Anda di halaman 1dari 37

UPAYA RUMAH SAKIT ISLAM IBNU SINA PADANG MENUJU SISTEM

SYARIAH

(ANALISIS FATWA DSN-MUI NO.107/DSN-MUI/X/2016 TENTANG


PEDOMAN PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT BERDASARKAN
PRINSIP SYARIAH)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syariah Sebagai Salah Satu Syarat Guna Meraih
Sarjana Hukum (SH) Pada Prodi Hukum Ekonomi Syariah(HES)

Oleh:

FEBY RAHMADANI
NIM: 1613030027

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

IMAM BONJOL PADANG

1441 H/2020 M
OUTLINE

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


2. Rumusan Masalah
3. Pertanyaan Penelitian
4. Tujuan penelitian
5. Manfaat penelitian
6. Signifikansi penelitian
7. Studi literatur
8. Kerangka Teori
9. Metode Penelitian

BAB II LANDASAN TEORI

1. Fatwa
1.1 Pengertian Fatwa
1.2 Dasar Hukum Fatwa
1.3 Fatwa Sebagai Sumber Hukum
1.4 Dasar-Dasar Penetapan Fatwa
1.5 Metode Fatwa
2. Profil DSN-MUI
2.1 Pengertian DSN-MUI
2.2 Sejarah DSN-MUI
2.3 Latar Belakang DSN-MUI
2.4 Visi, Misi, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DSN-MUI
3. Profil DSN-MUI.No.107/DSN-MUI/X/2016 dan Otoritas Fatwa
3.1 Latar Belakang Terbitnya Fatwa DSN-MUI No.107/DSN-
MUI/X/2016
3.2 Isi Fatwa Mengenai Definisi dan Dasar-Dasarnya
3.3 Implikasi Fatwa DSN-MUI No.107/DSN-MUI/X/2016
4. Rumah Sakit Syariah
4.1 Pengertian Rumah Sakit Syariah
4.2 Pelayanan Dengan Prinsip Syariah
4.3 Rumah Sakit Syariah dalam Fatwa DSN-MUI No.107/DSN-
MUI/X/2016

BAB III MONOGRAFI DAERAH RUMAH SAKIT ISLAM IBNU SINA


PADANG

1. Sejarah Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Padang


2. Visi, Misi, Falsafat, Motto dan Tujuan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina
Padang
3. Struktur Organisasi Rumah Sakit Islam Ibnu Sina Padang

BAB IV UPAYA RUMAH SAKIT ISLAM IBNU SINA PADANG MENUJU


SISTEM SYARIAH (ANALISI FATWA DSN-MUI NO.107/DSN-MUI/X/2016
TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT
BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH)

1. Kekuatan yang Dimiliki Oleh RSI. Ibnu Sina Padang Untuk Menjadi
Rumah Sakit Syariah
2. Kelemahan RSI. Ibnu Sina Padang Untuk Menjadi Rumah Sakit
Syariah
3. Peluang yang Dimiliki Oleh RSI. Ibnu Sina Padang Untuk Menjadi
Rumah Sakit Syariah
4. Ancaman yang Dihadapi Oleh RSI. Ibnu Sina Padang Untuk Menjadi
Rumah Sakit Syariah

BAB V PENUTUP

1. Kesimpulan
2. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB II
(LANDASAN TEORI)

1. Fatwa
1.1Pengertian Fatwa
Fatwa ialah suatu perkara dari bahasa Arab yang memberi
arti pernyataan hukum mengenai suatu masalah yang timbul
kepada siapa yang ingin mengetahuinya. Barang siapa yang ingin
mengetahui sesuatu hukum syara’ tentang masalah agama, maka
perlu bertanya kepada orang yang dipercaya dan terkenal
dengan keilmuannya dalam bidang ilmu agama (untuk mendapat
keterangan mengenai hukum tentang masalah itu). Menurut
kamus Lisan al-‘Arabiy, memberi fatwa tentang sesuatu perkara
berarti menjelaskan kepadanya.

ُ ‫َافْتَا ىِف ااْل َ ْم ِر ِااَب ُن هَل‬


Dengan demikian pengertian fatwa berarti menerangkan
hukum-hukum Allah SWT berdasarkan pada dalil-dalil syara
secara umum dan menyeluruh. Keterangan hukum yang telah
diberikan itu dinamakan fatwa. Orang yang meminta atau
menanyakan fatwa disebut mustafti, sedang yang dimintakan
untuk memberikan fatwa disebut mufti (Himpunan Fatwa
Keuangan Syariah, 2014: 7-8).
1.2Dasar Hukum Fatwa
1. QS. An-Nisa: 176
...      

“Mereka meminta fatwa kepadamu (wahai Muhammad,


mengenai masalah kafalah), katakanlah: Allah memberi fatwa
kepada kamu dalam perkara kafalah itu.”

2. QS. An-Nisa: 127


        
        
      
     
         


“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita.


Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka,
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga
memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak
memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk
mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang
anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah
menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim
secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka
Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.”

3. QS. Yusuf: 43
       
       
       
 

Raja berkata (kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya):


"Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina
yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang
kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh
bulir lainnya yang kering." Hai orang-orang yang terkemuka:
"Terangkanlah kepadaku tentang ta'bir mimpiku itu jika
kamu dapat mena'birkan mimpi."

4. Sunnah (Hadis)

‫َم ْن َافْىَت ِب َفتَ َيا غَرْي َ ثَبَ ٍت فَ ِا ن َّ َما ِاثْ ُم ُه عَىل َم ِن افْتَا ُه‬
“barang siapa yang mengeluarkan fatwa tanpa kepastian
(sumbernya), maka sesungguhnya dosanya ke atas orang
yang memberi fatwa.” (HR.Musnad Ahmad Ibnu Hanbal).
1.3Fatwa Sebagai Sumber Hukum
Seringkali dihubungkan dengan hukum Islam. Dalam
kaitannya sumber hukum, telah diuraikan bahwa dalam Islam
terdapat dua sumber hukum utama yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Fatwa yang merupakan hasil pemikiran manusia
tentu saja tidak dapat dikategorikan sebagai sumber hukum
Islam yang utama. Sebagai hasil pemikiran manusia, fatwa dapat
dikategorikan ke dalam ijtihad, karena dalam proses penerapan
fatwa dilakukan suatu metode-metode penelitian hukum dengan
ushul fiqih. Syarat-syarat mufti juga harus terpenuhi. Fatwa
termasuk sumber hukum ketiga yaitu ijtihad.
Kumpulan fatwa yang telah dibukukan menjadi sumber yang
banyak digunakan oleh ulama untuk memberikan pendapatnya
dan oleh hakim untuk memutuskan perkaranya (Barlinta, 2010:
66).
1.4Dasar-Dasar Penetapan Fatwa
Dasar-dasar umum penetapan fatwa tertuang dalam bab 2
pasal 2, terdiri atas tiga ayat, sebagai berikut:
1) Setiap fatwa harus mempunyai dasar atas kitabullah dan
sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan
dengan kemaslahatan umat.
2) Jika tidak terdapat dalam kitabullah dan sunnah Rasul,
sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1 , fatwa
hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang
mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan,
maslahah mursalah, dan saddu az-zari’ah.
3) Sebelum pengambilan fatwa hendaklah ditinjau pendapat-
pendapat imam mazhab terdahulu, baik yang berhubungan
dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan
dalil-dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda
pendapat, serta pandangan penasehat ahli yang dihadirkan.
Ayat 1 menyatakan bahwa fatwa harus mempunyai dasar
hukum, yaitu Al-Quran dan hadis Nabi, serta harus membawa
kemaslahatan umat. Ketentuan ayat ini merupakan kesepakatan
dan keyakinan umat Islam bahwa setiap fatwa harus berdasarkan
pada kedua sumber hukum yang telah disepakati tersebut. Fatwa
yang bertentangan atau tidak didasarkan dengan keduanya
dipandang tidak sah , bahkan dipandang sebagai tahakkum
dengan perbuatan dusta atas nama Allah yang sangat dilarang
agama. Perhatikan firman Allah SWT berikut:
         
        
         

“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang


keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang
benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu
yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak
kamu ketahui." (QA. Al-A’raf: 33).

Dalam firman-Nya yang lain Allah secara tegas melarang


tahakkum. Ini dapat dipahami dari ayat berikut:

        


          
   

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-


sebut oleh lidahmu secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk
mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya
orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah
Tiadalah beruntung.” (QS. An-Nahl: 116).

Mengenai sunah Rasul, dalam penetapan fatwa yang


dilakukan MUI hanyalah sunah mu’tabarah, yakni sunah yang
dapat dijadikan hujah. Sedangkan mengenai kemaslahatan, Hal
ini sejalan dengan tujuan syariat hukum Islam.
Ayat pertama ini juga menghendaki bahwa setiap akan
menetapkan fatwa terlebih dahulu harus merujuk kepada Al-
Quran dan sunah, sebagaimana dikehendaki oleh aturan baku
dalam ilmu ushul al-fiqih (Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975,
2011: 14-15).
1.5Metode Penetapan fatwa
1) Sebelum fatwa ditetapkan hendaklah ditinjau lebih dahulu
pendapat para imam mazhab dan ulama yang mu’tabar
tentang masalah yang akan difatwakan tersebut, secara
seksama berikut dalil-dalilnya
2) Masalah yang telah jelas hukumnya hendaklah disampaikan
sebagaimana adanya.
3) Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan mazhab,
maka
a. Penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan
titik temu diantara pendapat-pendapat ulama mazhab
melalui metode al-jami’u wa at-tawfiq.
b. Jika usaha penemuan titik temu tidak berhasil dilakukan,
penetapan fatwa didasarkan pada hasil tarjih melalui
metode muqaranah dengan menggunakan kaidah-kaidah
Ushul Fiqh Muqaran.
4) Dalam masalah yang tidak ditemukan pendapat hukumnya di
kalangan mazhab, penetapan fatwa didasarkan pada hasil
ijtihad jama’iy (kolektif) melalui metode bayaniy, ta’liliy
(qiyasiy, istihsaniy, ilhaqiy), istishlahy, dan sadd adz-dzari’ah.
5) Penetapan fatwa harus senantiasa memperhatikan
kemaslahatan umum (mashalih ‘ammah) dan maqashid asy-
syari’ah (Himpunan Fatwa Keuangan Syariah, 2014: 20).
2. Profil DSN-MUI
2.1Pengertian DSN-MUI
Dewan Syariah Nasiona-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam
mengenai masalah perekonomian (Sumber: dsnmui.or.id).
Untuk terlaksananya dengan baik tugas-tugas lembaga
keuangan, baik bank-bank maupun nonbank, diperlukan
pembinaan dan pengawasan oleh suatu lembaga yang dibentuk
secara resmi, untuk Indonesia lembaga tersebut terutama adalah
Bank Indonesia dan kementrian keuangan.
Atas dasar itu, maka Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik
bank maupun nonbank juga memerlukan pembinaan dan
pengawasan agar tetap berjalan sesuai prinsip-prinsip syariah
Islam. Untuk itulah dibentuk Dewan Syariah Nasional oleh
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dan dibentuk pula Dewan
Pengawas Syariah, sebagai perpanjangan tangan dari DSN-MUI
(Mujahidin, 2016: 159).
2.2Sejarah DSN-MUI
Lokarya ulama tentang Reksadana Syariah yang
diselenggarakan MUI Pusat pada tanggal 29-3 Juli 1997 di Jakarta
merekomendasikan perlunya sebuah lembaga yang menangani
masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas Lembaga
Keuangan Syariah (LKS)
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan rapat tim
pembentukan Dewan Syariah Nasional (DSN) pada tanggal 14
Oktober 1997.
Dewan Pimpinan MUI mengadakan acara ta’aruf dengan
Pengurus DSN-MUI tanggal 15 Februari 1999 di Hotel Indonesia,
Jakarta.
Pengurus DSN-MUI untuk pertama kalinya mengadakan
Rapat Pleno I DSN-MUI tanggal 1 April 2000 di Jakarta dengan
mengesahkan Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga DSN-
MUI (Sumber: dsnmui.or.id).
Diterbitkan SK MUI No.Kep-754/MUI/II/1999 tentang
Pembentukan DSN.
Diterbitkan SK MUI No.Kep-263/MUI/IV/2007 tentang
pengurus DSN-MUI dengan Ketua Umum MUI Dr. KH. MA. Sahal
Mahfudh) secara exofficio sebagai ketua DSN dan KH. Ma’aruf
Amin sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian (BPH) DSN-MUI
(Mujahidin, 2016: 160).
2.3Latar Belakag DSN-MUI
Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
dibentuk dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam
mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan
ajaran Islam dalam bidang perekonomian/keuangan yang
dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syariat Islam.
Pembentukan DSN-MUI merupakan langkah efisiensi dan
koordinasi para ulama dalam menanggapi isu-isu yang
berhubungan dengan masalah ekonomi/keuangan. Berbagai
masalah/kasus yang memerlukan fatwa akan ditampung dan
dibahas bersama agar diperoleh kesamaan pandangan dalam
penanganannya oleh masing-masing Dewan Pengawas Syariah
(DPS) yang ada di lembaga keuangan syariah.
Untuk mendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan
ekonomi dan keuangan, DSN-MUI akan senantiasa dan berperan
secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat
Indonesia yang dinamis dalam bidang ekonomi dan keuangan
(Sumber: dsnmui.or.id).
2.4Visi, Misi, Kedudukan, Tugas, dan Wewenang DSN-MUI
Visi DSN-MUI
Dewan Syariah Nasional adalah memasyarakatkan Ekonomi
Syariah dan mensyariahkan Ekonomi Masyarakat
Misi DSN-MUI
1. Menumbuhkembangkan Lembaga Keuangan Syariah.
2. Membuat fatwa DSN-MUI.
3. Memberikan rekomendasi, sertifikat, endorsement
(pengesahaan/persetujuan) terhadap lembaga-lembaga
keuangan syariah.
4. Melaksanakan pengawasan tentang kesesuaian syariah oleh
DPS sebagai alat dari DSN-MUI.
Kedudukan, Status, dan Keanggotaan Dewan Syariah
Nasional MUI

1. Dewan Syariah Nasional merupakan bagian dari Majelis


Ulama Indonesia
2. Dewan Syariah Nasional membantu pihak terkait seperti
Departemen Keuangan, Bank Indonesia, dan lain-lain dalam
menyusun peraturan atau ketentuan untuk lembaga
keuangan syariah.
3. Keanggotaan Dewan Syariah Nasional terdiri dari para ulama,
praktisi, dan para pakar dalam bidang yang terkait dengan
muamalah syariah.Keanggotaan Dewan Syariah Nasional
ditunjuk dan diangkat oleh MUI untuk masa bakti 5 tahun.
(Anwar, 2018: 4)
Tugas DSN-MUI
1. Menumbuhkembangkan penerapan nilai-nilai Syariah dalam
kegiatan prekonomian pada umumnya dan keuangan pada
khususnya.
2. Mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis keuangan.
3. Mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangn Syariah.
4. Mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Wewenang DSN-MUI
1. Mengeluarkan fatwa yang mengikat DPS masing-masing LKS
dan menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
2. Mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan
atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang
berwenang, seperti Departemen Keuangan dan Bank
Indonesia.
3. Memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi
nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu LKS.
4. Mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah
yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syariah,
termasuk otoritas moneter/lembaga keuangan dalam
maupun luar negeri.
5. Memberikan peringatan kepada LKS untuk menghentikan
menyimpangan dari fatwa yang telah dikeluarkan oleh DSN.
6. Mengusulkan pada instansi yang berwenang untuk
mengambil tindakan apabila peringatan tidak diindahkan.
3. Profil DSN-MUI No.107/DSN-MUI/X/2016 dan Otoritas Fatwa
3.1Latar Belakang Terbitnya Fatwa DSN NO.107/DSN-
MUI/X/2016
Alasan terbitnya fatwa tentang Pedoman Penyelenggaraan
Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syari’ah.
1. Seiring perkembangan jaman sekarang ini banyak Rumah
Sakit Islam (RSI) yang masih belum menerapkan prinsip
Syariah sehingga kurangnya pembinaan dalam hal ini.
2. Bahwa dalam sector rumah sakit belum ada aturan yang
mengatur mengenai rumah sakit yang berprinsip Syariah.
Sehingga MUI perlu menetapkan fatwa tentang pedoman
penyelenggaraan rumah sakit berprinspis Syariah.
3. Bahwa masyarakat memerlukan penjelasan tentang pedoman
penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip Syariah.
4. Bahwa atas dasar pertimbangan angka 1, 2 dan 3 DSN-MUI
memandang perlu menetapkan fatwa tentang pedoman
penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip Syariah
untuk dijadikan pedoman.

Dasar Hukum

1. Firman Allah QS.An-nisa: 29


      
         
        
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”

2. Firman Allah QS.Al-Maidah: 2


       
         

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”

3. Hadis Nabi riwayat Imam Muslim dari Jabir bin Abdillah dia
berkata bahwa Nabi bersabda:

‫بَ َرَأإِب ْذ ِن اهّلل ِ عَ َذ َود َج َّل‬,‫اب ادلَّ َوا ُءادلَّ ا َء‬


َ ‫فَإ َذاَأ َص‬,‫ِللُك ِّ دَا ٍءد ََوا ٌء‬
"Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai
dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin
Allah SWT.” (HR.Muslim)
4. Kaidah Fiqih

‫ْاأل ْص ُل ِيف الرُّش ُ ْو ِط يِف الْ ُم َعا َم َال ِت الْ ِح ُّل َواإْلاَب َح ُة إ الَّبِدَ ل ْي ِل‬
“Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan
kecuali ada dalil yang mengharamkannya” (Djauzuli, 2014:
129).

3.2Isi Fatwa Mengenai Definisi dan Dasar-Dasarnya


FATWA DEWAN SYARIAH NASIONAL-MAJELIS ULAMA
INDONESIA NO: l07/DSN-MUI/X/2016 tentang PEDOMAN
PENYELENGGARAAN RUMAH SAKIT BERDASARKAN PRINSIP
SYARIAH
Ketentuan terkait Rumah Sakit Prinsip Syariah:
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
mengadakan rapat Pleno dan memutuskan fatwa tentang
Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip
Syariah. Bahwa masyarakat memerlukan penjelasan tentang
pedoman penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip
Syariah. Ketentuan hukum mengenai pedoman penyelenggaraan
rumah sakit berdasarkan prinsip Syariah belum diatur dalam
fatwa DSN-MUI dalam pertimbangan tersebut Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan
fatwa tentang pedoman penyelenggaraan rumah sakit
berdasarkan prinsip syariah untuk dijadikan pedoman. Dengan
segala pertimbangan dan dasar hukum yang sudah ada Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menetapkan Fatwa
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan
Prinsip Syariah dengan ketentuan umum dalam Fatwa di jelaskan
bahwa: Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat.
Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri
dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau
keterampilan melalui pendidikan dibidang kesehatan yang untuk
jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya
kesehatan.
Pemasok alat kesehatan adalah pemasok instrumen, aparatus,
mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat yang
digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan
meringankan penyakit, merawatorang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk memepengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan konstrasepsi, untuk manusia dan Pemasok obat
adalah entitas yang menyediakan atau memasok obat.
Pelayanan kesehatan adalah pelayanan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,
merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau memebentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Pasien adalah setiap setiap orang yang melakukan konsultasi
masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak langsung di
Rumah Sakit.
Penanggung jawab adalah keluarga pasien atau pihak lain
yang menyatakan kesanggupannya untuk bertanggung jawab
secara finansila terkait pengobatan pasien. Lalai adalah
meninggalkan perbuatan yang harusnya dilakukan
(tafrith/taqshir), atau melakukan perbuatan yang seharusnya
tidak dilakukan (ifrath/ta’addi).
Ketentuan terkait Penempatan, Penggunaan dan
Pengembangan Dana Rumah Sakit:
a. Rumah Sakit wajib menggunakan jasa Lembaga Keuangan
Syariah dalam upaya penyelenggaraan rumah sakit, baik
bank, asuransi, lembaga pembiayaan, lembaga penjaminan,
maupun dana pensiun.
b. Rumah Sakit wajib mengelola portofolio dana dan jenis-jenis
asset lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
c. Rumah Sakit tidak boleh mengembangkan dana pada kegiatan
usaha dan/atau transaksi keuangan yang bertentangan
dengan prinsip-prinsip Syariah.
d. Rumah Sakit wajib memiliki panduan pengelolaan dana zakat,
infaq, sedekah, dan wakaf.
Ketentuan terkait Pelayanan Rumah Sakit wajib memiliki
panduan terkait tatacara ibadah yang wajib dilakukan pasien
muslim (antara lain terkait ketentuan tata cara bersuci dan shalat
bagi yang sakit).
1. Firman Allah SWT:
a. Q.S. al-Baqarah (2): 275
       
      
      
       
       
         
 
“Orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila.
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali
(mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-
penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.”
b. Q.S. al-Ma'idah (5): 1
      
       
         
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan
dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak
menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.”
c. Q.S. Ash-Shu'ara (26): 80
    
“Dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan Aku.”
d. Q.S. Ali 'lmran (3): 159
          
      
       
        
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.
e. Q.S. al-Ma'idah (5): 2
      
         
 
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
f. QS al-Taubah (9): 105
     
     
     
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat
pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada
(Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata,
lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu
kerjakan.”
g. Q.S. al-Maidah (5): 3:
      
     
      
      
        
        
      
          
   
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging
babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain
Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang
ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu)
yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga)
mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib
dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini
orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan)
agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka
dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-
cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam
itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena
kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
2. Hadist Nabi SAW
a. Hadis Nabi saw. riwayat Imam al-Tirmidzi dan Ibnu
Majah, Dari Amr bin Auf al Muzani bahwa Rasulullah SAW
bersabda:
‫َع ْن مَع روبن َعوف الْ ُم َزيِن َريِض َ اهّلل ُ َع ْن ُه َأ َّن َر ُس ْو َل اهّلل ِ َصىَّل‬
‫الصلْ ُح َجائِ ٌز بَنْي َ الْ ُم ْس ِل ِم َني ُّال ُصلْ ًحا َح َّر َم‬
ُّ :‫اهّلل ُ عَلَ ْي ِه َوآهِل ِ َو َسمَّل َ قَا َل‬
‫ِإ‬
‫ون عَىَل رُش ُ و ِطه ِْم الَّرَش ْ ًطا َح َّر َم‬ َ ‫َحاَل ًالَأ ْوَأ َح َّل َح َرا ًم َاوالْ ُم ْس ِل ُم‬
‫ِإ‬
‫َح َال ًالَأ ْوَأ َح َّل َح َرا ًما‬
"Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk
mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin
kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat
dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang
mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram.”
b. Riwayat lbn Majah, Abu Dawud, dan al- Tirmidzi yang juga
mensahihkannya):

:‫ َأ َالن َ َتدَ َاوى؟ قَا َل‬, ِ ‫ اَي َر ُسو َل اهّلل‬:‫ قَال َ ِت ْاَألع َْر ُاب‬:‫َويِف ل َ ْفظٍ آخ ََر‬
)‫ اَّل د ًَاء َوا ِحد ًا‬,‫ع د ًَاء الَّ َوضَ َع هَل ُ ِش َف ًاء َأ ْو د ََو ًاء‬kْ َ‫ ِع َبا َداهّلل َ ل َ ْم يَض‬,‫(ن َ َع ْم‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
: ٍ‫ َويِف ل َ ْفظ‬.)‫ (الْه ََر ُم‬:‫ َو َماه َُو؟ قَا َل‬, ِ ‫ اَي َر ُسول اهَّلل‬:‫قَالُوا‬
)‫اموه َُو الْ َم ْو ُت‬ َ ‫الس‬ َّ ‫(ِإ اَّل‬
"Wahai Rasulallah, apakah kita (harus) berobat?" Beliau
saw, menjawab: "Iya benar. Wahai hamba-hamba Allah,
berobatlah kalian, karena sesungguhnya Allah tidaklah
meletakkan suatu penyakit kecuali Dia letakkan pula
penawarnya atau obatnya, kecuali satu penyakit". Para
sahabat pun bertanya: "Wahai Rasulallah, apakah yang
satu penyakit itu?" Beliau menjawab: "Tua renta". dalam
redaksi yang lain: kecuali "Syam", yaitu kematian.
c. Hadis riwayat Imam Ahmad, lbn Majah, dan al-Tirmidzi:
Dari Abu Khuzamah yang bertanya:

َ ‫ أّ َرأَّيْ َت ُريْق‬, ِ ‫ اَي َر ُسو َل اهّلل‬:‫ ُقلْ ُت‬:‫َع ْن َأيِب خ َُزا َم َة قَال‬
ِ ‫ه َْل تَ ُر ُّد ِم ْن قَدَ ِراهّلل‬,‫ َوتُ َقا ًة نَتَّ ِقهيَا‬,‫و َد َو ًاء ن َ َتدَ َاوى ِب ِه‬,‫ا‬
َ َ ‫ن َ ْسرَت ْ ِقهْي‬
) ِ ‫ (يِه َ ِم ْن قَدَ ِراهّلل‬:‫َشئًا؟ قَا َل‬
"Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang
ruqyah yang kami lakukan, dan obat-obatan yang kami
gunakan, serta pelindung yang kami pakai, Apakah hal itu
dapat menolak ketentuan (qadar) Allah?" Beliau saw, pun
menjawab:"Semua (yang engkau sebutkan itu) bagian dari
qadar Allah.”
3. Kaidah Fikih

‫الرَّض ُ ْو َر ُات تُ ِب ْي ُح ال ْع ُظ ْو َرات‬


“Keadaan darurat (menyebabkan) diperbolehkannya (hal-
hal) yang terlarang.”
3.3Implikasi Fatwa DSN-MUI
Fatwa berasal dari bahasa Arab al-fatwa, walfutya jamaknya
fatawa yang telah diadopsi dan membumi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Kamus istilah Keuangan dan Perbankan
Syariah mendefinisikan fatwa sebagai penjelasan tentang hukum
Islam yang diberikan oleh seorang faqih atau lembaga fatwa
kepada umat yang muncul karena adanya pertanyaan ataupun
tidak. Secara sederhana fatwa menurut KBBI adalah jawab
(keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu
masalah. Fatwa menurut Yusuf Qardhawi (Qardhawi, 1997: 5)
adalah menerangkan hukum syara’ dari suatu persoalan sebagai
jawaban pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa, baik
perorangan maupun kolektif, baik dikenal maupun tidak dikenal.
Fatwa merupakan bagian dari metode dalam Al-Quran dan
Hadist dalam menerangkan hukum-hukum syara’ ajaran-ajaran
dan arahan-arahannya. Terkadang penjelasan itu diberikan tanpa
adannya pertanyaan atau perintah fatwa, dan cara inilah yang
dominan terdapat dalam Al-Quran, baik mengenai persoalan
hukum maupun nasehat dan pengajaran.
Fatwa MUI adalah keputusan atau pendapat yang
diberikan oleh MUI tentang suatu masalah kehidupan umat
Islam. Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh umat islam
yang merasa mempunyai iktan terhadap MUI itu sendiri (Skripsi:
Annisa Sholiha, 2018: 44-45).
4. Rumah Sakit Syariah
4.1Pengertian Rumah Sakit Syariah
Pengertian Rumah Sakit dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit . Rumah
Sakit adalah institusi pelayann kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat (UU RI No.44 Tahun 2009, Pasal 1).
Sedangkan yang dimaksud dengan Rumah Sakit Syariah
adalah Rumah Sakit yang dalam pengelolaannya mendasarkan
pada Maqashid Syariah yaitu menjaga agama, jiwa, keturunan,
akal dan menjaga harta (MUKISI, 2017: 2). Dengan kata lain yang
dimaksud dengan Rumah Sakit Syariah adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan secara paripurna dengan tata
pengelolaannya berdasarkan prinsip syariah.
Rumah Sakit Syariah beroprasi dengan mengadopsi standar-
standar Syariah yang telah disertifikasi oleh Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Rumah sakit yang
sudah tersertifikasi oleh (DSN-MUI) dan diturunkan dalam
bentuk standar manajemen dan pelayanan yang terstuktur dalam
bentuk penyelenggraaan kesehatan rumah sakit. Sertifikasi
rumah sakit Syariah perlu untuk menjaga jiwa, memelihara akal,
harta serta kehormatan dan memberikan peluang bagiRumah
Sakit Islam sebagai pembeda pelayanan yang khas menempatkan
manusia pada posisi yang sangat tinggi sebagai Hamba Allah
sekaligus sebagai jalan dalam menegakan syariat islam.
Oleh karena itu suatu standar atau pedoman bagi rumah sakit
islam dalam menerapkan, mengukur dan menilai kualitas
pelayanan dan pengelolaan manajemen rumah sakit islam sesuai
prinsip Syariah.

Kriteria Rumah Sakit Syariah

1. Dalam menyelenggarakan rumah sakit Syariah harus ada


Dewan Pengawas Syariah (DPS), untuk melakukan
pengawasan.
2. Untuk akad, pelayanan, obat-obatan dan penegelolaan dana
finasial harus mengacu pada hukum islam fiqh muamalah
3. Pada pelayaan harus memeberikan yang baik, jelas antara hak
dan kewajiban
4. Akhlak dalam pelayanan rumah sakit harus santun, ramah,
transparan, berkualitas, adil dalam menghitung biaya
(finansial) rumah sakit Syariah. Walapun mempunyai otoritas
dalam menetapkan, tapi perhitungan wajar tergantung hati
nurani.
5. Dalam pelayanan spiritual harus mendoakan pasien untuk
anak kecil dan orang dewasa
6. Harus memunyai panduan tata cara beribada dan bersuci bagi
pasien yang sakit dan pedoman dalam mengelola dana wakaf,
zakat, infaq sedekah.
7. Sementara untuk obat harus yang halal dan diutamakan,
harus ada sertifikat halah
8. Dana harus (wajib) mengunakan jasa Lembaga keuangan
Syariah dalam operasional dana rumah sakit islam (Skripsi:
Annisa Sholiha, 2018: 45-47).
4.2Pelayanan Dengan Prinsip Syariah
Pelayanan adalah aktivitas yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui
sistem, prosedur, dan metode tertentu dalam rangka memenuhi
kebutuhan orang lain sesuai dengan haknya. Hal ini menjelaskan
bahwa pelayanan adalah suatu bentuk sistem, prosedur atau
metode tertentu yang diberikan kepada orang lain dalam hal ini
agar kebutuhan pelanggan tersebut dapat terpenuhi sesuai
dengan harapan mereka.
Kualitas pelayanan/jasa adalah tingkat keunggulan yang
diharapkan dan pengendalian atas tingkat keunggulan tersebut
untuk memenuhi keinginan pelanggan. Menurut pendapat
tersebut sebuah kualitas pelayanan atau sebagai keunggulan-
keunggulan yang diberikan perusahaan dalam rangka memenuhi
keinginan pelanggan (Skripsi: Alex Abdan Syakuro, 2010: 11).
Dari sebuah definisi di atas dapat dilihat bahwa kualitas
pelayanan dapat disimpulkan sebagai sebuah tingkat
kemampuan (ability) dari sebuah perusahaan dalam memberikan
segala yang menjadi harapan pelanggan dalam memenuhi
kebutuhannya.
Agar pelayanan memiliki kualitas dan memberikan kepuasan
kepada pelanggan mereka, maka perusahaan harus
memperhatikan berbagai dimensi yang dapat menciptakan dan
meningkatkan kualitas pelayanan (Skripsi: Julita, 2001: 3).
Kualitas pelayanan merupakan suatu aspek yang penting dari
suatu rumah sakit. Kualitas pelayanan yang diberikan oleh
perawat dalam suatu rumah sakit berhubungan erat dengan
kepuasan yang dirasakan oleh pasien selaku konsumen rumah
sakit. Perawat dituntut untuk memberikan pelayanan dengan
sebaik-baiknya kepada pasien sehingga pasien merasa puas
dengan pelayanan yang diberikan oleh perawat rumah sakit
tersebut.
Penulis berdasarkan penjelasan diatas merangkum bahwa
kualitas pelayanan perawat adalah kemampuan perawat dalam
memberikan pelayanan kepada pasien selaku konsumen yang
berhubungan dengan jasa yang ditawarkan oleh rumah sakit
dengan harapan mampu memenuhi keinginan, kebutuhan, serta
tuntutan pasien.
Kualitas pelayanan dapat diketahui dengan cara
membandingkan antara pelayanan yang nyata-nyata diterimanya
dengan pelayanan yang sesungguhnya diharapkan oleh pasien.
Jika kenyataan lebih dari yang diharapkan maka pelayanan yang
diberikan dapat dikatakan bermutu, sedangkan kenyataan
kurang.
Prinsip-prinsip syariah yang diterapkan dalam operasional
rumah sakit Islam di antaranya adalah:
1. Terselenggaranya pelayananan kesehatan islami
Islam juga sangat menekankan pentingnya sebuah
pelayanan dalam bisnis. Suatu bisnis akan senantiasa
berkembang dan sukses manakala ditunjang dengan adanya
pelayanan terbaik. Misalnya dengan keramahan, senyum
kepada para konsumen akan semakin baik dalam berbisnis
(Skripsi: Nur Ana Zahrotul, 2008: 46). Islam juga melarang
menempatkan para penjual atau pelayan perempuan yang
cantik, seksi serta melihat auratnya agar menarik minat
pembeli. Yang terpenting adalah pelayanan yang benar-benar
menempatkan para pembeli sebagai raja yang harus
dihormati, dilayani, dengan sebaik-baiknya.
2. Terselenggaranya pelayanan kesehatan masyarakat untuk
keselamatan iman dan kesehatan jasmani sebagai upaya
bersama untuk mendapatkan kebahasiaan dunia akhirat
Iman dan kesehatan jasmani sebagai upaya bersama
untuk mendapatkan kebahasiaan dunia akhirat. Jadi syariah
juga memperhatikan pola makan sehat dan berimbang serta
prilaku dan etika makan seperti perintah untuk memakan
makanan thayyib (bergizi)) dan halal.
3. Terbentuknya jamaa’ah yang memiliki komitmen pelayanan
kesehatan Islami yang :
a. Bertaqwa, dengan kecendekiawan dan kepakaran dengan
kualitas universal.
b. Menjunjung tinggi etika rumah sakit Islam, etika
kedokteran dan etika kedoteran Islam.
c. Menguasai nilai-nilai dasar Islam dan Islam untuk disiplin
ilmu kedokteran dan kesehatan (Skripsi:Fadhlan
Mudhafier, 2004: 37).
d. Istiqomah melaksanakan tugas-tugas pelayanan rumah
sakit, pelayanan kependidikan, pelayanan penelitian, dan
tugas dakwah dengan jiwa dan semangat “Cinta Allah
Sayang Sesama”.

Dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia disebutkan bahwa


arti kata layan adalah membantu mengurus atau meyiapkan segala
keperluan yang dibutuhkan seseorang, meladeni. Sedangkan
pelayanan adalah cara melayani.

Dalam pelayanan pasien ada rencana bahwa pasien wanita


akan dilayani oleh dokter atau karyawan wanita, demikian pula
sebaliknya. Dalam hal logistik, ada perencanaan sediaan farmasi apa
saja yang boleh dipakai dan tidak boleh dipakai dirumah sakit.
Dalam hal pengembangan ada perencanaan sarana, prasarana dan
sumber daya manusianya agar pelaksanaan ajaran Islam dapat
dijalankan secara baik di rumah sakit tersebut (Mansyur, 2003: 192).

Sementara dalam pengobatan, rumah sakit Islam dilarang


mempergunakan obat-obatan yang diketahui haram atau tercampuri
bahanbahan yang haram. Bila ada obat yang tercampur bahan haram
adalah pengganti dari obat tersebut (Ar-Rumaikhon, 2008: 29). Bila
tidak ada penggantinya diupayakan mencari bahan pengganti agar
obat berbahan haram tidak digunakan lagi. Saat ini banyak obat
sirup yang tidak memakai alkohol sebagai bahan pelarutnya. Karena
itu obat sirup yang beralkohol semestinya tidak dipakai dirumah-
rumah sakit Islam. Labelisasi halal juga penting untuk obat-obatan.

Seorang dokter muslim pasti berpegang teguh pada moralitas


profesi kedokteran, ajaran, serta bimbingan agama Islam. Ia adalah
suri teladan yang dapat dipercayai bagi agamanya. Ia mampu
menampilkan kebaikan-kebaikan ajaran Islam melalui pekerjaannya
dan menunaikan tugasnya dengan maksud dan tujuan untuk
menolong orang lain sambil membimbingnya ke jalan yang benar.

Beberapa sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang dokter


muslim:

1. Niat yang benar dan iklas dalam merawat dan mengobati orang
sakit, dan berkeyakinan bahwa hidup dan mati seseorang ada
ditangan Allah, karena ia hanya perantara yang berupaya untuk
menyembuhkan penyakit seseorang.
2. Senantiasa memberikan pertolongan dan bantuan kepada orang
sakit, baik disiang hari maupun di malam hari dengan sekuat
tenaga.
3. Bersikap lemah lembut dan santun (dalam mendengarkan
pertanyaan pasien) serta memberikan pemahaman kepadanya
mengenai penyakit yang dideritanya, dengan memperhatikan
kondisi kejiwaan dan tingkat pengetahuannya (Ruqaith, 2004:
37-38).
4. Cakap dalam memberikan keterangan kepada pasien mengenai
penyakit yang dideritanya dan berusaha memberikan
ketenangan dan semangat kepadanya. Apabila mendapatkan
perkembangan yang kurang baik pada kesehatan pasienya, maka
sebaiknya langsung memberitahukan hal tersebut kepada
keluarga dan sanak saudara pasien.
5. Menjauhkan diri dari perbuatan ghibah (menggunjing atau
membicarakan aib orang lain), kareta itu merupakan perbuatan
yang diharamkan.
Allah SWT berfirman dalam (Qs. Al-Hujuraat (49): 12)
        
          
          
    

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-


sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”

Sebagaimana kita ketahui, seorang dokter lebih mengetahui


kondisi orang sakit dari pada orang lain. Oleh karena itu, sudah
sepatutnya seorang dokter menjaga rahasia orang sakit dengan
baik.

6. Mendoakan orang yang sakit, sehingga dia merasa terhibur dan


tersanjung karenanya.
7. Menjadikan suri teladan dalam merawat kesehatan, kebersihan,
penampilan, dan menunaikan hak tubuhnya dengan baik,
sehingga tidak terperosok ke dalam “jurang” larangan Allah SWT.
8. Selalu memulai dengan membaca basmalah ketika hendak
memeriksa pasien, karena bacaan basmallah merupakan kunci
dari segala kebajikan.
9. Tidak membuka aurat Pasien, kecuali untuk keperluan
pemeriksaan kedokteran.
10. Tidak mengakhiri hidup pasien yang tidak dapat diharapkan lagi
kesembuhan penyakitnya dengan cara apapun (Ruqaith, 2004:
39). Akan tetapi, ia harus berupaya menolongnya untuk
meringankan penyakit yang di deritanya dan menenangkan
dirinya hingga ajal datang menjemputnya.
11. Senantiasa berupaya untuk menambah ilmu pengetahuan,
mengikuti perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran secara
insentif, karena bagaimanapun kesehatan pasien sangat
bergantung pada kesungguhan dan keaktifan seorang dokter
dalam menambah ilmu pengetahuannya. Lebih dari itu,
menambah ilmu pengetahuan juga merupakan suatu ibadah di
sisi Allah SWT.
12. Mengetahui dan memahami dengan baik cara mengobati orang
sakit, sambil memeperhatikan beberapa hal yang berkenaan
dengan pengobatan.
4.3Rumah Sakit Syariah Dalam Fatwa DSN-MUI NO.107/DSN-
MUI/X/2016
Fatwa DSN MUI NO. 107/DSN-MUI/X/2016 tentang
pedoman penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip
syariah pada tanggal 16 Oktober 2016 Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) mengadakan rapat Pleno
dan memutuskan fatwa tentang Pedoman Penyelenggaraan
Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah (Himpunan Fatwa
Keuangan Syariah, 2016: 302).
Bahwa masyarakat memerlukan penjelasan tentang
pedoman penyelenggaraan rumah sakit berdasarkan prinsip
syariah. Ketentuan hukum mengenai pedoman penyelenggaraan
rumah sakit berdasarkan prinsip Syariah belum diatur dalam
fatwa DSN-MUI dalam pertimbangan tersebut Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan
fatwa tentang pedoman penyelenggaraan rumah sakit
berdasarkan prinsip syariah untuk dijadikan pedoman.
Dengan segala pertimbangan dan dasar hukum yang
sudah ada Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia
menetapkan Fatwa Tentang Pedoman Penyelenggaraan Rumah
Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah dengan ketentuan umum
dalam Fatwa di jelaskan bahwa :
Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan,
dan gawat darurat. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang
mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan
dibidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan (Fatwa DSN-MUI
No. 107/DSN-MUI/X/2016 :10).
Pemasok alat kesehatan adalah pemasok instrumen,
aparatus, mesin dan/atau implan yang tidak mengandung obat
yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan
dan meringankan penyakit, merawat orang sakit, memulihkan
kesehatan pada manusia, dan/atau membentuk struktur dan
memperbaiki fungsi tubuh.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk
biologi yang digunakan untuk memepengaruhi atau menyelidiki
sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan
diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan konstrasepsi, untuk manusia dan Pemasok obat
adalah entitas yang menyediakan atau memasok obat.
Pelayanan kesehatan adalah pelayanan untuk mencegah,
mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit,
merawat orang sakit, memulihkan kesehatan pada manusia,
dan/atau memebentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh.
Pasien adalah setiap setiap orang yang melakukan
konsultasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan
kesehatan yang diperlukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung di Rumah Sakit.
Penanggung jawab adalah keluarga pasien atau pihak lain
yang menyatakan kesanggupannya untuk bertanggung jawab
secara finansila terkait pengobatan pasien.
Lalai adalah meninggalkan perbuatan yang harusnya
dilakukan (tafrith/taqshir), atau melakukan perbuatan yang
seharusnya tidak dilakukan (ifrath/ta’addi). Untuk akad-akad
yang digunakan ialah, Akad ijarah yaitu akad pemindahan hak
guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu
dengan pembayaran atau upah. Akad Ijarah Muntahiyyah bit
Tamlik yaitu perjanjian sewa menyewa yang disertai dengan janji
pemindahan hak milik atas benda yang disewa kepada penyewa
setelah selesai masa sewa (Fatwa DSN-MUI No. 107/DSN-
MUI/X/2016 :10).
Akad Bai’ (jual beli) adalah pertukaran harta dengan harta
yang menjadi sebab berpindahnya kepemilikan objek jual beli.
Akad mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara
dua pihak, dimana pihak pertama (malik, shabil mal)
menyediakan seluruh modal sedang pihak kedua bertindak
selaku pengelola (amil, mudharib), dan keuntungan usaha dibagi
diantara mereka sesuai nisbah yang disepakati.
Akad Musyarakah Mutanaqishah adalah akad musyarakah
atau syirkah yang kepemilikan aset (barang) atau modal salah
satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh pihak lainnya (Fatwa DSN-MUI No. 107/DSN-
MUI/X/2016 :11).
Akad Wakalah bi al-ujrah adalah akad pemberian kuasa
dengan imbalan (ujrah). Informed Consent (Persetujuan Tindakan
Medis) adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap
mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien.
Panduan Praktik Klinis (PPK) adalah istilah teknis sebagai
pengganti Standar Prosedur Operasional (SPO) dalam Undang-
Undang Praktik Kedokeran.
Clinical Pathway (Alur Klinik) adalah alur yang
menunjukkan datail tahap-tahap penting dari pelayanan
kesehatan, termasuk hasil yang diharapkan. (Fatwa DSN-MUI No.
107/DSN-MUI/X/2016 :11).
Untuk pelaksanaan akad-akad tesrsebut Penyelenggaraan
rumah sakit berdasarkan prinsip syariah wajib mengikuti
ketentuan terkait akad dan personalisasi hukum yaitu:
1. Akad antara Rumah Sakit dengan Tenaga Kesehatan adalah
akad ijarah atas jasa pelayanan kesehatan; Rumah Sakit
sebagai pengguna jasa (Musta’jir), dan tenaga kesehatan
sebagai pemberi jasa (Ajir).
2. Akad antara Rumah Sakit dengan pasien adalah akad ijarah;
Rumah Sakit sebgai pemberi jasa (Ajir), dan pasien sebagai
pengguna jasa (Musta’jir), dalam upaya pengobatan penyakit
yang dialami pasien.
3. Akad antara Rumah Sakit dengan pemasok Alat Kesehetan
dan Pemasok Alat Laboratorium (selanjutnya disebut
pemasok) dapat berupa:
a. Akad ijarah, Rumah Sakit sebagai penyewa (Musta’jir),
dan pemasok sebagai pihak yang menyewakan (Mu’jir).
b. Akad ijarah muntahiyah bi al-tamlik, akad sewa yang
diakhiri dengan pemindahan kepemilikan barang sewa
dari mu’jir kepada musta’jir (Fatwa DSN-MUI No.
107/DSN-MUI/X/2016 :12).
c. Akad ba’i, Rumah Sakit sebagi pembeli (musyatari), dan
pemasok sebagai penjual (ba’i).
d. Akad mudharabah, Rumah Sakit sebagai pengelola
(mudharab), dan pemasok sebagai pemilik modal (shahib
almal).
e. Akad musyarakah mutanaqishah, Rumah Sakit dan
pengelola menyatukan modal usaha dan porsi
kepemilikan modal pemasok berkurang karena
pemindahan kepemilikan modal kepada rumah sakit
secara bertahap.
4. Akad antara Rumah Sakit dengan Pemasok Obat dapat berupa
a. Akad bai’, rumah sakit sebagai pembeli (musytari), dan
pemasok obat sebgai penjual (bai’), baik secara tunai
(naqdan), angsuran (taqsith), maupun tangguh (ta’jil).
b. Akad wakalah bi al-ujrah, Rumah Sakit sebagai wakil, dan
pemasok obat sebagai pemberi kuasa (muwakkil) untuk
menjual obat kepada pasien.
Ketentuan terkait akad yaitu dalam hal para pihak
menggunakan akad, maka berlaku ketentuan dan syarat akad
ijarah yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 09/DSN-
MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah (Fatwa DSN-MUI No.
107/DSN-MUI/X/2016 :12).
Dalam hal para pihak menggunakan akad jual-beli, maka
berlaku ketentuan dan syarat akad jual beli yang terdapat dalam
fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah.
Dalam hal para pihak menggunakan akad al-Ijarah
Muntahiyyah bi al-Tamlik, maka berlaku ketentuan dan syarat
akad Ijarah Muntahiyyah bi al-Tamlik yang terdapat dalam fatwa
DSN-MUI Nomor 27/DSNMUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-
Muntahiyyah bi al-Tamlik.
Dalam hal para pihak menggunakan akad Musyarakah
Mutanaqishah, maka berlaku ketentuan dan syarat akad
Musyarakah Mutanaqishah yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI
Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah
Mutanaqishah.
Dalam hal para pihak menggunakan akad mudharabah,
maka berlaku ketentuan dan syarat akad mudharabah yang
terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
tentang pembiayaan Mudharabah (Qiradh) (Fatwa DSN-MUI No.
107/DSN-MUI/X/2016 :12).
Dalam hal para pihak menggunakan akad wakalah bi al-
Ujrah, maka berlaku ketentuan dan syarat akad Wakalah bi al-
Ujrah yang terdapat dalam substansi fatwa DSN-MUI Nomor
10/DSN-MUI/IV/2000 tentang wakalah, dan fatwa DSN-MUI
Nomor 52/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Wakalah bil Ujrah
pada Asuransi dan Reasuransi Syariah.
Ketentuan terkait pelayanan: Rumah sakit dan semua
pihak yang berkepentingan (stakeholders) wajib memenuhi hak
dan kewajiban masing-masing pihak dengan sebaik-baiknya.
Rumah sakit wajib memeberikan pelayanan yang sesuai
dengan panduan praktik klinis (PPK), Clinical pathway dan atau
standar pelayanan yang berlaku.
Rumah sakit wajib mengedepankan aspek kemanusiaan
dalam memberikan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan
kebutuhan pasien, tanpa memandang ras, suku, dan agama.
Rumah sakit wajib berkomitmen untuk selalu bersikap
amanah, santun dan ramah, serta senantiasa berusaha untuk
memeberikan pelayanan yang transparan dan berkualitas.
Rumah sakit wajib mengedepankan aspek keadilan, dan
kewajaran dalam membuat perhitungan biaya yang akan
dibebankan kepada pasien, rumah sakit wajib memeberikan
pelayanan dan konsultasi spiritual keagamaan yang sesuai
kebutuhan untuk kesembuhan pasien (Fatwa DSN-MUI No.
107/DSN-MUI/X/2016 :13).
Pasien dan penanggung jawab pasien wajib mematuhi
semua peraturan dan prosedur yang berlaku dirumah sakit.
Rumah sakit, pasien dan penanggung jawab pasien wajib
mewujudkan akhlak karimah.
Rumah sakit wajib menghindarkan diri dari perbuatan
maksiat, risywah, zhulm dan hal-hal yang bertanggung jawab
dengan syariah, rumah sakit wajib memiliki Dewan Pengawas
Syariah.
Rumah sakit wajib mengikuti dan merujuk fatwa Majelis
Ulama Indonesia terkait dengan masalah hukum Islam
kontemporer bidang kedokteran (al-masa’il al-fiqiyah al-
waqi’iyah al-thibbiyah).
Rumah sakit wajib memeiliki panduan terkait tata cara
ibadah yang wajib dilakukan pasien muslim (antara lain terkait
ketentuan tata cara bersuci dan sholat bagi yang sakit), rumah
sakit wajib memiliki panduan terkait standar kebersihan Rumah
Sakit.
Ketentuan terkait penggunaan Obat-obatan, Makanan,
Minuman, Kosmetika, dan Barang Gunaan: Rumah sakit wajib
menggunakan obat-obatan, makanan, minuman, kosmetika, dan
barang gunaan halal yang telah mendapat sertifikat Halal dari
Majelis Ulama Indonesia (MUI) (Fatwa DSN-MUI No. 107/DSN-
MUI/X/2016 :13).
Apabila obat yang digunakan belum mendapat serifikat
Halal dari MUI, maka boleh menggunakan obat yang tidak
mengandung unsur yang haram, dalam kondisi terpaksa
(dharurat), penggunaan obat yang mengandung unsur yang
haram wajib melakukan prosedur informed consent.
Ketentuan terkait Penempatan, Penggunaan dan
Pengembangan Dana Rumah Sakit. Rumah sakit wajib
menggunkan jasa Lembaga Keuangan Syariah dalam upaya
penyelenggaraan rumah sakit, baik bank, asuransi, lembaga
pembiayaan, lembaga penjaminan, maupun dana pensiun.
Rumah sakit wajib mengelola portofolio dana dan jenis-
jenis asset lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, rumah
sakit tidak boleh mengembangkan dana pada kegiatan usaha
dan/atau transaksi keuangan yang bertentangan dengan prinsip-
prinsip syariah. Rumah Sakit wajib memiliki panduan
pengelolaan dana zakat, infaq, sedekah, dan wakaf.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka
penyelesainnya dilakukanmelalui lembaga penyelesaian sengketa
berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah (Fatwa DSN-MUI No. 107/DSN-MUI/X/2016 :13).
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan,
akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Rianto, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Jakarta: Granit, 2004.

Ali, Zainuddin, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Amin, Ma’ruf, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta: Elsas, 2008.

Anwar, Saiful, Pengantar Falsafah Ekonomi dan Keuangan Syariah, Depok:


Raja Grafindo Persada, 2018.

Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Jakarta: Raja Grafindo Persada,


2007.

Ar-Rumaikhon, Ali bin Sulaiman, Fiqih Pengobatan Islami, Solo: Al-Qowam,


2008.

Barlinta, Yeni Salma, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam


Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Jakarta: Badan Litbang dan
Diklat Kementrian Agama RI, 2010.

Dsnmui.or.id
Djauzuli, Kaidah-Kaidah Fiqih, Jakarta: : Kencana Prenada Media Group,
2014.

Firdus, Muhammad, dkk, Sistem dan Pengawas Syariah, Jakarta: Renaisan,


2007.

Fatwa DSN-MUI NO.107/DSN-MUI/X/2016 Tentang Pedoman


Penyelenggaraan Rumah Sakit Berdasarkan Prinsip Syariah

Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI, Jakarta:


Erlangga, 2014.

Himpunan Fatwa Keuangan Syariah Dewan Syariah Nasional MUI, Jakarta:


Erlangga, 2016.

Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, Erlangga, 2011.

Herdiansyah, Haris, Metodologi Penelitian Sosial dan Ekonomi, Jakarta:


Salemba Humanika, 2012.

Julita, Jurnal Ilmiah: Menuju Kepuasan Pelanggan Melalui Penciptaan


Kualitas Pelayanan, 2001.

Lubis, Suhrawardi, Farid Wajadi, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar


Grafika, 2014.

Mansyur, Muhammad, Fiqih Orang Sakit, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Mudhafier, Fadhlan, Makanan Halal Kebutuhan Umat dan Kepentingan


Pengusaha, Jakarta: Zakia Press, 2004.
Mujahidin, Akhmad, Hukum Perbankan Syariah, Jakarta: Rajawali Pers,
2016.

Mukisi.com

Qardhawi, Yusuf, Fatwa: Antara Ketelitian dan Kecerobohan, Jakarta: Gema


Insan Press, 1997.

Risya, Yola Putri, Skripsi: Pengembangan Daya Tarik Kawasan Wisata Bunga
Cihideung, Kecamatan Parongpong, Kabupaten Bandung Barat,
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2014.

Sholiha, Annisa, Skripsi: Tinjauan Fatwa DSN MUI No.107/DSN-MUI/X/2016


Terhadap Penyelenggara Rumah Sakit Islam Sakinah di
Mojokerto, Surabaya: Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
2018.
Ruqaith Hamdan Hasan, Nikmatnya Hidup Sehat Meneladani Nabi dalam
Memelihara Kesehatan Jasmani, Jakarta Selatan: Najla Press,
2004.

Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi: dilengkapi dengan Metode R&D,


Bandung: Alfabet, 2012.

Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Fiqih, Jakarta: Kencana,2003.

Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:


Gema Insani Press, 2001.

Syakuro, Alex Abdan, Skripsi: Peningkatan Pelayanan Dengan Prinsip-


Prinsip Syariah Pada Rumah Sakit Islam Terhadap Kepuasan
Pelanggan, Semarang: Universitas Islam Negeri Semarang,
2010.

Umam, Khitubul, Setiawan Budi Utomo, Perbankan Syariah: Dasar-Dasar


Dinamika Perkembangan di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers,
2017.

Zahrotul, Nur Ana, Skripsi: Kepuasan Pasien Ditinjau Dari Kualitas


Pelayanan Perawat Di Rumah Sakit, Yogyakarta, 2008.

Anda mungkin juga menyukai