Anda di halaman 1dari 4

Jakarta - Badai rumah tangga bisa datang dari mana saja.

Salah satunya
kehadiran orang ketiga hingga berujung pernikahan siri tanpa pemberitahuan
ke istri pertama. Bisakah kasus ini dipidanakan?Hal itu menjadi pertanyaan
pembaca detik's Advocate yang dikirim ke email: redaksi@detik.com dan di-cc
ke andi.saputra@detik.comBerikut pertanyaan lengkapnya:Selamat siangSaya
mau bertanya, apakah jika suami menikah siri diam-diam tanpa sepengetahuan
istri sah hukum agama bisa dikasuskan? Dan tidak tahu apakah nikah sirinya
hamil duluan atau tidak. Dan apakah jika dilaporkan ke kantor suami bisa
diperkarakan di kantornya, misal dipecat. Suami saya seorang pegawai BUMN.
Mohon penjelasannya. Terima Kasih Salam Sisca Untuk menjawab masalah di
atas, tim detik's Advocate meminta pendapat hukum advokat Yudhi
Ongkowijaya, S.H., M.H. Berikut jawaban lengkapnya: Terima kasih atas
pertanyaan yang Saudari sampaikan. Kami akan coba membantu untuk
menjawabnya. Suatu perkawinan merupakan ikatan perjanjian yang kokoh
(mitssaqan ghalidzan), yang dengannya Allah Subhanahu wata'ala mengikatkan
hubungan suci antara laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai sebagaimana
ketentuan Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa
perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan atau pernikahan,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 KHI, bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Sebuah perkawinan menurut Pasal 4 KHI adalah sah, apabila dilakukan


menurut hukum Islam sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Untuk itu, agar perkawinan dapat dikatakan
sah menurut hukum Islam harus memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun nikah
berdasarkan Pasal 14 KHI yakni harus ada calon suami/istri, wali nikah, dua
orang saksi, serta ijab dan kabul. Sedangkan syarat sahnya pernikahan
menurut hukum Islam yaitu wajib beragama Islam, bukan mahram, ada wali
akad nikahnya, tidak sedang melaksanakan haji, dan tidak ada paksaan.
Pernikahan yang telah sah, harus dicatatkan demi terjaminnya ketertiban
perkawinan masyarakat Islam, yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah
(Kantor Urusan Agama). Hal ini sesuai sebagaimana yang diatur di dalam
ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan (2) KHI. Apabila pernikahan yang dilangsungkan
sudah melingkupi seluruh kriteria yang disyaratkan oleh undang-undang
(dilaksanakan menurut hukum agama dan dicatatkan), maka barulah
pernikahan tersebut dianggap telah sesuai menurut hokum Nikah Siri dapat
diartikan sebagai pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan seorang
perempuan, tanpa ada pemberitahuan (dicatatkan) di Kantor Urusan Agama,
tetapi pernikahannya tersebut sudah memenuhi unsur-unsur perkawinan
dalam Islam. Nikah Siri hukumnya sah menurut agama, tetapi tidak sah
menurut hukum positif (hukum negara), karena mengabaikan sebagian aturan
hukum yang ada di dalam peraturan perundang-undangan di bidang
perkawinan.
Berdasarkan pertanyaan Saudari, kami mengasumsikan bahwa Saudari adalah
istri yang sah menurut hukum agama dan hukum negara, kemudian suami
Saudari telah melakukan Nikah Siri dengan perempuan lain, entah saat itu si
perempuan sudah dalam keadaan hamil terlebih dahulu atau tidak.
Pada dasarnya, seorang laki-laki Muslim diperkenankan memiliki istri lebih dari
satu, sepanjang perkawinan-perkawinan setelahnya tersebut memenuhi
persyaratan yang ditentukan oleh hukum agama dan hukum negara. Apabila
mengacu kepada ketentuan Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan Juncto Pasal 56 Ayat (1) KHI, seorang suami yang
hendak beristri lebih dari satu orang, harus mendapat izin dari Pengadilan,
dalam hal ini Pengadilan Agama. Kemudian, dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf (a)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Juncto Pasal 58
Ayat (1) KHI disebutkan, salah satu syarat wajib untuk suami yang hendak
beristri lebih dari satu orang, agar kemudian memperoleh izin dari Pengadilan
Agama, yaitu harus mendapat persetujuan istri. Oleh sebab itu, menurut
pendapat kami, Nikah Siri yang dilakukan oleh suami Saudari, yang
dilaksanakan tanpa persetujuan Saudari sebagi istri yang sah menurut hukum
agama dan hukum negara, merupakan suatu perbuatan yang berpotensi
menjadi sebuah masalah hukum. Saudari selaku istri memiliki hak untuk
menempuh upaya hukum secara pidana dengan membuat Laporan Polisi
terhadap suami dan istri sirinya, atas dugaan melanggar Pasal 279 Ayat (1) ke-1
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa barang
siapa mengadakan pernikahan padahal mengetahui bahwa pernikahan atau
perkawinan atau perkawinan-perkawinannyayang telah ada menjadi
penghalang yang sah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun. Terkait penerapan Pasal 279 KUHP tersebut dipertegas dengan
adanya Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2016, yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang
suami dengan perempuan lain, sedangkan suami tersebut tidak mendapatkan
izin istri untuk melangsungkan perkawinan lagi, maka Pasal 279 KUHP bisa
diterapkan. Selain itu, perbuatan suami Saudari dapat pula dikenakan dugaan
tindak pidana melanggar Pasal 280 KUHP, yang menyatakan barang siapa
mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahu kepada pihak
lain bahwa ada penghalang yang sah, diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut,
perkawinan lalu dinyatakan tidak sah. Saudari juga dimungkinkan untuk
menempuh upaya hukum dengan membuat Laporan Polisi atas dugaan
melanggar Pasal 284 Ayat (1) ke-1a KUHP, yang menyatakan bahwa seorang
pria yang telah kawin, yang melakukan gendak atau zinah (overspel), padahal
diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan. Namun di dalam praktik, penerapan Pasal 284
KUHP terhadap persoalan Nikah Siri masih terdapat perbedaan penafsiran.
Terkait dengan istri siri yang mungkin telah hamil lebih dahulu, hal tersebut
akan berkenaan dengan status si anak yang sedang dikandung. Mengacu
kepada ketentuan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan Juncto Pasal 100 KHI, maka anak yang dilahirkan di luar
perkawinan (yang tidak dicatatkan) hanya memiliki hubungan keperdataan /
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Saat ini, pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, anak luar kawin
dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya dan bapak
biologisnya sepanjang bisa dibuktikan secara ilmu pengetahuan, teknologi,
atau alat bukti lainnya bahwa si anak mempunyai hubungan darah dengan
bapaknya tersebut.
Baca juga Apartemenku Jadi TKP Kejahatan oleh Penyewa, Apakah Saya Bisa
Terseret?
Baca juga: Eks Suami Nggak Mau Nafkahi Anak, Apakah Bisa Digugat?
Mengenai suami Saudari yang adalah pegawai BUMN, segala hal yang
berkaitan dengan status dan pekerjaannya mengacu kepada ketentuan
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 Tentang Pendirian, Pengurusan,
Pengawasan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, khususnya Pasal 95,
yang menyatakan karyawan BUMN merupakan pekerja BUMN yang
pengangkatan, pemberhentian, hak dan kewajibannya ditetapkan berdasarkan
perjanjian kerja bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang ketenagakerjaan, dan tidak berlaku lagi segala ketentuan
kepegawaian dan eselonisasi jabatan yang berlaku bagi Pegawai Negeri. Untuk
itu, perlu dilihat terlebih dahulu apakah di dalam perjanjian kerja bersama ada
mengatur tentang mekanisme pernikahan atau perceraian bagi seorang
pegawai BUMN beserta dengan larangan dan sanksi-sanksinya.
Baca artikel detiknews, "Suamiku Diam-diam Nikah Siri, Bisakah Saya
Pidanakan?"
selengkapnya https://news.detik.com/berita/d-6156214/suamiku-diam-diam-
nikah-siri-bisakah-saya-pidanakan.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/

Anda mungkin juga menyukai