Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

HUKUM KELUARGA DI INDONESIA


Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keluarga di Negara Islam
Dosen Pengampu: Siti Masitoh, M. H

Disusun Oleh :

Akhmad Maulana 2121508014


Fiesshalya Mayzanda Dwi Saputri 2121508035
Arya Rangga Yanuar 2121508041

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
UNIVERSITAS SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2023
A. Hukum Keluarga di Indonesia

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa perkawinan


menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. hukum menikah pada dasarnya bisa
menjadi wajib, haram, sunnah, mubah dan makruh tergantung pada keadaan maslahat dan
mafsadatnya. Rukun dan syarat perkawinan, kiranya dapat dikemukakan berikut ini: a. Suami
(syaratnya bukan mahram dari calon istri, tidak terpaksa dan atas kamauan sendiri, orangnya
(suami) jelas, tidak sedang ihram). b. Istri, (syaratnya tidak ada halangan syara’( tidak sedang
bersuami), bukan mahrom, dan tidak sedang dalam iddah, merdeka, tidak terpaksa dan atas
kemauan sendiri, orangnya (istri) jelas, tidak sedang berihram, beragama Islam). c. Wali,
(syaratnya laki-laki, melihat dan mendengar, baligh, kemauan sendiri (tidak dipaksa), berakal,
tidak sedang berihram). d. Saksi, (syaratnya laki-laki, adil, baligh, dapat melihat dan mendengar,
berakal, tidak sedang berihram, tidak dipaksa, memahami bahasa yang digunakan dalam ijab
Kabul). e. Shigat (ijab-kabul), (syaratnya shighat harus dengan bahasa yang dapat dipahami oleh
orang-orang yang melakukan akad, penerima akad, dan saksi; shighat harus jelas dan lengkap,
shighat harus bersambung dan bersesuaian).
Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara menganut hukum Islam
Mazhab Syafi’i. Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan
Islam. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang
bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang
termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun
1596, kebijakan yang telah dilaksanakan oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah
kekuasaanya sehingga kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga
pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada tahun 1946 atau tepatnya satu tahun
setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Undang-undang
No. 22 Tahun 1946 tentang 23 Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah
Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di Sumatera dinyatakan berlaku juga
untuk Sumatera. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri
Agama No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Kemudian pada
tahun 1954 melalui undang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946 tersebut
dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen (DPR-GR) membahas
kembali RUU perkawinan. Pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan sebagai Undang-Undang
Nomor: 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974, tambahan LN Nomor
3019/1974. Untuk terlaksananya UU tersebut maka pemerintah mengeluarkan PP Nomor 9
Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksana dari UU perkawinan tersebut. Pada era reformasi
hukum perkawinan mendapat suatu perubahan yang sangat fenomenal dengan diubahnya bunyi
pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 oleh Mahkamah Konstitusi.
Perceraian adalah putusnya suatu perkawinan dengan putusan hakim yang berwenang atas
tuntutan salah seorang dari suami isteri berdasarkan alasan-alasan yang telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Hukum asal dari perceraian itu adalah makruh atau tercela,
namun dalam keadaan dan situasi tertentu. Perceraian di Indonesia diatur dalam UU No. 1 tahun
1974 tentang perkawinan (UUP), dan Intruksi Presiden RI No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) yang dikokohkan oleh Keputusan Mentari Agama No. 154 tahun 1991
tentang pelaksanaan Intruksi presiden RI No. 1 tahun 1991. Putusnya perkawinan yang
disebabkan oleh perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.
Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama (PA) setelah PA tersebut
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

B. Hukum Keluarga di Malaysia

Berdasarkan pengertian hukum keluarga di atas yang dikemukakan oleh para ahli, dapat
disimpulkan bahwa hukum keluarga pada hakekatnya adalah seperangkat kaidah (norma)
hukum; baik tertulis maupun tidak tertulis, mengatur hubungan-hubungan hukum yang timbul
karena ikatan keluarga, yang meliputi tetapi tidak terbatas pada : Peraturan Perkawinan dengan
segala hal yang lahir dari perkawinan, Peraturan mengenai Perceraian, Peraturan mengenai
kedudukan anak , Peraturan mengenai Pengampuan (curatele), Peraturan mengenai perwalian
(voogdij).
Sistem pemerintahan yang digunakan Malaysia adalah Federal. Sistem pemerintahan
yang digunakan merupakan sistem pemerintakan demokrasi tetapi juga kerajaan konstitusional
yang kemudian memberikan hak-hak kebebasan kepada negara federasi untuk menetukan
kebijakan publik serta ketentuan hukum Keberagaman hukumvang hadir menjadi keniscayaan,
akan ada yang dipandang lebih ketat atau bahkan sangat longgar tergantung bagaimana penguasa
menuangkan peraturan dalam lembar negara.
Untuk mengetahui lebih jauh secara detail alasan diterapkannya hokum Islam di
Malaysia, ada lima faktor yang dapat dijadikan revolusi kultural, politik, konstitu-sional dan
penjajah. dan reformisme. Aspek kultural sebagai salah satu factor yang mendukung penerapan
hukum Islam di Malaysia, sebagaimana telah disebutkan bahwa undang-undang Islam bersama
berdasar pula pada adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyrakat. Secara politik ada dua
kelompok yang besar berkembang di Malaysia yakni UMNO (United Malaya National
Organitation) dan PAS (Partai Islam se Malaysia).
UU dalam perkawinan malaysia : Administrasi hukum Islam, Hukum keluarga, Acara
pidana, Acara perdata, Pembuktian, Bait Al-mal
Hukum Keluarga Islam di Malaysia: Pencatatan perkawinan di Malaysia, Pembatasan
usia perkawinan, Perceraian di Malaysia, Poligami di Malaysia, Ketentuan pidana dalam UU
perkawinan di Malaysia, Perkawinan beda agama.
Hukum Perkawinan di Malaysia juga menharuskan adanya pendaftaran atau pencatatan
perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah. Hanya saja dalam
prakteknya proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya : Pertama: Untuk yang tinggal di Negara
masing-masing pada dasarnya pencatatan dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali
Kelantan yang menetapkan tujuh hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh
wali dan dua orang saksi dan pendaftar. Kedua: Orang asli Malaysia yang melakukan
perkawinan dikedutaan Malaysia yang ada diluar negeri. Untuk kasus ini proses pencatatan
secara prinsip sama dengan proses orang Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya.
Perbedaanya adalah hanya pada petugas pendaftar. yakni bukan oleh pendactar asli yang angkat
di Malaysia, tetapi pendaftar yang diangkat di kedutaan atau konsul Malaysia di Negara yang
bersangkutan. Ketiga: Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan
tidak di kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan.
Dalam peraturan perundang-undangan Malaysia membatasi usia perkawinan minimal 16
tahun bagi mempelai perempuan dan 18 tahun bagi mempelai laki-laki. Adapun alasan alasan
perceraian dalam undang-undang keluarga di Malaysia adalah sama dengan alas an-alasan
terjadinya fasakh. Sebagaimana dalam UU Perak dan UU Pahang disebutkan ada lima alas an
yang menyebabkan terjadinya perceraian, diantaranya: Suami gila mengidap penyakit kusta.
Suami impotent. Izin perstujuan perkawinan dari istri secara tidak sah, baik karena paksaan. Pada
waktu perkawinan istri sakit jiwa. Atau alasan alasan yang sah untuk fasakh menurut sayri'ah.
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan di Malaysia tentang boleh atau tidaknya
seorang laki-laki melakukan poligami. Adapun mengenai syarat yang harus dipenuhi bagi
seseorang yang hendak melakukan poligami adalah adanya izin tertulis dari Hakim, ketentuan ini
hamper tercantum di semua undang-undang perkawinan Negara bagian.
Ketentuan Pidana dalam UU Perkawinan di Malaysia : Poligami, Suami yang melakukan
poligami tidak sesuai dengan aturan perundang-undangan yang ditetapkan, secara umum dapat
dikenakan hukuman berupa hukuman denda maksimal seribu ringgitatau kurungan maksimal 6
bulan atau kedua-duanya sekaligus. Demikian juga bagi suami yang tidak mampu berlaku adil
terhadap isteri Isterinya dapat digolongkan sebagai orang yang melanggar hokum dapat
dikenakan sangsi hukuman denda maksimal seribu ringgit atau kurungan maksimal 6 bulan atau
kedua-duanya.
Pencatatan Perkawinan, Bagi orang yang melakukan perkawinan di luar Malaysia dan
tidak sesuai dengan aturan yang ada adalah perbuatan melnaggar hukum maka dapat dihukum
dengan membayar denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal 6 bulan atau keduaduanya.
Perceraian, Bagi orang yang malanggar peraturan tentang perceraian, baik suami atau
isteri, misalnya melakukan perceraian di luar pengadilan dan tidak mendapatkan pengesahan atau
pengakuan dari pengadilan, atau membuat surat pengakuan palsu bias dihukum dengan hukuman
denda sebesar seribu ringgit atau penjara maksimal enam bulan atau kedua-duanya.
Perkawinan Beda Agama, Larangan perkawinan beda Agama di Malaysia didasarkan pada
ketentuan yang termuat dalam seksyen 51 Akta pembaharuan UU Perkawinan dan Perceraian)
1976 sebagaimana dischutkan Jika salah satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk
Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan svarat bahwa tiada
suatu permohonan dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga bulan dari tarikh
masuk Islam itu.

C. Hukum Keluarga di Brunei Darussalam

Brunei Darussalam memiliki sistem hukum keluarga yang didasarkan pada hukum Islam
dan terutama mengatur tentang pernikahan, perceraian, hak waris dan adopsi. Beberapa prinsip
hukum keluarga Islam yang diterapkan di Brunei Darussalam termasuk bahwa pernikahan harus
didasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak, wali harus memberikan persetujuan, suami
adalah kepala keluarga dan istri bertanggung jawab untuk merawat anak-anak dan rumah tangga.
Pernikahan juga dianggap sebagai perjanjian sosial dan diharapkan untuk bertahan seumur hidup.
Hukum keluarga di Brunei Darussalam juga mengatur tentang perceraian, baik yang
disetujui oleh kedua belah pihak atau diputuskan oleh pengadilan. Dalam hal perceraian, aset dan
hak waris harus dibagi secara adil antara suami dan istri. Hukum keluarga di Brunei Darussalam
juga mengatur tentang adopsi anak, di mana adopsi diakui sebagai sah jika dilakukan sesuai
dengan syariah Islam.
Dalam Undang-Undang Brunei Bab 217 tentang Hukum Keluarga Islam tidak disebutkan
secara jelas mengenai batas minimal usia perkawinan, tetapi dijelaskan bahwa anak yaitu
seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun. Selain itu dalam hal pemeliharaan, seorang anak
akan berakhir pemeliharaannya ketika telah berusia 18 tahun. Dalam Undang-Undang
Pendaftaran Perkawinan Bab 124 tahun 2002 dijelaskan bahwa seseorang yang ingin melakukan
perkawinan tetapi masih berusia di bawah 18 tahun, maka harus mendapatkan izin dari orang tua
atau wali kedua belah pihak.

D. Hukum Keluarga di Thailand Selatan

Thailand merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang dihuni oleh mayoritas
agama Buddha dengan mengambil 94 persen dari jumlah penduduk. Islam menduduki 4.6 persen
dari total penduduk Thailand, sedangkan sisanya dianut oleh agama kristen, hindu, dan lainnya.
Islam yang menjadi agama minoritas di Thailand seakan mendapatkan sebuah kekhususan
karena dapat menerapkan hukum Islam di negara mayoritas Buddha. Hal itu tidak dapat
dipisahkan dari sejarah terbentuknya negara Thailand itu sendiri. Kerajaan Pattani menjadi salah
satu faktor dalam kehadiran agama Islam di Thailand, yang kemudian sampai pemerintahan
Thailand berubah menjadi negara resmi, Islam masih menjadi agama yang dibenarkan untuk
menerapkan kebebasan agama di wilayah Thailand bagian selatan.
Thailand menetapkan dua peraturan yang konsen membahas perkawinan, Thailand
Commercial and Civil Code Book V, yang berlaku bagi masyarakat Thailand secara umum, dan
Muslim Family Law and Law of Inheritance 1941, yang berlaku bagi penduduk muslim Thailand
wilayah selatan.
Keluarga adalah dunia pertama, sebuah dunia yang, untuk beberapa tahun pertama
setidaknya, lembut, dan nyaman. Thailand terbentuk dari sebuah keluarga, hal ini merupakan
tradisi tradisional yang terjaga dalam waktu yang sangat lama dan mereka pun berpegang teguh
padanya. Lebih jauh lagi, penduduk Thailand secara mental masih memegang teguh hal ini baik
secara mental maupun moral. Terutama hubungan yang terjalin antara ibu dan anak perempuan.
Berbeda dengan beberapa negara Asia lainnya yang mungkin kurang permisif dalam menanggapi
kondisi ini, para pria dan sebagian besar masyarakat membiarkan pria asing menikahi perempuan
Thailand. Terlebih lagi, cukup mudah menjalin hubungan dengan para perempuan di Thailand.
Bahkan beberapa dari mereka langsung menjalin hubungan tanpa sepengetahuan keluarga,
khususnya mereka yang sudah dewasa. Namun, dalam menjalin hubungan perkawinan, banyak
dari perempuan Thailand mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial, sehingga banyak
orang asing yang menilai bahwa cinta di Thailand bisa dibeli dengan uang.
11 Tradisi perkawinan adalah tradisi yang sangat dijaga oleh masyarakat Thailand. Baik
pernikahan yang dilakukan oleh pria pribumi maupun pria asing, tradisi upacara perkawinan
merupakan satu hal yang diharuskan di Thaland. Waktu perkawinan ditentukan oleh biksu
peramal, kemudian kepala kedua mempelai dikalungkandengan seutas tali putih khusus yang
disebut «saimonkon». selanjutnya sesepuh desa menuangkan air suci di atas tangan kedua
mempelai, tuangan air tersebut biasanya jatuh tepat di atas wadah yang berisi bunga-bunga yang
sudah disiapkan secara khusus. Kemudian para tamu yang hadir ikut memberkati dan melakukan
hal yang sama dengan menuangkan air suci setelah sesepuh desa. Upacara ini merupakan
upacara adat yang biasanya tidak diwarnai dengan unsur-unsur agama maupun janji setia seumur
hidup sebagaimana di agama-agama lain. Selain hal yang umum, juga terdapat banyak variasi
dasar yang dilakukan dalam upacara perkawinan. Dan akhirakhir ini sebagian besar dari
pasangan yang tergolong menengah ke atas tidak melakukan tradisi ini dan lebih memilih untuk
berbulan madu di Phuket.
Hukum Perkawinan di Thailand Thailand mengatur segala urusan perkawinan dalam
Buku ke 5 dari The Civil and Commercial Code yang terdiri dari 163 pasal. Undang-undang ini
terdiri dari Bab Perkawinan yang mengatur tentang pertunangan, syarat-syarat perkawinan,
hubungan suami dan istri, harta suami dan istri, batalnya perkawinan, dan berakhirnya
perkawinan. Hukum perkawinan ini berlaku bagi masyarakat Thailand. Thailand secara hukum
mengharuskan perdaftaran perkawinan di kantor setempat. Hanya satu pernikahan yang sah dan
diperbolehkan, tetapi Seorang pria masih memungkinkan untuk memiliki beberapa mia noy/mia
noi . Memiliki lebih dari satu istri memang tidak dibenarkan secara hukum, namun meskipun
demikian banyak pertimbangan bagi pria maupun wanita yang melakukannya. Salah satu studi
memaparkan bahwa ada sekitar 25% pria memiliki lebih dari satu istri dengan berbagai macam
alasan yang dikemukakan oleh masing-masing responden. Mia noy tidak memiliki hak hukum,
tetapi anak-anak mereka diakui sebagai anak yang sah menurut hukum Thailand. Hal ini terjadi
karena perkawinan dan perceraian merupakan hal yang mudah di Thailand.
Berbeda dengan hukum perkawinan Thailand yang digunakan untuk mengatur mayoritas
masyarakat. Berlakunya hukum Islam di wilayah selatan Thailand merupakan hasil penundukan
diri dari mantan kerajaan Melayu di bawah kekuasaan kerajaan Siam. Meskipun sudah tunduk
menjadi salah satu bagian dari negara Thailand, wilayah Thailand selatan ini tetap ingin
mempertahankan posisinya sebagai sebuah kerajaan Islam, bahkan sampai sekarang. Raja Siam
tidak mengganggu semua hal yang berkaitan urusan agama kaum muslimin di selatan.
Sejak masa itu terjadi banyak perubahan yang menggeser hukum Islam dan hukum
tradisional kepada hukum perdata kerajaan Siam. Penerapan hukum perdata kerajaan Siam
selanjutnya menghambat penerapan dan mempersempit ruang lingkup hukum Islam di wilayah
selatan Thailand, khususnya di Provinsi Patani, Narathiwat, Yala, dan Satun. Pengangkatan Dato
Yuthitam beriringan dengan dibentuknya Muslim Family Law and Law of Inheritance yang
berlandaskan pada kitab-kitab fiqh klasik syafi’iyah. Sedangkan hukum kewarisan terdiri dari 28
pasal yang mengatur tentang aturan umum, golongan ahli waris, fardu , aasabah, sawil al-Arham
, dan wasiat.
Bersama dengan perkembangan Islam yang telah terjadi dalam masyarakat Thailand
selama tiga dekade terakhir, perdebatan tentang perkawinan beda agama menjadi sebuah dimensi
baru. Sebagai contoh, ada peningkatan perhatian yang diberikan kepada studi Islam di kedua
sistem Islam tradisional dan sistem sekolah nasional, dan wanita yang mengenakan jilbab
sekarang dipandang sebagai hal yang biasa. Perkawinan beda agama antara muslim di Thailand
telah dibahas oleh banyak pemimpin agama setempat dan para senior desa sebagai masalah yang
mengkhawatirkan di masyarakat. Dalam beberapa kasus pernikahan beda agama di Thailand
selatan, banyak para penganut Buddha yang masuk Islam.
Hanya beberapa kasus yang menyebabkan seorang Muslim menjadi penganut Buddha,
tetapi bahkan dalam hal ini biasanya konversi agama tidak terjadi secara langsung, hilangnya
identitas sebagai muslim tersebut biasanya memalui proses budaya yang cukup lama. Secara
resmi, komite masjid mengatur ide-ide keagamaan, praktek dan ritual muslim di seluruh negeri
dan dilaksanakan oleh setiap masjid di masing-masing desa, dan termasuk hal-hal yang berkaitan
dengan perkawinan. Dengan konversi MFLLI yang banyak mengambil hukum Syafi’iyah dalam
menanggapi hukum perkawinan beda agama, dapat dipastikan bahwa perkawinan beda agama di
Thailand dihukumi boleh. Sedangkan negara Thailand merupakan negara yang mayoritas
Buddha.
Dalam hal ini, kondisi perkawinan beda agama yang terjadi di Thailand menggambarkan
ijtihad tarjihi intiqa’i, yaitu memilih pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli fiqh
terdahulu, kemudian menentukan pendapat mana yang paling kuat dan ideal untuk masyarakat
minoritas yang ada. Konsep tarjihi intiqa’i yang terjadi di kelompok muslim Thailand Selatan ini
adalah melepaskan perdebatan beberapa pendapat yang mempertanyakan posisi Buddha sebagai
kelompok ahlu kitab atau bukan, lalu kemudian menghukumi menghukumi kebolehan
pernikahan keduanya sebagai salah satu hsil «dialog keagamaan» yang ada antara muslim dan
Buddha. Langkah pertama yang dilakukan oleh penggugat Apabila penggugat dan tergugat hadir
dalam persidangan pada hari yang ditetapkan, maka tugas Majelis hakim adalah memasuki tahap
persidangan. Dan apabila Majelis berpendapat pula bahwa bahwa suami isteri yang bersangkutan
tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga maka Majelis
memutus untuk mengada sidang untuk menyaksi perceraian. Bukti yang memperkuat dalil-dalil
tergugat. Bukti yang dimaksud adalah saksi. Hakim harus membuktikan hal-hal yang dijadikan
untuk memgugat suami. Isteri mempunya alasan yang cukup untuk bercerai. Penyebab
perceraian yang timbul dari suami, maka perkawinan diputus dengan jatuh satu talak.

E. Hukum Keluarga di Turki

Sebelum menjadi negara sekular seperti sekarang, Turki adalah negara atau kekhalifahan
islam yang sangat disegani oleh semua negara di dunia. Setelah runtuh kekhalifahan Turki
Usmani, maka negara diambil alih oleh Mustafa Kemal Attaturk dan dibuat menjadi negara
sekular, yang mana hal itu bisa kita lihat hingga sekarang. Perubahan negara Turki yang awalnya
Khalifahan menjadi sebuah republik disebabkan oleh gerakan Tanzimat. Tanzimat adalah
gerakan yang bergerak pada bidang reformasi sosio-politik yang mengubah dengan sengaja
sistem pemerintahan kekhalifahan Turki dengan cara mengintegrasikan ke dalam sistem seperti
negara-negara eropa. Berjalan waktu, muncullah gerakan Said Nursi yang ingin mengembalikan
Turki menjadi negara Islam.
Reformasi hukum keluarga dimulai tahun 1917 dengan disahkannya The Ottoman Law of
Family Rights oleh pemerintah Turki. Pada masa Usmani, hukum keluarga pada saat itu masih
sangat tradisional, karena hanya berpatokan dengan madzhab Hanafi. Pada masa Kemal yang
sekuler, hukum keluarga diciptakan melalu legislatif, seperti layaknya negara republik lainnya.
Kemudian pada saat ini, Turki menggunakan hukum keluarga yang diperbaharui melalui proses
legislasi modern. Turki melakukan pembaharuan hukum keluarga Islam dalam hukum perdata
nasional dengan tujuan untuk melakukan penyatuan hukum secara nasional tanpa melihat agama
masyarakat dan juga tidak ada pembedaan atas gender.
Produk Hukum Keluarga di Turki : Batas minimal usia perkawinan, Pemerintah Turki
menetapkan minimal usia seseorang jika ingin melakukan perkawinan yaitu 18 tahun bagi laki-
laki dan 17 tahun bagi perempuan. Namun jika terjadi kondisi tertentu maka pengadilan setempat
dapat memberikan dispensasi pernikahan dibawah umur, hal ini sama seperti di Indonesia yang
juga menerapkan dispensasi pernikahan bagi seseorang yang umurnya belum memenuhi batas
minimal seseorang yang boleh menikah.
Pertunangan, Khitbah adalah pemintaan dari seorang laik-laki kepada perempuan untuk
dijadikan istri melalui cara yang diketahui oleh beberapa pihak. Pada Hukum keluarga Turki
tidak dianjurkan untuk mengadakan pesta seremonial tertentu sebelum pernikahan atau pra
pernikahan. 11 Karena pasangan yang melakukan khitbah atau pertunangan belum tentu
berlanjut kepada ikatan perkawinan.
Larangan melakukan perkawinan, Peraturan Sipil Turki menetapkan aturan mengenai
larangan melakukan perkawinan dengan melihat apakah calon mempelai masih memilki
hubungan darah dalam garis keturunan langsung, seperti saudara laki-laki, perempuan, paman,
bibi, keponakan, saudara seayah, saudara seibu, dan juga melalui perkawinan.
Poligami, Hukum keluarga Turki melarang adanya perkawinan dengan poligami atau
perkawinan diatas perkawinan yang masih berlaku. Apabila sebelum adanya pernyataan
menegani bubarnya sebuah ikatan perkawinan yang pertama, baik sebab perceraian, kematian
dan pembatalan perkawinan (Pasal 93 Peraturan sipil Turki, 1926), maka perkawinan yang kedua
dinyatakan tidak sah oleh pengadiolan atas dasar orang tersebut teah memiliki kehidupan
perkawinan yang masih berlaku (Pasal 112 Peraturan Sipil Turki, 1926).
Resepsi perkawinan, Menurut pemerintah Turki, resepsi perkawinan boleh dilaksanakan
dengan berdasarkan ketentuan agama masing-masing warganya. Namun perkawinan tersebut
harus memenuhi persyaratan untuk dicatat sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pembatal perkawinan, Pada Pasal 112 Peraturan Sipil Turki menjelaskan bahwa
perkawinan harus dibatalkan apabila terdapat kondisi sebagai berikut; pertama, salah satu pihak
baik laki-laki ataupun perempuan masih berstatus dalam perkawinan dengan orang lain. Kedua,
terdapat penyakit kejiwaan diantara salah satu pihak ketika menikah. Ketiga, termasuk dalam
pekawinan yang dilarang. Pekawinanan dianggap batal, menurut mazhab Hanafi apabila terdapat
syarat dan rukum dalam sebuah perkawinan yang tidak dapat terpenuhi. Ketika sebuah
perkawinan tersebut sudah telaksana padahal tidak memenuhi syarat dan hukunnya, maka hakim
berhak untuk memisahkan secara paksa keduanya (suami-istri) dan tidak berlaku iddah bagi
perempuannya (istri).
Perkawinan yang tidak sah, Peraturan Sipil Turki memberikan kewenangan kepada
pengadilan untuk menyatakan ketidaksahan atau tidak absah suatu ikatan perkawinan yang
berdasarkan atas beberapa alasan sebagai berikut; Pertama, adanya konflik yang dapat merugikan
salah satu pihak pada saat melakukan perkawinan. Kedua, salah satu pihak tidak memiliki
keinginan yang sunguhsungguh untuk melakukan perkawinan dengan pasangannya. Ketiga,
adanya anggapan dari salah satu pihak bahwa pasanganya tidak seseia dengan kriteria dan
kualitas yang diharapkan. Keempat, salah satu pihak dirugikan akibat tertipu atas kepribadian
dan praktek moral pasangannya. Kelima, adanya penyakit yang membahayakan dari salah satu
pihak atau salah satu pihak masih di bawah umur. Keenam, salah satu pihak melakukan
perkawinan karena adanya ancaman dari orang lain yang dapat membahakan kehidupannya,
kesehatan dan orang-orang yang ada di dekatnya. (Pasal 20 Peraturan sipil Turki, 1926 ).
Perceraian, Terdapat 6 (enam) alasan masih masing pihak berhak untuk mengajukan
perceraian yang disebutkan dalam Peraturan sipil Turki pada Pasal 20. Pada 6 (enam) alasan
tersebut antara lain: Pertama, salah satu pihak antara suami atau istri telaj melakukan
perselingkuhan atau perzinahan. Pada perbuatan perzinahan sendiri bukan persoalan yang dapat
dipidanam akan tetapi dapat menjadi salah satu penyebab atau alasan untuk mengajukan
perceraian. Kedua, salah satu pihak merugikan pihak lain dengan cara meyakiti yang
menyebabkan luka-luka. Ketiga, salah satu pihak melakukan tidakan kriminal yang mengangu
terhadap keberlangsungan sebuah ikatan perkawinan. Keempat, salah satu pihak meninggalkan
tempat tinggalnya dengan alasan yang tidak jelas selama 3 bulan. Kelima, salah satu pihak
memilki penyakit kejiwaan yang dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter dalam waktu
sekrang-kurangnya 3 tahun. Keenam, terjadikan perselisihan antara suami dan istri yang tidak
dapat diselesaikan kecuali dengan perceraian. Meskipun demikian, Pengadilan dapat membuka
akses mediasi diantara para pihak yang berkeinginan untuk bercerai, akan tetapi tidak mediasi
gagal maka tetap perceraian bisa dilanjutkan.
Kompensasi dalam perceraian, Pengadilan memiliki kewenangan untuk menetapkan
bahwa pihak yang bersalah akan membayar ganti rugi kepada pihak yang dirugikan secara fisik,
reputasi dan keuangan. Terdapat aturan tambahan dalam peraturan sipil Turki yang memberikan
hak kepada pengadilan untuk mengatur bahwa pihak yang diceraikan tidak peduli bersalah atau
tidak, maka pihak yang menceraikan harus memberikan ganti rugi selama pihak pertama belum
melaksanakan perkawinan yang baru dalam periode yang tidak lebih dari satu tahun dari tanggal
perceraian yang ditetapkan.
Peraturan tentang kewarisan, Pada peraturan warisan dalam ketentuan peraturan sispil
Turki memilki prisnsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sehingga mendapatkan
pembagian warisan yang sama.

F. Hukum Keluarga di Tunisia

Sejarah lahirnya kodifikasi dan reformasi hukumkeluarga Tunisiatersebut berawal dari


adanya pemikiran dari sejumlah ahli hukumterkemukaTunisia yang berfikir bahwa dengan
melakukan fusi terhadap mazhabHanafi dan mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum baru
mengenai hukumkeluarga dapat dikembangkan sesuai dengan perkembangan situasi dankondisi
sosial kemasyarakatan Tunisia. Reformasi hukum keluarga di Tunisia merupakan bagian dari
sebuahproduk besar untuk membangun negara modern. Beberapa bulan setelahkemerdekaannya,
pemerintah Tunisia langsung memberlakukan hukumkeluarga, yang oleh banyak pengamat
dianggap cukup maju dalammenginterpretasikan syariat Islam, terutama dalammembela hak-
hakperempuan.
Produk Hukum Keluarga Tunisia: Usia Perkawinan, Laki-laki dan perempuan di Tunisia
dapat melakukan perkawinan jika telah berusia 20 tahun. Hal ini merupakan ketentuan yang
merubah isi pasal 5 Undang-Undang 1956, yang mana sebelum dirubah, ketentuan
usianikahadalah 17 tahun bagi perempuan dan 20 tahun bagi laki-laki. Denganketentuan bahwa
baik laki-laki maupun perempuan harus berusia 20tahununtuk boleh melangsungkan perkawinan,
bagi wanita yang berusia 17harusmendapat izin dari walinya. Jika wali tidak memberikan izin,
perkara tersebut dapat diputuskan di pengadilan.
Perjanjian Perkawinan, Undang-Undang tunisia 1956 memberi peluang adanya khiyar al-
syart dalam perkawinan. Jka ada isi pe‫؟‬janjian yang terlanggar, pihak yangdirugikan atas
pelanggaran perjanjian tersebut dapat mengajukan tuntutanpembubaran perkawinan. Perjanjian
tersebut tidak bisa melahirkan hakganti rugi jika hal tersebut terjadi sebelum perkawinan
terlaksana secarasempurna.
Poligami, Pasal 18 Undang-Undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakanbahwa
beristeri lebih dari seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikianpula, Undang-Undang ini
secara tegas menyatakan bahwa seorang priayangtelah menikah, dan nikahnya belum putus
secara hukum, menikah lagi, dapat diancam hukuman penjara satu (1) tahun atau denda setinggi-
tingginya 240.000 Malim.
Pernikahan yang tidak sah, Pernikahan yang dipandang tidak sah menurut Undang-
UndangHukum Keluarga di Tunisia adalah: Perkawinan yang bertentangan dengan dasar-dasar
perkawinan(pasal 21), Perkawinan tanpa persetujuan dari salah satu pihak suami/istri (pasal 3),
Perkawinan yang dilakukan sebelum usia pubertas atau terdapat halangan hukum yang lain
(pasal 5), Perkawinan yang di dalamnya terdapat halangan untukmelangsungkan perkawinan
(pasal 15-17), Menikah dengan wanita yang masih dalam masa iddah (pasal 20).
Pemeliharaan anak, Pada pasal 67 yang telah diamandemen pada tahun1981, menyatakan
bahwa jika orang tua yang berhak mengasuh anak meninggal dunia sedangkan sebelumnya
perkawinan telah bubar, maka hak hadhanahtersebut berpindah kepada orang tua yang masih
hidup. Sedangkan apabila pernikahan bubar sedangkan kedua belak pihak masih hidup,
hakpemeliharaan anak diserahkan kepada salah satu pihak ataubolehdiserahkan kepada pihak
ketiga. Selanjutnya pengadilan dapat memutuskanbatas waktu pemeliharaan anak dengan
memperhatikan sepenuhnya kepadakondisi anak yang bersangkutan (pasal 67). Sedangkan
dalammazhabMaliki dinyatakan bahwa berakhirnya hadhanah adalah jika anak laki-laki
sudahmencapai usia baliq dan anak perempuan sudah menikah. Hal ini berbedadengan pendapat
mazhab Syafi‟i yang menyatakan bahwa anak perempuanberakhir masa hadhanahnya ketika ia
sudah baliq.
Hukum waris, Berkaitan dengan permasalahan warisan, Tunisia secara umumhanya
melakukan kodifikasi terhadap ketentuan-ketentuan hukummazhabMaliki. Akan tetapi ada
beberapa hal terdapat perbedaan ketentuan denganmazhab Malik, yaitu dengan mendasarkan
pada pendapat-pendapat pakar hukum dari mazhab lain. Sebagai contoh adalah pasal 143 (a)
bahwaanakperempuan dan anaknya dapat menerima asabah dari warisan, walaupunadaahli waris
lain dari pihak laki laki seperti saudara laki laki dan paman. Ketentuan ini menunjukkan bahwa
posisi anak perempuan dan anaknyalebihbaik daripada ketentuan mazhab Maliki.
Wasiat beda agama dan kewarganegaraan, Di antara ketentuan hukum wasiat yang
menonjol adalah perihal sahnya wasiat antara dua pihak yang berbeda agama.
Demikianpuladipandang sah wasiat yang dilakukan para pihak yang berkewarganegaraan
berbeda (pasal 174-175). Jika negara mushaa lah (penerima wasiat) tidakmenghalangi wasiat dari
orang seperti mushii (pemberi wasiat), sebagai aplikasi asas persamaan dan sistem pertukaran
satu sama lain, makawasiat diperbolehkan apabila negara mushii memperbolehkan akad
semacamwasiat, tapi wasiat dicegah apabila negara tersebut tidakmemperbolehkannya17.
Namun, bukti terjadinya wasiat harus berupabukti tertulis yang bertanggal dan ditandatangani
pihak yang berwasiat, sehinggabukti oral dipandang tidak cukup sebagai alat bukti (pasal 176).
Wasiat wajibah, Ketentuan mengenai wasiat wajibah telah diperkenalkan olehUUwaris
Mesir pada tahun 1946 dengan membuat ketentuan hukumperihal kewajiban adanya wasiat bagi
cucu yang yatim dari pewaris. Hukumkekeluargaan dan kewarisan pada beberapa negara
Islamtelah menetapkanadanya wasiat semacam ini yang memberikan bagian yang tetap bagi
cucudari peninggalan kakek apabila anaknya (ayah si cucu) meninggal duniasewaktu kakek
masih hidup. Undang-Undang ini terkenal denganistilah“Qanun Wasiyat Wajibah”. Hal ini
kemudian diikuti oleh Syiria dan Tunisia. DalamUndang- Undang Tunisia, ketentuan tentang
wasiat wajibah hanya diperuntukkanbagi cucu yatim dari generasi pertama, baik laki-laki
maupun perempuan(pasal 192), dengan catatan bahwa cucu laki-laki mendapat bagian dua kali
lebihbesar dari bagian cucu perempuan.

G. Hukum Keluarga di Arab Saudi

Arab Saudi merupakan negara dengan bentuk sistem kerajaan atau monarki. Arab Saudi
merupakan salah satu negara di Dunia Islam yang cukup strategis, terutama karena di negara
tersebut terdapat Baitullah di Makkah yang menjadi pusat ibadah haji kaum Muslim seluruh
dunia. Apalagi perjalanan Islam tidak bisa dilepaskan dari wilayah Arab Saudi. Sebab, di sanalah
Rasulullah saw. lahir dan Islam bermula hingga menjadi peradaban besar dunia. Arab Saudi
tidak menerapkan sistem hukum civil law akan tetapi semua kekuasaan dipegang oleh Raja.
Dalam menentukan hukum semua berlandaskan pada al-Quran sebagai landasan utama
konstitusionalnya. Madzhab fiqh yang dianut oleh Saudi Arabia ialah madzhab Hanbali, maka
semua aturan atau tata cara tentang perkawinan di sesuaikan dengan madzhab fiqh nya.
Tidak ada undang-undang khusus mengenai hukum keluarga khususnya yang berkaitan
dengan perkawinan, wakaf dan waris, semua hanya bergantung pada aturan yang ada di dalam
al-Quran dan fiqih. denganbegitu semua permasalahan hukum keluarga akan dikaitkan dengan
Al Qur’an danSunnah. Seperti jika terjadi perceraian dan wanita tersebut masih perawan,
makawanita biasanya mengembalikan uang dan perhiasan yang sudah diberi oleh pengantinpria.
Jika mereka bercerai setelah terjadinya dukhul, lalu wanita mempertahankan semuanya dari mahr
dan perhiasan.
Mengenai perwalian dalam pernikahan jika merujuk pada Mazhab Hambali maka Hukum
nya adalah wajib, pernikahan dianggap tidak sah tanpa adanya wali. Lalu kita lihat dari segi usia
pernikahan di Arab Saudi, Arab Saudi tidak menetapkan Undang-Undang mengenai batasan usia
pernikahan yang diterapkan hanyalah hukum fikih yang sebenarnya yaitu seseorang dapat
menikah kapanpun asalkan telah cukup memenuhi syarat dalam madzhab yang dianutnya,
dimana mayoritas mereka bermazhab Imam Hambali.
Arab Saudi juga sangat serius menamgami wakaf dengan membentuk kementrian Haji
dan Waqaf dengan anggota terdiri dari ahli Hukum Islam dari kementrian kehakiman, Majelis ini
mempunyai untuk membelanjakan hasil pengembangan waqaf dan menentukan Langkah-
langkah dalam mengembangkan wakaf berdasarkan sayarat-syarat yang telah di tetapkan oleh
waqif dan manejeman wakaf.

H. Hukum Keluarga di Pakistan


Hukum keluarga Islam di Pakistan, mengenai batas usia nikah diatur dengan tegas dan
ketat. Pengadilan sementara ia tahu keputusan tersebut 4 melarang perbuatan yang dilakukannya
dapat dijatuhi hukuman penjara maksimal 3 bulan. Peraturan tersebut tidakjauh berbeda dengan
batas usia nikah di Indonesia. Di Indonesia belum mengatur secara khusus mengenai sanksi
terhadap perkawinan di bawah usia tersebut.
Bahkan dalam UU Perkawinan membolehkan pernikahan sebelum usia tersebut dengan
syarat mengajukan dispensasi nikah. Keberadaan sanksi tersebut menunjukkan sebuah
pembaruan hukum di Pakistan. Penetapan ini didasarkan atas pendapat Imam Hanafi yang
melandaskan pendapatnya kepada ayat Al-Quran tentang pentingnya mencatat transaksi-
transaksi penting. Bagi yang melanggar aturan ini dihukum dengan hukuman penjara selama 3
bulan dan/atau denda 1000 Rupee. Dan bagi yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi pidana.
Di Pakistan, seorang suami masih dapat menjatuhkan talak secara sepihak di luar
pengadilan, tetapi segera setelah itu ia diwajibkan melaporkannya kepada pejabat pencatat
perceraian yang kemudian akan membentuk Dewan Hakam untuk menengahi dan mendamaikan
kembali pasangan suami istri itu. Pasal 7 ayat 2,«Bagi seorang yang melanggar ayat 1 pasal ini
dapat dihukum dengan hukuman penjara 1 tahun atau denda 5.000 Rupee atau kedua-duanya».
Kemudian dalam waktu tiga puluh hari sejak diterimanya pemberitahuan talak, Dewan Arbitrase
mengambil langkah-langkah untuk membawa rekonsiliasi antara suami dan istri. Namun, jika
istri sedang hamil pada saat pembacaan talak, talak tersebut tidak berpengaruh sampai sembilan
puluh hari telah berlalu atau akhir kehamilan, mana yang lebih dulu.
Ketentuan mengenai perceraian di Pakistan masih mengenal talak di luar pengadilan.
Selain itu, istri juga dapat menggugat cerai suaminya dengan alasan tertentu.

I. Hukum Keluarga di India

Di india, pernikahan anak dibawah umur sudah merupakan kasus yang biasa terjadi.
Hampir seluruh wilayah memiliki anak perempuan yang sudah menikah sebelum mencapai usia
18 tahun. Pernikahan anak dibawah umur ini ternyata sudah membudaya di India mulai abad
pertengahan ketika perpolitikan sedang tidak stabil dan hukum belum diatur dalam tingkat
nasional. Para orang tua meninggalkan tanggung jawab mereka terhadap anak-anak
perempuannya dengan cara menikahkan anak perempuannya terlalu muda. Dari abad
pertengahan juga system politik di India berangsur-angsur mengubah gaya hidup serta opini
masyarakat dari yang sederhana menjadi bentuk yang lebih kompleks dan membatasi kebebasan
secara signifikan. Perempuan kehilangan haknya, mereka harus mentaati peraturan dan menjaga
tingkah laku. Perempuan dianggap sebagai subjek untuk kehormatan keluarga.
Terdapat empat faktor yang menyebabkan permasalahan pernikahan anak dibawah umur masih
terjadi di India yaitu :
a) Anak perempuan yang belum menikah dianggap penentu rendahnya tingkat
kehormatan suatu keluarga. Pernikahan dianggap sebagai cara untuk menjaga
kesucian perempuan dan dapat menghindari terciptanya aib keluarga.
b) Mahar yang digunakan untuk menikahkan anak perempuan secara dini lebih murah
dibandingkan yang berpendidikan tinggi.
c) Untuk mengurangi biaya pernikahan, orang tua sering menikahkan anak mereka
dalam suatu perayaan. Misalnya menikahkan tiga anak perempuan sekaligus dalam
satu pesta pernikahan, bahkan memasangkan pesta pernikahan dengan perayaan
lainya seperti pemakaman.
d) Anak perempuan dipandang sebagai beban ekonomi.

Adapun kebijakan pemerintah India untuk memerantas kasus pernikahan dini ialah
dengan menerapkan peraturan tentang batas usia pernikahan yang tercantum dalam Undang –
Undang Child marriage Restraint Act of 1929. Walaupun aturan tersebut sudah dibuat, namun
keinginan dan komitmen untuk menghapuskan pernikahan anak haruslah sesuai dengan
implementasi hukum dalam menegakkan peraturan. Apabila ada proses implementasi hukum
yang tidak kuat maka akan berpengaruh pada potensial efektifitas hukum tersebut. Dan saat ini di
beberapa tempat atau desa di India juga masih ada yang melakukan pernikahan anak tersebut
secara sembunyi – sembunyi. Hal ini menunjukan bahwa peratuan larangan pernikahan anak
tersebut berjalan tidak efektif khususnya di daerah – daerah yang dibutuhkan, terutam di daerah
pedalaman. Ditambah lagi salah satu factor yang menyebabkan banyaknya pernikahan dini ialah
kurangnya penegakan hukum di daerah pedalaman oleh pemerintah atau petugas-petugas hukum,
karena petugas dapat disuap untuk pura – pura tidak tahu.
Pencatatan perkawinan merupakan suatu hal yang urgent, bahkan menjadi sebuah
persyaratan administratif yang harus dilakukan. Tujuannya adalah agar perkawinan itu jelas dan
menjadi bukti bahwa perkawinan itu telah terjadi, baik bagi yang bersangkutan, keluarga kedua
belah pihak, orang lain, maupun bagi masyarakat karena peristiwa perkawinan itu dapat dibaca
dalam suatu surat yang bersifat resmi dan dalam suatu daftar yang sengaja dipersiapkan untuk
itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan, terutama sebagai alat bukti tertulis yang autentik.
Dengan adanya surat bukti tersebut, maka secara hukum dapat dicegah terjadinya suatu
perbuatan lain.
Rata – rata dari negara muslim menjadikan pencatatan perkawinan sebagai salah satu
materi reformasi hukum keluarga, di india hal ini telah menjadi sebuah kebiasaan. Kebiasaan
untuk mempersiapkan akta perkawinan tertulis ini dikenal dengan sebutan nikah nama. Di dalam
akta berisi ketentuan secara rinci tentang kontrak perkawinan. di beberapa wilayah india, praktek
seperti ini bahkan telah mendapat kekuatan hukum.
Pembaharuan berkaitan masalah hukum undang-undang keluarga yang telah berlaku pada
tahun 1937 merupakan buah perjuangan majoriti masyarakat Islam di India. Meraka berjuang
bagi mengembalikan dan memulihkan pengamalan hukum Islam dari berbagai pengaruh kegiatan
undang-undang Inggeris yang telah mempraktikkan budaya dan adat yang berasal daripada
tradisi bukan Islam terhadap masyarakat Islam India. Akta Permohonan Undang-undang Peribadi
Islam (Shariat) telah disahkan pada 7 Oktober 1937. Pada tahun 1939, Akta Pembubaran
Perkahwinan Muslim (Dissolution of Muslim Marriages Act 1939) telah diluluskan. Akta
tersebut untuk memberi hak kepada wanita Islam bagi membuat tuntutan penceraian. Kewujudan
akta ini merupakan hasil peranan gerakan Organisasi Wanita Muslim India (Muslim Women
Organisation Moves Supreme Court) yang menuntut status hukum undang-undang dan hak
pemilikan harta yang lebih baik. Akta tersebut banyak berpandukan daripada prinsip-prinsip
penceraian dalam mazhab Maliki yang dilihat lebih memberi pembelaan terhadap kaum wanita.
Undang-undang ini juga telah mengembalikan hak fasakh wanita Islam yang sebelumnya ianya
terletak dibawah kuasa qadhi atau mufti dalam sistem perundangan Negara pada tahun 1864.
J. Hukum Keluarga di Somalia
Setelah memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1960, Somalia yang mempunya 4
hukum yang berbeda, yaitu Common Law Inggris, hukum Italy, hukum Islam, dan hukum adat
Somalia itu berusaha menjadikan warisan hukumyang berbeda-beda menjadi satu hukum. Pada
tahun 1972, pembentukan Kembali hukum keluarga di Somalia baru ditanggapi. Sejak saat itulah
pemerintahan melalui Dewan komisi menyiapkan susunan mengenai hukum keluarga yang baru.
Aspek-aspek hukum Islam di Negara Somalia juga kurang lebih sama berkaitan dengan
Aspek hukum di Indonesia misalkan dalam pasal 36 disebutkan bahwa perceraian hanya bisa
dilaksanakan di pengadilan. Pengadilan tidak langsung menceraikan pasangan yang ingin
bercerai. Pengadilan terlebih dahuluberusaha untuk mendamaikan kedua pasangan yang
bersengketa. Baru jika upaya perdamaian gagal, maka perceraian dilakukan.
Dalam pasal 69 dijelaskan bahwa kewajiban orang tua adalah mengasuh anaknya hanya
sampai batas ketika anaknya menginjak usia 10 tahun untuk laki-laki, dan 15 tahun untuk
perempuan. Setelah melewati usia, anak tidak mendapatkan haknya untuk diasuh lagi.
Selanjutnya dalam pasal 114, adopsi dipandang sebagai transaksi yang menciptakan hubungan
layaknya antara ayah kandung dengan anak kandung. Konsekuensinya, anak angkat memiliki
hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung, terutama hak untuk mendapatkan warisan
dan kewajiban untuk berbakti kepada orang tua yang mengasuhnya.

K. Pandangan Ulama Tentang Hukum Perkawinan

Kata Nikah dalam bahasa Arab berarti menyatu dan bersetubuh. Dalam pengertian fiqih,
nikah adalah akad yang mengandung kebolehan melakukan hubungan suami istri dengan lafal
nikah atau kawin. Menurut kompilasi hukum Islam, perkawinan adalah akad yang kuat atau
mistaqon gholidhon untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah. Tujuan
pernikahan dalam Islam adalah membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahmah dan
Faedah dari menikah sangatlah banyak.
Para ulama menyebutkan ada 5 hukum pernikahan dalam Islam. Dalam Perkawinan
dalam Islam karya Muhammad Yunus Shamad:
a) Wajib
b) Sunnah
c) Haram
d) Makruh
e) Mubah
Walimatul ‘Urs yaitu sebuah jamuan makan yang menghadirkan para undangan sebuah
pernikahan.mengadakan walimah hukumnya adalah sunnah.Jumhur Ulama mengatakan bahwa
mengadakan acara walimah pernikahan adalah sunnah muakkadah. Dari Anas bin Malik ra
bahwa Rasulullah SAW bersabda.’’Lakukanlah walimah meskipun hanya dengan seekor
kambing”.(HR.Mutaffaqun alaih). Dan dari Buraidah ra berkata bahwa ketika Ali bin Abi Thalib
melamar Fatimah ra, Rasulullah SAW bersabda.”Setiap pernikahan itu harus ada walimahnya.
(HR,Ahmad).
Jumhur ulama dari ulama Mazhab Al-Hanafiyah, ulama Mazhab AsySyafi'iyah, dan
ulama Mazhab AlHanabilah dan ini merupakan pendapat resmi masing-masing mazhab,
berpendapat bahwa hukum mengadakan walimah adalah Sunnah. Dan ulama Mazhab Al-
Hanafiyah menambahkan bahwa mengadakannya ada pahala yang besar. Sedangkan menurut
ulama Mazhab Al-Malikiyah hukum mengadakan walimah adalah mandub. Perbedaan sunnah
dan mandub adalah bahwa sunnah merupakan hal rutin yang Rasulullah kerjakan, sedangkan
mandub adalah segala sesuatu yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan
tidak mendapat siksa. Para ulama ini pun juga berkata bahwa sebab adanya walimah adalah akad
nikah, sedangkan akad niah atau pernikahan itu sendiri hukumnya tidak wajib. Maka walimah
yang merupakan bagian dari pernikahan itu sendiri hukumnya tidak wajib. Kalaupun seandainya
hukumnya wajib maka akan disebutkan kadarnya seperti disebutkannya kadar zakat dan kafarat.
Dan ketika seseorang kesulitan dalam melaksanakannya akan ada badal atau penggantinya.
Seperti kafarat yang bisa diganti dengan puasa ketika merasa kesulitan.
Sebagian ulama Mazhab Asy-Syafi'iyah, ulama Mazhab Al-Malikiyah, dan Imam Ahmad
mengatakan dalam suatu pendapat yang disebutkan oleh Ibu Aqiil bahwa hukum mengadakan
walimah adalah wajib. Hukum Menghadiri Walimah Yang pertama yaitu Fardhu ‘Ain.
a) Apabila kamu diundang walimah maka datanglah. (HR.Bukhari dan Muslim)
Hukum mengahdiri walimah yang kedua yaitu Fardhu Kifayah.
a) Fardhu kifayah berdasarkann kepada esensi atau isi dan tujuan walimah, yaitu sebagai
media untuk mengumumkan terjadinya pernikahan serta membedakannya dari
perzinahan.Bila sudah dihadiri oleh sebagian orang, menurut pendapat ini sudah
gugulah kewajiban itu bagi tamu undangan lainnya.
Thalak berarti pemutusan ikatan, sedangkan menurut istilah thalak berarti pemutusan tali
perkawinan. Pembagian Thalak :
Dari segi cara suami menjatukan thalak pada isrinya.
a) Thalak Sunni
b) Thalak Bid’i
Dari segi boleh tidaknya suami rujuk dengan istrinya.

a) Thalak Raj’i
b) Thalak Ba’in
a) Thalak ba’in sughra
b) Thalak ba’in Kubra

Dari segi waktu menjatuhkan thalaknya.


a) Thalak Munajjaz / Thalak Mu’ajjal.
b) Thalak Mudhaf.
c) Thalak Mu’allaq.

Hukum asal thalak ialah makruh.Thalak itu mempnyai hukum-hukum tersendiri yaitu
yang disebutkan dibawah ini:

a) Wajib.Bertujuan untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antara suami dan istri ,
jika masing- masing melihat bahwa thalak adalah satu satunya jalan untuk mengakhiri
perselisihan.
b) Haram.Thalak yang dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang dapat
mengakibatkan perceraian. Dan seperti thalak bid’i yaitu menthalak istri dalam
keadaan haid.
c) Sunnah.Thalak yang diilakukan terhadap seseorang istri yang telah berbuat zhalim
kepada hak=hak Alla yang harus diembannya, seperti shalat dan kewajiban-kewajiban
lainnya, dimana berbagai cara telah ditempuh oleh sang suami untuk
menyadarkan,akan tetapi ia tetap tidak menghendaki perbubahan.
d) Mubah.jika untuk menghindari bahasa yang mengancam. Baik pihak suami atau istri.
Contoh menceraikan istri ketika di ancam pihak ketiga atau dibunuh.
e) Makruh.hukum asal yaitu perbuatan yang dibenci Allah SWT.

Imam Syafi‟i menyatakan dalam kitab Al-Umm orang yang menceraikan istrinya karena
selain pada dirinya (dipaksa) tidak bisa dinamakan sebagai cerai, karena cerai hanya milik
dirinya dan atas keinginannya sendiri. Jumhur Ulama seperti Imam Malik, Imam Ahmad, Abu
Daud dan segolongan ulama termasuk Imam Syafi‟i berpendapat bahwa orang yang dipaksa
menjatuhkan talak sedangkan ia dalam keadaan terpaksa, maka talaknya tidak sah (tidak terjadi),
Hal ini berbeda dengan pendapat Madzhab Hanafi. Hai ini sama dengan tidak sahnya ke Islaman
seseorang karena dipaksa. Jika seseorang dipaksa melakukan sesuatu dalam perbuatan batil
seperti murtad, maka hal ini tidak berkonsekoensi hukum. Namun jika suami dipaksa menalak
istrinya dengan alasan yang dibenarkan, jatuhlah talaknya, sementara keislamanya tetap sah.

Kafa’ah atau sekufu secara bahasa ialah kasta atau derajat atau tingkatan. Sedangkan
secara istilah ialah derajat atau kemuliaan yang jika tidak ada pada calon pria kemuliaan tersebut,
maka akan menyebabkan jatuh derajatnya si istri atau merupakan aib bagi keluarganya. Macam-
macam Kafa’ah : Agama, Iffah, Pekerjaan, Kemerdekaan, Tidak ada aib.

Para ulama’ berbeda pendapat dalam hal kafa’ah, apakah kafa’ah termasuk sebuah syarat
perkawinan. Jumhur ‘ulama mengatakan, bahwa kafā’ah dalam nikah adalah suatu syarat
diantara syarat-syarat yang lainnya tetapi kafa’ah adalah syarat luzūm dalam perkawinan, apabila
tidak dipenuhi maka tidak membatalkan perkawinan. Wahbah Az-Zuhaili mengatakan bahwa
kebahagiaan rumah tangga biasanya akan terwujud, jika dilakukan oleh orang-orang yang
sekufu. Sebagian besar ‘ulama berpendapat kafa’ah hanya dalam hal agama dan akhlaknya saja,
tetapi sebagian yang lain berpendapat kafa’ah dipandang dari segi kebangsawanan, kekayaan,
dan keilmuan. Dari sekian banyak norma kebisaaan dalam suatu daerah sebagai ukuran
kesetaraan maka ‘ulama fiqih sepakat bahwa kesetaraan dari sudut agama merupakan
perkawinan yang ideal. Oleh karena itu, perempuan yang muslimah tidak dibenarkan kawin
dengan laki- laki yang non muslim.

Iddah yaitu masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau
putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau dengan melahirkan
baik untuk untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta’abbud) maupun bela sungkawa
(tafajju’) atas suaminya.

Anda mungkin juga menyukai