya; 6. Menolak gugatan
Penggugat Rekonpensi untuk selebihnya;”

Dalam putusan tersebut sudah terlihat jelas wujud dan pertimbangan dari

ijtihad para hakim perempuan memang terletak pada penentuan besar kecilnya

(nominal) nafkah istri dan anak pasca perceraian dengan beberapa pertimbangan,

salah satunya dengan melihat penghasilan suami. Dalam putusan tersebut juga

sudah sesuai dengan gugatan para pihak, meskipun tidak dikabulkan sepenuhnya.

Hanya saja majelis hakim tidak menyampaikan bahwa seorang istri tetap tidak

boleh beranjak dari rumah suami, ataupun istri juga masih berhak atas tempat

tinggal. Begitupula dalam hal mengenai putusan yang ada hukuman atas beban

nafkah istri dan anak hanya ketika istri hadir, tetapi ketika istri tidak hadir Majelis

Hakim tidak pernah nenyampaikan adanya kewajiban hal tersebut. Lain halnya

ketika pihak istri menyerahkan sepenuhnya mengenai hak-haknya kepada majelis

hakim, barulah majelis hakim tersebut menggunakan hak Ex officionya untuk

menentukan hak atau nafkah istri dan anak pasca perceraian.


2. Metode dan Landasan Ijtihad Hakim Perempuan Dalam Memutuskan
Perkara Perceraian di Pengadilan Agama

Metode yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu cara yang digunakan

oleh hakim perempuan dalam berijtihad. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,

metode adalah cara teratur yangg digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan

agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki atau cara kerja yang bersistem

untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang

ditentukan.22

Perihal tentang metode dalam berijtihad, secara terperinci Al-Syafi’i yang

di kutip di dalam buku forum karya ilmiah 2004, memaparkan langkah pertama

yang harus di lakukan seorang mujtahid adalah membandingkan persoalan-

persoalan yang terjadi dengan ayat-ayat di dalam al-Qur’an. Apabila tidak

ditemukan hukumnya, maka beralih dengan membandingkannya dengan sunnah

mutawatirah, kemudian Sunnah ahad. Apabila masih tidak ditemukan dalam al-

Sunnah, maka tidak boleh langsung menerapkan metode qiyas ataupun yang

lainnya, akan tetapi terlebih dahulu melihat zhahir ayat-ayat al-Qur’an. Bila

ditemukannya, maka hendaknya dilihat, adakah mukhashshish (eksepsi hukum)-

nya? Jika tidak ditemukan mukhashshish-nya, maka zhahir itulah yang harus

dijadikan sebagai acuan keputusan hukum.23

Begitupun hakim perempuan, karena mengenai penentuan besar kecilnya

(nominal) nafkah istri dan anak pasca perceraian memang sudah tidak dijelaskan

secara rinci di dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, maka para hakim perempuan
22
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
23
Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik Toritis Fiqih Islam, (PP. Lirboyo: Kediri, 2008), hlm.
357-358.
berijtihad sendiri dengan menggunakan metode bi al-ra’y, dengan lebih

menggunakan metode istishlahi atau mashlahah mursalah terutama dalam perkara

perceraian.

Ijtihad istishlahi, seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Ma’ruf al-

Dawalibi, yang di kutip oleh Jaih Mubarok, merupakan bentuk kedua dari ijtihad

bi al-ra’y.24Adapun pengertian dari ijtihad istishlahi itu sendiri yaitu ijtihad

terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam al-Quran dan al-Sunah dengan

menggunakan ra’y berdasarkan kaidah istishlahi. Istishlahi adalah suatu cara

penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak dijelaskan hukumnya

oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-mashlahah al-

murshalah.25

Adapun ahli hukum yang kali pertama meletakkan dasar-dasar pemikiran

al-mashlahah al-murshalah, adalah al-Syafi’i. Menurut Yusuf Ahmad

Muhammad al-Badawi yang dikutip oleh Mohammad Hefni, terdapat tiga

argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu: pertama, al-Syafi’i seringkali

berbicara perihal ratio legis hukum (‘illay al-hukm) dan mengklasifikasi watak

hukum menjadi rasional (ta’aqquli) dan irasional (ta’abbudi). Kedua, ia aktif

menyuarakan pentingnya kaidah-kaidah universal (qawa’id al-kulliyah). Dan

ketiga, dalam setiap proses inferensi hukum (istinbath al-humk), ia tidak pernah

mengesampingkan tujuan-tujuan hukum.26

Tetapi menurut al-Raysuni yang dikutip oleh Mohammad Hefni, orang

yang kali pertama memperkenalkan istilah mashlahah dan juga yang kali pertama

24
Jaih Mubarok, Metodelogi Ijtihad Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2002), hlm. 152.
25
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih, hlm.178.
26
Muhammad Hefni, Para Pemikir Hukum Islam Kontemporer, (Surabaya: Pena Salsabila, 2013),
hlm. 13-14.
menyuarakan Maqaashid al-syari’ah adalah Al-Turmudzi al-Hakim, ulama yang

hidup pada abad ke-3. Meskipun terdapat beragam versi, namun dapat diambil

kesimpulan paradigma ini kemudian dikembangkan secara sistematis oleh al-

syaathibi, ia mengatakan bahwa “ajaran Islam disyari’atkan tidak lain hanya untuk

memelihara kemashlahatan umat manusia di dunia akhirat”.27

Mengenai arti dari mashlahah itu sendiri, dalam hal ini Al-Gazali yang
dikutip oleh forum karya ilmiah 2004, menjelaskan bahwa secara harfiah,
mashlahah adalah menarik kemanfaatan dan menghindarkan kerugian.
Namun yang dikehendaki dalam pembahasan mashlahah mursalah ini
tersebut. Akan tetapi melestarikan tujuan-tujuan syari’at. Sedangkan
tujuan syara’ pada makhluk mencakup lima hal, memelihara agama, jiwa,
akan keturunan, dan harta kekayaan. Karena, setiap hal yang memiliki
muatan pelestarian terhadap lima prinsip dasar ini adalah mashlahah.
Sedangkan hal-hal yang menghambat pencapaian prinsip-prinsip ini
disebut mafsadah, dan penolakan atas mafsadah adalah suatu maslahah.28

Sedangkan Muhammad Salam Madkur yang dikutip oleh Jaih Mubarok

menjelaskan bahwa arti mashlahah secara bahasa adalah keadaan yang baik dan

bermanfaat.29 Dalam hal ini setidaknya ada tiga aturan atau syarat yang harus

diperhatikan, yaitu30:

1. Kemashlahatan tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan syari’ah dan tidak

bertentangan dengan nash maupun dalil-dalil syari’at yang bersifat qath’i.

2. Subtansi dari kemashlahatan tersebut cocok, dan rasional, yang mana

dampak hukum dari kemashlahatan tersebut dapat dipastikan bukan hanya

bersifat prasangka atau dugaan belaka.

27
Ibid, hlm. 14-15.
28
Forum Karya Ilmiah 2004, Kilas Balik, hlm. 253-254.
29
Mubarok, Metodelogi Ijtihad, hlm. 152-153.
30
Wahbah Zuhayli, Jamaludin Athiyah, Kontroversi Pembaruan Fiqih, trj. Ahmad Mulyadi,
(Yogyakarta, Erlangga: 2002), hlm. 124-126.
3. Kemashlahatan yang dijadikan acuan hukum haruslah berorientasi pada

kepentingan masyarakat banyak, bukan untuk kepentingan pribadi ataupun

kelompok tertentu.

Menurut peneliti, kemashlahatan yang dipandang oleh para hakim

perempuan di PA Pamekasan juga sudah bisa diterima oleh akal (tasional), yang

dampak hukumnya juga dapat dipastikan, dan kemashlahatan tersebut juga sudah

berorientasi pada kepentingan masyarakat. Seperti pada penentuan nominal

nafkah istri dan anak pasca perceraian, para hakim perempuan dalam

menentukannya melihat pada keadilan diantara para pihak dan melihat pendapatan

suami dan kebutuhan istri sehari-hari, dengan kata lain para hakim perempuan

sudah memperhatikan kepentingan para pihak beserta keluarga.

Meskipun pada prinsip umumnya adalah bahwa seorang mujtahid

diperbolehkan mengubah ijtihadnya dan menarik kembali pendapatnya, baik

dengan alasan perubahan kemashlahatan ataupun karena ia menemukan dalil baru

yang belum ditemukan sebelumnya. Ketika seorang mujtahid menemukan hukum

atau dalil baru, maka harus terlebih dahulu digunakan, ketimbang yang terdahulu.

Ini juga karena semua hukum selalu berkaitan dengan kemashlahatan. Sedang

kemashlahatan itu sendiri selalu berubah bersamaan dengan kondisi, zaman, dan

kebiasaan.31

Sesungguhnya dalam hal metode berijtihad yang digunakan hakim

perempuan di PA Pamekasan untuk memutuskan suatu perkara yang sedang

ditangani, tidak hanya menggunakan metode istishlahi, hanya saja dalam perkara

perceraian lebih sering menggunakan metode istishlahi terutama dalam hal

penentuan besaran nominal nafkah istri dan anak pasca perceraian. Akan tetapi,
31
Wahbah Zuhayli, Kontroversi Pembaruan Fiqih, hlm. 109.
hakim perempuan terkadang juga menggunakan metode bayani dan ta’lili juga

digunakan dalam berijtihad untuk memutuskan perkara-perkara yang lain.

Adapun ijtihad bayani adalah penjelasan ulama terhadap teks al-Qur’an

dan al-Sunnah. Dalam kajian ini ijtihad cenderung dipandang sama dengan tafsir,

yaitu penjelasan terhadap maksud Allah dan Rasul-Nya. Sebagaimana

Muhammad al-Dawabili yang dikutip oleh Jaih Mubarok:32

‫البيان والتفسري لنصوص الكتاب والسنة‬


Artinya: “penjelasan dan penafsiran terhadap teks al-Qur’an dan as-
Sunnah”

Sedangkan ijtihad ta’lili yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak

terdapat dalam al-Quran dan hadist dengan menggunakan metode qiyas ijtihad

ta’lili (kausasi) berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nash ke

kasus cabang yang memiliki persamaan ‘illat, yang teraplikasi melalui qiyas.33

Mengenai landasan yang digunakan oleh hakim perempuan ketika

berijtihad yaitu:

a. UU

b. Peraturan perundangan

c. UU No. 1 Tahun 1974

d. Kompilasi Hukum Islam, dalam hal ini Majelis Hakim juga sering menjadikan

sebagai dasar putusan, padahal Kompilasi Hukum Islam masih berbentuk suatu

kumpulan dari pendapat ulama, belum menjadi undang-undang yang

diresmikan.

e. Hujjah Syari’ah, dalam hal ini belum jelas Hujjah Syari’ah itu seperti apa,

karena peneliti tidak pernah mengetahui dan Hakimpun tidak memerlihatkan.

32
Mubarok, Metodelogi Ijtihad, hlm. 11.
33
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqih, hlm.178.
f. Mengetahui dan menguasai dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah yang

bersangkutan dengan perkara yang sedang ditangani.

Landasan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu acuan yang dijadikan

dasar, yakni seperti suatu perkara apapun yang sudah tidak diatur secara jelas

mengenai dasar hukumnya di dalam al-Qur’an dan al-Sunnah barulah bisa untuk

dilakukan ijtihad. Akan tetapi mengenai landasan yang digunakan dalam

berijtihad terhadap suatu perkara yang dituturkan oleh para hakim perempuan,

menurut peneliti hakim perempuan masih kurang memahami mengenai hal

tersebut, karena mengenai landasan yang dipakai untuk berijtihad dalam ushul

fiqih yaitu hanya dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah. Apabila di dalam al-Qur’an

dan al-Sunnah sudah tidak dijelaskan, maka barulah para hakim dianjurkan

bahkan diwajibkan untuk berijtihad. Sedangkan yang dimaksudkan oleh hakim

perempuan yaitu seperti UU dan Peraturan Perundangan dan juga KHI, menurut

peneliti itu sudah hasil dari ijtihad para ulama, yang mana hasil ijtihad itu sendiri

menurut peneliti tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk berijtihad.

DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Fatchur. Hadis-Hadis Tentang Peradilan Agama. Jakarta : PT Bulan


Bintang. 2005.

Zuhriah, Erfaniah. Peradilan Agama Indonesia sejarah Pemikiran dan Realita.


Malang: UIN Malang Press. 2009.

Mukhlas, Oyo Sunaryo. Perkembangan Peradilan Islam dari Kahin di Jazirah


Arab ke Pengadilan Agama di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia. 2011.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam, Cet. 1. Jakarta: Pt Ichtiar Baru
Hoeve, 1996.

Widagdo, Setiawan. Kamus Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka. 2012.


Departemen Agama. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Pt Ichtiar Baru Van Hoeve. 2001.

Mubarok, Jaih. Metodelogi Ijtihad Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press. 2002.

Al-Fitri. Metode Penemuan Hukum Bayani,Ta’lili, Ishtilahi (PDF).

Ahmad Saebani, Beni. Fiqih Munakahat 2. Bandung: Pustaka Setia. 2001.

Susilawati, Eka. Hukum Acara Perdata. Pamekasan: Stain Pamekasan Press.


2006.

Anda mungkin juga menyukai