Anda di halaman 1dari 16

Tugas Resume

Hukum Keluarga Islam di Malaysia, Turki, Arab Saudi, singapura dan

indonesia

Guna memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester

Dosen Pengampu Materi : Dr. Hj. Linda Firdawaty, S.Ag., M.H.

Oleh : Achmad Ardyaxma

NPM : 2021010211

FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTANLAMPUNG

2023 M/ 1444 H
Hukum Keluarga di Malaysia

A. Pendahuluan

Menurut Khiruddin Nasution setelah terjadinya pembaharuan UU Keluaraga


Malaysia Undang-Undang keluarga Islam yang berlaku di Malaysia menjadi dua
kelompok besar: UU yang mengikuti akta persekutuan yakni Selangor, Negeri
Sembilan, pulau Pinang, Pahang, Perlis, Terengganu, Serawak dan Sabah.Kelantan,
Johor, Malaka, dan Kedah meskipun dicatat banyak persamaannya tetapi ada
perbedaan yang cukup menyolok , yakni dari 134 pasal yang ada terdapat perbedaan
sebanyak 49 kali.

Sebelum masuknya Inggris hukum yang berlaku adalah hukum Islam yang
masih bercampur dengan hukum adat, menurut Abdul Munir Yaacob undang-undang
yang berlaku dinegara-negara bagian sebelum campur tangan Inggris adalah adat
pepateh untuk kebanyakan orang-orang Melayu di Negarisembilan dan beberapa
kawasan di Malaka, dan adat Temenggung dibagian semenanjung. Sedangkan orang
Melayu di Serawak mengikuti undang-undang Mahkamah Melayu Serawak. undang
tersebut sangat dipengaruhi oleh hukum Islam dan utamanya dalam masalah
perkawinan, perceraian dan jual beli.Pada tahun 1880 Inggris mengakui keberadaan
hukum perkawinan dan perceraian Islam dengan memperkenalkan Mohammedan
Marriage Ordinance, No.V Tahun 1880 untuk diberlakukan di negara-negara selat
(Pulau Pinang, Malaka, dan Singapore) yang isinya :

BAB I : Pendaftaran Perkawinan dan perceraian ( Pasal 1 sd 23)


BAB II : Pelantikan Qadi ( pasal 24 s.d 26)
BAB III : Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 27)
BAB IV : Ketentuan Umum ( Pasal 28 s,d 33)

Sementara untuk negara-negara Melayu bersekutu ( Perak, Selangor,


Negerisembilan, dan Pahang) diberlakukan Registration of Muhammadan Marriages
and Divorces Enactment 1885. dan untuk Negara-negara Melayu tidak bersekutu atau
negara- negara bernaung (Kelantan, Terengganu, Perlis, Kedah dan Johor)
diberlakukan The Divorce Regulation tahun 1907. Setelah Malaysia merdeka upaya
pembaharuan hukum keluarga sudah mencakup seluruh aspek yang berhubungan
dengan perkawinan dan perceraian, bukan hanya pendaftaran perkawinan dan
perceraian seperti pada undang-undang sebelumnya. Usaha tersebut dimulai pada
tahun 1982 oleh Melaka, Kelantan dan Negerisembilan yang kemudian diikuti oleh
Negara-negara bagian lain. Undang-undang perkawinan Islam yang berlaku sekarang
di Malaysia adalah undang-undang perkawinan yang sesuai dengan ketetapan
undang-undang masing-masing negeri. Undang-undang keluarga tersebut diantaranya
: UU Keluarga Islam Malaka 1983, UU Kelantan 1983, UU Negeri Sembilan 1983,
UU Wilayah Persekutuan 1984, UU Perak 1984 ( No.1), UU kedah 1979, UU Pulau
Pinang 1985, UU Trengganu 1985, UU Pahang 1987, UU Selangor 1989, UU Johor
1990, UU Serawak 1991, UU Perlis1992, dan UU Sabah 1992.

B. Pencatatan Perkawinan di Malaysia


Hukum Perkawinan di Malaysia juga mengharuskan adanya pendaftaran atau
pencatatan perkawinan. Proses pencatatan secara prinsip dilakukan setelah Akad Nikah.
Proses pencatatan ada tiga jenis diantaranya :
Pertama,untuk yang tinggal di negeri masing-masing pada dasarnya pencatatan
dilakukan segera setelah selesai akad nikah, kecuali Kelantan yang menetapkan tujuh
hari setelah akad nikah dan pencatatan tersebut disaksikan oleh wali, dua orang saksi
dan pendaftar. Sebagaimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 22 Ayat 1 dinyatakan :
Selepas sahaja akad nikah sesuatu perkahwinan dilakukan, pendaftar hendaklah
mencatat butir-butir yang ditetapkan dan ta'liq yang ditetapkan atau ta'liq lain bagi
perkahwinan didalam daftar perkawinan.
Kedua,orang asli Malaysia yang melakukan perkawinan dikedutaan Malaysia
yang ada diluar negeri. Proses pencatatan secara prinsip sama dengan proses orang
Malaysia yang melakukan perkawinan di negaranya.
Perbedaanya adalah hanya pada petugas pendaftar, yakni bukan oleh pendaftar
asli yang diangkat oleh negara, tetapi pendaftar yang diangkat di kedutaan atau konsul
Malaysia di Negara yang bersangkutan. Sebagaimana dalam UU Pulau Pinang Pasal 24
Ayat 1 dinyakatakan :
Tertakluk kepada subsyeksen, perkahwinan boleh diakadkan mengikuti hukum
syara oleh pendaftar yang dilantik dibawah seksyen.Dalam Pasal 28 Ayat 3 dinyatakan :
Dikedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul Malaysia dimana-mana Negara
yang telah memberitahu kerajaan Malaysia tentang bentahannya terhadap pengakad
nikahan perkahwinan di kedutaan Suruhanjaya Tinggi atau pejabat konsul itu.” Ketiga :
Orang Malaysia yang tinggal di luar negeri dan melakukan perkawinan tidak di
kedutaan atau konsul Malaysia yang ada di Negara bersangkutan.
Prosesnya pria yang melakukan perkawinan dalam masa enam bulan setelah
akad nikah, mendaftarkan kepada pendaftar yang diangkat oleh kedutaan dan konsul
terdekat. Apabila yang bersangkutan pulang ke Malaysia sebelum habis masa enam
bulan maka boleh juga mendaftar di Malaysia. Ketentuan ini berdasarkan UU Serawak
pasal 29 ayat 1, UU Kelantan dan UU Negerisembilan.

Wali dalam perkawinan


Perundang-undangan (perkawinan) Malaysia juga mengharuskan (wajib) adanya
wali dalam perkawinan, tanpa wali perkawinan tidak dapat dilaksanakan. Dalam
perundang-undangan keluarga Malaysia, pada prinsipnya, wali nikah adalah wali nasab.
Hanya saja dalam kondisi tertentu posisi wali nasab dapat diganti oleh wali hakim (di
Malaysia disebut wali raja).

Pembatasan Usia Perkawinan


Dalam peraturan perundang-undangan Malaysia membatasi usia perkawinan
minimal 16 tahun bagi mempelai perempuan dan 18 tahun bagi mempelai laki-laki.
Ketentuan ini berdasarkan UU Malaysia yang berbunyi : “Had umur perkahwinan yang
dibenarkan bagi perempuan tidak kurang dari 16 tahun dan laki-laki tidak kurang
daripada 18 tahun. Sekiranya salah seorang atau kedua-dua pasangan yang hendak
berkahwin berumur kurang daripada had umur yang diterapkan, maka perlu
mendapatkan kebenaran hakim syariah terlebih dahulu.”

Perceraian di Malaysia
Adapun alasan perceraian dalam perundang-undangan Keluarga Muslim di
negara- negara Malaysia sama dengan alasan-alasan terjadinya fasakh. Dalam undang-
undang perak dan pahang ada lima alasan, yaitu: suami impoten atau mati pucuk suami
gila, mengidap penyakit kusta, atau vertiligo, atau mengidap penyakit kelamin yang bisa
berjangkit, selama isteri tidak rela dengan kondisi tersebut; izin atau persetujuan
perkawinan dari isteri (mempelai putri) diberikan secara tidak sah, baik karena paksaan
kelupaan, ketidak sempurnaan akal atau alasan-alasan lain yang sesuai dengan syariat
pada waktu perkawinan suami sakit syaraf yang tidak pantas kawin; atau alasan-alasan
lain yang sah untuk fasakh menurut syariah.
Adapun sebab-sebab terjadinya perceraian dalam Undang-undang Muslim
Malaysia mayoritas menetapkan empat sebab dengan proses masing-masing, Yakni:
perceraian dengan talak atau perintah mentalak tebus talak syiqaq. Hanya Undang-
undang serawak yang mencantumkan sebab lian. Proses atau langkah-langkah
perceraian dengan talak, secara umum adalah sebagai berikut: pertama, mengajukan
permohonan perceraian ke pengadilan, yang disertai dengan alasan. Kedua, pemeriksaan
yang meliputi pemanggilan oleh pihak-pihak oleh pengadilan dan mengusahakan
pengadilan.
Ketiga, putusan. Juru damai yang diangkat dalam proses perdamaian diutamakan
dari keluarga dekat yang berperkara. Kalau juru damai yang diangkat dianggap kurang
mampu menjalankan tugasnya, bisa diganti dengan juru damai lain yang dianggap lebih
mampu. Adapun masa usaha mendamaikan adalah maksimal enam bulan, atau lebih
dengan persetujuan pengadilan, kecuali Kelantan yang menetapkan tiga bulan. Kalau
para pihak tidak mau didamaikan, pegawai yang ditunjuk harus membuat laporan dan
melampirkan hal-hal yang perlu dipikirkan kaitannya dengan akibat perceraian, seperti
nafkah dan pemeliharaan anak sebelum dewasa, pembagian harta dan lain-lain. Dalam
proses peradamaian ada kemungkinan mendatangkan pengacara atau pembela, dengan
izin juru damai.
Setelah usaha perdamaian itu tidak membuahkan hasil, pengadilan mengadakan
sidang untuk ikrar talak, yang idealnya diikrarkan oleh suami. Adapun proses perceraian
dengan tebus talak, kalau sudah disepakati kedua belah pihak, adalah setelah pihak-
pihak menyetujuinya dan menyelesaikan pembayaran yang sudah disetujui, pengadilan
menyuruh suami untuk melakukan ikrar talak, dan talaknya akan jatuh talak bain sughra
(tidak boleh dirujuk lagi).
Proses perceraian dengan taklik talak adalah isteri melapor tentang terjadinya
pelanggaran taklik talak. Kalau pihak pengadilan mempertimbangkan benar terjadi,
maka diadakan sidang perceraian yang kemudian direkam untuk dicatatkan. Sedangkan
proses perceraian karena ada masalah di antara para pihak (syiqaq), pada dasarnya
mempunyai proses yang sama dengan proses perceraian talak yang tidak disetujui salah
satu pihak dan proses tebus talak, yakni didahului dengan pengangkatan juru damai
sampai putusan cerai, kalau tidak bisa didamaikan. Bahkan Kelantan membuat proses
yang sama antara talak dan syiqaq.
Kedua, perceraian harus didaftarkan, dan perceraian yang diakui hanyalah
perkawinan yang sudah didaftarkan. Seorang janda boleh kawin lagi kalau sudah
mempunyai :surat yang dikeluarkan berdasarkan undang-undang atau salinan perceraian
atau pengakuan cerai dari hakim. Demikian juga seorang yang ditinggal mati boleh
nikah lagi kalau sudah mempunyai surat keterangan kematian. Tentang perceraian sebab
li’an tidak ada penjelasan lebih rinci. Hanya disebutkan agar Pengadilan merekam
perceraian dengan li’an. Sebagai tambahan, semua undang-undang di Malaysia
mencantumkan murtad sebagai alasan perceraian. Tetapi tidak dengan sendirinya terjadi
perceraian, melainkan dengan putusan hakim. Sementara yang berlaku di
Negerisembilan, Persekutuan Pulau Pinang dan Selangor, tercatat beberapa alasan yang
sama seperti di Perak dan Pahang di atas tetapi ada beberapa tambahan alasan
diantaranya : Tidak diketahui tempat tinggal suami selama satu tahun.Suami tidak
memberi nafkah selama tiga bulan. Suami dipenjara selama tiga tahun atau lebih. Suami
tidak memberikan nafkah batin selama satu tahun.

Poligami di Malaysia
Berdasarkan Undang-undang Perkawinan di Malaysia tentang boleh atau
tidaknya seorang laki-laki melakukan poligami. Adapun mengenai syarat yang harus
dipenuhi bagi seseorang yang hendak melakukan poligami adalah adanya izin tertulis
dari Hakim, ketentuan ini hampir tercantum di semua undang-undang perkawinan
negeri bagian.

Hukum Keluarga di Arab Saudi

A. Pendahuluan
Saudi Arabia merupakan negara terbesar di Asia Timur Tengah yang mana
negara ini menggunakan bentuk pemerintahan monarki absolut dengan alQuran
dijadikan sebagai konstitusinya. Bentuk pemerintahan mempengaruhi sistem hukum
yang berlaku di suatu negara termasuk hukum keluarganya. Metode yang digunakan
dalam tulisan ini adalah deskriptif yang datanya diperoleh dari studi literatur dan data
analisanya menggunakan pendekatan kualitatif. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk
mendeskripsikan secara sederhana kepada pembaca tentang hukum keluarga yang
diterapkan di Saudi Arabia dengan secara khusus mengangkat materi-materi hukum
keluarga dianut di sana. Dalam pelaksanaan hukum keluarga di Saudi Arabia tidak ada
aturan atau undang-undang khusus yang mengatur secara rinci tentang muatan materi
hukum keluarga melainkan hanya tidak boleh melanggar al-Quran sebagai konstitusi
Negaranya.
Di Asia Timur Tengah Saudi Arabia merupakan negara terbesar dengan luas
kawasan sebesar 2.240.000 km², selain itu Saudi Arabia merangkum empat dari lima
kawasan di Semenanjung Arab. Juga terkenal sebagai negara yang datar dan terdapat
banyak kawasan gurun pasir, salah satu yang paling terkenal ialah “Daerah Kosong”
atau dalam Bahasa Arab Rub al-langsung al-Khali yang terletak di sebelah selatan Saudi
Arabia. Saudi Arabia merupakan negara yang bersejarah bagi umat Islam karena di sana
terdapat dua kota yang diyakini adalah tempat di mana Nabi Muhammad SAW
menerima Wahyu dari Allah.
Saudi Arabia sebagaimana yang diketahui bentuk negaranya adalah monarki
absolut, sistem kenegaraan ini tidak pernah berubah dari zaman dahulu hingga saat ini,
meskipun perkembangan mengenai bentuk kenegaraan dan sistem hukum telah
berkembang. Prinsip umum yang menjadi landasan dalam undang-undang dasar
pemerintahan Saudi Arabia terdapat pada Bab 1 Pasal 1 yang menyatakan bahwa “kitab
Allah dan Sunnah Nabi-Nya” adalah konstitusi negara dan Bahasa arab adalah Bahasa
resmi dengan ibu kota Riyadh. Selanjutnya dipertegas dalam Bab 6 tentang otoritas
negara yaitu islam sebagai landasan tata kelola yang tertuang di dalam pasal 55 bahwa
Raja harus memerintah sesuai dengan hukum islam dan akan mengawasi penerapan
syari’ah.
Negara ini belum mau menerima sistem hukum lain dan sangat sedikit
menggunakan sistem hukum yang berasal dari barat. Memang setiap aturan hukum yang
bertentangan dengan konsep dasar Islam berarti secara teoritik juga bertentangan
dengan hukum asasi Hijaz yang dinyatakan berlaku oleh Raja Abd al-Aziz Ibn Sa’ud
karena hukum tersebut menyatakan bahwa aturan hukum di kerajaan Hijaz harus
senantiasa disesuaikan dengan kitab Allah Al-Qur’an dan Sunnah Nabi serta perbuatan
para sahabat serta pengikut setianya. Akan tetapi meskipun kerajaan Arab Saudi secara
resmi terikat dengan aliran Wahabi yang mengikuti ajaran-ajaran Hanbali, ia tidak
keberatan terhadap ajaran-ajaran mazhab Sunni lainnya sepanjang sesuai dengan
keadaan atau perintah Raja.

Perkawinan

Negara Arab Saudi menggunakan Madzhab Hambali sebagai madzhab Negara,


oleh karena itu hukum-hukum yang mengandung syariat didasarkan kepada kitab-kitab
madzhab tersebut. Pertama, Usia Perkawinan Arab Saudi tidak memiliki hukum khusus
untuk mengatasi masalah ini. Kedua, Poligami Arab Saudi tidak memiliki hukum
khusus untuk mengatasi masalah ini. Tidak ada batasan atapun tata cara yang khusus
mengenai prosedur yang harusnya dilakukan bagi para suami yang ingin berpoligami,
walaupun tetap dibatasi hanya 4 orang (istri) saja.

Ketiga Perwalian
Perkawinan dan Perceraian Secara resmi, kontrak perkawinan dibuat antara
pengantin pria dan "mahram" dari pengantin yang dimaksudkan. Namun status seorang
wanita yang akan melaksanakan pernikahan adalah berbeda-beda. Oleh karena itu
perempuan harus menentukan dalam kontrak perkawinan apakah mereka perawan,
bercerai, atau janda. Pria memiliki hak unlilateral untuk menceraikan istri mereka
(talak) tanpa perlu dasar hukum, seorang wanita hanya dapat memperoleh perceraian
dengan persetujuan dari suaminya atau secara hukum jika suaminya telah merugikan
dirinya.
Hak Asuh Anak dan Perwalian
Pihak ayah adalah pihak yang memegang hak utama dalam kasus perceraian.
Meskipun begitu, hakim dapat mempertimbangkan kebugaran orang tua dalam
pemberian perwalian, apabila seorang ayah yang ditunjuk untuk menjadi orangtua yang
mendapatkan perwalian anak sedang dalam kondisi yang tidak sehat, maka kakek dan
nenek dari pihak ayah adalah yangdiserahi tanggung jawab atas anak tersebut.

Waris
Hukum kewarisan Islam pada dasarnya tetap berlaku hampir atau bahkan di
seluruh dunia Islam. Baik dunia islam yang mengatur hukum kewarisannya dalam
bentuk undang-undang maupun yang tidak atau belum mengatur hukum kewarisannya
dalam bentuk undang-undang. Arab Saudi termasuk ke dalam Negara yang tidak
menjadikan hukum kewarisannya ke dalam undang-undang akan tetapi mereka
mengatasi masalah waris mengacu kepada Al-Quran dan As- Sunnah.

Perceraian
Sementara seorang suami dapat secara sepihak menceraikan istrinya , seorang
wanita hanya dapat mengajukan petisi kepada pengadilan untuk membatalkan kontrak
pernikahan mereka dengan alasan yang terbatas, dan harus “menetapkan (kerugian)”
yang membuat kelanjutan pernikahan “tidak mungkin” dalam alasan tersebut.

Hukum Keluarga Islam di Turki

Secara historis, upaya pembaruan Hukum Keluarga di belahan dunia Islam


mulai terealisasi pada penghujung abad 19M. Kesadaran masyarakat muslim akan
tertinggalnya konsep-konsep fikh yang selama ini dijadikan rujukan, menumbuhkan
semangat pembaruan dari rumusan Undang-undang lama yang telah terformat menuju
Undang-undang yang lebih mampu mengakomodasi tuntutan perkembangan zaman dan
kemajuan Islam itu sendiri.
Turki, merupakan negara pertama yang melakukan reformasi Hukum Keluarga
Muslim, dan gagasan itu muncul pada tahun 1915. Setelah mengamati secara cermat
berbagai fenomena yang berkaitan dengan perubahan tersebut, baru kemudian disahkan
secara resmi pada tahun 1917 yaitu The Law of Family Rights.
Di samping itu, pengaruh pergesekan dengan pemikiran Barat Modern dan
menilik pada perkembangan peradaban barat yang lebih maju, mendorong semangat
perkembangannya, Undang-undang Hukum Keluarga yang merujuk pada hukum
syariah justru ditinggalkan.
Hal ini terlihat dengan diproklamirkannya Negara Republik Turki (Turki
Modern), dengan diupayakan pembentukan UU Sipil Turki yang mengadopsi dari UU
Sipil negara Swiss. Meskipun demikian, mayoritas bangsa Turki tetap yakin bahwa
mereka adalah Muslim. Bahkan di kalangan penguasa sebagian besar menegaskan
bahwa mereka tidak menolak Islam, mereka hanya mengikuti sikap Barat bahwa agama
adalah masalah pribadi (yang mengatur hubungan antara individu dengan Tuhan),
bukan sistem hukum yang harus dilaksanakan oleh negara.
Selanjutnya, dalam kertas kerja ini penulis mencoba membahas lebih rinci lagi
tentang hukum keluarga di Turki, sejarah maupun perkembangannya, materi hukum
serta aplikasi dan metode pembaruannya, di samping sekilas gambaran mengenai
kondisi politik sosial budaya negara Turki sebagai bagian keterkaitan dengan
kompleksitas lainnya.

Sejarah Hukum Perkawinan Di Turki


Sejak tahun 1876 Turki Usmani telah menetapkan Undang-undang Sipil Islam
(Majallat al-Ahkam al-Adliya) yang diadopsi dari hukum-hukum pada berbagai mazhab
dan sebagian diambil dari materi hukum Barat. Namun Undang-undang itu kurang
lengkap karena tidak mencantumkan hukum keluarga dan hukum waris.
Seluruh materi hukum yang ada pada Majallat al-Ahkam al-Adliya ini belum
sempat direformasi dan belum diundangkan sampai abad ke-20. Untuk kasus-kasus
yang berhubungan dengan hukum keluarga dan hukum waris, diatur secara resmi oleh
pemerintah dengan mengadopsi penuh dari mazhab Hanafi. Dirasa adanya “penjajahan”
terhadap hak-hak perempuan, terutama dalam masalah perceraian, maka pada tahun
1915 pemerintah mengijinkan untuk diadakannya reformasi hukum keluarga.
Setidaknya ada 2 kasus yang menjadi alasan mendasar diadakannya perubahan,
yaitu : pertama kasus dimana seorang suami mengkhianati isterinya sehingga isteri tidak
mendapat nafkah sebagai haknya, dan kedua, kasus dimana sang suami menderita
penyakit tertentu yang bisa mengganggu kelangsungan perkawinannya. Sebelumnya,
isteri tidak punya hak sama sekali untuk mengajukan perceraian, wewenang penuh ada
pada suami.
Akhirnya pada tahun 1917, diresmikan Undang-Undang Hukum Keluarga yang
diambil dari berbagai mazhab dengan menggunakan prinsip tahayyur (eclectic choice).
Undang-undang tersebut diberi nama The Ottoman Law of Family Rights atau Qanun
Qarar al-Huquq al- Usmaniyyah. Undang-undang Ottoman ini terdiri dari 156 pasal
minus pasal mengenai waris. Meski tidak mengkodifikasi masalah waris, namun ini
adalah terobosan awal bagi perkembangan hukum keluarga di dunia Islam.
Pergolakan politik yang terjadi di Turki pada saat itu, sangat mempengaruhi
stabilitas perundang-undangan. Terutama ketika isu Turki Modern mulai mengemuka,
UU ini sempat dibekukan pada tahun 1919, dengan harapan akan dapat diganti dengan
UU yang lebih komprehensif. Pada tahun 1923 pemerintah membentuk panitia untuk
membuat draft Undang-undang baru. Akan tetapi, para ahli hukum yang diserahi tugas
tidak berhasil mencapai yang dimaksud. Akhirnya Turki mengadopsi The Swiss Civil
Code Tahun 1912, yang dijadikan UU Sipil Turki (The Turkish Civil Code of 1926),
dengan sedikit perubahan sesuai dengan tuntutan kondisi Turki.
Adopsi tersebut dilakukan karena perbedaan internal dari para ahli hukum
agama yang gagal mengusahakan UU yang didasarkan pada syariah. Perbedaan tersebut
meruncing ketika gagasan untuk menyatukan pengkodifikasian dari The Ottoman
Family Rights 1917, UU Hanafi 1876 (The Majallah) dan hukum waris tradisional yang
belum pernah terkodifikasi. Bagaimanapun juga, para ahli hukum Turki sudah
mempunyai potensi yang melekat untuk menjadikan hukum Islam sebagai pertimbangan
awal sebelum menetapkan Undang-Undang yang baru.
UU Sipil Turki 1926 ini juga tidak mengadopsi sepenuhnya dari UU Sipil Swiss
1912. Bagaimanapun, tetap disesuaikan dengan tradisi dan kondisi Islam di Turki.
Beberapa ketetapan yang dianggap bertentangan dengan konsep Islam tradisional,
beberapa mazhab mempertimbangkannya untuk dilakukan amandemen. Keseriusan ini
terlihat ketika UU Sipil 1926 ini diamandemen sebanyak enam kali dari tahun 1933-
1956 agar dicapai satu kesepakatan dan kesesuaian antara UU Sipil dengan konsep-
konsep Islam

Hukum Perkawinan Di Turki

UU Sipil Turki 1926 ini memuat tentang perkawinan, perceraian, hubungan


keluarga dan kewarisan. Di samping itu juga memuat tentang kontrak dan obligasi. Di
sini akan penulis paparkan secara ringkas satu demi satu materi hukum yang
berhubungan dengan hukum keluarga, beserta sedikit ulasan ringkas. Pertunangan
Khitbah adalah permintaan pihak laki-laki kepada pihak perempuan untuk dijadikan
isteri melalui cara yang diketahui oleh beberapa pihak. Hukum Keluarga Turki tidak
menganjurkan untuk diadakannya pesta seremonial tertentu pra pernikahan. Karena
khitbah ini bertujuan untuk saling menjajaki antara pasangan calon pengantin, jadi ada
kemungkinan setelah pertunangan ini akan semakin kuat ikatan batin antara keduanya
atau akan menggagalkan rencana pernikahan karena ada ketidakcocokan dari masing-
masing pihak.
Usia Pernikahan
Bagi Syafi’i dan Hambali menentukan umur 15 tahun bagi keduanya sementara
Maliki menetapkan usia 17 tahun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Menurut
Hanafi, 18 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi perempuan. Batasan ini merupakan
batas maksimal, sedang batas minimal laki-laki 12 tahun dan perempuan 9 tahun,
dengan alasan pada umur tersebut laki-laki sudah mimpi dan perempuan sudah haid
sehingga memungkinkan terjadinya kehamilan. Masalah batasan umur perkawinan ini
memang tidak diatur baik dalam Alquran maupun hadis, sehingga dengan melibatkan
pengadilan dan adanya ijin dari wali, nampaknya Hukum Keluarga Turki bisa lebih
kompromis dengan memberikan jalan keluar yang dilihat dari sudut kebutuhan dan
kepentingan calon mempelai.

Poligami
UU Turki melarang adanya perkawinan diatas perkawinan yang masih berlaku.
Jadi sebelum adanya pernyataan tentang bubarnya perkawinan yang pertama, baik
karena kematian, perceraian atau pembatalan perkawinan (UU Sipil Turki, 1926: pasal
93), perkawinan yang kedua dinyatakan tidak sah oleh Pengadilan atas dasar orang
tersebut telah mempunyai kehidupan pernikahan yang masih berlaku (UU Sipil
Turki,1926: pasal 112). Turki merupakan negara Muslim pertama yang secara resmi
melarang poligami. Adapun yang termaktub pada UU sebelumnya yaitu The Ottoman
Law of Family Rights tahun 1917, pasal 74 menjelaskan bahwa suami boleh poligami
dengan syarat harus berlaku adil kepada para isterinya. Tetapi isteri berhak membuat
taklik talak pada waktu akad nikah bahwa suaminya tidak akan menikah lagi. Kalau
suami melanggar, maka isteri berhak minta cerai (The Ottoman Family Right, pasal 38).
Sebenarnya poligami telah dikenal bangsa-bangsa dunia jauh sebelum Islam lahir. Islam
datang untuk mengatur poligami.
Hukum Keluarga Islam di Indonesia

PENGERTIAN PERKAWINAN
Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata
asal dari kata nakaha. Sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa
Indonesia sebagaimana yang disebut perkawinan. Sedangkan secara bahasa kata nikah
berarti adhdhammu wattadkhul. Perkawinan menurut istilah sama dengan kata “nikah”
dan kata “zawaj”. Ulama golongan syafi’iyah memberikan definisi nikah melihat
kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang
berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedang sebelum akad berlangsung diantara
keduanya tidak boleh bergaul.
Sebagaimana dikalangan u lama syafi’i merumuskan pengertian nikah adalah
akad/perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan
menggunakan lafadz naka-ha atau za-wa-ja atau yang semakna dengan keduanya.
Sejalan dengan pendapat di atas, ulama Hanafiyah juga memberikan definisi sebagai
berikut akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seoarang laki- laki menikmati
kesenangan dengan seorang perempuan dengan sengaja.Definisi- definisi yang
diberikan beberapa pendapat imam mazhab, para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah
suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah
dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk
melaksanakan nikah. Selain itu nikah dalam arti hukum ialah akad (perjanjian) yang
menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang
wanita.
Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Adapun maksud dari
perjanjian yang kuat adalah sebuah perjanjian yang memiliki unsur ibadah sehingga
tidak dapat diakhiri dengan mudah tanpa adanya suatu dasar/alasan yang kuat sesuai
dengan ketentuan yang berlaku menurut syariat Islam.

SEJARAH HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA


Masa Kerajaan di Indonesia
Dahulu di Indonesia pernah berdiri kerajaan-kerajaan Hindu yang mempunyai
pengaruh di pulau Jawa, Sumatera dan Bali, sedangkan di daerah lain mendapat
pengaruh dari zaman “Malaio polynesia”, yaitu : Suatu zaman dimana nenek moyang
kita masih memegang adat istiadat asli yang dipengaruhi oleh alam yang serba
kesaktian. Pada zaman Hindu ini tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh
hukum agama Hindu serta hukum agama Budha yang dibawa oleh para pedagang
(khususnya dari Cina).
Diantara kerajaan-kerajaan tersebut adalah kerajaan Sriwijaya, Singosari dan
Majapahit. Pada zaman Majapahit hukum adat mendapat perhatian berkat usaha
Mahapatih Gajah Mada, diantara usaha yang dilakukan patih Gajah Mada yaitu :
membagi bidangbidang tugas pemerintahan dan keamanan negara. Misal: soal
perkawinan, peralihan kekuasaan, ketentaraan Negara. Keputusan pengadilan pada masa
itu disebut : Jayasong (Jayapatra), Gajahmada mengeluarkan suatu kitab UU, yaitu :
“Kitab Hukum Gajah Mada”.
Setelah kerajaan-kerajan bercorak hindu dan budha tersebut runtuh, kemudian di
Nusantara berdiri kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Agama Islam masuk ke bumi
Nusantara ini secara damai pada abad ke – 7 masehi atau bertepatan dengan abad ke- 1
hijriah, ada juga yang berpendapat pada tahun ke-30 hijriah atau bertepatan dengan
tahun 650 masehi. Ketika wilayah Nusantara dikusai oleh para sultan, hukum Islam
diberlakukan di dalam wilayah kekuasaanya dan sultan sendiri sebagai penanggung
jawabnya. Sultan berperan aktif sebagai penata agama Islam dengan cara mengangkat
penghulu sebagai qadhi syariah dan pemberi fatwa-fatwa agama.
Manifestasi dari ketentuan ini dapat dilihat dari bentuk pemerintahan pada waktu
itu, yaitu adanya alun-alun yang dikelilingi oleh pendopo kabupaten, Masjid Agung dan
Lembaga Pemasyarakatan. Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasai di Aceh Utara
menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai
utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan
Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para
pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan
dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di
bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate,
Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut
hukum Islam Mazhab Syafi’i.

Masa Penjajahan di Indonesia

Dalam banyak kajian, perkembangan hukum Islam pada masa penjajahan sangat
dipengaruhi oleh politik pemerintahan Belanda. Pada awal kedatangannya, Belanda
telah melihat hukum Islam dipraktekkan masyarakat nusantara, baik dalam peradilan,
praktek harian maupun keyakinan hukum.Sikap politik VOC terhadap Islam
dipengaruhi oleh kepentingan perdagangan rempah-rempah dan perluasan pasar. Oleh
sebab itu, eksistensi hukum Islam pada awal kedatangan VOC nyaris tidak berubah
seperti masa kerajaan Islam, rakyat berhak mempraktekkan hukum Islam dan
pemerintahan kerajaan Islam masih mempunyai wewenang legislatif. Selain faktor di
atas, penyebab utama kebijakan toleransi praktek hukum Islam di Indonesia adalah,
perhatian utama kompeni terhadap Islam hanya bersifat temporal dan kasuistik, yaitu
pada saat muncul alasan untuk mencemaskan pengacau ketertiban melalui peristiwa
keagamaan yang menyolok Ketika Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596
melalui Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan
oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-daerah kekuasaanya sehingga
kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu
diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC.
Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan kemudahan dan fasilitas agar
hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana mestinya. Bentuk-bentuk
kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan buku-buku hukum Islam
untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam memutus perkara.
Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “alMuharrar” di Semarang, “Shirathal
Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar- Raniry di kerajaan Aceh dan kitab ini diberi
syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang
diperuntukkan untuk para Hakim di Kerapatan qadhi di Banjar Masin, kemudian kitab
“Sajirat al- Hukmu” yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak,
Jepara, Gresik dan Mataram. Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang disebut
dengan Compendium Freijer, mengikuti nama penghimpunnya. Kemudian membuat
kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang,
dan Makasar (Bone dan Gowa).
Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa
serta hukum negaranya utuk menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk
lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat
jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada
kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya
Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus berjalan,
sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan
Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya.
Masa VOC berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800- 1811. Setelah
Inggris menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah
kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia
dengan hokum Belanda.
Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat Indonesia,
muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C. Van Den Berg
bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah undang-undang agama
mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan nama teori “Recepcio in
Complex” yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia
Belanda melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).
Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje tidak sependapat
dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di tengah-tengah masyarakat
Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat. Teori Hurgronje ini terkenal
dengan nama teori “Receptie”.
Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak lagi mengakui hukum
Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan hukum adatlah yang diakui.
Dalam Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis sebelum hukum untuk bangsa
Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku bagi
mereka, yaitu hukum adat.
Pada saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama)
dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya
peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam
telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi
persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui
Penghoeluegerecht. Namun bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang
tinggal di lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas
penduduknya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan pernikahan menurut
adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan dengan hukum Islam?.
Pada saat itu walaupun wewenang Penghoeluegerecht (Pengadilan Agama)
dalam bidang munakahat (perkawinan) tidak turut dihapus, namun dengan lahirnya
peraturan ini jelas sangat merugikan umat Islam Indonesia. Seandainya ajaran Islam
telah menjadi adat kebiasaan di suatu daerah, maka tentu tidak terlalu banyak menjadi
persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa melangsungkan pernikahan melalui
Penghoeluegerecht.
kodifikasi hukum perkawinan. Hukum perkawinan yang dipedomani oleh umat Islam masih
tersebar dalam beberapa kitab fikih munakahat karya mujtahid dari Timur Tengah seperti imam
Syafi’I

Masa Orde Baru

Pada periode orde baru, dalam masa sidang 1967-1971 Parlemen (DPR-GR) membahas
kembali RUU perkawinan, yaitu : RUU Perkawinan Umat Islam berasal dari Departemen
Agama, yang diajukan kepada DPR-GR bulan Mei 1967. RUU ketentuan-ketentuan Pokok
Perkawinan dari Departemen Kehakiman, yang diajukan kepada DPR-GR bulan September
1968. Pembahasan kedua RUU inipun pada akhirnya mengalami kemacetan, karena Fraksi
Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang menyangkut hukum agama.
Menurut fraksi Katolik dalam “pokok-pokok pikirannya mengenai RUU Perkawinan”
Pada bulan Juli 1973, pemerintah melalui Departemen Kehakiman yang telah merumuskan
RUU Perkawinan, mengajukan kembali RUU tersebut kepada DPR hasil pemilu tahun 1971,
yang terdiri dari 15 bab dan 73 pasal. Kemudian Presiden Soeharto dengan Amanatnya menarik
kembali kedua RUU perkawinan yang disampaikan kepada DPR-GR dalam tahun 1967
tersebut di atas.
RUU perkawinan 1973 mendapat perlawanan dari kalangan Islam, berpendapat bahwa
RUU Perkawinan itu bertentangan dengan agama dan karenanya bertentangan pula dengan
Pancasila dan UUD 1945. Menurut Amak FZ, kalau dinilai dari segi komposisi kekuatan fraksi-
fraksi di DPR, dimana fraksi PPP yang merupakan satu-satunya fraksi yang menentang RUU
karena bertentangan dengan ajaran Islam.
Gelombang penolakan dan reaksi terhadap RUU Perkawinan berdatangan dari berbagai
komunitas, baik masyarakat, ulama dan pemerintah sendiri. Reaksi yang menjadi sorotan
datang dari ketua fraksi PPP KH. Yusuf Hasyim yang telah mencatat berbagai kekeliruan dalam
RUU Perkawinan dan bertentangan dengan Hukum Perkawinan, yaitu dalam negara yang
berdasarkan pancasila yang berketuhanan yang maha esa.

Anda mungkin juga menyukai