PERTEMUAN II : TUTORIAL I
PERADILAN KONSTITUSI SEBAGAI TUNTUTAN NEGARA HUKUM,
KARAKTERISTIK, FUNGSI DAN INTERPRETASI
Nama Kelompok:
A.A Gd Bgs Trisna Ari Dalem 1303005304
Marchal Subasa 1403005154
A.A Ngr Gde Oka Mahajaya 1403005167
Aggi Nugroho 1403005215
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
1. Apakah makna konsepsi negara hukum yang dianut Indonesia dalam UUD NRI
1945?
Jawab:
Asas presumptio iustae causa, dalam bahasa Belanda sering disebut asas vermoeden
van rechtmatigheid. Istilah ini kira-kira bermakna suatu keputusan tata usaha negara
selalu dianggap sah. Keabsahan itu baru hilang jika ada keputusan baru yang
membatalkan atau mencabut yang lama. Dengan asas presumptio iustae causa, maka
suatu KTUN tetap dianggap sah. Adanya gugatan tak menghalangi berlakunya KTUN.
Namun bukan berarti suatu KTUN sama sekali tak bisa ditunda Penundaan itu harus
didasarkan pada banyak pertimbangan. Pengujian yang dilakukan melalui Pengadilan
TUN adalah pengujian keabsahan menurut hukum atau rechtmatigheidstoetsing. Artinya,
penundaan berlakunya suatu KTUN harus didasarkan pada alasan-alasan yuridis.
Asas erga omnes sering digunakan dalam hukum untuk menjelaskan terminologi
kewajiban dan hak terhadap semua. Sebagai contoh sebuah hak kepemilikan adalah
sebuah hak erga omnes, dan karena itu dilaksanakan terhadap siapa pun yang melanggar
hak itu. Dalam hukum Internasional, erga omnes digunakan sebagai istilah yang
menunjukkan sebuah kewajiban hukum yang dimiliki oleh negara terhadap masyarakat
negara secara keseluruhan.Putusan Mahkamah Konstitusi oleh karena objeknya
menyangkut kepentingan bersama dan semua orang, sehingga sifat permohonan di MK
tidak bersifat berhadap-hadapan sebagaimana sengketa di pengadilan perdata atau tata
usaha negara. Termasuk putusan yang dijatuhkan MK misalkan terkait pengujian undang-
undang (UU), dimana UU sendiri adalah mengikat secara umum kepada semua warga
negara, maka dengan dinyatakan tidak mengikat, maka UU tersebut tidak hanya memiliki
kekuatan hukum mengikat terhadap pihak yang memohonkan di MK, akan tetapi juga
semua warga negara. Sehingga pada dasarnya karena hakikat perkara yang diadili di MK
tersebut, maka putusan yang dijatuhkan oleh MK bersifat erga omnes.
Penafsiran originalis dan non originalis ini sama-sama memiliki alasan yang kuat
dalam mempertahankan pendiriannya, elaborasi keduanya dapat dilihat pada sub bahasan
di bawah ini: